Perjalanan yang belum selesai (322)
(Bagian ke tiga ratus dua puluh dua), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 26 juli
2015, 16.07 WIB)
Perceraian dan poligami.
Pada dasarnya akan sulit bagi seorang wanita menerima kenyataan bahwa
suaminya akan menikah lagi atau memiliki istri kedua (poligami) atau suaminya
selingkuh (berpacaran atau berzina dengan perempuan lain selain dirinya.
Kebanyakan para wanita bila menemukan suaminya memiliki istri lagi, baik
dengan cara kawin (menikah) secara resmi di kantor Urusan Agama (KUA) maupun
kawin (nikah) secara diam-diam (kawin siri : kawin secara sah menurut syariat
agama/namun tidak tercatat di kantor KUA).
Kebanyakan para istri langsung menuntut cerai (pisah) baik secara lisan
maupun secara hukum (pengadilan).
Di Indonesia para wanita di desa (kampung) biasanya menerima saja keadaan
yang ada, artinya biasanya pasrah dengan kondisi suaminya berbuat poligami,
biasanya karena para wanita di desa tidak mandiri secara ekonomi dan sangat
tergantung dari suami nafkah belanja di dapur rumah tangganya serta biaya lain
(sekolah/pendidikan) untuk anak-anaknya.
Sedangkan di kota- kota para wanita biasanya mandiri secara ekonomi jadi
kebanyakan dari mereka menuntut perceraian dari suaminya yang melakukan
poligami.
Ada pun sebagian dari mereka yang membiarkan suaminya tetap berpoligami,
dan tetap tidak melakukan perceraian, biasanya atas pertimbangan segala biaya
pendidikan (sekolah) masih tergantung suami.
Walaupun pasangan suami-istri ini masih satu rumah, sang istri tinggal di
lantai dua, suami tidur di lantai bawah (pisah ranjang), artinya walaupun ke
luar rumah pasangan ini masih kelihatan harmonis, namun di dalam rumah
sebenarnya hidup bagai neraka, selalu bertengkar tanpa ujung pangkal .
Sebenarnya hidup demikian seperti hidup yang semu bahagia di buat-buat. Dari
sisi agama sebenarnya keduanya hanya memperturutkan keinginan iblis agar terus
berbuat maksiat (berbuat dosa).
Tidak lagi mau melayani suami (hubungan sex) pada suami saja berbuat dosa,
karena suaminya masih sah jadi suaminya, dan suaminya berlaku tidak adil sama
para istrinya juga berbuat dosa.
Sampai Nabi Muhammad dalam sabdanya memperingatkan bahwa suami yang tidak
berbuat adil pada istrinya pada hari kiamat akan berjalan seperti orang stroke
(berjalan miring sebelah).
Allah di dalam Al Quran memang membolehkan kita menikahi (kawin) sampai
maksimal empat orang perempuan, namun kalau kita takut tidak bisa berbuat adil, maka kawinlah
sama wanita satu saja (monogami) (Al Qur-an surah An Nisa ayat 4)
Nabi Muhammad sendiri melakukan poligami setelah istri pertamanya
(khadijah) meninggal dunia , itupun istri lainnya selain Aiyah, adalah para
janda perang (jihadis), ada yang berusia 60 tahun, padahal Nabi ketika itu
masih berusia 50 tahun.
Jadi berpoligami nya Nabi Muhammad
karena tugas agama bukan semata memperturutkan syahwat sex.
Lagi pula para Nabi dan Rsul itu kan
Maksum (dijaga Allah dari perbuatan dosa), jadi selalu berbuat adil terhadap
para istrinya.
Jadi para lelaki karena kita bukan
maksum, maka pikir dua kali sebelum memutuskan untuk berpoligami.
Penyebab Perceraian dan kiat mengantisipasinya.
Oleh
Syaikh Dr. Muhammad Nasir Al Humaid
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyaknya
terjadi kasus perceraian di dunia Islam yang disebabkan berbagai macam faktor,
yang sebenarnya dapat diantisipasi. Padahal dampaknya sangat mengkhawatirkan di
masyarakat; secara individual maupun kelompok masyarakat. Bukankah sangat
mungkin untuk mencari solusi permasalahan ini dalam khazanah syari’at Islam
yang memiliki kompleksitas dan sempurna?
Tulisan ini merupakan karya seorang ulama yang bernama
Dr. Muhammad Nasir Al Humaid. Beliau salah seorang staf pengajar di Jami’ah
Islamiyah Al Madinah. Tulisan yang merupakan refleksi terhadap masyarakat dunia
Islam yang kini semankin jauh dari pedoman Al Qur’an dan Sunnah. Akibat dari
itu, upaya syari’at untuk menciptakan tatanan masyarakat Islam yang baik dan
benar dengan jalinan pernikahan mulai goyah dengan banyaknya kasus perceraian.
Dalam tulisan ini, beliau menyebutkan beberapa point
penting yang menjadi penyebab perceraian. Kebanyakan dari sebab-sebab itu,
dapat diantisipasi dan ada solusinya. Namun, ada pula yang tidak memiliki
alternatif lain, kecuali perceraian.
Beliau membagi sebab perceraian ini menjadi tiga bagian.
Pertama, sebab perceraian yang datangnya dari suami. Kedua, sebab perceraian
yang datangnya dari istri. Ketiga, sebab perceraian yang disebabkan oleh
keluarga kedua pasangan suami-istri.
SEBAB PERCERAIAN YANG DATANG DARI SUAMI DAN SOLUSINYA
Pertama : Suami tidak menunaikan kewajiban -yang
dibebankan Allah kepadanya- terhadap istri, yang dikarenakan faktor jahil
(tidak mengerti), lalai, atau karena sengaja menentang syari’at Allah.
