!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Tuesday, January 7, 2014

Suriah: Perang Ideologis yang sulit damai



Suriah: Perang Ideologis yang sulit damai

Bisakah AS dan Iran Selamatkan Suriah dari Kehancuran
.
. Perundingan Damai Jenewa Belum Temukan Titik Terang. Walau Ada Pendapat Irn dan AS Bisa Selamatkan Suriah. Namun konflik sektarian di Suriah sangat ideologis , sehingga sangat sulit Dipertemukan. Apalagi Arab Saudi terus mendukung secara Moral dan financial terhadap oposisi kelompok Ahlul Sunnah Waljamaah , disatu pihak Iran bersama tentara Hezbollah yang shiah membela mati-matian Presiden Hafes Al Assad bersama kelompok Alawitenya.

Perang saudara di Suriah sampai saat ini belum menemui titik terang menuju perdamaian , walaupun kini tengah dibahas dalam perundingan damai di Jenewa.

Namun ada angin segar dari mantan perunding nuklir Iran dengan Barat, Hossein Mousavian."Kerja sama antara Iran dan Amerika Serikat dapat membantu menyelamatkan Suriah," kata mantan perunding nuklir Iran dengan Barat, Hossein Mousavian.

Dalam satu wawancara dengan harian La Vanguardia, Spanyol, yang diterbitkan Minggu, Mousavian mengatakan, pada kesepakatan Jenewa antara Iran dan P5+1 pada 24 November lalu, kedua pihaklah yang menang.

Pada satu sisi, untuk pertama kalinya sejak kemenangan Revolusi Islam pada 1979, Barat mengakui hak Iran untuk pengayaan dan setuju meringankan sanksi terhadap negara itu, satu prestasi bagi Teheran dan meningkatkan posisi Iran di tingkat internasional, kata Mousavian.

Pada lain pihak, Iran setuju mengambil langkah-langkah membangun kepercayaan dan menunjukkan transparansi atas program nuklirnya yang dianggap sebagai keberhasilan bagi P5+1, katanya. Dia mengungkapkan harapan untuk kesepakatan akhir.

Ditanya apakah Iran dan AS akan menjadi sekutu, Mousavian mengatakan, "Terlalu dini untuk berbicara tentang hal itu, tetapi dalam mengikis ketegangan adalah mungkin."

Para diplomat veteran dan mantan duta besar untuk Jerman mengatakan bahwa ketidakpercayaan antara Iran dan AS sangat dalam dan butuh waktu bagi mereka untuk menormalkan hubungan.

"AS sebagai kekuatan utama internasional dan Iran sebagai kekuatan regional penting dapat memainkan peran penting untuk menyelesaikan semua krisis di Timur Tengah, Asia Tengah, Kaukasus, Afghanistan, Irak dan Suriah."

Dia merujuk kepada pemerintah Suriah tentang penerimaan untuk kerja sama memberantas senjata kimia bekerja sama dengan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia yang bermarkas di Den Haag sebagai contoh kerja sama antara Iran dan Amerika Serikat untuk membantu mengakhiri krisis kemanusiaan di Suriah .

Iran dan Amerika Serikat berhasil bekerja sama di Afghanistan pada 2001 dalam perang melawan Al-Qaeda, kata Mousavian, dan menambahkan, mereka dapat bekerja sama sekali lagi untuk menyelamatkan Suriah ketika konflik etnis Suriah menyebar ke Irak dan Lebanon, menewaskan ratusan orang tak berdosa.

Mousavian mengatakan, pembicaraan langsung antara para pejabat Iran dan AS serta pemberantasan senjata kimia di Suriah adalah dua prestasi yang katanya tidak bisa dilakukan tanpa kerja sama Iran-AS.

Dia menjelaskan, masih banyak yang harus dilakukan untuk meredakan ketegangan antara Teheran dan Washington.

Sebenarnya harapan perdamaian datang dari Oposisi di Suriah. Pemberontak Suriah di Barzeh, Damaskus utara, Minggu, menyetujui gencatan senjata lokal dengan rezim Presiden Bashar al-Assad setelah hampir satu tahun pertempuran dan pemboman, kata para aktivis seperti dikutip AFP.

"Setelah berunding intensif dalam beberapa hari terakhir antara rezim dan Tentara Pembebasan Suriah melalui mediator dari lingkungan, perjanjian berikut telah tercapai: yakni gencatan senjata antara kedua belah pihak," kata pernyataan yang diposting oleh dewan oposisi lokal.

Kedua pihak juga menyepakati "penarikan tentara Bashar dari semua wilayah Barzeh, dan pembersihan jalan-jalan (mayat-mayat yang ditinggalkan)".

