!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Monday, April 14, 2014

Suara DPR Terbelah, Pemulihan Ekonomi Terancam

.
Suara DPR Terbelah, Pemulihan Ekonomi Terancam

Terpecahnya suara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah koalisi yang bersumber dari pemilihan umum legislatif pekan lalu meredupkan peluang reformasi secara cepat dan menyeluruh di Indonesia.

Sejumlah hal kunci terancam: terbukanya industri bagi pemodal asing, pelembagaan reformasi tenaga kerja, dan peluang penggelontoran subsidi yang telah lama membuat bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sebagai yang termurah di kawasan.

“Pemerintah selanjutnya akan terbangun dari koalisi yang lemah, seperti sebelumnya,” ujar Bill Sullivan, penasihat hukum sejumlah perusahaan tambang besar. Ini menjadi “kabar buruk bagi sektor pertambangan secara umum serta pemodal asing di sektor pertambangan khususnya.”

Para investor bersikap kritis terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tahun ini mencapai akhir masa jabatan sebagai presiden. Pada masa pemerintahannya, pos-pos penting pemerintahan lebih banyak diisi para politikus dari koalisi enam partai, ketimbang kalangan teknokrat.

More In Ekonomi & Bisnis

Suara DPR Terbelah, Pemulihan Ekonomi Terancam
Freeport Pangkas Karyawan di Grasberg
Memberantas Korupsi Menghambat Ekonomi?
Freeport Pangkas Karyawan Grasberg Papua
Penjualan Soda Tenggelam, Coke Maju Terus
Dewan Perwakilan Rakyat pun menunjukkan gambaran kompleks. Menurut perhitungan cepat suara pemilu legislatif, 10 partai mendapat kursi parlemen. Padahal, hanya sembilan partai yang mendapat jatah pada pemilu sebelumnya. Hasil resmi suara memang baru akan dirilis pada Mei. Namun, di masa lalu, hasil penghitungan cepat terbukti dapat diandalkan.

Sebelum pemilu legislatif berlangsung, muncul perkiraan bahwa Joko Widodo akan ikut mendongkrak perolehan suara partainya. Jika berjalan sesuai rencana, ada harapan dewan legislatif akan bekerja lebih efektif bersama sisi eksekutif. Namun, hasil mengecewakan yang diraih Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) mengharuskannya untuk berkoalisi dengan partai-partai lain untuk dapat mencalonkan Jokowi sebagai presiden.

Meski demikian, Jokowi masih menjadi pesaing serius dalam pemilu presiden Juli nanti. Peluang terjadinya politik dagang sapi pun masih besar, ujar Sullivan.

“Dengan terbelahnya suara [di DPR], mungkin kita kembali ke status quo dengan adanya politik koalisi dan kompromi,” ujar Hak Bin Chua, ekonom Bank of America Merrill Lynch.

Jokowi pada Jumat lalu mengatakan bahwa PDI-P telah menemui partai lain. “Namun, belum ada hasil akhir. Kami mungkin masih harus bertemu tiga atau empat kali lagi,” ujarnya.

Perekonomian Indonesia terhampar di simpang jalan setelah tahun lalu mengalami pelemahan perdagangan global dan penarikan modal oleh investor. Tingkat pertumbuhan Indonesia merosot ke angka di bawah 6% untuk kali pertama sejak 2009. Sementara itu, nilai tukar rupiah anjlok sekitar 26% terhadap dolar AS—level terendah dalam empat tahun terakhir.

Tahun ini, defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan berhasil sedikit menyempit, dibarengi dengan penguatan tipis rupiah dan indeks pasar modal. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan suku bunga acuan BI Rate dan peningkatan harga BBM bersubsidi. Namun, pemulihan ekonomi lebih luas akan sulit dipertahankan dengan adanya persaingan politik.

“Gila. Kita tidak bisa berharap pada DPR,” ujar Poltak Sitanggang, direktur utama perusahaan tambang Mustang Inti Corpora. “Menurut Undang-undang Dasar, Indonesia menganut sistem presidensial. Namun, yang berkuasa justru sistem parlementer.”

Pemerintah mengalami kesulitan besar dalam memberlakukan kebijakan ekonomi konsisten sejak Presiden Yudhoyono mengakhiri masa jabatan pertama pada 2009. Halangan terbesar adalah perseteruan politik yang terjadi di DPR dan pemerintahan koalisi. Pada 2012, contohnya, pemerintah menerapkan pembatasan impor daging sapi demi mendongkrak industri sapi domestik. Tetapi, pemerintah lantas berbalik arah saat harga daging sapi meroket dan membebani konsumen.

Duri pun tertancap pada masalah subsidi bahan bakar minyak. Tahun ini, angka subsidi itu dapat menggelembung hingga $20 miliar dan menyebabkan defisit fiskal hingga 2,5% dari produk domestik bruto, demikian taksiran Bank of America Merrill Lynch. Padahal, proyeksi pemerintah adalah 1,7% dari PDB.

Jika Jokowi terpilih menjadi presiden, seperti yang diperkirakan, PDI-P akan menjadi partai utama pemerintahan. Para petinggi partai itu mengatakan tengah menyusun agenda politik baru. “Kami akan menyambut para investor, baik asing maupun domestik, sejauh mereka memiliki nilai tambah,” ujar Arif Budimanta, seorang petinggi senior partai. Menurutnya, partai akan meninjau kebijakan subsidi bahan bakar. Namun, belum ada rencana untuk memangkasnya. “Jika perekonomian tumbuh dan daya beli naik, subsidi mungkin sudah saatnya dialihkan ke sektor lebih produktif,” seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, ujarnya.

Namun PDI-P maupun para petingginya belum menyingkap lebih jauh ihwal kebijakan ekonominya. Kebanyakan partai politik di Indonesia, termasuk PDI-P, menyerukan perbaikan industri agar naik kelas dengan meninggalkan industri dasar yang bersandar pada buruh murah dan komoditas mentah.

Namun, sejumlah industri terganggu oleh kusutnya pesan dari pemerintah dan lamanya pertimbangan oleh regulator, termasuk dalam sektor keuangan. Pada 2012, bank Singapura, DBS, berencana mengakuisisi Bank Danamon dengan mengajukan tawaran $7 miliar. Namun, rencana tersebut kandas setelah aturan kepemilikan bank mengalami revisi setahun kemudian.

Bagi sektor pertambangan, aturan yang baru-baru ini mengharuskan perusahaan tambang untuk membangun smelter dan mengolah mineral di dalam negeri sempat kabur hingga detik terakhir, menyusul manuver politik. Langkah pemerintah itu mencerminkan upaya untuk memberikan nilai tambah pada industri pertambangan dengan mengakhiri ekspor mineral yang akan diproses di luar negeri.

Selain mengeluhkan aturan baru itu, para investor asing pun menyinggung aturan lain yang membatasi kepemilikan asing pada saham perusahaan tambang lokal.WSJ

No comments:

Post a Comment