Selayaknya, seorang suami belajar untuk mengetahui
tentang hak-hak istrinya. Tidak menggagap hal ini sepele, dan hendaklah dia
takut kepada Allah dalam mempergauli istrinya. dengan demikian, diharapkan bahtera
rumah tangga yang mereka arungi bersama akan tetap langgeng di bawah naungan
syari’at Islam yang mulia. Diantara hak-hak istri terhadap suaminya, yaitu agar
suami memperlakukan istri dengan baik, memberinya nafkah, menghormatinya,
berlemah-lembut, memaklumi kekurangan istrinya, dan berhias di hadapannya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Aku sangat senang
dan berupaya untuk berhias di hadapan istriku, sebagaimana akupun senang jika
dia berdandan untuk diriku, karena Allah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Bagi mereka (para istri) terdapat hak-hak yang wajib
ditunaikan (terhadap suami mereka), sebagaimana mereka memiliki hak-hak yang
wajib ditunaikan suami. [Al Baqarah:228].[1]
Kedua : Tidak mematuhi wasiat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, (yaitu) agar menikahi wanita yang taat agama, sebagaimana
dalam sabdanya,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا
وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاَتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, maupun agamanya; maka carilah yang taat
beragama.[2]
Ketika salah seorang dari pasangan tersebut taat
beragama, sementara yang lainnya tidak taat, pasti akan terjadi berbagai macam
prahara antara keduanya. Seorang yang taat beragama akan berbuat hal-hal yang
diridhai Allah, sedangkan pasangannya yang tidak taat, pasti akan menurutkan
hawa nafsunya.
Seyogyanya, seorang pria yang akan meminang wanita agar
mengindahkan pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, untuk
mencari pasangan yang taat beragama -walaupun harus menunggu lama- hingga
mendapatkan wanita tersebut. Dengan menikahi wanita yang taat beragama, niscaya
suami akan dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh bahagia, dengan
izin Allah tentunya.
Seorang suami memiliki tanggung jawab yang besar untuk
mendakwahi istrinya dan menasihatinya dengan penuh kesabaran, bijaksana dan
lemah-lembut. AllahSubhanahu wa Ta'alal berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Dan perintahkan keluargamu untuk melaksanakan shalat dan
bersabarlah atasnya. [Thaha:132].
Allah juga berfirman.
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
Dan serulah manusia ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan
nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik. [An Nahl:125].
Dengan demikian, diharapkan istri akan dapat menjadi
lebih baik dengan izin Allah.
Ketiga : Kondisi rumah tangga yang jauh dari suasana
religius serta taat kepada Allah, apalagi jika di dalam rumah itu terdapat
berbagai macam sarana yang merusak, seperti: siaran televisi, majalah-majalah
ataupun CD-CD yang meruntuhkan sendi-sendi moral.
Selayaknya, dalam rumah seorang mukmin selalu dibaca Al
Qur’an, khususnya surat Al Baqarah yang memiliki keutamaan. Sabda Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ, إِنَّ الشَّيْطَانَ
يَنْفُرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
Janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan;
sesungguhnya syetan-syetan akan berlari menjauh dari rumah-rumah yang dibacakan
di dalamnya surat Al Baqarah. [3]
Dengan demikian jelaslah, bahwa rumah yang tidak pernah
dibacakan Al Qur’an, bahkan justru dipenuhi dengan sarana-sarana maksiat yang
mengundang murka Allah, (maka rumah itu) akan digandrungi syetan-syetan.
Akhirnya, ketenangan dan ketenteraman pun sirna, yang berakibat hancur luluhnya
mahligai rumah tangga yang telah dibina.
Seyogyanya, pasangan suami-istri berupaya menjaga rumah
mereka agar tidak dimasuki syetan-syetan, sebagaimana mereka menjaganya agar
tidak dimasuki pencuri. Keduanya harus menyibukkan diri dengan hal-hal yang
bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya, daripada sibuk bergelimang maksiat yang
dapat membinasakannya. Hiasilah rumah dengan dzikrullah, ataupun siaran tilawah
Al Qur’an. Itulah sebaik-baik teman di rumah. Allah berfirman.
أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah dengan dzikir kepada Allah, hati menjadi
tenteram. [Ar Ra'du:28].
Seorang mukmin yang berakal jangan terkecoh, jika melihat
rumah tangga yang penuh bergelimang kemaksiatan dan kemungkaran, namun
seolah-olah kedua pasangan suami-istri (tersebut) hidup dengan rukun dan damai
tanpa ada perselisihan. Dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud
Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله يُعْطِيْ الدُّنْيَا مَنْ أَحَبَّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ
وَلَا يُعْطِيْ الدِّيْنَ إِلَّا ِلمَنْ أَحَبَّ
Sesungguhnya Allah Ta'ala memberikan nikmat dunia kepada
orang-orang yang dicintainya maupun yang dibencinya; tetapi Dia tidak akan
memberikan nikmat beragama, kecuali kepada orang-orang yang dicintaiNya
semata.[4]
Allah sengaja memberi tangguh kepada para pelaku
kemaksiatan, sebagaimana dalam firmanNya,
لاَيَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلاَدِ
؛ مَتَاعُُ قَلِيلُُ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir di
muka bumi. Sesungguhnya itu hanyalah kenikmatan sesaat, kemudian mereka akan
dimasukkan ke neraka Jahannam. Itulah seburuk-buruk tempat. [Al Imran :
196-197].
