!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, July 24, 2015

Menuntut Ilmu (belajar) dengan berbagai pendekatan

Perjalanan yang belum selesai (320)

(Bagian ke tiga ratus dua puluh), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 24 juli 2015, 19.50 WIB)

Menuntut Ilmu (belajar) dengan berbagai pendekatan


Tujuan manusia belajar (menuntut ilmu) adalah agar mereka bisa memiliki pengetahuan yang cukup atau terampil baik dalam rangka memperbaiki taraf hidup manusia (gaji yang baik/cukup) atau  agar mengetahui hakekat tujuan hidup manusia sebenarnya (ilmu agama).
Ada beberapa pendekatan manusia mencari ilmu ada pendekatan umum (sekuler) yaitu mencari ilmu pengetahuan ilmiah maupun empiris , maupun ilmu filsafat.
Juga ada pendekatan mencari ilmu melalui pendekatan agama , melalui Al Quran dan Hadist (Sunnah/al-hikmah), sedangkan mempelajari isi Al Quran dan Sunnah juga dilakukan secara ilmiah karena untuk membedakan mana Sunnah yang sahih (otentik), hasan (dibolehkan) atau dhoif (sunnah palsu/ sunnah yang tidak ada asal usulnya).
Dalam prakteknya di Indonesia, seperti ada kebiasaan sebagian umat Islam yang selalu membaca Al Qur-an surah Yasin setiap kamis malam (malam Jumat) mereka mengunakan hadist dhoif (lemah/tidak ada asal usulnya) yang mengatakan bahwa surah Yasin itu jantungnya (ibunya) Al Qur-an.
Kebiasaan lain adalah kebiasaan Tahlilan (baca doa dan baca surat Yasin serta makan-makan) pada hari ke tiga, ke tujuh dan ke 100 hari atu 40 hari atau 1000 hari setelah kematian keluarga yang meninggal.
Padahal sama sekali tidak ada perintah dari Al Quran dan Sunnah mengenai Tahlilal, bahkan empat Imam, Imam Syafei, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Hambali dan Imam lainnya mengutip Al Quran dan Sunnah mengecam dan melarang acara Tahlilan (Kaul) yang sebenarnya mengikuti kebiasaan agama Hindu/animisme.
Jadi dengan pendekatan ilmiah kita dapat mempelajari Al Quran dan Sunnah mana praktek ibadah yang sama dan sesuai yang dipraktekkan Nabi Muhammad dan Para sahabatnya.
Banyak sekali Firman Allah dan Sunnah yang menganjurkan manusia mempelajari ilmu ekonomi (perdagangan) dan ilmu politik,  ilmu astronomi dan ilmu lainnya.
Apalagi Al Quran yang pertama kali diwahyukan (diturunkan) kepada Nabi Muhammad adalah surah Al Alaq,

Al Alaq 1 – 5

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta.” (ayat 1). Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.

Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah.” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).

Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.”

Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ Ammanya menerangkan: “Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.”

“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” (ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.

“Dia yang mengajarkan dengan qalam.” (ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu.” (ayat 5).

Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya:

“Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh.”

Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.

Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.

Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya: “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.”

Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya.

Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.

