Perjalanan yang belum selesai (311)
(Bagian ke tiga ratus sebelas), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 12 juli 2015,
05.41 WIB)
Lihatlah cara ibadah Muhammad dan para sahabatnya.
Allah dalam firmannya di Al Quran surah;
At Taubah Ayat 100
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha pada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya itulah kemenangan yang besar [QS
At Taubah : 100]
Melalui ayat ini Allah memberitahu manusia dalam menjalankan peintah Allah
selain kita mengikuti perintah Allah di dalam Al Quran kita juga mencontoh cara
ibadah yang dilakukan Nabi Muhammd dan para sahabatnya, dari kaum Mujahirin dan
Anshor yang pertama-tama masuk Islam.
Karena selain Nabi, tentu saja para sahabat di dalam ayat inilah yang
menyaksikan langsung bagaimana Nabi Muhammad melaksanakan perintah Allah di
dalam Al Quran, seperti cara-cara sholat lima waktu, sholat sunnah, berhaji,
umroh, membayar zakat, dan cara-cara ibadah lainnya juga ada beberapa contoh
sikap nabi terhadap mereka yang menganut agama lain, serta dalam menghadapi
berbagai persoalan politik dan ibadah lainnya.
Berbeda dengan Al Quran yang ketika Nabi masih hidup dia sudah perintahkan
para sahabatnya untuk menuliskannya di atas daun kurma, kulit binatang dan di
atas dahan lainnya, dan mulai dibukukan dalam satu kitab lengkap 30 juz pada
masa kekhalifahan Usman Bin Affan yang kini disebut Mushab Usman.
Sedangkan Al-Hikmah (sunnah/hadist) Nabi Muhammad baru dibukukan dan
ditulis para pakar hadist seperti Bukhari, Muslim, Imam Syafei, Imam Malik, Abu
Hanifah dan Imam Hambali dan puluhan perawi hadist lainnya, untuk memilih mana
hadist yang sahih (otentik), hasan (dibenarkan) dan hadist dhoif (palsu/lemah).
Sehingga Ummat Islam dalam menggunakan Hadist sahih ini sebagai pelengkap
dan memperjelas arti isi kandungan Al Quran, seperti cara-cara sholat lima
waktu, prosentase membayar zakat dan cara ibadah lainnya.
SAHABAT DAN TABIIN BERHUJJAH (BERARGUMENTASI) DENGAN FAHAM SALAF DAN MANHAJ
MEREKA
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
[1]. Abdullah bin Mas'ud
Dari Amru bin Salamah beliau berkata : Kami duduk-duduk di depan rumah
Abdullah bin Mas'ud sebelum Dzuhur lalu jika beliau keluar kami akan berjalan
bersamanya ke masjid, lalu datanglah Abu Musa Al-Atsary dan berkata :
"Apakah Abu Abdurrahman telah menemui kalian ?"
Kami jawab : Belum.
Lalu beliau duduk bersama kami sampai Abdullah bin Mas'ud keluar, ketika
beliau keluar kami semua menemuinya kemudian berkata Abu Musa kepadanya :
"Wahai Abu Abdurrahman saya telah melihat di masjid tadi satu hal yang
saya anggap mungkar dan saya tidak memandangnya -Alhamudlillah-kecuali
kebaikan.
Beliau bertanya : "Apa itu ?"
Dijawab : "Jika engkau hidup niscaya akan melihatnya, aku telah
melihat di masjid suatu kaum berhalaqah, duduk-duduk menanti shalat pada setiap
halaqah ada seorang yang memimpin dan ditangan-tangan mereka ada batu kerikil,
lalu berkata (yang memimpin) : "Bertakbirlah seratus kali dan mereka
bertakbir seratus kali dan berkata " "bertasbihlah seratus kali dan
mereka bertasbih seratus kali".
Berkata Abdullah bin Mas'ud : "Apa yang engkau katakan kepada
mereka"
Abu Musa menjawab : "Saya tidak mengatakan sesuatupun pada mereka
menunggu perintahmu.
Berkata Abdullah bin Mas'ud : "Mengapa tidak kamu perintahkan mereka
untuk menghitung kejelekan mereka[1] dan aku menjamin mereka tidak ada kebaikan
mereka yang disia-siakan".