Sebagaimana firmanNya,
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِئَايَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ
حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ ؛ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ ؛
Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami, akan Kami
beri tangguh mereka, tanpa mereka ketahui. kemudian akan Aku berikan mereka
tempo waktu. Sesungguhnya, tipu dayaKu sangat kuat. [Al A'raf:182-183].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الله لَيُمْلِيْ لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذاَ أَخَذَهُ لَمْ
يُفْلِتْهُ
Sesungguhnya, Allah sengaja menangguhkan (hukuman)
terhadap seorang yang zhalim, ketika sampai masanya, maka Allah akan
menghukumnya dengan tanpa memberi peluang lagi. [5]
Orang yang mau memperhatikan rumah-rumah yang di dalamnya
penuh kemaksiatan, akan mendapati, bahwa tidak selamanya mereka hidup dengan
damai. Pasti banyak diantara mereka yang hidup dalam kegoncangan dan
kegelisahan. Firman Allah Ta'ala,
مَّنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَانَشَآءُ
لِمَن نُّرِيدُ
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka akan kami
berikan kepada siapa-siapa yang kami kehendaki. [Al Isra:18].
Jelaslah, bahwa tidak semua orang yang menginginkan
kesenangan dunia akan mendapatkannya.
Keempat : Suami yang tidak penyabar. Mungkin, faktor ini
terjadi karena kelalaiannya, ataupun ketidaktahuannya watak dasar dan tabiat
wanita yang Allah ciptakan. Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
استوصوا بالنساء خيرا فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع
أعلاه, فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خيرا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli wanita.
Sesungguhnya, mereka tercipta dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya, tulang rusuk
yang paling bengkok ialah yang paling di atas. Jika engkau berusaha untuk
meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan, maka dia
akan tetap bengkok. Maka, berbuat baiklah kalian kepada mereka.[6]
Dalam riwayat lain,
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضَلْعٍ وَلَنْ تَسْتَقِيْمَ
عَلىَ طَرِيْقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ, وَ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا
كَسَرْتَهَا, وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
Sesungguhnya, wanita tercipta dari tulang rusuk yang
bengkok, dan dia tidak akan mungkin dapat tetap istiqomah dengan satu kondisi.
Jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau akan dapati itu padanya,
namun dia tetap akan bengkok. Jika engkau berusaha untuk meluruskannya, maka
engkau akan mematahkannya, mematahkannya berarti engkau menceraikannya.[7]
Hendaklah suami menyadari tabiat dasar dan fitrah wanita,
agar dapat menyikapinya dengan bijak dan sabar, karena ini adalah kodrat semua
wanita. Dengan demikian, suami dapat memaklumi kekeliruan-kekeliruan yang
mereka perbuat dan tidak perlu diambil hati. Hasan Basri rahimahullah berkata,
"Seorang lelaki mulia tidak akan terlampau memperhitungkan segala
kekeliruan istrinya."[8]
Kelima : Kemarahan yang meluap banyak menjadi penyebab
suami terlampau cepat menjatuhkan thalak. Bahkan, sebagaian suami ada yang
memiliki tabiat jelek, (yaitu) selalu mengancam akan menceraikan istri, jika
melanggar apa yang dibencinya, walaupun hanya sepele.
Seharusnya suami dapat menahan gejolak kemarahan, dan
berupaya untuk diam. Jangan sampai suami berbicara semaunya, hingga tanpa sadar
mengeluarkan kata-kata "thalak". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat itu yang dapat menjatuhkan lawan
dalam berkelahi, (tetapi) orang yang kuat ialah orang yang dapat meredam
kejolak marah, ketika dia akan marah.[9]
Dalam suatu riwayat, pernah seseorang datang menghadap
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata,"Berilah aku
nasihat," Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,"Janganlah engkau marah," dia kembali bertanya dan Nabi masih
terus mengulangi,"Janganlah engkau marah." [10]
Kiat Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Dalam
Mengantisipasi Marah.
• Berusaha untuk diam ketika akan marah, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ, وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ
Jika engkau marah, maka diamlah. Jika engkau marah, maka
diamlah. [11]
• Berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk.
Sulaiman Ibnu Sard Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan,
pernah dua orang saling mencerca satu sama lainnya di hadapan Rasulullah. Sementara
itu, kami sedang duduk di sisinya. Salah seorang dari mereka menghina yang
lainnya dengan marah, hingga merah mukanya. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda.
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالهَاَ لَذَهَبَ عَنْهُ مَا
يَجِدُ، لَو قَالَ: أَعُوْذُ بِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ...
Aku mengetahui suatu kalimat, jika diucapkan olehnya
(laki-laki yang merah mukanya, red.), maka akan hilang kemarahannya. Hendaklah
dia berkata: Audzubillahi minasysyaithannirrajim (aku berlindung kepada Allah
dari syetan yang terkutuk).[12]
• Jika sedang marah, berusahalah untuk duduk. Jika
ternyata masih marah, maka hendaklah berbaring. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda.
إِذاَ غَضَبَ أَحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ فًلْيَجْلِسْ فَإِنْ
ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ و َإِلَّا فَلْيَضْطَجْع
Jika salah seorang kalian marah dan dia dalam keadaan
berdiri, maka hendaklah duduk. Jika masih belum reda marahnya, maka hendaklah
berbaring.[13]
• Berwudhu, sebab wudhu dapat memadamkan kemarahan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ
مِنْ نَارٍ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النًارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya, kemarahan itu berasal dari syetan. Dan
syetan tercipta dari api. Dan sesungguhnya, api itu dapat dipadamkan dengan
air. Jika salah seorang diantara kalian marah, maka berwudhulah. [14]
• Keluar dari rumah guna menghidari pertengkaran.