"Tentara Pembebasan Suriah akan menangani pengaturan lalu lintas "melalui kabupaten, yang telah diblokir sejak oposisi mengambilalih daerah itu," kata pernyataan itu.

Aktivis setempat Abu Ammar mengatakan kepada AFP melalui internet bahwa meskipun klausal yang disepakati belum dilaksanakan," intensitas pertempuran telah sangat berkurang dalam tiga hari terakhir."

Gencatan senjata juga membuat penduduk yang melarikan diri kembali dalam waktu dua pekan dan layanan-layanan umum akan beroperasi kembali.

Satu kelompok penting dalam arus utama oposisi Koalisi Nasional Suriah Jumat menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menghadiri perundingan perdamaian yang dijadwalkan pada akhir bulan ini di Swiss.

"Setelah pertemuan dengan banyak delegasi internasional dalam beberapa pekan terakhir ... Dewan Nasional Suriah menegaskan ia melihat tidak ada alasan untuk menghadiri konferensi Jenewa," kata anggota SNC Samir Nashar kepada AFP melalui telepon.

Nashar juga memperkirakan bahwa Koalisi Nasional, yang masih belum mengambil keputusan definitif, akan sama tidak muncul.

Pengumuman Jumat mengulangi pernyataan Presiden SNC George Sabra pada Oktober bahwa kelompok itu telah mengambil "keputusan tegas " untuk tidak menghadiri pembicaraan.

Pada saat itu, Sabra juga mengatakan SNC akan mundur dari Koalisi Nasional jika memutuskan untuk hadir.

SNC, yang merupakan salah satu anggota paling penting dari oposisi, telah lama mengatakan tidak akan bernegosiasi sampai rezim Presiden Bashar al-Assad digulingkan.

Setelah berbulan-bulan penundaan, telah ditetapkan 22 Januari untuk pembicaraan damai, tetapi keraguan masih ada tentang apakah konferensi akan terus berlangsung.

Pembicaraan awalnya dijadwalkan akan diadakan di kota Jenewa Swiss tetapi telah pindah ke dekat Montreux.

Nashar mengatakan, keputusan itu diambil setelah diadakan banyak pertemuan, termasuk dengan "Sahabat Suriah", kelompok negara-negara yang mendukung oposisi, kata Utusan PBB-Liga Arab Lakhdar Brahimi dan kementerian luar negeri Rusia.

"Seluruh ide Jenewa cacat. Hal ini didasarkan karena menjembatani tuntutan rezim Suriah dan oposisi, dan menempatkan mereka pada pijakan yang sama. Kami menolak hal ini," kata Nashar.

"Tidak ada masyarakat internasional yang menawarkan akan membuat kami merevisi keputusan kami sebelumnya."

SNC telah lama berpandangan tidak perlu ada pembicaraan tanpa jaminan mereka akan menyebabkan jatuhnya Bashar al-Assad .

"Dan pesan yang kita peroleh adalah bahwa apakah Bashar tetap atau mundur akan terserah kepada rakyat Suriah untuk memutuskan. Amerika Serikat mendukung permintaan kami bahwa ia harus jatuh, tetapi Rusia tidak menerima hal ini sebagai prasyarat," kata Nashar..

Anggota parlemen Iran mengatakan, Amerika Serikat gagal menggalang dukungan internasional untuk menyerang Suriah dan menyebut para pejabat AS sangat menyadari fakta bahwa tindakan tersebut akan memasukkan Israel ke dalam lingkaran api.

Wakil Ketua Majlis untuk Komite Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri, Mansour Haqiqatpour pada Rabu mengatakan, Amerika tidak bisa menciptakan konsensus yang diperlukan di dalam rumahnya sendiri atas opsi rencana serangan di Suriah. Dan menurutnya, proposal Rusia kepada Suriah untuk menempatkan senjata kimia di bawah kontrol internasional sangat menguntungkan dan kesempatan untuk mundur secara teratur.

"Amerika menyadari, jika mereka melakukan kesalahan, mereka akan menyandera rezim Israel di wilayah tersebut, dan akan binasa di bawah api front perlawanan dan Suriah," jelasnya.

Haqiqatpour lebih lanjut menyebut, kurangnya dukungan domestik dan internasional mengenai opsi serangan AS di Suriah menunjukkan kegagalan unilateralisme di dunia.

"Aliansi strategis antara Iran, Cina dan Rusia merupakan bentara akhir dunia unipolar dan bergerak menuju satu multipolar," tambahnya.

Sebelumnya, presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan Amerika harus menolak opsi aksi militer terhadap Suriah agar negara itu bisa menerapkan usulan Moskow menempatkan gudang senjata kimianya di bawah pengawasan internasional.