Allah dalam firmannya di Al Quran memberikan Rahmatnya , diantaranya rezeki harta) hirup udara (oksigen) segar, ikan di laut , hasil kekayaan alam, berupa minyak bumi, gas alam, emas, perak, gandum, dan tanaman ladang /sawah padi, gandum dan jagung kepada seluruh mahluk hidup, baik manusia, maupun binatang, dan Rahmat Allah (rezeki) ini diberikan kepada manusia yang terdiri dari berbagai ragam golongan, suku, etnis, ragam bahasa, maupun ragam warna kulit, baik yang tinggal di sepanjang khatulistiwa maupun mereka yang tinggal di Kutub Selatan, Kutub Utara, Benua Asia, Benua Eropa, Benua Afrika, Benua Australia, Benua Amerika, maupun bangsa-bangsa yang tinggal di samudra Pacific, maupun samudra Hindia.
Juga mereka yang kini menganut agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Shinto, Kong Fu Tse, Zorroaster, animisme, maupun mereka yang tidak beragama Komunis (Atheis).
Porsi rezeki (kekayaan) tergantung dari ikhtiar (usaha) mereka dalam mencari rezeki, apakah memperolehnya dengan bekal ilmu pengetahuan (baik ilmu ilmiah, maupun empiris), maupun ilmu filsafat.
Semakin tinggi ilmunya semakin besar kemungkinan dia memperoleh Harta (gaji).
Bila seorang petani menanam padi/gandum menggunakan ilmu bilologi misalnya dia dapat memilih bibit unggul agar hasil panen pertaniannya lebih produktif.
Ilmu bisa diperoleh dalam dua cara, kalau ilmu dunia, bisa diperoleh dibangku Universitas (sekolah/lembaga kursus) atau guru-guru yang sudah berilmu.
Kalau Ilmu Agama (Islam) Al Quran dan Hadist bisa diperoleh dengan belajar dari kedua orang tuanya, Universitas (sekolah) maupun para Ustad (ulama).
Bedanya kalau Ilmu Dunia, bersifat sekuler, biasanya berupaya mencari kebahagiaan dunia semata.
Sedangkan Ilmu Agama, untuk kebahagiaan bukan hanya dunia tetapi juga akherat, karena dengan ilmu agama (Al Quran dan Hadist) bisa menuntun agar ikmu dunia tidak menyimpang, seperti tidak serakah dalam mencari harta (kekayaan), ada hak fakir miskin dan amal saleh dari sebagian harta yang kita n peroleh, dan ilmu Al Quran juga menuntun umat manusia bahwa kehidupan sesungguhnya itu bukan di dunia (sementara), tetapi di akherat (di surga atau neraka).
Dalam mencari harta kita juga dituntun agar mencari harta yang halal , tidak korupsi, merampok,dan mencuri atau merampas hak orang lain, makan juga harus makan makanan yang halal (kecuali yang diharamkan seperti babi, darah bangkai (kecuali bangkai ikan) dan merorok (mengisap tembakau, fatwa Muhammadiyah Indonesia dan Majelis Ulama Arab Saudi merokok hukumnya haram berdasarkan dalil Al Quran dan Hadist).
Jadi Ilmu Agama menuntun kita agar dengan harta itu kita menggunakannya dengan berkah dan bahagia.
Betapa banyak orang kaya di dunia, artis, penyanyi terkaya di dunia yang justru hidupnya kurang bahagia (stres) hingga mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri menggunakan narkoba atau obat tidur (obat penenang).
Betapa banyak kaum Muslimin dan Muslimat di dunia yang hartanya hanya sedikit (hanya pas-pasan untuk makan dan minum) namun merasa hatinya bahagia, dan hidupnya tenang, kemudahan yang diberikan Allah padanya sudah merupakan harta yang tidak ternilai

Islam Padukan Ilmu Syar'i Dan Dunia

Oleh
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah


Banyak orang yang salah kaprah tentang hakikat ilmu yang shahih, yaitu ilmu yang harus dipelajari dan dicari. Mereka berselisih menjadi dua pendapat, yang saling bersebrangan dan ekstrim. Salah satunya lebih berbahaya daripada yang lainnya.

Pendapat pertama, pendapat yang mengatakan bahwa ilmu yang shahih hanya terbatas pada sebagian ilmu syar’i yang hanya berkaitan dengan perbaikan akidah, akhlak dan ibadah, bukan semua ilmu yang ditunjukkan oleh al-Qur’ân dan as-Sunnah yang mencakup ilmu syar'i dan semua ilmu yang menjadi perantaranya dan ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Pendapat ini bersumber dari mereka yang tidak memahami syari’at dengan benar. Namun, sekarang mulai mencari cara tatkala melihat banyaknya maslahah dan manfaat ilmu pengetahuan tentang alam semesta, juga ketika sebagian besar mereka menyadari adanya petunjuk dari nash-nash agama tentang ilmu tersebut.