Dalam hal ini pernah terjadi pada Ali, sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl Ibn Sa'ad, dia menceritakan,
Rasulullah mendatangi rumah Fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka
beliau bertanya kepada Fatimah,"Mana anak pamanmu (Ali)?”Fathimah
menjawab,"Kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar
dan tidak tidur siang di rumahku.” Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata
kepada seseorang,"Carilah dimana dia!” Kemudian orang tadi datang dan
berkata,"Wahai Rasulullah, dia di masjid sedang tidur,” maka Rasulullah
mendatanginya dalam keadaan berbaring, selendangnya terjatuh dari bahunya dan
badannya berdebu, maka Rasulullah mengusap debu darinya dan
berkata,"Bangunlah wahai Abu Turaab, bangunlah wahai Abu Turaab!"
[15]
Kedua suami-istri hendaklah berusaha untuk tidak
memancing kemarahan pasangannya, apalagi keduanya telah saling memahami tabiat
masing-masing. Dalam hal ini, istri harus berupaya menghindari hal-hal yang
membuat suami emosi, dan akhirnya menjatuhkan thalak.
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyaknya
terjadi kasus perceraian di dunia Islam yang disebabkan berbagai macam faktor,
yang sebenarnya dapat diantisipasi. Padahal dampaknya sangat mengkhawatirkan di
masyarakat; secara individual maupun kelompok masyarakat. Bukankah sangat
mungkin untuk mencari solusi permasalahan ini dalam khazanah syari’at Islam
yang memiliki kompleksitas dan sempurna?
Beliau membagi sebab perceraian ini menjadi tiga bagian.
Pertama, sebab perceraian yang datangnya dari suami. Kedua, sebab perceraian
yang datangnya dari istri. Ketiga, sebab perceraian yang disebabkan oleh
keluarga kedua pasangan suami-istri.
Keenam : Perilaku suami yang jelek acapkali membuat istri
menuntut khulu' (minta diceraikan dengan mengembalikan mahar yang diberikan
suami). Banyak suami yang memiliki perangai yang jelek, bermulut keji, selalu
mengumpat, melaknat ataupun selalu memukul istri.
Hendaklah para suami takut kepada Allah dalam mempergauli
istri. Seharusnya dia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya istri. Yang
sang istri ini dapat meredam gejolak syahwatnya dan menjadikannya iffah
(menjaga kesucian diri), apalagi jika istri telah melahirkan anak-anaknya.
Bukankah hal ini sepatutnya menjadikannya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat.
إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para istri.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ
عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ingatlah, berbuat baiklah kalian dalam mempergauli para
istri. Sesungguhnya, mereka adalah 'awanin [1] (tawanan) di sisi kalian.[2]
Rasulullah bersabda,”Janganlah kalian pukul para istri
kalian,” maka Umar datang kepada Rasulullah dan berkata,"Zu'irna [3] an
nisa (para istri telah berani menentang para suami),” maka Rasulullah
memperbolehkan para suami untuk memukul istrinya. Setelah itu, datanglah para
wanita ke rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadu perlakuan
suami mereka, maka Rasulullah berkata,”Banyak para wanita datang ke rumah
keluarga Muhammad mengadukan perlakuan suami mereka. Sesungguhnya, para suami
yang berbuat itu (memukul istri) bukanlah orang-orang yang terbaik diantara
kalian.” [4]
Beliau juga bersabda.
لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ
يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
Janganlah salah seorang kalian memukul istrinya seperti
memukul hamba, kemudian dia mencampurinya di penghujung hari. [5]
Dalam riwayat lain disebutkan.
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ
فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ
Kenapa salah seorang kalian memukul istrinya sebagaimana
memukul hamba, kemudian menyetubuhinya di penghujung hari? [6]
Ketujuh : Suami ingin menguasai harta istri, atau memaksa
istri agar memberikan harta yang dimilikinya itu kepadanya. Kasus ini banyak
menimpa para istri yang memiliki pekerjaan. Biasanya akan merusak hubungan
antara keduanya, dan tidak sedikit berakhir dengan perceraian.
Allah berfirman.
وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَآءَاتَيْتُمُوهُنَّ
إِلآَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
Janganlah kalian menahan mereka (para istri) (untuk dapat
menikah) agar kalian dapat membawa sebagian dari harta yang mereka berikan
kepada kalian, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. [An
Nisa:19].
Allah berfirman.
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَّرِيئًا
Jika mereka dengan rela memberikan kepada kalian harta
mereka, maka makanlah dengan baik-baik. [An Nisa:4].
Tidak halal bagi suami mengambil harta istri, kecuali
dengan kerelaannya atau jika istri berbuat nuzus. Ketika seorang pria menikahi
wanita yang berharta, jika menginginkan harta istrinya, maka dituntut darinya
untuk berlemah-lembut. Cara ini lebih efektif baginya untuk mendapatkan
keinginannya. Cara lain yang diizinkan untuknya, yaitu dengan mengajukan
persyaratan, bahwa istri harus membantunya dengan memberikan sebagian dari
hasil gajinya. Dan hal ini sah-sah saja; apalagi dengan bekerjanya sang istri, akan
mengurangi sedikit banyak perhatian dan kewajibannya terhadap suami. Demikian
ini tidak dapat diingkari, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum muslimin wajib menepati janji (kesepakatan) yang
mereka perbuat, kecuali kesepakatan yang mengharamkan suatu yang halal atau
menghalalkan yang haram.[7]
Berapa banyak rumah tangga hancur berantakan ketika istri
tidak memberikan apa yang diharapkan suami. Para istri hendaklah memahami hal
ini, demi menjaga kelangsungan rumah tangga dan demi kemaslahatan anak-anak
agar tidak terlantar. Allah berfirman, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ(Sesungguhnya berdamai
itu lebih baik). Perbuatan wanita memberikan sebagian harta kepada suami adalah
merupakan upaya untuk berdamai. Semoga Allah akan memberikan kepadanya ganjaran
terbaik. Allah berfirman.