Putin mengusulkan inisiatif untuk meredakan retorika perang Washington terhadap Damaskus.

"Sulit membuat negara manapun--Suriah atau negara lain, pemerintahan lain di dunia--untuk dilucuti secara sepihak saat sebuah serangan tengah dipersiapkan untuk melawannya," tambah Putin.

"Sudah diketahui dengan baik bahwa Suriah memiliki gudang senjata kimia tertentu dan Suriah selalu mempertimbangkannya sebagai alternatif untuk [melawan] senjata nuklir Israel," kata Presiden Rusia itu
Iran harus menyampaikan komitmennya pada Komunike Jenewa untuk bisa ikut dalam konferensi perdamaian mendatang mengenai krisis Suriah pada Januari, kata Gedung Putih, Senin (6/1).

Iran, sekutu utama regional bagi Pemerintah Suriah, telah menyatakan Negara Persia itu siap memainkan peran "konstruktif" dalam Konferensi Jenewa II jika diundang.

Pertemuan tersebut, yang dijadwalkan diadakan pada 22 Januari, bertujuan mengakhiri konflik tiga-tahun di Suriah.

Tujuan Konferensi Jenewa II ialah memajukan prinsip yang diletakkan dalam Komunike Jenewa, kata Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney dalam satu taklimat.

"Tentu saja, anda tak bisa ikut secara konstruktif, jika anda tidak menerima semua prinsip itu dan secara terbuka mengatakan penerimaannya," ia menambahkan sebagaimana dikutip Xinhua

Sekretaris Jenderal PBB Ban K-moon pada Senin mulai mengirim undangan buat pertemuan Jenewa II. Iran tidak termasuk dalam negara babak pertama di dalam daftar tersebut, yang disepakati oleh wakil dari AS dan Rusia bersama pejabat PBB dalam pertemuan yang diselenggarakan pada 20 Desember.

Menurut Marie Harf, wanita Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Menteri Luar Negeri AS John Kerry akan melakukan pembahasan dengan pejabat Rusia dalam upaya memutuskan peran Iran dalam konferensi itu.

Sekalipun Iran tak menghadiri konferensi tersebut pada tingkat yang lebih rendah, Teheran harus memperlihatkan "keinginan dan kesediaan" untuk memainkan peran konstruktif dalam proses itu, kata Harf pada Senin.

Sebuah bom mobil meledak dan menewaskan empat orang di Beirut, Lebanon, Kamis. Insiden di Lebanon punya kaitan erat dengan perang di Suriah antara rezim Bashar al-Assad dengan kubu oposisi.

Presiden Lebanon Michel Sleiman mengatakan pelaku pemboman di Beirut, Kamis (2/1/2014), adalah orang-orang yang sama dengan para teroris, pelaku pembunuhan dan perusakan di seluruh Lebanon.

Sleiman dalam pernyataannya menyerukan solidaritas dan dialog di antara para pemimpin Lebanon yang terpecah-belah. Dia pun memerintahkan aparat keamanan untuk melipatgandakan upaya untuk membawa pelaku peledakan ke pengadilan.

Caretaker Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati mengatakan teroris tak membeda-bedakan sasaran. "Mereka tidak menginginkan stabilitas negara ini. Mereka punya rencana konspirasi keji untuk menenggelamkan Lebanon dalam perselisihan sektarian," ujar dia.
.
Serangan bom di Beirut ini merupakan yang keempat setelah Hizbullah mengumumkan dukungan terhadap rezim Bashar al-Assad di Suriah pada April 2013.

Bom ini meledak tak lebih dari sepekan setelah serangan di pusat kota Beirut yang menewaskan delapan orang, dengan Mohammad Chatah merupakan salah satu korban. Chatah adalah mantan Menteri Keuangan Lebanon yang dikenal sebagai pengritik keras Hizbullah dan rezim Assad di Suriah.

Selain dua serangan tersebut, dua bom lain sebelumnya meledak di Kedutaan Iran. Ledakan pertama pada 15 Agustus 2013 menewaskan 27 orang. Sementara ledakan lain tak memakan korban jiwa meskipun 50-an orang terluka.

Mantan Perdana Menteri Lebanon, Saad Hariri, mengatakan rentetan ledakan di Beirut ini adalah kejahatan. Sehari sebelumnya, Rabu (1/1/2014), Menteri Pertahanan Lebanon Fayez Ghosn mengatakan tentara telah menangkap pelaku yang mengklaim sebagai penyerang kedutaan besar Iran.

