Perjalanan yang belum selesai (307)
(Bagian ke tiga ratus tujuh), Depok, Jawa Barat, Indonesia,
07 juli 2015, 19.59. WIB)
Nikahi hanya satu perempuan kalau kamu takut tidak bisa
adil
Banyak sekali lelaki di Indonesia yang memiliki harta
melimpah sedikit saja, lantas tidak mampu mengekang hawa nafsu syahwatnya
dengan menikahi wanita lain (istri kedua/poligami).
Ketika bisnisnya lagi lancar, mungkin tidak jadi masalah,
dia bisa menutupi perbuatannya dengan menikahi wanita lain (nikah siri) secara
diam-diam.i
Setiap hari selalu pulang malam atau tidak pulang ke
rumah, dengan alasan lagi ada rapat di luar kota, atau ada bisnis. Namun ketika
bisnis lagi macet, atau bangkrut, dan selingkuhannya (istri simpanannya) mulai
ketahuan), mulai terjadi pertengkaran dengan istri pertama dan dengan anak-anak
dari istri pertama, pertama soal pasokan nafkah harta yang mulai seret, kedua
istri pertama yang cemburu dan tidak bisa menerima suaminya memiliki istri lagi
(poligami), mulailah pernikahan mereka diiringi dengan pertentangan dan
percecokan bahkan tuntutn cerai dari istri pertama, kalau sudah begini, bagai
buah simalakama, bercerai dengan istri kedua (muda), berarti akan menzolimi
anak-anak dan istri kedua yang ditinggalkan, dan tetap mempertahankan kedua
istri perang dingin selalu terjadi di rumah tangga.
Kalau sudah begini sulit bagi suami akan berlaku adil
terhadap kedua istrinya, padahal Nabi Muhammad dalam sabdanya mengatakan suami
yang tidak adil terhadap istri-istrinya akan berjalan miring bagai orang yang
terkena stroke di akherat.
Wahai para lelaki dn calon suami, salah satu tugas iblis,
adalah mencerai beraikan pasangan suami istri, dan nampak bagi lelaki perempuan
lain (selain istrinya) baik ditemuinya di kantor, di mall, di jalan,bagai
bidadari cantik melebihi kecantikan istrinya. Ini adalah tipu daya iblis, agar
kita terpikat dengan wanita yang kita lihat itu, agar kita menjadi pengikut
iblis, agar kita mendekati dan hanya mengikuti syahwat seks kita yang
menjerumuskan. Hati-hatilah tipu daya iblis, karena kata Allah, Iblis adalah
musuh nomer satu manusia yang nyata.
Sekarang kenapa kebanyakan nabi dan rasul memiliki lebih
dari satu istri, Nabi dan Rasul adalah maksum, yang dijaga langsung oleh Allah
dari perbuatan dosa, dan selalu bisa berbuat adil.
Hidayatullah.com
dalam tulisannya bercerita, suatu ketika seorang Syeikh, di salah satu negara
yang pemerintahnya melarang poligami, menikah untuk kedua kalinya. Kabar
pernikahannya pun terendus oleh intelijen negara itu. Di malam hari ketika Sang
Syeikh itu menginap di rumah isteri keduanya, ia digrebek oleh sekelompok orang
anggota intelijen. Ia pun diintrogasi dengan kasar.
“Mengapa Anda menikah lagi?” Dengan tenang Syeikh itu membela
diri. “Dari mana Anda tahu kalau perempuan ini adalah isteri saya. Perempuan
ini adalah simpanan saya.”
Akhirnya para intel itu mohon maaf atas tindakan lancang mereka.
Dunia seakan terbalik. Orang yang menikah baik-baik hendak ditangkap, tetapi
ketika alasan berduaan dengan pasangan kumpul kebo, justru dihormati. Dengan
kata lain, orang berzina di luar nikah di lindungi dan dihormati, sementara
yang menikah baik-baik dianggap melanggar Undang-undang.
Di negara kita, pembicaraan tentang poligami selalu hangat di
dengar, terutama setelah dai kondang KH Abdullah Gymnastiar menikah dengan
istri keduanya. Mereka yang menolak hukum poligami pun berusaha mencari
justifikasi dari al-Quran dan Hadits yang mendukung sikap anti mereka. Biasanya
mereka berdalil dengan ayat 3 surat An-Nisa’, bahwa seorang laki-laki boleh
berpoligami jika mampu beruat adil.