Pendapat kedua, pendapat yang membatasi ilmu pada ilmu-ilmu modern saja yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Pendapat ini muncul akibat dari berpalingnya mereka dari agama, ilmu agama dan akhlakya. Ini jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal, dimana mereka menjadikan perantara sebagai tujuan. Mereka menolak ilmu yang shahih dan hakikat yang bermanfaat, jika tidak ditunjukkan oleh ilmu modern sama sekali. Mereka telah tertipu dengan berbagai hasil penemuan-penemuan baru. Merekalah yang dimaksudkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allâh Azza wa Jalla yang selalu mereka perolok-olokkan itu. [al-Ghâfir/40:83]

Mereka bangga dengan ilmu mereka, menyombongkan diri serta melecehkan ilmu para Rasul. Akibatnya, mereka ditimpa adzab yang mereka perolok-olokan dan ancaman yang diberikan kepada para pendusta rasul-rasul Allâh Azza wa Jalla . Mereka disiksa di dunia dengan ditutupnya hati, mata dan pendengaran mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat kebenaran.

وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَىٰ

Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. [Thaha/20:127]

وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَاقٍ

Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allâh Subhanahu wa Ta’ala. [Ghâfir/40:21]

ILMU YANG BERMANFAAT DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH
Hakikat dan yang maksud dengan ilmu yang bermanfaat dalam al-Qur’ân dan as-Sunnah yaitu semua ilmu yang menghantarkan kepada tujuan yang mulia, yang membuahkan perkara-perkara bermanfaat, tidak ada beda antara ilmu yang berkaitan dengan dunia maupun yang berkaitan dengan akhirat. Jadi, semua yang membimbing manusia kepada jalan yang benar, bisa memperbaiki akidah dan meningkat akhlak dan amalan, maka itu adalah ilmu.

Ilmu terbagi menjadi dua : Tujuan dan sarana (perantara) yang bisa mengantarkan kepada tujuan.

Tujuan adalah semua ilmu yang memperbaiki agama, sedangkan sarana adalah semua ilmu yang mendukung tujuan seperti ilmu-ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk ilmu pengetahuan tentang alam semesta yang membuahkan ma'rifatullâh (pengetahuan tentang Allâh Azza wa Jalla), pengetahuan tentang keesaan-Nya serta kesempurnaan-Nya, juga membuahkan pengetahuan tentang benarnya para Rasul-Nya. Buah lainnya adalah dapat membantu dalam beribadah dan bersyukur kepada Allâh l , serta membantu dalam penegakan agama. Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menundukkan alam semesta ini untuk kita dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berfikir dan berusaha menggali hal-hal yang bermanfaat, baik beragama maupun bermanfaat dalam kehidupan dunia. Dan perintah terhadap sesuatu berarti perintah untuk melaksanakan apa yang menjadi obyek perintah tersebut serta perintah juga untuk melaksanakan segala yang menjadi perantara dan penyempurna penunaian perintah.

Ini mendorong kita untuk mengetahui ilmu pengetahuan alam yang bisa digunakan untuk menggali manfaat dari segala yang telah Allâh Azza wa Jalla tundukkan untuk kita. Karena manfaat dan hasil tidak akan bisa dicapai tanpa usaha, berfikir dan melakukan penelitian. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ

Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, [al-Hadîd/57:25]

Manfaat ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui ilmu-ilmu terkait sehingga hasilnya maksimal.

Banyak sekali nash dalam al-Qur’ân dan as-Sunnah yang memuji ilmu dan memuji para ahli ilmunya serta keharusan untuk lebih mengutamakan ahli ilmu daripada yang lainnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? [Az-Zumar/39:9]

Merekalah orang-orang yang takut kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengetahui-Nya

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh Azza wa Jalla di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. [Fâthir/35:28]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan orang yang tidak mengetahui untuk bertanya kepada ahli ilmu.

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan banyak jenis ibadah dan melarang dari segala yang haram. Perintah dan larangan tidak mungkin dilakukan kecuali setelah memiliki ilmu dan mengetahuinya. Jadi perintah dan larangan itu menunjukkan wajibnya mempelajari segala yang berhubungan dengan perintah dan larangan itu sendiri. Sebagaimana juga Allâh Azza wa Jalla membolehkan sebagian mu'âmalat (segala yang terkait dengan intraksi antar sesama manusia) dan mengharamkan sebagian yang lain. Untuk melaksanakannya berarti kita harus bisa membedakan antara mu'amalah yang diperbolehkan dan yang tidak perbolehkan. Klasifikasi seperti ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu. Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang yang tidak mengetahui batasan-batasan yang telah Allâh Azza wa Jalla turunkan kepada para rasulnya dalam al-Kitab dan as-Sunnah.