Kekerasan di Lebanon akhir-akhir ini merupakan imbas dari konflik horisontal di Suriah, negara tetangga. Perpecahan menyeruak di Lebanon, karena sebagian warga pro-rezim Suriah dan sebagian yang lain mendukung kubu oposisi Suriah.

Isu Suriah sangat sensitif di Lebanon, karena hampir selama tiga dekade Suriah menduduki Lebanon dan pendudukan tersebut baru berakhir pada 2005. Meskipun Suriah sudah menarik mundur pasukannya dari Lebanon tetapi Assad masih memiliki pengaruh kuat di sana melalui para sekutunya.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Jumat (13/12/2013), menyesalkan penggunaan senjata kimia di Suriah dan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang bertanggung jawab atas penggunaan senjata kimia itu. Dunia disebut juga punya tanggung jawab moral soal masih ditemukannya penggunaan senjata kimia.

"Saya menyayangkan dalam istilah terkuat untuk dimungkinkannya penggunaan senjata kimia di Suriah, sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai universal umat manusia," kata Ban.

"Setiap penggunaan senjata kimia oleh siapa pun dalam keadaan apa pun adalah pelanggaran berat atas Protokol 1925 Geneva yang melarang penggunaan senjata kimia dan biologi, serta aturan lain yang relevan sebagai kebiasaan internasional."

Di hadapan Majelis Umum PBB, Ban mengatakan, masyarakat internasional juga harus ikut bertanggung jawab secara moral untuk mencegah kembali digunakannya senjata kimia. Juga, kata dia, untuk memastikan senjata kimia tak akan pernah muncul lagi sebagai alat perang.

Berbicara di depan 193 anggota PBB, Ban memaparkan laporan akhir tim khusus PBB luntuk senjata kimia di Suriah. Laporan yang diserahkan kepada Ban pada Kamis (12/12/2013) tersebut, tim menyimpulkan senjata kimia dipakai di lima dari tujuh lokasi yang diselidiki.

Mandat tim ini memungkinkan mereka menentukan zat kimia yang dipakai di Suriah, tetapi membatasi tim untuk mengidentifikasi penggunanya. Kepala inspektur Ake Sellstrom mengatakan pada konferensi pers bahwa dibutuhkan metode yang lebih luas daripada yang disahkan Majelis Umum PBB untuk dapat menentukan pelaku serangan.

"Saya bisa berspekulasi, tapi saya tidak memiliki informasi untuk disampaikan dalam pengadilan," kata Sellstrom.  Dia mengatakan pula bahwa negara-negara anggota PBB bisa memberikan otorisasi yang lebih tinggi untuk dimulainya penyelidikan forensik baru yang akan menentukan penanggung jawab penggunaan senjata kimia di Suriah.

Kepala Pelucutan Senjata PBB Angela Kane mengatakan kepada wartawan bahwa ada sejumlah permintaan untuk penyelidikan tambahan, terutama untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas penggunaan senjata kimia di Suriah itu.

Sebuah komisi yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah menetapkan bahwa kedua kubu yang bertikai di Suriah sama-sama telah melakukan kejahatan perang keji selama konflik Suriah. Komisi yang berbasis di Geneva itu memiliki daftar rahasia yang diduga berisi nama-nama penjahat perang dari kedua kubu.

Daftar itu disebut disimpan dalam ruang terkunci, dengan kunci yang dipegang Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Navi Pillay. Diperkirakan, daftar itu akan turut menjadi pertimbangan tentang pemikul tanggung jawab atas serangan senjata kimia itu.

Konvensi Senjata Kimia yang melarang pengembangan, produksi, akuisisi, penimbunan, retensi, transfer, maupun penggunaan senjata kimia, diratifikasi oleh 190 negara. Israel dan Myanmar menandatangani konvensi itu tetapi belum meratifikasinya. Sementara itu, Angola, Korea Utara, Mesir, dan Sudan, belum menandatangani maupun meratifikasi konvensi itu.

Ban mengatakan pula bahwa konflik Suriah yang sudah berjalan lebih dari 2,5 tahun memunculkan dampak mendalam bagi stabilitas politik dan ekonomi seluruh kawasan Timur Tengah. Jutaan orang mengungsi dari negara ini dan menjadi tanggungan negara tetangga mereka, baik di Timur Tengah maupun Eropa di tengah konflik yang sudah menewaskan tak kurang dari 100.000 jiwa itu.

Misi khusus PBB untuk senjata kimia di Suriah mendapatkan sejumlah bukti kuat dan bukti yang relevan tentang penggunaan senjata kimia di Suriah.

Dari tujuh lokasi yang diselidiki, lima lokasi dipastikan pernah terpapar penggunaan senjata kimia. Berikut adalah rinciannya.

