Perjalanan yang belum selesai (312)
(Bagian ke tiga ratus dua belas), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 12 juli
2015, 19.59.00 WIB)
Merayakan Iedul Fitri di Kampung.
Dewasa ini 4 hari menjelang Hari Raya Iedul Fitri yang akan jatuh pada hari
Jumat, 17 Juli 2015, suasana Bandara udara, pelabuhan laut dan terminal bis dan
stasiun kereta api sudah mulai dibanjiri para pemudik (mereka yang merayakan
iedul Fitri di kampung kelahiran), bersama kedua orang tua mereka, kakek, nenek
atau saudara kerabat lainnya, serta meramaikan tanah lapang dan masjid-masjid
di Kampung halaman mereka untuk sholat iedul Fitri berjamaah, serta membayar
zakat baik zakat fitrah maupun zakat harta di kampung atau di desa-desa tempat
kelahiran.
Ada jutaan warga Jakarta, Bogor, Depok dan Tengerang serta warga Bekasi
yang merencanakan pulang kampung di kampung atau desa-desa di Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Riau, Bangka –Belitung, pulau Maluku
dan sampai di Papua.
Dari sisi agama (Allah), ini adalah hal positif, karena mereka melakukan
silaturahim kepada kedua orang tua maupun kerabat yang bertahun-tahun lama
tidak berjumpa.
Kedua, dari segi distribusi kekayaan (rezeki), turut memberikan dan
meningkatkan daya beli dan peningkatan pendapatan penduduk desa, dan
kampung-kampung yang terpencil, karena dari sisi pembayaran zakat, dananya
dapat digunakan untuk kepentingan penduduk miskin di desa, sehingga sedikit
memindahkan sebagian rezeki dari kota ke desa, dari sisi Allah yang mengeluakan
zakat akan memperoleh pahala dari Allah.
Karana terjadi keberangkatan pemudik secara serentak, biasanya jalan-jalan
raya termasuk jalan toll (terutama di Jawa) akan terjadi kemacetan total, jarak
tempuh pemudik yang menggunakan kendaraan roda empat dari Jakarta menuju
Yogyakarta yang biasanya ditempuh selama 12 jam, pada saat musim mudik Lebaran
(iedul Fitri) ini bisa ditempuh dalam waktu 2 x 24 jam, artinya pemudik bisa
sampai dua hari dua malam kemudian.
Karena perjalanan para pemudik masih berlangsung pada hari-hari terakhir
bulan Ramadhan, maka saya meningatkan bahwa bisa saja malam terakhir bulan
Ramadhan ini terjadi turunnya malam Lai Latul Qadr, karena Allah hanya memberi
tahu kepada Nabi Muhammad bahwa malam Lailatul Qadr terjadi pada 10 hari
terakhir bulan Ramadhan.
Oleh sebab itu bagi para pemudik, jangan lupakan kewajiban selain berpuasa,
juga tetap menjaga sholat wajib lima waktu.
Kalau tidak memungkinkan sholat di Masjid atau Musholla yang terdapat di
desa-desa yang dilalui pemudik, dan kalau keadaan traffic jam, maka sholat bisa
dilakukan sambil duduk di kendaraan dan bertayammum, bila keadaan darurat
terjadi.
Dan jangan lupa kita manfaatkan puluhan jam yang kita lalui di Jalan untuk
banyak berzikir dan beristighfar kepada Allah selain membaca surah Al Ikhlas
(10 kali usai sholat atau usai berzikir dan istighfar).
Karena Nabi Muhammad bersabda membaca surah Al Ikhlas 10 kali pahalanya
setara membaca 2/3 Al Quran.
Dan jangan lupa sebelum pulang kampung kita berdoa meminta kepada Allah
agar diberikan keselamatan dan kesehatan
dalam perjalanan
Nabi Muhammad dalam hadistnya bersabda malam Lailatul Qadr terjadi di
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan ada lagi Hadist menyebutkan malam
ganjil di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan.