Kemudian beliau berjalan dan kami berjalan bersamanya sampai beliau
mendatangi satu halaqah dari pada halaqah-halaqah tersebut dan menghadap mereka
lalu berkata : "Apa ini yang kalian lakukan ?!"
Mereka menjawab : "Wahai Abu Abdirrahman, batu kerikil yang kami pakai
untuk menghitung tahlil dan tasbih".
Berkata Ibnu Mas'ud : "Dan aku menjamin tidak akan ada satupun
kebaikan kalian yang tersia-siakan, celakalah kalian wahai umat Muhammad, alangkah
cepatnya kebinasaan kalian, mereka sahabat-sahabat nabi masih banyak hidup dan
ini pakaiannya belum rusak dan bejananya belum hancur dan demi dzat yang jiwaku
di tangannya sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari
agama Muhammad atau kalian pembuka pintu kesesatan".
Mereka berkata : "Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak
menginginkan kecuali kebaikan, lalu beliau berkata : "Berapa banyak orang
yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya: Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya ada kaum yang
membaca Al-Qur'an tidak melebihi tenggorokkannya [2] dan demi Allah saya rasa
tampaknya kebanyakan mereka adalah dari kalian.
Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amru bin Salamah berkata : "Aku
telah melihat mayoritas halaqah-halaqah tersebut memerangi kami pada perang
Nahrawan bersama Khawarij" [3]
Disini Abdullah bin Mas'ud telah beragumentasi kepada cikal bakal Khawarij
dengan keberadaaan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diantara mereka
dan mereka tidak melaksanakan pekerjaan tersebut, sebab seandainya hal itu
merupakan kebaikan sebagaimana yang mereka sangka tentu sahabat-sahabat nabi
telah mendahului mereka untuk melakukannya, maka itu merupakan kesesatan. Maka
seandainya manhaj sahabat bukanlah hujjah atas orang setelah mereka maka tentu
mereka berkata kepada Abdullah bin Mas'ud : "Kalian rijal dan kami
rijal".
[2]. Beliaupun berkata :
Barangsiapa yang mencontoh maka contohlah sahabat-sahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang dari umat ini
yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling tidak macam-macam,
paling baik contoh teladannya dan paling bagus keadaannya, mereka adalah suatu
kaum yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menemani NabiNya
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agamaNya, maka akuilah
keutamaan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka karena mereka telah berada
diatas petunjuk yang lurus.
[3]. Abdullah bin Abbas.
Ketika muncul kelompok Haruriyah (Khawarij) [4] mereka memisahkan diri di
suatu perkampungan, mereka berjumlah 6000 orang dan bersepakat untuk menyempal
(memberontak) dari Ali Radhiyallahu anhu. Orang-orang selalu mendatangi Ali
Radhiyallahu 'anhu dan berkata : Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya kaum
tersebut akan memberontak kepadamu. Lalu beliau menjawab : Biarkan mereka
karena saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka memerangi saya dan mereka
akan melakukannya. [5]
Pada suatu hari saya (Ibnu Abbas) mendatanginya sebelum shalat dzuhur dan
aku berkata kepada Ali Radhiyallahu 'anhu : Wahai Amirul Mukminin akhirkan
shalat agar saya dapat mengajak bicara mereka. Beliau berkata : Saya
mengkhawatirkan mereka mencelakai kamu. Saya menjawab : Tidak akan, karena saya
seorang yang berakhlak baik dan tidak pernah menyakiti seorangpun.
Lalu beliau mengizinkan saya, maka saya mengenakan pakaian yang paling
bagus dari pakaian Yaman dan menyisir rambut saya kemudian aku menemui mereka
di perkampungan mereka di tengah hari sedang mereka sedang makan, lalu saya
menemui satu kaum yang saya tidak pernah menemukan kaum yang lebih
bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dari mereka, dahi-dahi mereka hhitam dari
sujud, tangan-tangan mereka kasar seperti kasarnya unta dan mereka mengenakan
gamis-gamis yang murah dan tersingkap serta wajah-wajah mereka pucat menguning.
Lalu saya memberi salam kepada mereka dan mereka menjawab : Selamat datang
wahai Ibnu Abbas pakaian apa yang engkau pakai ini ?!
Saya menjawab : Apa yang kalian cela dariku ? Sunnguh saya telah melihat
Rasululla Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bagus sekali ketika mengenakan
pakaian Yaman, kemudian membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkanNya untuk hamba-hambanNya dan (siapa pulakah yang menharamkan) rezki
yang baik" [Al-A'raaf : 32]
Lalu mereka berkata : Apa maksud kedatangan engkau ?