Dalam laporan yang dirilis pada Kamis (12/12/2013), dinyatakan bahwa misi telah mengumpulkan bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa senjata kimia berskala besar memang dipakai terhadap warga sipil, termasuk anak-anak, dalam serangan ke Ghouta.

"Sejumlah korban (di Ghouta) jelas didiagnosis keracunan organofosfat," tulis laporan itu. "Sampel darah dan urine pasien mendapatkan hasil positif (keracunan gas) sarin dan jejak sarin."

Sebelumnya, laporan awal yang dirilis pada 16 September 2013 menyatakan konfirmasi telah digunakannya senjata kimia dalam skala luas dan penggunaan gas sarin dalam serangan di permukiman penduduk di Ghouta, di dekat Damaskus, pada 21 Agustus 2013 itu.

Bukti yang sama kuatnya, kata laporan yang dirilis Kamis, mendapatkan informasi yang kredibel, yang menguatkan tuduhan bahwa senjata kimia dipakai dalam pertempuran di Khan Al Asal pada 19 Maret 2013.

Sementara untuk Jobar, para pemeriksa mengumpulkan bukti yang konsisten tentang kemungkinan penggunaan senjata kimia meski berskala kecil terhadap tentara Suriah. Serangan ini terjadi pada 24 Agustus 2013.

Meski demikian, laporan ini mengatakan tak bisa mengaitkan hubungan antara para korban, dugaan pelaku, dan lokasi serangan di Jobar.

Adapun dari Saraqueb, misi mengumpulkan bukti yang memperlihatkan senjata kimia digunakan dalam skala kecil, termasuk kepada warga sipil, pada 29 April 2013.

Demikian juga untuk Ashrafiah Sahnaya di dekat Damaskus, pemeriksa menemukan bukti penggunaan senjata kimia skala kecil dalam serangan yang menyasar tentara pada 25 Agustus 2013.

Namun, lagi-lagi di Ashrafiah tak cukup tersedia informasi untuk mengaitkan insiden itu dengan lokasi dan korban. Sampel yang dikumpulkan para peneliti pun adalah pengumpulan sepekan dan sebulan setelah sempat ada pengujian awal menyatakan tak ada penggunaan senjata kimia dalam serangan ini.

Sebaliknya, untuk serangan di Bahhariyeh dan Sheik Maqsood, pada 22 Agustus 2013 dan 13 April 2013, tim PBB tak mendapatkan bukti pendukung untuk penggunaan senjata kimia. Di Bahhariyeh, laporan itu menyebutkan tak ada sampel darah yang positif menunjukkan keracunan zat kimia.

Laporan PBB yang dirilis Kamis (12/12/2013) waktu setempat menyatakan senjata kimia telah dipakai di Suriah, sekurangnya di lima lokasi selama konflik horizontal di negara itu. Laporan juga menyebutkan bahwa anak-anak turut menjadi korban selama konflik itu.

"Misi PBB (untuk senjata kimia di Suriah) menyimpulkan senjata kimia telah digunakan dalam konflik yang sedang berlangsung antara pihak-pihak di Suriah," tulis laporan yang disusun oleh tim ahli pimpinan pakar Swedia, Ake Sellstrom.

Bukti kuat dan bukti konsisten, kata laporan itu, menjadi dasar kesimpulan telah digunakannya senjata kimia di Ghouta, Khan Al Asal, Jobar, Saraqueb, dan Ashrafieh Sahnaya. Namun, laporan itu mengatakan tak ada cukup bukti penggunaan senjata kimia di dua lokasi lain, Bahhariyeh dan Sheik Maqsood.

Meski demikian, laporan itu—seperti halnya laporan lain yang pernah ada—tak menyebutkan kubu yang harus bertanggung jawab atas penggunaan senjata kimia di Suriah. Alasannya, mandat misi dari Dewan Keamanan PBB terkait penggunaan senjata kimia di Suriah tak memberikan kewenangan sampai ke pelaku.

Presiden Suriah Bashar al-Assad mengakui pasukannya memiliki senjata kimia dan telah bersedia menyerahkan senjata mematikan itu ke dalam pengawasan internasional. Namun, Assad membantah keras telah menggunakan senjata itu untuk menargetkan warga sipil.

Tudingan penggunaan senjata kimia dan bahkan menyasar warga sipil oleh rezim Assad datang dari Barat, Arab, oposisi, dan pegiat hak asasi manusia. Sebaliknya, sekutu Assad dari Rusia dan Iran menuding bahwa kubu oposisi yang telah memakai senjata terlarang itu.

No comments:

Post a Comment