Jadi, jangan melupakan kesempatan empat hari terakhir bulan Ramadhan ini
untuk bertemu malam Lailatul Qadr siapa tahu akan terjadi dalam beberapa hari
terakhir bulan Ramadhan.
Allah sudah menetapkan tiga taqdir , pertama takdir umum di dalam kitab:
"Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu
tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS.
Al-Hadid : 22).
Kedua Takdir Seumur hidup yang dicatat para Malaikat pada manusia sejak roh
dihembuskan Allah ke dalam janin bayi dalam kandungan pada usia empat bulan
sepuluh hari.
Ketiga Takdir tahunan, yang disebut turunnya malam Lailatul Qadr, Allah
sengaja merahasiakan turunnya malam Lailatul Qadr ini agar manusia beriman
berlomba-lomba mencarinya, dengan konsisten beribadah dan berpuasa sebulan
penuh di bulan Ramadhan, selain sholat wajib, memperbanyak sholat malam
(taraweh) banyak membaca Al Quran, berzikir, tasbih, istighfar serta amal ibadah
lainnya seperti banyak bersadakoh (beramal jariah atas harta/rezeki) yang kita
peroleh.
I'TIKAF
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan merupakan
Sunnah yang dianjurkan, dengan maksud untuk memperoleh kebaikan dan mencari
Lailatul Qadr.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ
الْقَدْرِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍتَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ
مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik
dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril
dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr: 1-5]
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir
di bulan Ramadhan, dan beliau bersabda:
تَحَرُّوْا لَيْلةَ الْقَدَرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.
“Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”
[1]
Juga diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَحَرُّوا لَيْلةَ الْقَدَرِ فيِ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ.
“Carilah Lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir
di bulan Ramadhan." [22]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk
menghidupkan malam Lailatul qadr. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa yang shalat malam Lailatul qadar kerena iman dan mengharap
ganjaran-Nya, maka akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu.” [3]
I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid, berdasarkan firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“... (Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf
dalam masjid...” [Al-Baqarah: 187]
Juga karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu beri'tikaf di
dalamnya.
Disunnahkan bagi orang yang i'tikaf untuk menyibukkan diri dengan segala
bentuk ketaatan kepada Allah, seperti shalat, membaca al-Qur-an, mengucapkan
tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, beristighfar, membaca shalawat atas
Rasulullah, berdo'a, menuntut ilmu dan yang lainnya.
Dan dimakruhkan bagi mereka untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang
tidak bermanfaat, baik itu berupa perbuatan atau perkataan. Begitu juga dengan
menahan diri untuk tidak berbicara karena menganggap hal tersebut sebagai salah
bentuk pendekatan diri kepada Allah.
Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk keluar dari tempatnya karena
ada kebutuhan yang mendesak, begitu juga dibolehkan bagi mereka untuk menyisir
dan mencukur rambut, memotong kuku serta membersihkan badan. I’tikaf seseorang
akan batal jika ia keluar dari tempat i’tikafnya tanpa ada kebutuhan yang
mendesak dan juga jika ia melakukan hubungan badan.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap,
Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir,
Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Kepada Siapa Puasa Diwajibkan?
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Para ulama telah sepakat bahwa puasa wajib atas seorang muslim yang
berakal, baligh, sehat, dan bermukim (tidak musafir), dan bagi seorang wanita
hendaklah ia suci dari haidh dan nifas.[1]
Adapun tentang tidak wajib berpuasa bagi mereka yang tidak berakal dan
belum baligh, maka berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ
النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.
“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar,
dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.”[2]
Sedangkan tentang tidak wajibnya berpuasa atas orang yang sakit dan
musafir, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“... Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain...” [Al-Baqa-rah: 185]
Jikalau orang yang sakit dan musafir tersebut tetap berpuasa, maka hal
tersebut telah mencukupinya, karena dibolehkannya mereka berbuka merupakan
suatu bentuk keringanan (rukhsah), dan jika mereka tetap melaksanakan yang
wajib, maka itu adalah baik.