Saya katakan pada mereka : Saya mendatangi kalian sebagai utusan para
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Muhajirin dan Anshar dan dari
sepupu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menantunya sedangkan Al-Qur'an
turun pada mereka sehingga mereka lebih mengetahui terhadap ta'wilnya dari
kalian dan tidak ada di kalangan kalian seorangpun dari mereka ; sungguh saya
akan menyampaikan kepada kalian apa yang mereka sampaikan dan saya akan
sampaikan kepada mereka apa yang kalian sampaikan.
Lalu berkata sekelompok dari mereka : Janganlah kalian berdebat dengan
orang Quraisy karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar"
[Az-Zukhruf : 58]
Kemudian bangkit kepadaku sebagian dari mereka dan berkata dua atau tiga
orang : Sungguh kami akan mengajak bicara dia. Saya berkata : Silahkan, apa
dendam kalian terhadap para sahabat Rasulullah dan sepupunya ? mereka menjawab
: Tiga.
Saya katakan : Apa itu ?
Mereka mengatakan : Yang pertama karena dia berhukum kepada orang dalam
perkara Allah Subhanahu wa Ta'ala sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah..." [Al-An'am
: 57]
Saya katakan : Ini satu.
Mereka berkata lagi : Yang kedua karena dia berperang dan tidak menawan dan
merampas harta (yang diperangi), kalau mereka kaum kafir maka halal menawannya
dan kalau mereka kaum mu'minin maka tidak boleh menawan mereka dan tidak pula
memerangi mereka [6]
Saya katakan : Ini yang kedua dan apa yang ketiga ?
Mereka berkata : Dia menghapus gelar Amirul Mu'minin dari dirinya, maka
jika dia bukan Amirul Mu'minin, dia Amirul Kafirin.
Saya katakan : Apakah masih ada pada kalian selain ini ?
Mereka menjawab : Ini sudah cukup
Saya katakan kepada mereka : Bagaimana pendapat kalian kalau saya bacakan
kepada kalian bantahan atas pendapat kalian dari Kitabullah dan Sunnah NabiNya
Shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah kalian mau kembali ?
Mereka menjawab : Ya.
Saya katakan : Adapun pendapat kalian bahwa dia (Ali) berhukum kepada orang
(manusia) dalam perkara Allah maka saya bacakan kepada kalian ayat dalam
kitabullah dimana Allah menjadikan hukumnya kepada manusia dalam menentukan
harga 1/4 dirham, lalu Allah memerintahkan mereka untuk berhukum kepadanya. Apa
pendapatmu tentang firman Allah :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil diantara kamu" [Al-Maa'idah : 95]
Dan hukum Allah diserahkan kepada orang (manusia) yang menghukum dalam
perkara tersebut, dan kalau Allah kehendaki maka dia menghukumnya sendiri,
kalau begitu tidak mengapa seseorang berhukum kepada manusia, demi Allah
Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada manusia dalam masalah perdamaian dan
pencegahan pertumpahan darah lebih utama ataukah dalam perkara kelinci ? mereka
menjawab : Tentu hal itu lebih utama. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
tentang seorang wanita dan suaminya.
"Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan" [An-Nisaa' : 35]
Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada manusia dalam
perdamaian dan mencegah pertumpahan darah lebih utama dari berhukum kepada
manusia dalam permasalahan wanita ?! Apakah saya telah menjawab hal itu ?
Mereka berkata : Ya
Saya katakan : Pendapat kalian : "Dia berperang akan tetapi tidak
menawan dan merampas harta perang". Apakah kalian ingin menawan ibu kalian
Aisyah yang kalian menghalalkannya seperti kalian menghalalkan selainnya,
sedangkan beliau adalah ibu kalian ? Jika kalian menjawab : Kami
menghalalkannya seperti kami menghalalkan selainnya maka kalian telah kafir dan
jika kalian menjawab : Dia bukan ibu kami maka kalian telah kafir, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya :Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin
dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka"
[Al-Ahzab : 6]
Maka kalian berada di dua kesesatan, silakan beri jalan keluar ; Apakah
saya telah menjawabnya ?
Mereka berkata : Ya.