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ
Barangsiapa yang memaafkan dan berbuat islah, maka
ganjaran pahalanya di sisi Allah. [Asy Syura:40]
Kedelapan : Sikap acuh suami terhadap istri.
Banyak para suami tidak memberikan perhatian yang cukup
dan lebih senang tidur di luar rumah daripada berkumpul dan berkomunikasi
dengan istri. Apalagi, terkadang kesibukannya di luar rumah dalam hal-hal yang
sepele dan tidak bermanfaat.
Seorang suami dituntut untuk dapat memberikan waktu dan
perhatian yang cukup kepada istri. Tidak dibenarkan terus-menerus meninggalkan
istri, walaupun dengan dalih sibuk mengerjakan ibadah-ibadah, seperti puasa
sunnah maupun shalat malam. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ
حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Jasadmu memiliki hak (beristirahat), matamu memiliki hak
(untuk tidur), dan istrimu memiliki hak atas dirimu.[8]
Pernah seorang wanita mendatangi Umar Ibn Al Khathab
untuk mengadu,”Wahai, Amirul Mukminin. Suamiku seorang yang selalu berpuasa dan
shalat malam. Aku sebenarnya enggan melaporkannya kepadamu karena sikapnya yang
selalu melaksanakan ibadah-ibadah sunnah1.” Umar menjawab,”Alangkah bagusnya
suamimu,” namun wanita itu masih mengulangi perkataannya, dan Umar menjawab
jawaban yang sama. Akhirnya, Ka'ab Al Asadi berkata,”Wahai, Amirul Mukminin.
Wanita ini sebenarnya mengadukan sikap suaminya yang tidak peduli lagi
padanya,” maka Umar berkata,”Sebagaimana yang engkau pahami dari wanita ini,
maka engkau kuserahkan untuk mengadili perkara ini.” Akhirnya Ka'ab memanggil
suami wanita itu. Ketika (suami wanita itu) datang, Ka'ab berkata
kepadanya,”Istrimu mengadukan engkau kepada Amirul Mukminin.” Dia
bertanya,”Karena apa? Apakah karena tidak kuberi makan ataupun minum?” Ka'ab
menjawab,”Tidak.”
Akhirnya wanita itu berkata:
يَاأَيُّهَا الْقَاضِي الْحَكِيْمُ رُشْدُهُ أَلْهَى خَلِيْلِيْ عَنْ فِرَاشِي مَسْجِدُهُ
زَهَدَهُ فِي مَضْجَعِي تَعَبُّدُهُ فَاقْضِ الْقُضَا كَعْبُ وَلاَ تُرَدِّدُهُ
نَهَارُهُ وَلَيْلُُهُ مَا يَرْقُدُهُ فَلَسْتُ فِي أَمْرِ النِِّسَاءِ أَحْمَدُهُ
Wahai hakim yang bijaksana,
Masjid telah melalaikan suamiku dari tempat tidurku
Beribadah membuatnya tidak membutuhkan ranjangku
Adililah perkara ini, wahai Ka'ab dan jangan kau tolak
Siang dan malam tidak pernah tidur
Dalam hal mempergauli wanita, aku tidak memujinya
Kemudian suaminya menjawab:
زَهَدَنِي فِي فِرَاشِهَا وَفِي الْحَجَلِ أَنِّي امْرُؤٌ أَذْهَلَنِي مَا قَدْ نَزَلَ
فِي سُوْرَةِ النَّحْلِ وَفِي السَّبْعِ الطُّوْلِ وَفِي كِتَابِ اللهِ تَخْوِيْفٌ جَلَحَ
Aku Zuhud tidak mendatangi ranjang dan biliknya
Karena aku telah dibuat sibuk dan binggung dengan apa
yang telah turun
Yaitu surat An Nahl dan tujuh surat yang panjang
Dan Kitab Allah membuat hatiku takut dan risau
Setelah mendengar ini, Ka'ab berkata:
إِنَّ لَهَا عَلَيْكَ حَقًّا يَا رَجُلُ نَصِيْبُهُا فِي أَرْبَعَ لِمَنْ عَقَلَ
فَاعْطِهَا ذَاكَ وَدَعْ عَنْكَ الْعِلَلَ
Dia memiliki hak atasmu, wahai lelaki
Jatahnya empat hari bagi orang yang berakal
Berikah hak itu, dan tinggalkan cela yang ada padamu [9]
Kesembilan : Sepele dengan lafazh “thalak”.
Sebagian suami, sering terlihat begitu ringannya
mengeluarkan kata-kata “thalak” kepada istrinya. Terkadang sambil bergurau
meluncur dari mulutnya ucapan talak. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ
وَالرَّجْعَةُ
Tiga macam perkara akan tetap terjadi, walaupun diucapkan
dengan sungguh-sungguh ataupun dengan bergurau, yaitu: nikah, talak, dan
ruju'.[10]
Selayaknya, seorang suami menjaga lidahnya. Tidak
menyepelekan lafazh thalak, yang tanpa disadarinya dapat meruntuhkan bangunan
rumah tangga, hingga akhirnya dapat mendatangkan penyesalan yang
berkepanjangan, setelah nasi menjadi bubur.
