Perjalanan yang belum selesai (310)
(Bagian ke tiga ratus sepuluh), Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 11 juli 2015, 23.00 WIB)
Jangan lupakan malam Lailatul Qadr.
Pekan ketiga bulan Ramadhan ini nampak Masjid-masjid
mulai kosong (berkurang jamaahnya). Tidak seperti sepekan pertama malam Bulan
Ramadhan, Masjid-Masjid penuh sesak, bahkan para jemaah menggelar sajadah
(tikar sholat) di pinggir Masjid, bahkan sampai di jalan raya, kini enam hari
lagi Bulan Ramadhan akan berakhir.
Sebagai gantinya, kini mal-mal (super market) di ramaikan
para pengunjung, di jalan-jalan penuh sesak dan jalan bahkan macet akibat
berbondong-bonfong orang berbelanja untuk memribeli pakaian baru dan sarung,
dan peci (topi sholat) baru untuk digunakan sholat Iedul Fitri.
Maraknya mal-mal di Indonesia, terutama di Jakarta,
membuat Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr,Din Syamsuddin berkomentar di
televisi: ‘’Tahun 1991 ketika saya sekolah di Amerika Serikat, saya melihat Mal
dan super market di AS, ketika saya balik lagi ke AS 20 tahun kemudian, tidak
ada perkembangan berarti dari mal-mal dan supermarket di AS, sedangkan di
Indonesia, khususnya di Jakarta, teman orang asing berkomentar pada saya,
Jakarta adalah surganya tempat berbelanja, ribuan mal dan supermarket
berdiri’’.
Melihat fenomena ini Din Syamsuddin mengingatkan agar
Ummat Islam tidak boros dan kalau bisa menggunakan pakaian dan sarung, atau
peci yang masih bagus dan menunda membeli yang baru, lebih baik menyisihkan
uang yang berlebih untuk sadakoh (kegiatan amal) baik untuk orang miskin dan
amal jariah lainnya sebagai tabungan kita di akherat. Apalagi boros itu adalah
temannya iblis.
Din juga mengingatkan agar setiap rumah tangga membuat
rencana anggaran, agar kita mengeluarkan uang sesuai gaji yang kita peroleh.
Selain itu berbagai hadist (sunnah/Al Hikmah) Nabi
Muhammad mengatakan malam Lailatul Qadr terjadi di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan, dan ada lagi Hadist menyebutkan malam ganjil di sepuluh hari terakhir
bulan ramadhan.
Jadi, kenapa kita melupakan kesempatan semingu terakhir
bulan Ramadhan ini untuk bertemu malam Lailatul Qadr siapa tahu akan terjadi
dalam beberapa hari terakhir bulan Ramadhan.
Allah sudah menetapkan tiga taqdir , pertama takdir umum
di dalam kitab:
"Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima
puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no.
2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Kedua Takdir Seumur hidup yang dicatat para Malaikat pada
manusia sejak roh dihembuskan Allah ke dalam janin pada usia empat bulan
sepuluh hari.
Ketiga Takdir tahunan, yang disebut turunnya malam Lailatul
Qadr, Allah sengaja merahasiakan turunnya malam Lailatul Qadr ini agar manusia
beriman berlomba-lomba mencarinya, dengan konsisten beribadah dan berpuasa
sebulan penuh di bulan Ramadhan, selain
sholat wajib, memperbanyak sholat malam (taraweh) banyak membaca Al
Quran, berzikir, tasbih, istighfar serta amal ibadah lainnya seperti banyak
bersadakoh (beramal jariah atas harta/rezeki) yang kita peroleh.
I'TIKAF
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan merupakan Sunnah yang dianjurkan, dengan maksud untuk memperoleh
kebaikan dan mencari Lailatul Qadr.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ
مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍتَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ
الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada
malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan
itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan
Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu
(penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr: 1-5]
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadhan, dan beliau bersabda:
تَحَرُّوْا لَيْلةَ الْقَدَرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ.
“Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam terakhir dari
bulan Ramadhan.” [1]
Juga diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَحَرُّوا لَيْلةَ الْقَدَرِ فيِ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ
مِنْ رَمَضَانَ.
“Carilah Lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari
sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan." [22]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam Lailatul qadr. Diriwayatkan dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa yang shalat malam Lailatul qadar kerena iman
dan mengharap ganjaran-Nya, maka akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu.”
[3]
I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid, berdasarkan
firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“... (Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam masjid...” [Al-Baqarah: 187]
Juga karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
selalu beri'tikaf di dalamnya.
Disunnahkan bagi orang yang i'tikaf untuk menyibukkan
diri dengan segala bentuk ketaatan kepada Allah, seperti shalat, membaca
al-Qur-an, mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, beristighfar,
membaca shalawat atas Rasulullah, berdo'a, menuntut ilmu dan yang lainnya.
Dan dimakruhkan bagi mereka untuk menyibukkan diri dengan
hal-hal yang tidak bermanfaat, baik itu berupa perbuatan atau perkataan. Begitu
juga dengan menahan diri untuk tidak berbicara karena menganggap hal tersebut
sebagai salah bentuk pendekatan diri kepada Allah.
Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk keluar dari
tempatnya karena ada kebutuhan yang mendesak, begitu juga dibolehkan bagi
mereka untuk menyisir dan mencukur rambut, memotong kuku serta membersihkan
badan. I’tikaf seseorang akan batal jika ia keluar dari tempat i’tikafnya tanpa
ada kebutuhan yang mendesak dan juga jika ia melakukan hubungan badan.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Kepada Siapa Puasa Diwajibkan?
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Para ulama telah sepakat bahwa puasa wajib atas seorang
mus-lim yang berakal, baligh, sehat, dan bermukim (tidak musafir), dan bagi
seorang wanita hendaklah ia suci dari haidh dan nifas.[1]
Adapun tentang tidak wajib berpuasa bagi mereka yang
tidak berakal dan belum baligh, maka berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى
يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.
“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila
sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga
ia baligh.”[2]
Sedangkan tentang tidak wajibnya berpuasa atas orang yang
sakit dan musafir, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ
“... Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain...” [Al-Baqa-rah: 185]
Jikalau orang yang sakit dan musafir tersebut tetap
berpuasa, maka hal tersebut telah mencukupinya, karena dibolehkannya mereka
berbuka merupakan suatu bentuk keringanan (rukhsah), dan jika mereka tetap
melaksanakan yang wajib, maka itu adalah baik.
6. Mana Yang Lebih Utama Bagi Mereka, Berbuka Atau Puasa?
Jika orang yang sakit dan musafir tidak mendapatkan
kesulitan dalam berpuasa, maka berpuasa lebih utama, sedangkan jika mereka
menemukan kesulitan dalam berpuasa, maka berbuka lebih utama.
Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu
anhu, dia berkata: “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam di saat bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang
berbuka. Mereka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, begitu pula
sebaliknya yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. Mereka berpandangan, bagi
orang yang memiliki kekuatan, berpuasa untuknya lebih baik. Dan bagi yang
merasa lemah, maka berbuka adalah lebih baik.”[3]
Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa atas wanita yang
sedang haidh dan nifas, maka berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ
نُقْصَانُ دِيْنِهَا.
“Bukankah mereka (para wanita) jika sedang haidh mereka
tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan mereka dari segi agama.” [4]
Jika wanita yang haidh dan nifas tetap berpuasa, maka
puasanya itu tidak mencukupi mereka (tidak sah puasanya), karena salah satu
syarat puasa adalah suci dari haidh dan nifas, dan wajib bagi mereka untuk
mengqadha' puasa tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia
berkata, “Dahulu di saat kami sedang haidh di zaman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan kami tidak
diperintahkan untuk mengqadha' shalat.” [5]
7. Apa Yang Wajib Dilakukan Oleh Lelaki Tua Jompo Dan
Wanita Tua Yang Lemah, Juga Orang Sakit Yang Tidak Ada Harapan Sembuh
Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa dikarenakan lanjut
usia atau yang semisalnya, maka boleh baginya berbuka dan memberi makan seorang
miskin setiap hari dari hari-hari yang ditinggalkannya, berdasarkan firman
Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“...Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin....” [Al-Baqarah: 184]
Diriwayatkan dari ‘Atha', bahwasanya dia mendengar Ibnu
‘Abbas membaca ayat tersebut, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat ini tidak
mansukh (dihapus hukumnya), yang dimaksud adalah lelaki dan wanita yang sudah
lanjut usia, dimana mereka tidak mampu untuk berpuasa, maka mereka memberi
makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang ditinggalannya.” [6]
8. Wanita Hamil Dan Menyusui
Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak
mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila mereka berpuasa, maka
boleh bagi mereka berdua untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk membayar
fidyah tetapi mereka tidak wajib mengqadha’. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyalahu anhuma, bahwasanya dia berkata, “Diberikan keringanan kepada orang
yang sudah tua dan wanita tua yang lemah dalam hal tersebut, sedang keduanya
sanggup berpuasa untuk tidak berpuasa jika mereka mau dan memberi makan orang
miskin setiap hari serta tidak ada kewajiban qadha' atas keduanya. Kemudian
hukum ini dinasakh dengan ayat ini:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu yang hadir di bulan itu
(Rama-dhan), maka hendaklah dia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]
Dan telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita
tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu berpuasa. Juga bagi wanita yang
sedang hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir, maka mereka boleh tidak
berpuasa dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari.”[7]
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma,
dia berkata, “Jika wanita yang sedang hamil khawatir akan dirinya, begitu juga
wanita yang menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan, maka boleh
bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin setiap
hari dari hari-hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka mengqadha'
puasa.”[8]
Dari Nafi’ Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Salah seorang
puteri dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu menjadi isteri salah seorang laki-laki
Quraisy, dan di saat Ramadhan ia sedang hamil, kemudian ia kehausan, maka Ibnu
‘Umar memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap
hari (yang ditinggalkan).” [9]
9. Ukuran Makanan Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu,
bahwasanya dia pernah tidak mampu berpuasa selama setahun (30 hari di bulan
Ramadhan-pent.), maka dia pun membuat bubur satu mangkuk besar dan memanggil 30
orang miskin hingga membuat mereka semua kenyang.[10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
No comments:
Post a Comment