Sedangkan masalah dia (Ali Radhiyallahu 'ahu) telah menghapus gelar Amirul
Mukminin dari dirinya, maka saya akan datangkan kepada kalian apa yang membuat
kalian ridha, yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari
perjanjanjian Hudaibiyah berdamai dengan kaum musyrikin, lalu berkata kepada
Ali : Hapuslah wahai Ali (tulisan) Allahumma Inaaka Ta'alam Ani Rasulullah
(wahai Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah) dan
tulislah (kalimat) Hadza ma Shalaha Alaihi Muhammad bin Abdillah (ini adalah
perjanjian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdillah)[7] Demi Allah Subhanahu
wa Ta'ala sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik dari Ali
dan beliau menghapus (gelar kerasulannya) dari dirinya dan tidaklah penghapusan
tersebut berarti penghapusan kenabian dari dirinya. Apakah aku telah menjawbnya
?
Mereka berkata : Ya
Kemudian kembalilah dari mereka dua ribu orang dan sisanya memberontak dan
berperang diatas kesesatan mereka lalu mereka diperangi oleh kaum Muhajirin dan
Anshar.[8]
Disini Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu berargumentasi (berhujjah)
dengan manhaj sahabat dalam menghadapi kaum Khawarij, karena Al-Qur'an turun
kepada mereka, maka mereka adalah orang yang paling mengetahui tafsirnya dan
mereka menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga menjadi orang
yang paling mengikuti jalan beliau. Jawaban Abdullah bin Abbas Radhiyallahu
'anhu terhadap syubhat-syubhat Khawarij dan penjelasan beliau sisi kebenaran
dari kebathilan adalah dalil ilmiyah atas do'a yang telah saya kemukakan dari
pengambilan hujjah (argumentasi) dengan manhaj sahabat.
[4]. Al-Uzaa'iy Rahimahullah berkata : Sabarkan (tetapkan) dirimu diatas
Sunnah, berhentilah dimana kaum (para sahabat) berhenti, katakanlah apa yang
mereka katakan dan diamlah terhadap yang telah mereka diamkan serta berjalanlah
di jala As-Salaf Ash-Shalih, karena mereka mencukupkan kamu apa yang telah
mencukupkan mereka. [9]
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia
Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari,
penerjemah Kholid Syamhudi]
MENGAPA HANYA MANHAJ SALAFI SAJA
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan akan pujian
terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan terhadap orang yang
tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan perkara-perkara yang menguatkan
kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta menegaskan bahwa dia merupakan jalan
keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak
panah kepada orang yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum
mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon
yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.
Pertama
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka
jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]
Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang yang
mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orang-orang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar
) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti oleh orang yang mengikutinya maka
haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan,
dan seandainya mengikuti mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka
maka dia tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.
Kedua
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian
umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam setiap
keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang benderang,
sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan
setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal itu
menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang yang
setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.
Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus untuk
generasi sahabat saja.
Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi obyek
penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil sebagaimana dalil
pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka para sahabat adalah
yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena mereka orang pertama
yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara
(langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan
wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada
selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat
mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan
kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa mereka lebih
pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :
Ketiga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian
generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu
kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan
sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah
ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy
dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul
Mutanatsir hal.127]
Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada pada warna
kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?
Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan
As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur keutamaan
dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada
bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian dan
amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para
sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya sebagai
sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan oleh
orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat pandang
sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala
dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu memilihnya untuk
dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian melihat kepada hati-hati
para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan
hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik para hamba lalu menjadikan mereka
sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di atas agamaNya, maka apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi
Allah Subahanhu wa Ta'ala. [2]
Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.
"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah
kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau
pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di lembaran
ini [3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ? Beliau
menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang muslim
tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih Riwayat Bukhari
1/204 - Al-Fath]
Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah
merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir umat ini, oleh karena
itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala dipermukaan bumi ini, hal
ini dijelaskan berikut.
Keempat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat
Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu"
[Al-Baqarah : 143]
Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat pilihan dan
umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan paling adil
dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak menjadi para
saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka,
mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima
di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan
kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang
yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf :
86]
Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala maka
tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama merupakan hujjah atas
orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah menjelaskan penunjukkan
tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan sifat adil pada satu
generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah
memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan menyeluruh sehingga mereka
mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali.
Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan
sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan
keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia
berjalan di atas jejak para sahabat.
Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat merupakan hujjah
atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah oleh karena
itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini dijelaskan dalam.
Kelima
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku"
[Luqman : 15]
Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah (petunjuk)
untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal" [Az-Zumar : 17-18]
Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah baik Al-Qur'an
ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a mengancam orang yang
tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam seburuk-buruknya tempat
kembali, hal ini dijelaskan.
Keenam
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali" [An-Nisaa : 115]
Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam
orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga menunjukkan bahwa
mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at adalah wajib dan menyelisihinya
adalah kesesatan.
Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab dan
hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah ini
akan dijelaskan dalilnya.
[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada
Umar.
"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]
Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran seperti
yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :
"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada
kalian maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 -
An-Nawawiy]
Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab memahami
dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut, sehingga jika
manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia adalah dalil khithaab
yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.
Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi beliau
jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah
Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya
tersebut.
Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian mengarahkan
pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih (pengarahan) bagian
dari penerimaan.
[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.
"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab
Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu
berkata Hafshah :
"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi
neraka itu" [Maryam : 71]
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa
dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan
berlutut" [Maryam : 72]
Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa semua manusia
akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan
hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang
bertaqwa" [Maryam : 72]
Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui kebenaran
pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata " tidak
masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks kata
"wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan
menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang
bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan
melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain
mereka tidak demikian.
Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang diakui
dan dapat disandarkan dalam pemahaman.
Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min"
[An-Nisaa : 115]
Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi dengan
Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan yang ketiga
antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti selain jalan mereka.
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan mereka
maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.
Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan yang
ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.
Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ; karena
tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain mereka
(orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :
"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan.
Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]
Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang
ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan
orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat) kecuali
dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan kaum
mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.
Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara
tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya
Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]
Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari keduanya
secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum mukminin)
termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu ditinjau dari
hal-hal berikut ;
[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan
secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti penyelamat
yang lainnya.
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam
ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah sia-sia
dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa penghubungannya
(dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri seperti yang awal.
Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman tersebut
berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin secara
mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya petunjuk, karena Allah
menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mensyaratkan
padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan mengikuti selain jalan
kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat
dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.
Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min" [An-Nisaa : 115]
Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya" [An-Nisaa : 115]
Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat bukanlah syarat
bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya untuk menunjukkan
kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut
mendapatkan ancaman tersendiri.
Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.
Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum) penentangan
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak mengetahui
petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikatakan
menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan petunjuk
(kebenaran) itu sendiri.
Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum mukminin,
maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan datangnya kejelasan
petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka ini lantaran sebagai
jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan petunjuk (kebenaran) dan
jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin merupakan
jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama adalah hujjah atas
selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah menghendaki
kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah Jahanam (neraka)
sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah kebenaran maka
berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan
hal itu juga dijelaskan oleh.
Ketujuh
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala
"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka
sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran
: 101]
Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah, karena
Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
penolong".[Al-Hajj :78]
Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah kepada
mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orang-orang yang memberi
petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan kebenaran merupakan satu
kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh karena itu menjadikan mereka
sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang yang bertaqwa ) karena
kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh:
Kedelapan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa".
[Al-Furqan : 74]
Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan ketaqwaan
adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam banyak ayat yang
sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini, sehingga jelaslah kewajiban
mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan meraka merupakan pintu fitnah dan
musibah.
Kesembilan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]
Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu Wa
Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai imam-imam yang
diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran dan keyakinannya,
karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai dengan kesabaran dan
keyakinan.
Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih
berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut karena
mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari umat yang
lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam ini. Hal ini telah
ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah terhadap mereka.
Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari umat ini sehingga kita
diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat mereka serta terikat dengan
pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah secara amalan, akal dan
syariat, wabillahi taufiq.
Kesepuluh
Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :
"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya
bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan berkata ;
Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah shalat
bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai shalat Isya
bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa berkata : kemudian
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu
sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang adalah penjaga langit,
jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah bencana padanya dan saya
adalah penjaga para sahabatku maka jika saya pergi datang kepada mereka apa
yang dijanjikan dan sahabatku adalah penjaga umatku jika telah pergi sahabatku
datanglah kepada umat ku apa yang dijanjikan" [Hadits Riwayat Muslim 16/82
-An-Nawawiy]
Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan dengan
generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada
para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.
Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan kewajiban
mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat
Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi adalah penjelas Al-Qur'an
sedangkan para sahabatnya adalah penyampai dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang maksum yang tidak
berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah,
sedangkan para sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran
dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.
Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan
bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat
dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya
(sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan
itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka
dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan
yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi
(pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang"
[Ash-Shaaffat : 9-10]
Dan firmanNya.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaithan" [Al-Mulk : 5]
Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan
ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan orang yang menyimpang
yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa
nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi
berkelompok-kelompok. Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk
bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan
bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." [An-Nahl : 16]
Dan firmanNya.
"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar
kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut"
[Al-An'am :97]
Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari
kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka
berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam,
seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.
Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-Sunnah dari
kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan ta'wilnya
untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya. Sehingga pemahaman para
sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya
pemahaman mereka bukan hujjah tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi
penjaga dan pelindung mereka dan ini mustahil.
Kesebelas
Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat dan
mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan dalam mencintai
mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan berjalan di atas petunjuk
mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah- sangat banyak, diantara
hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang
dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu mud atau
setengah mudnya shadaqah mereka" [4]
Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat, berdampingan dan
bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi hal itu
karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang demikian besar. Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan
petunjuk dan pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim
menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu jelas
-jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang tersebut
adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka apabila satu mud
sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah dari emas sebesar
gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya mereka dalam Islam, maka tidak
diragukan lagi adanya perbedaan yang besar antara sahabat dengan orang yang
setelah mereka. Kalau keadaannya seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang
yang memiliki akal yang cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan
petunjuk yang membawa kepada jalan yang lebih lurus ?
Keduabelas
Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para
Khulafaur Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah lewat
Takhrijnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh kepada
sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu penjelasannya.
Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin berkata :
Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para Khalifah
Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan pemahaman yang
shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.
Ketigabelas
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensifatkan manhaj
Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok
yang dimenangkan) :
"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku"
[Telah lalu Takhrijnya]
Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau adalah manhaj
yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau manhaj salafi adalah
pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya ?
Jawaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya setelah zaman
Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah dinisbatkan yang terdahulu
kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya, sehingga jelaslah kelompok yang
tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan kesesatan adalah kelompok yang berada
pada asalnya.
Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat Islam yang sesuai
dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari kalangan pengikut
As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.
Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan
tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan
mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho' yang menyatakan :
Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena
persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah kaum
muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan Ali
dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu'awiyah dan tidaklah
berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan mengkafirkan
mereka.
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para
penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit.
Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit
sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah)
langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk
menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.
Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad
setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang
saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat
dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah menyatakan : Semua
orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga,
saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin
Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum Muhajirin
dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya
Al-Kulaniy, hal.115]
Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat
Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan :
Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini kita dapati diri
kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat
jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.
Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan
kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas
kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan
terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.
Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang
berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang
pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka
:
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani
Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab
dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan
mereka ini adalah kaum zindiq.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun
Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan
Istidlal (pengambilan hukum).
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang
beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum
syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya
Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah
apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka
dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia
Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari,
penerjemah Kholid Syamhudi]
MENGAPA HANYA MANHAJ SALAFI SAJA
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan akan pujian
terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan terhadap orang yang
tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan perkara-perkara yang menguatkan
kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta menegaskan bahwa dia merupakan jalan
keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak
panah kepada orang yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum
mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon
yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.
Pertama
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka
jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-Taubah : 100]
Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang yang
mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orang-orang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar
) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti oleh orang yang mengikutinya maka
haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan,
dan seandainya mengikuti mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka
maka dia tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.
Kedua
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian
umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam setiap
keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang benderang,
sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan
setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal itu
menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang yang
setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.
Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus untuk
generasi sahabat saja.
Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi obyek
penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil sebagaimana dalil
pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka para sahabat adalah
yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena mereka orang pertama
yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara
(langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan
wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada
selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat
mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan
kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa mereka lebih
pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :
Ketiga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian
generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu
kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan
sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah
ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy
dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul
Mutanatsir hal.127]
Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada pada warna
kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?
Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan
As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur keutamaan
dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada
bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian dan
amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para
sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya sebagai
sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan oleh
orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat pandang
sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala
dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu memilihnya untuk
dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian melihat kepada
hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik para hamba lalu
menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di atas agamaNya,
maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di sisi Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia adalah
kejelekan di sisi Allah Subahanhu wa Ta'ala. [2]
Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.
"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah
kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau
pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di lembaran
ini [3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ? Beliau
menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang muslim
tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih Riwayat Bukhari
1/204 - Al-Fath]
Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah
merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir umat ini, oleh karena
itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala dipermukaan bumi ini, hal
ini dijelaskan berikut.
Keempat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat
Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu"
[Al-Baqarah : 143]
Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat pilihan dan
umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan paling adil
dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak menjadi para
saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka,
mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima
di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan
kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang
yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf :
86]
Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala maka
tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama merupakan hujjah atas
orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah menjelaskan penunjukkan
tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan sifat adil pada satu
generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah
memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan menyeluruh sehingga mereka
mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali.
Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan
sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan
keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia
berjalan di atas jejak para sahabat.
Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat merupakan hujjah
atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah oleh karena
itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini dijelaskan dalam.
Kelima
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku"
[Luqman : 15]
Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah (petunjuk)
untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal" [Az-Zumar : 17-18]
Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah baik Al-Qur'an
ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a mengancam orang yang
tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam seburuk-buruknya tempat
kembali, hal ini dijelaskan.
Keenam
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali" [An-Nisaa : 115]
Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam
orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga menunjukkan bahwa
mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at adalah wajib dan menyelisihinya
adalah kesesatan.
Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab dan
hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah ini
akan dijelaskan dalilnya.
[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada
Umar.
"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]
Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran seperti
yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :
"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada
kalian maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 -
An-Nawawiy]
Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab memahami
dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut, sehingga jika
manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia adalah dalil khithaab
yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.
Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi beliau
jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah
Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya
tersebut.
Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian mengarahkan
pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih (pengarahan) bagian
dari penerimaan.
[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.
"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab
Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu
berkata Hafshah :
"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi
neraka itu" [Maryam : 71]
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa
dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan
berlutut" [Maryam : 72]
Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa semua manusia
akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan
hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang
bertaqwa" [Maryam : 72]
Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui kebenaran
pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata " tidak
masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks kata
"wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan
menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang
bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan
melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain
mereka tidak demikian.
Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang diakui
dan dapat disandarkan dalam pemahaman.
Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min" [An-Nisaa : 115]
Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi dengan
Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan yang ketiga
antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti selain jalan mereka.
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan mereka
maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.
Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan yang
ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.
Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ; karena
tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain mereka
(orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :
"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan.
Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]
Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang
ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan
orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat) kecuali
dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan kaum
mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.
Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara
tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]
Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari keduanya
secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum mukminin)
termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu ditinjau dari
hal-hal berikut ;
[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan
secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti penyelamat
yang lainnya.
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam
ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah sia-sia
dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa penghubungannya
(dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri seperti yang awal.
Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman tersebut
berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin secara
mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya petunjuk, karena Allah
menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mensyaratkan
padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan mengikuti selain jalan
kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat
dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.
Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min" [An-Nisaa : 115]
Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya" [An-Nisaa : 115]
Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat bukanlah syarat
bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya untuk menunjukkan
kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut
mendapatkan ancaman tersendiri.
Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.
Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum) penentangan
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak mengetahui
petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dikatakan
menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan petunjuk
(kebenaran) itu sendiri.
Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum mukminin,
maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan datangnya kejelasan
petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka ini lantaran sebagai
jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan petunjuk (kebenaran) dan
jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin merupakan
jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama adalah hujjah atas
selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah menghendaki
kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah Jahanam (neraka)
sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah kebenaran maka
berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan
hal itu juga dijelaskan oleh.
Ketujuh
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala
"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka
sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran
: 101]
Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah, karena
Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu,maka
Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong".[Al-Hajj :78]
Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah kepada
mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orang-orang yang memberi
petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan kebenaran merupakan satu
kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh karena itu menjadikan mereka
sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang yang bertaqwa ) karena
kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh:
Kedelapan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa".