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن
تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Tetapi ayat 129 surat yang sama menjelaskan siapapun tak akan
mampu berlaku adil di antara istri-istrinya. Ini artinya, poligami sebenarnya
tidak dibolehkan, karena kebolehan itu tergantung pada syarat “adil” yang
mustahil direalisasikan.
Jika kita mengkaji penjelasan para ulama seputar kedua ayat di
atas, tidak ada kontradiksi samasekali antara keduanya. Karena adil yang
dimaksudkan pada ayat 3, bukan adil yang dimaksud oleh ayat 129. Memang, penggalan
pertama ayat 129 berbunyi: “Dan sekali-kali kamu tidak akan bisa berbuat adil
di antara para isteri kamu walaupun kamu sangat menginginkan hal itu…” Tetapi
ketika kita lanjut membaca, maka ada penggalan berikutnya yang berbunyi, ”…Maka
janganlah kamu terlalu condong (terhadap istri yang lebih kamu cintai) sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung….”
Jelas bahwa mafhûm mukhâlafah (makna sebaliknya) dari penggalan
kedua di atas ialah: “Berbuat adillah engkau di antara mereka agar mereka tidak
terkatung-katung”, karena lawan dari “Jangan terlalu condong (jangan berat
sebelah)” adalah “Berlaku luruslah (berlaku adillah)”.
Jika demikian, jelas bahwa makna “adil” pada penggalan pertama,
bukan makna “adil” pada penggalan kedua. Sebab jika diartikan sama, tentu akan
menimbulkan makna kontradiktif, karena ayatnya akan berbunyi: “Dan kamu
sekali-kali tidak akan bisa berkalu adil terhadap isteri-isterimu, walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, maka berlaku adillah…!”
Sudah dijelaskan bahwa tidak ada orang yang bisa berlaku adil,
lantas mengapa diperintah berbuat adil? Itu namanya membebani manusia dengan
sesuatu yang tak mampu ia lakukan, padahal Allah Subhanahu Wata’ala berfirman
dalam surat Al-Baqarah ayat 284; “Allah tidak membebani seseorang dengan
sesuatu yang tidak mampu ia laksanakan”.
Jadi adil dalam frase pertama berarti adil dalam urusan hati
(seperti rasa cinta yang lebih kepada isteri yang lain). Adil dalam hal inilah
yang tak mampu dilakukan oleh manusia, sehingga mereka tak diperintahkan untuk
berlaku adil dalam hal ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam sendiri
bersabda: “Ya Allah inilah pembagianku dalam apa yang aku punyai (mampu
melakukannya, yaitu urusan nafkah dan menginap) dan janganlah mencelaku pada
apa yang Engkau punya dan tidak aku punya (urusan hati).” [HR. Abu Dawud]
Jadi arti “Janganlah berlaku condong (berbuat adillah)..” pada
penggalan ayat kedua berarti adil dalam muamalah (seperti pemberian nafkah,
giliran menginap, penyediaan fasilitas, pendidikan anak dsb). Adil dalam hal
inilah yang mampu dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian pemahaman ayat tersebut tidak akan kontradiktif.
Karena tafsirannya akan berbunyi: “Engkau sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil dalam hal hati, karena hati adalah urusan Allah. Dia bisa saja
menjadikanmu lebih mencintai salah satu di antara istri-istrimu. Tetapi
janganlah kecendrungan hati ini membuat engkau tidak berlaku adil dalam
bermuamalah kepada mereka. Janganlah kecintaanmu yang lebih kepada salah satu
di antara merkea membuatmu tidak memperhatikan yang lain sehingga mereka
terkatung-katung.” Dengan demikian tidak akan terjadi makna yang kontradiktif.
Ada juga yang berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wassalam. Rasulullah bersabda di atas mimbar: “Keluarga Bani Hasyim bin
Mughirah meminta izin untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi
Thalib, maka aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak
mengizinkannya, kecuali bila Ali menceraikan putriku dan menikahi anak
perempaun mereka. Sungguh Fathimah adalah bagian dari diriku, meragukanku apa
yang meragukannya, menyakitiku apa yang menyakitinya.” [HR. Bukhari dan
Muslim].
Umumnya, mereka yang menolak poligigami menjadikan dasar hadits
ini guna mendukung sikap anti poligami nya.