Di antara perintah Allâh l adalah perintah berjihad dalam banyak ayat, dan perintah untuk mempersiapkan kekuatan yang bisa dilakukan untuk menghadapi musuh serta berhati-hati dari mereka. Perintah-perintah ini tidak akan bisa direalisasikan kecuali dengan mempelajari ilmu tehnik berperang dan pembuatan senjata.

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan untuk mempelajari ilmu perdagangan dan ilmu perekonomian, bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menguji anak-anak yatim yang masih kecil dengannya agar mereka tahu ilmu dagang dan bisa bekerja sebelum diserahi harta benda milik mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka. [an-Nisâ/4:6]

Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla tidak memerintahkan untuk menyerahkan harta mereka sampai diketahui bahwa mereka memiliki pengetahuan tentang cara pengelolaan harta dan mengetahui ilmu perdagangan.

Syariat yang sempurna ini memerintahkan kita untuk mempelajari segala jenis ilmu yang bermanfaat; mulai dari ilmu Tauhîd, Usûluddîn, ilmu Fikih dan hukum, ilmu-ilmu bahasa arab, ilmu perekonomian dan politik, serta ilmu-ilmu yang bisa untuk memperbaiki keadaan pribadi dan masyarakat.

Tidak ada ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat kecuali telah diperintahkan dan dianjurkan oleh syariat ini. Sehingga dengan demikian, terkumpullah di dalam agama ini ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan alam. Bahkan ilmu-ilmu dunia yang bermanfaat bisa dimasukkan menjadi bagian dari ilmu agama.

Adapun orang-orang yang berlebihan, mereka menjadikan ilmu itu terbatas pada sebagian ilmu agama saja. Sungguh mereka telah jatuh dalam kesalahan yang fatal.

Sebaliknya yang beraliran materialis, mereka memandang bahwa ilmu yang benar hanya terbatas pada ilmu pengetahuan alam. Mereka mengingkari ilmu-ilmu lainnya, mereka menyimpang sehingga agama dan akhlak mereka rusak. Buah dari ilmu mereka hanya produk-produk yang gersang, tidak bisa menyucikan akal dan ruh mereka, juga tidak memperbaiki akhlak. Ilmu mereka lebih banyak mendatang mudharat daripada manfaatnya. Mereka hanya mendapatkan manfaat dari sisi peningkatan produk dan penemuan baru saja, namun mereka mendapatkan celaka dari dua sisi:

Pertama, ilmu-ilmu akan menjadi bencana terbesar bagi mereka dan bagi umat manusia, karena ilmu-ilmu itu hanya mendatangkan kebinasaan, peperangan dan kehancuran.

Kedua, dengan ilmu yang mereka miliki, mereka akan menjadi bangga dan sombong sehingga mereka berani melecehkan ilmu para Rasul dan perkara-perkara agama.

إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ ۙ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ ۚ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allâh tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allâh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [Ghâfir/40:56]

فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allâh Azza wa Jalla yang selalu mereka perolok-olokkan itu. [al-Ghâfir/40: 83]

Dengan uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa ilmu yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat adalah ilmu-ilmu yang bersumber dari kitab Allâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasûlullâh n yang mencakup semu jenis ilmu yang bermanfaat, tidak ada beda antara ilmu inti dan ilmu cabang, tidak pula ilmu agama dan ilmu dunia semunya sama. Sebagaimana akidah Islam mencakup kewajiban beriman kepada semua kebenaran, beriman kepada semua kitab yang Allâh Azza wa Jalla turunkan, dan semua Rasul yang Allâh Azza wa Jalla utus. Walhamdulillâh

(Diangakat dari kitab ad-Din as-Shahih Yahullu Jami'a al-Masyakil)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]












No comments:

Post a Comment