[Al-Furqan : 74]
Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan ketaqwaan
adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam banyak ayat yang
sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini, sehingga jelaslah kewajiban
mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan meraka merupakan pintu fitnah dan
musibah.
Kesembilan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]
Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu Wa
Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai imam-imam yang
diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran dan keyakinannya,
karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai dengan kesabaran dan
keyakinan.
Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih
berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut karena
mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari umat yang
lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam ini. Hal ini telah
ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah terhadap mereka.
Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari umat ini sehingga kita
diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat mereka serta terikat dengan
pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah secara amalan, akal dan
syariat, wabillahi taufiq.
Kesepuluh
Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :
"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya
bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan berkata ;
Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah shalat
bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai shalat Isya
bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa berkata : kemudian
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu
sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang adalah penjaga langit,
jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah bencana padanya dan saya
adalah penjaga para sahabatku maka jika saya pergi datang kepada mereka apa
yang dijanjikan dan sahabatku adalah penjaga umatku jika telah pergi sahabatku
datanglah kepada umat ku apa yang dijanjikan" [Hadits Riwayat Muslim 16/82
-An-Nawawiy]
Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan dengan
generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada
para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.
Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan kewajiban
mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat
Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi adalah penjelas Al-Qur'an sedangkan
para sahabatnya adalah penyampai dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang maksum yang tidak
berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah,
sedangkan para sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran
dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.
Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan
bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat
dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya
(sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan
itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka
dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan
yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi
(pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang"
[Ash-Shaaffat : 9-10]
Dan firmanNya.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaithan" [Al-Mulk : 5]
Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan
ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan orang yang menyimpang
yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa
nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi
berkelompok-kelompok. Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk
bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan
bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." [An-Nahl : 16]
Dan firmanNya.
"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar
kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut"
[Al-An'am :97]
Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari
kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka
berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam,
seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.
Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-Sunnah dari
kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan ta'wilnya
untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya. Sehingga pemahaman para
sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya
pemahaman mereka bukan hujjah tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi
penjaga dan pelindung mereka dan ini mustahil.
Kesebelas
Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat dan mencela
orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan dalam mencintai mereka
adalah dengan mencontoh jejak langkah dan berjalan di atas petunjuk mereka
dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah- sangat banyak, diantara
hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang
dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu mud atau
setengah mudnya shadaqah mereka" [4]
Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat, berdampingan dan
bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi hal itu
karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang demikian besar. Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan
petunjuk dan pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim
menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu jelas
-jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang tersebut
adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka apabila satu mud
sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah dari emas sebesar
gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya mereka dalam Islam, maka tidak
diragukan lagi adanya perbedaan yang besar antara sahabat dengan orang yang
setelah mereka. Kalau keadaannya seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang
yang memiliki akal yang cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan
petunjuk yang membawa kepada jalan yang lebih lurus ?
Keduabelas
Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para
Khulafaur Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah lewat
Takhrijnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh kepada
sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu penjelasannya.
Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin berkata :
Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para Khalifah
Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan pemahaman yang
shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.
Ketigabelas
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensifatkan manhaj
Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok
yang dimenangkan) :
"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku"
[Telah lalu Takhrijnya]
Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau adalah manhaj
yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau manhaj salafi adalah
pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya ?
Jawaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya setelah zaman
Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah dinisbatkan yang terdahulu
kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya, sehingga jelaslah kelompok yang
tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan kesesatan adalah kelompok yang berada
pada asalnya.
Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat Islam yang sesuai
dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari kalangan pengikut
As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.
Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan
tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan
mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho' yang menyatakan :
Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena
persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah kaum
muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan
Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu'awiyah dan
tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan
mengkafirkan mereka.
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para
penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit.
Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit
sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah)
langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk
menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.
Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad
setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang
saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat
dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah menyatakan :
Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali
tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad
bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum Muhajirin
dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya
Al-Kulaniy, hal.115]
Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat
Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan :
Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini kita dapati diri
kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat
jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah
menyelisihinya.
Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan
kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas
kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan
terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.
Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang
berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang
pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka
:
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani
Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab
dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan
mereka ini adalah kaum zindiq.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun
Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan
Istidlal (pengambilan hukum).
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang
beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum
syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya
Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah
apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka
dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia
Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari,
penerjemah Kholid Syamhudi]
No comments:
Post a Comment