Namun, ketika dicermati kembali, anggapan tersebut tertolak
dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Surat An Nisa’: 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلاَّ تَعُولُواْ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja.” [QS. An-Nisa’: 3].
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’a membolehkan
seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk
menikahi satu isteri saja bila ia khawatir tak mampu berbuat adil. Nabi sendiri
memiliki sembilan isteri. Maka sebagaimana ucapan beliau adalah dalil, begitu
juga dengan perbuatan beliau.
Adapun alasan Nabi melarang Ali ra berpoligami karena perbuatan
itu menyakiti Fathimah dan Nabi Saw, maka hal ini memang benar. Tetapi yang
menjadi pertanyaan adalah, menyakiti yang seperti apa? Kalau “menyakiti” berupa
perasaan Sayyidah Fathimah ra yang tersakiti karena dimadu, tentu bukan itu
yang dimaksud, karena Nabi sendiri berpoligami, dan perasaan tidak enak serta
cemburu itu akan selalu ada di hati para istri beliau. Istri-istri beliau juga
perempuan seperti Fathimah ra. Para sahabat Nabi yang lain juga banyak
berpoligami, apakah mereka dilarang berpoligami lantaran istri-istri mereka
cemburu? Atau istri mereka memang tidak ada yang memiliki sifat cemburu? Tetapi
jika yang dimaksudkan “menyakiti” itu adalah karena Ali ra ingin menikahi anak
perempuan Abu Jahal, sehingga hal ini akan menyakiti Nabi Subhanahu Wata’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam menjelaskan hal ini dengan
sabda beliau:
وَإِنِّى لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا ،
وَلَكِنْ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ
اللَّهِ أَبَدًا
“Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal atau mengharamkan
yang halal, akan tetapi demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasul Allah dan
anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki selamanya.” [HR. Bukhari dan
Muslim]
Mengomentari hadits di atas Ibnu At-Tîn berkata: “Pendapat
paling tepat dalam menafsirkan kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi Wassalam mengharamkan Ali mengumpulkan putri beliau dengan anak
perempuan Abu Jahal karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya
haram, berdasarkan ijma’.
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam: “Aku tidak
mengharamkan perkara yang halal’, maksudnya, dia (anak perempuan Abu Jahal) itu
halal dinikahi oleh Ali jika saja Fatimah bukan istrinya. Adapun mengumpulkan
keduanya akan menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam karena merasa
tersakitinya Fathimah, maka hal itu tidak dibolehkan.
”Pelarangan bukan karena “tersakitinya” Fathimah ra, melainkan
tersakitinya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam lantaran tersakitinya Fatimah,
dan umat sepakat tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Tentang hal ini Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dalam hadits ini
terdapat keterangan tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wassalam dengan cara apapun, meskipun dengan melakukan perbuatan yang mubah.
Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam merasa tersakiti dengan hal itu
maka tidak boleh dilakukan berdasarkan firman Allah Subhanahu Wata’ala: “Tidak
pantas bagi kalian menyakiti Rasulullah [QS. Al-Ahzab: 53].”
Mengatur, bukan Melarang
Islam yang merupakan agama fitrah, tentunya datang untuk
memenuhi dan mengatur naluri kemanusiaan. Ia tidak datang untuk mencegah
poligami, tetapi mengatur bagaimana cara berpoligami yang benar. Karena
poligami adalah fenomena yang lumrah dan kodrati sepanjang sejarah manusia.
Poligami adalah pilihan sosial yang mubah, boleh dilakukan dan
tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. Tidak wajib dan tidak dibolehkan
bagi laki-laki yang merasa tidak sanggup berbuat adil.
Namun yang terpenting adalah kita tidak boleh membenci hukum
kebolehan ini, apalagi mengatakan bahwa poligami bukan merupakan Syariat Islam.
Ketika ada orang yang melakukannya, tentu tidak boleh dibenci atau disalahkan,
karena ia menjalani sesuatu yang dibolehkan baginya, bahkan bisa jadi dianjurkan
berdasarkan hadits-hadits yang menganjurkan untuk memperbanyak umat Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Ketika ada kasus rumahtangga poligami yang rusak karena
berberapa oknum yang tidak mampu berbuat adil, tidak boleh lantas menyalahkan
poligaminya. Sebab banyak juga rumah tangga monogami yang berantakan. Dengan
demikian, tidak karena rusaknya rumah tangga non poligami kita menyalahkan
monogaminya. (Hidayatullah.com)
No comments:
Post a Comment