Kesepuluh : Ila' (sumpah suami) untuk tidak mencampuri
istrinya selamanya, ataupun lebih dari empat bulan.
Demikian Ini merupakan bentuk kezhaliman suami terhadap
istri. Pada kondisi seperti ini, istri berhak menuntut perceraian setelah lewat
empat bulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ
أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ
فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Bagi suami-suami yang bersumpah tidak mencampuri
istrinya, maka istri menunggu selama empat bulan. Jika dia kembali dalam masa
itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang. Jika dia
berniat untuk menceraikannya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Mengetahui. [Al Baqarah: 226-227].
Maka hendaknya para suami tidak menzhalimi hak-hak istri.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Takutlah kalian berbuat zhalim. Sesungguhnya, kezhaliman
itu kegelapan pada hari kiamat. [11]
Jika masa empat bulan akan berakhir, seharusnya dia ruju'
kepada istrinya, sebagaimana dianjurkan Allah dalam firmanNya: Jika dia kembali
dalam masa itu kepada istrinya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Penyayang (Al Baqarah:226). Jika tidak ruju’, maka wajib atasnya menceraikan
istrinya, jika si istri menuntutnya. Namun, jika istri sabar (tidak minta
cerai, walaupun telah lewat empat bulan), demi kepentingan anak ataupun hal lainnya,
maka boleh saja selama dirinya yakin terjaga dari perbuatan haram. Insya Allah
dia (istri) akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah,
dengan harapan semoga suaminya kelak mendapat petunjuk dari Allah. Allah
berfirman.
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, akan dimudahkan
baginya segala urusannya. [Ath Thalaq:4].
Kesebelas : Merasa tidak senang karena istri melahirkan
anak perempuan. Karena faktor kejahilan, sebagian suami mengancam akan
menceraikan istrinya, jika mendapat bayi perempuan.
Sebenarnya wajib baginya beriman dengan ketetapan Allah
dan takdirNya. Bayi wanita ataupun pria itu lahir atas kehendakNya semata.
Adapun manusia, tidak bisa memilih. Allah berfirman.
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَآءُ وَيَخْتَارُ مَاكَانَ لَهُمُ
الْخِيرَةُ
Dan Rabb-mu yang mencipta apa-apa yang dikehendakiNya dan
memilih, tidak ada hak manusia untuk memilih. [Al Qhasas: 68].
Allah juga berfirman.
وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا
وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًا
Dia memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi
perempuan, dan memberikan siapa-siapa yang dikehendakiNya bayi laki-laki, Dia
juga yang menjadikan siapa-siapa yang dikehendakiNya mandul. [Asy Syura:49-50].
Keduabelas : Muncul perasaan tidak suka terhadap istri,
karena selalu membandingkan istrinya dengan wanita lain yang lebih baik dari
istrinya dalam agama, akhlak, kecantikan, ilmu, kecerdasan dan sebagainya.
Akhirnya, suami menjauhi istrinya tanpa ada sebab syar'i, seperti: istri
meyeleweng ataupun menentang suami.
Seharusnya suami bersabar agar dia beruntung mendapatkan
janji Allah.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى
أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan bergaullah kepada mereka dengan baik. Bias jadi
kalian membenci sesuatu, namun Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang
banyak. [An Nisa:19].
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibn Abbas berkata,”Suami
berlemah-lembut terhadap istrinya, maka Allah memberikan karunia anak-anak yang
baik-baik.”
Ibnu Katsir berkata,”Mungkin sikap sabar kalian dengan
tidak menceraikan istri yang tidak kalian sukai, akan membuahkan kebahagian
bagi kalian di dunia dan akhirat.”
Imam Asy Syaukani berkata,”Semoga sikap benci kalian
terhadap istri, akan digantikan Allah dengan sikap cinta yang akan mendatangkan
kebaikan yang banyak, hubungan yang mesra ataupun rezeki anak-anak. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا
رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
(Janganlah seseorang membenci pasangannya. Jika ia benci
kepada salah satu sikap istrinya, pasti dalam hal lain ia akan rela).” [12]
Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'anhu, dia
berkata,”Sangat sedikit rumah tangga yang dibangun di atas cinta. Namun,
kebanyakan manusia bergaul (menikahi) pasangannya dengan dasar Islam,
menyambung nasab ataupun untuk berbuat ihsan.” [13]
Ibnul Arabi menyebutkan dengan sanadnya dan berkata,”Ada
seorang syaikh yang dikenal berilmu dan memiliki kedudukan, bernama Abu
Muhammad Ibn Abi Zaid [14]. Istrinya berperangai jelek, tidak menjalankan
kewajibannya sebagai istri dan selalu menyakiti suaminya dengan lidahnya.
Orang-orang banyak yang heran dan mencela sikap sabarnya terhadap sang istri.
Jika ditanya perihal sikap sabarnya terhadap istrinya, Abu Muhammad selalu
berkata,”Aku telah diberikan Allah berbagai macam nikmat, berupa: kesehatan,
ilmu dan budak-budak yang kumiliki. Mungkin sikap jelek istriku terhdapku
disebabkan hukuman Allah kepadaku, karena dosa-dosaku. Aku takut, jika dia
kuceraikan akan turun ujian kepadaku lebih berat dari ujian perangai istriku
yang jelek.” [15]
Selayaknya, ini menjadi pelajaran berharga bagi para
suami. Tidaklah menjadi masalah, jika ia ingin menikahi wanita lain sebagai
tambahan. Allah berfirman.
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ
Nikahilah wanita-wanita yang baik-baik, dua, tiga ataupun
empat. [An Nisa:3].
