!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, April 11, 2014

Tapak Muram Kusta Nusantara

Tapak Muram Kusta Nusantara

Paulus memijat kesepuluh jari-jemarinya. Semuanya menekuk kaku. Matanya berkaca-kaca sambil menatap matahari yang tampak redup di puncak pepohonan. “Ya, bayangkan saja anak tujuh tahun, tidur bersama sapi kala hujan. Tak ada selimut, atau ibu untuk dipeluk.”

Berpuluh-puluh tahun berlalu sejak Paulus meringkuk dalam kandang sapi. Rambutnya mulai memutih. Kerut-merut tampak di sekitar matanya. Ia bukan lagi Paulus kecil. Dirinya, orang-orang di sekitarnya, dan ihwal yang pernah disentuhnya telah berubah.

“Ingatan saya akan masa-masa itu yang tak berubah. Ada di sini. Selalu,” kata Paulus sambil merapatkan kedua tangan di depan dadanya. Ia lalu menunduk, mempermainkan daun-daun kering yang berjatuhan di atas meja kayu.

Paulus adalah mantan penderita kusta. Ia terkena kusta sejak usia tujuh tahun. Paulus ingat bagaimana ia pertama kali menemukan bercak-bercak putih pada kulit tangannya. “Tidak terasa sakit kalau ditusuk. Sempat juga saya oleskan balsam, ternyata tidak terasa panas,” kisah Paulus.

Saat itu tahun 1970. Masyarakat mulai mengenal kusta, tetapi belum memahami seluk-beluknya. Begitu juga orang tua Paulus. Masa awal terkena kusta, Paulus disembunyikan dalam kamar. Ia tak boleh bertemu teman bermain serta keluarga jauh yang sedang berkunjung. Ia berhenti bersekolah. Paulus terputus dari dunia luar.

Suatu pagi, orang tua Paulus membawa anak kelima dari enam bersaudara itu ke sawah milik mereka di Tulungagung, Jawa Timur. Pada satu tepiannya berdiri sebuah gubuk. Paulus tak bertanya apa-apa. Ia seperti sudah tahu, hari seperti ini akan datang.

Seharian itu ia menangis sendirian dalam gubuk. Ketika sore datang dan udara berangsur dingin, Paulus membungkus tubuhnya dengan sarung. Ia merasa kuat tinggal semalaman dalam gubuk. “Tetapi hanya jika malam tak hujan.” Kala petir mulai bergemuruh, ia tak segan mengambil langkah seribu.

Paulus akan keluar dari gubuk, berlari di atas jalanan mendaki yang berlumpur, lalu selekas mungkin membuka pintu kandang sapi. Di dalam kandang terdapat beberapa ekor sapi, jerami serta pelbagai perkakas. Kandang sapi itu dilengkapi papan bambu berundak pada pinggirannya. Di sanalah Paulus tidur saat hujan. Di atas undak-undakan.

“Ah, ya… Kalau ingat itu, rasanya…,” tergagap ia berkata, tanpa melanjutkan.

Indonesia memiliki kasus kusta terbanyak ketiga di dunia. Menurut Catatan Epidemiologi Mingguan yang diterbitkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Agustus 2013, Indonesia melaporkan 18.994 kasus kusta sepanjang 2012. Dari jumlah itu, sebanyak 2.191 kasus baru menimpa anak-anak.

Jumlah kasus kusta di Indonesia memang menurun dari 2011. Namun Indonesia tetap menjadi negara dengan penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil.

Dalam suatu kesempatan, dr. JP Handoko Soewono, spesialis senior RS Kusta dr. Sitanala di Tangerang mengajak Indonesia Real Time memetakan kesamaan tiga negara pada posisi teratas itu. Pada akhirnya, kelokan peta berkesudahan di satu muara: pendapatan per kapita yang rendah.

“Akarnya adalah pendapatan per kapita. Lalu menjalar ke suplai gizi,” kata spesialis senior itu, yang lama mendampingi pasien kusta di Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Berkali-kali ia mengingatkan, kusta tidak menular pada orang-orang dengan kekebalan tubuh yang baik. Kuman Mycobacterium leprae—penyebab kusta—menyerang syaraf, “itu betul.” Namun, bukan Mycobacterium leprae yang menyebabkan mati rasa hingga bagian tubuh menjadi sumbing.

Jika tak segera diobati, fungsi syaraf lama-lama melemah. Penurunan fungsi syaraf mengakibatkan mati rasa. “Seseorang jadi tidak merasakan sakitnya kaki, misal, saat menginjak sesuatu yang tajam,” papar dr. Handoko.

Di RS Kusta dr. Sitanala, luka pasien kusta dirawat secara intensif. Setiap pagi luka mereka dibersihkan, diobati, lalu kembali dibalut supaya tetap bersih dari kuman. Kesembuhan di depan mata.

Namun ketika sembuh, banyak mantan penderita justru tak mau pulang. Mereka memilih tinggal di RS Kusta dr. Sitanala, Tangerang. Mereka enggan pulang, lantaran ditolak teman-teman, tetangga, bahkan keluarga. Semua karena leprophobia.

Ketakutan tak beralasan terhadap keberadaan penderita kusta sudah bertahun-tahun hinggap di Indonesia. Leprophobia, merebak saat spekulasi soal penyakit kusta disebarkan dari mulut ke mulut. Itu pun berdasarkan informasi yang salah.

Stigma menyebar cepat. Morbus Hansen—penderita kusta, dalam bahasa kedokteran—dianggap membawa kutukan. Orang-orang menjadi takut berdekatan dengan penderita kusta. Bukannya diobati, Morbus Hansen justru dikucilkan.

Itulah mengapa WHO tak habis-habisnya mengingatkan warga sedunia—khususnya di kantung kusta—untuk memberantas stigma akan Morbus Hansen. “Kita butuh keterlibatan semua orang untuk mengurangi stigma serta mempromosikan integrasi sosial bagi penderita kusta,” demikian pesan WHO dalam jurnal mingguan edisi Agustus 2013.

Sore itu hujan mengguyur Neglasari, Tangerang. Langit perlahan-lahan berubah menjadi pekat. Paulus dan istrinya, Sisilia Suparti, mulai membereskan warung makan mereka. Paulus merapikan cobek dan ulekan bekas melumat cabai. Sisilia membungkus sisa nasi jualan hari itu untuk dibawa pulang.

Tak ada penerangan di depan warung. Gelap membawa gulita ke sekitarnya.

Paulus sadar, pendapatan mereka seringkali jauh dari harapan. Tapi Paulus tak pernah menyerah. “Saya percaya, Tuhan tak akan membiarkan kami kelaparan.”

Bernaung payung, Paulus dan Sisilia berjalan menjauh, melompati tembok pembatas RS Kusta dr. Sitanala. Menuju rumah.WSJ

No comments:

Post a Comment