6. Mana Yang Lebih Utama Bagi Mereka, Berbuka Atau Puasa?
Jika orang yang sakit dan musafir tidak mendapatkan kesulitan dalam
berpuasa, maka berpuasa lebih utama, sedangkan jika mereka menemukan kesulitan
dalam berpuasa, maka berbuka lebih utama.
Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di saat
bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Mereka
yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, begitu pula sebaliknya yang berbuka
tidak mencela yang berpuasa. Mereka berpandangan, bagi orang yang memiliki
kekuatan, berpuasa untuknya lebih baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka
berbuka adalah lebih baik.”[3]
Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa atas wanita yang sedang haidh dan
nifas, maka berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ
دِيْنِهَا.
“Bukankah mereka (para wanita) jika sedang haidh mereka tidak shalat dan
tidak berpuasa? Itulah kekurangan mereka dari segi agama.” [4]
Jika wanita yang haidh dan nifas tetap berpuasa, maka puasanya itu tidak
mencukupi mereka (tidak sah puasanya), karena salah satu syarat puasa adalah
suci dari haidh dan nifas, dan wajib bagi mereka untuk mengqadha' puasa
tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Dahulu di saat
kami sedang haidh di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami
diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan kami tidak diperintahkan untuk
mengqadha' shalat.” [5]
7. Apa Yang Wajib Dilakukan Oleh Lelaki Tua Jompo Dan Wanita Tua Yang
Lemah, Juga Orang Sakit Yang Tidak Ada Harapan Sembuh
Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa dikarenakan lanjut usia atau yang
semisalnya, maka boleh baginya berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap
hari dari hari-hari yang ditinggalkannya, berdasarkan firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“...Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin....”
[Al-Baqarah: 184]
Diriwayatkan dari ‘Atha', bahwasanya dia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat
tersebut, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat ini tidak mansukh (dihapus
hukumnya), yang dimaksud adalah lelaki dan wanita yang sudah lanjut usia,
dimana mereka tidak mampu untuk berpuasa, maka mereka memberi makan orang
miskin setiap hari dari hari-hari yang ditinggalannya.” [6]
8. Wanita Hamil Dan Menyusui
Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak mampu untuk
berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila mereka berpuasa, maka boleh bagi
mereka berdua untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah tetapi
mereka tidak wajib mengqadha’. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyalahu
anhuma, bahwasanya dia berkata, “Diberikan keringanan kepada orang yang sudah
tua dan wanita tua yang lemah dalam hal tersebut, sedang keduanya sanggup
berpuasa untuk tidak berpuasa jika mereka mau dan memberi makan orang miskin
setiap hari serta tidak ada kewajiban qadha' atas keduanya. Kemudian hukum ini
dinasakh dengan ayat ini:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu yang hadir di bulan itu (Rama-dhan), maka
hendaklah dia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]
Dan telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah,
jika keduanya tidak mampu berpuasa. Juga bagi wanita yang sedang hamil dan
menyusui, jika keduanya khawatir, maka mereka boleh tidak berpuasa dan harus
memberi makan seorang miskin setiap hari.”[7]
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Jika
wanita yang sedang hamil khawatir akan dirinya, begitu juga wanita yang
menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan, maka boleh bagi mereka
berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin setiap hari dari
hari-hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka mengqadha' puasa.”[8]
Dari Nafi’ Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Salah seorang puteri dari Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhu menjadi isteri salah seorang laki-laki Quraisy, dan di
saat Ramadhan ia sedang hamil, kemudian ia kehausan, maka Ibnu ‘Umar
memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari
(yang ditinggalkan).” [9]
9. Ukuran Makanan Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia pernah
tidak mampu berpuasa selama setahun (30 hari di bulan Ramadhan-pent.), maka dia
pun membuat bubur satu mangkuk besar dan memanggil 30 orang miskin hingga
membuat mereka semua kenyang.[10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
No comments:
Post a Comment