Ketigabelas : Kecenderungan suami kepada salah satu
istrinya -jika memiliki lebih dari satu- dengan alasan takut berbuat dosa ;
sehingga ia terpaksa menceraikan istri yang kurang disukainya.
Dalam kondisi seperti ini, selayaknya istri yang akan
diceraikan berdamai dengan suaminya, sebagaimana firman Allah.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا
فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ
Jika seorang istri takut diceraikan oleh suaminya atau
dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya melaksanakan as sulhu
(kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik. [An Nisa:128] .
Dalam menafsirkan ayat ini, 'Aisyah berkata, ”Seorang
suami melihat kekurangan pada istri yang tidak disukainya, seperti: usia yang
telah tua dan sebab lainnya. Maka, ia berniat menceraikannya, namun istri
memohon agar suami tidak menceraikannya, dan siap menerima apapun perlakuan
suami terhadapnya. Demikian inilah solusi menghindari perceraian, jika keduanya
sepakat.” [16]
Ibn Abbas meriwayatkan, ”Saudah takut Rasulullah
menceraikannya (karena ia telah tua). Kemudian ia berkata,’Wahai Rasulullah,
jangan ceraikan aku. Aku siap memberikan giliranku untuk ‘Aisyah,’ maka Rasul
menerima usulan itu dan turunlah ayat: Tidak mengapa jika keduanya membuat
kesepakatan, dan berdamai itu lebih baik.”[17]
Rafi’ Ibn Khadij menceritakan, bahwa ia memiliki istri
yang telah tua. Kemudian ia menikahi wanita lain yang masih muda. Akhirnya
Rafi’ lebih cenderung kepada istri yang muda. Melihat perlakuan Rafi', maka
istrinya yang telah tua protes. Kemudian Rafi’ menjatuhkan thalak satu. Ketika
masa iddahnya akan berakhir, Rafi’ berkata kepadanya,”Jika engkau mau, aku akan
ruju' kepadamu; dengan syarat, engkau rela (dengan) perlakuanku padamu. Jika
tidak, (maka) aku akan membiarkan hingga iddahmu selesai, dan tidak ruju'
padamu,” maka istrinya menjawab,”Ruju'lah, aku akan berusaha sabar dengan
sikapmu. Setelah Rafi ruju', ia kembali protes dengan perlakuan Rafi'
kepadanya, maka Rafi’ memutuskan untuk menceraikannya. Rafi' berkata,”Itulah
makna as sulhu yang telah diturunkan Allah dalam firmanNya: Jika seorang istri
takut diceraikan oleh suaminya atau dijauhkan, maka tidak mengapa jika keduanya
melaksanakan as sulhu (kesepakatan), dan berdamai itu lebih baik.” [18]
Jelaslah maksud pengertian sulhu dalam ayat, yaitu istri
siap menerima apapun yang diberikan suami kepadanya, walaupun harus dengan
mengurangi sebagian haknya, berupa kewajiban suami bermalam padanya ataupun
nafkah. Hal ini demi menghindari perceraian, dan dia tetap menjadi istri.
Karena hal ini akan lebih baik baginya, dibandingkan hidup tanpa suami. Apalagi
jika dia memiliki anak-anak dari suaminya, atupun dia telah tua dan takut
terhadap resiko perceraian. Ingatlah firman Allah: Dan berdamai itu lebih baik.
[An Nisa:128].
Keempatbelas : Penyakit berkepanjangan yang menimpa
suami. Terkadang hal ini menjadi penyebab istri menuntut cerai.
Andai saja istri mau bersabar dan tetap merawatnya dengan
mengharap balasan dari Allah, hal itu akan lebih baik baginya, sebagaimana
firman Allah.
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diberi
ganjaran yang tak terhingga. [Az Zumar:10]
Akan tetapi, jika dirinya takut akan tergelincir ke dalam
perbuatan haram dengan menyeleweng, disebabkan sang suami tidak lagi dapat
melayani kebutuhan biologisnya, (maka) dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa
dia menuntut agar diceraikan demi menjaga agama dan kesucian dirinya;
memelihara perkara ini merupakan sesuatu yang wajib.
Kelimabelas : Sikap curiga suami terhadap istri, akibat
pengaruh bisikan syetan. Seharusnya dia berlindung kepada Allah dari syetan
yang terkutuk, dan tidak berperasangka buruk. Allah berfirman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ
Wahai orang-orang beriman, jauhilah prasangka buruk,
sesungguhnya prasangka buruk itu adalah dosa. [Al Hujurat:12].
Suami harus sadar, bahwa perkara yang paling diupayakan
syetan ialah memisahkan antara dua suami istri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah
bersabda.
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ
سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ
فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ
أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ
قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya Iblis meletakkan kerajaannya di atas air,
kemudian dia mengurus para tentaranya. Yang paling tinggi kedudukannya adalah
syetan yang paling besar fitnahnya terhadap manusia. Salah satu dari mereka
berkata kepada Iblis,”Aku telah berbuat begini dan begini,” Iblis
menjawab,”Engkau belum berbuat apa-apa,” kemudian datang syetan yang lain dan
berkata,”Tidaklah aku meninggalkan seseorang yang aku goda, hingga aku berhasil
memisahkan dia dengan istrinya,” maka Iblis mendudukkannya di dekatnya dan berkata,”Engkau
sebaik-baik tentaraku.” [19]
Keenambelas : Suami berada di bawah kekuasan istri.
Pindahnya tampuk kepemimpinan rumah tangga kepada sang istri, yang semestinya
berada di tanggan suami. Padahal Allah berfirman.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Lelaki adalah pemimpin bagi wanita dengan kelebihan yang
Allah limpahkan kepada sebagian dari mereka dan dengan sebab nafkah yang mereka
berikan (kepada istri-istri). [An Nisa:34]
Ini bisa mutlak terjadi, dikarenakan kelemahan pribadi
suami atau anggapannya yang keliru, bahwa sikapnya itu sebagai wujud
penghormatan kepada istrinya. Sehingga ketika ia sadar dan ingin mengembalikan
kepemimpinan itu kepadanya, ternyata ia tidak sanggup. Sehingga, akhirnya
berujung pada perceraian.
Semenjak menikah, seorang suami harus benar-benar sadar,
bahwa kepemimpinan rumah tangga wajib berada di tanggannya. Jangan sampai rasa
cinta yang berlebihan atau rasa bangga dapat menikahi wanita tersebut, akhirnya
membuat dia lemah di hadapan istri dan berujung dengan penyesalan tak berguna.
Ketujuhbelas : Suami datang ke rumah istri pada malam
hari setelah lama bepergian tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini terkadang
membuatnya melihat hal-hal yang dibencinya, karena istri dalam keadaan tidak
siap menyambutnya. Rasulullah bersabda.
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمْ الْغَيْبَةَ فَلَا يَطْرُقْ أَهْلَهُ
لَيْلًا
Jika kalian bepergian lama, maka janganlah kalian
mendatangi rumah istri kalian pada malam hari.[20]
Dalam riwayat lain disebutkan.
كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ
Agar para istri yang lama ditinggalkan berhias dengan
menyisir rambut dan mencukur bulu kemaluannya.[21]
Selayaknya suami mendatangi rumah istrinya pada siang
hari ketika ia pulang dari bepergian dalam masa yang lama, dan dengan
memberitahukan terlebih dahulu perihal kepulangannya, istri agar tidak
terkejut.
Kedelapanbelas : Rumah tangga yang dibina atas dasar
surat-menyurat, ataupun saling berkomunikasi melalui telepon -yang popular
dengan istilah pacaran sebelum menikah.
Mahligai rumah tangga yang dibanggun di atas pondasi
kropos seperti ini, biasanya akan berujung dengan kehancuran. Aِِllah
berfirman.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ
خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرْفٍ هَارٍ فَانْهَارَبِهِ فِي
نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah sama orang yang membangun pondasinya di atas taqwa
dan keridhaan Allah dengan orang yang membangun pondasinya di atas jurang
neraka, yang akhirnya membuatnya terperosok ke neraka Jahannam; sesungguhnya
Allah tidak akan menunjuki orang yang berbuat kezhaliman. [At Taubah:109]
Ibn Sa'di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya suatu
perbuatan yang dikerjakan dengan ikhlas dan mengikuti sunnah, itulah makna
dibangun di atas pondasi taqwa yang akan membuahkan surga penuh kenikmatan.
Adapun perbuatan yang dibangun di atas niat buruk, bid'ah dan kesesatan, itulah
pondasi yang dibangun di tepi jurang neraka, yang membuatnya terperosok ke
dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak akan membimbing orang-orang yang zhalim.”
[22]
Semestinya lelaki yang hendak melamar wanita datang
kepada walinya, dan mendatangi rumah dari pintunya, sebagaimana firman Allah.
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
Namun kebajikan itu adalah orang yang bertaqwa, dan
masukilah rumah-rumah melaui pintunya. [Al Baqarah: 189]
Ibn Sa'di berkata, ”Dari ayat ini dapat dipetik manfaat,
bahwa selayaknya manusia masuk dalam berbagai macam urusan dari jalan yang
paling mudah, dekat yang akan mengantarkannya sampai kepada tujuan.” [23]
Para wanita jangan sampai terjerumus kepada hubungan
haram (pacaran) yang menipu; agar tidak mengundang murka Rabb-nya yang akan
mendatangkan kegagalan dalam hidupnya.
Kesembilanbelas : Ketika proses lamaran, suami tidak
melihat calon istri. Terkadang dalam benaknya, suami berkhayal mengenai sosok
istri yang ideal. Namun, selesai akad -ketika masuk ke kamar- dia terkejut
melihat istri yang tidak seideal dalam alam khayalnya. Biasanya, ini akan
membuatnya menjauh dari sang istri.
Karena itu, seharusnya calon suami melihat terlebih
dahulu calon wanita yang akan dilamarnya. Pihak keluarga wanita jangan sampai
menghalanginya, karena hal ini merupakan perintah Rasulullah n dan menjadi
salah satu faktor yang dapat melanggengkan perkawinan.
Dari Mughirah Ibn Syu'bah, bahwa ia melamar seorang
wanita, maka Rasulullah berkata kepadanya.
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah kepadanya, karena hal itu akan melangengkan
hubungan kalian berdua.[24]
Keduapuluh :Telat menikah. Para pakar berpendapat, bahwa
terlambat menikah akan membuahkan hubungan yang tidak bahagia dan harmonis
sebagaimana yang diimpikannya. Penyebabnya, karena keduanya telah banyak
mengecap berbagai macam nilai-nilai ataupun norma-norma lingkungan dengan
beragam coraknya. Hal ini membuatnya sulit untuk menyesuaikan tabiatnya dengan
tabiat pasangannya. Hingga akhirnya banyak permasalahan yang muncul akibat
benturan dua watak yang berbeda yang sulit dikompromikan. Survei maupun fakta
yang ditemukan para pakar di lapangan membuktikan, bahwa hubungan perkawinan
pasangan telat nikah akan segera cerai-berai dan bangunan rumah tangga yang
mereka bina akan segera runtuh.
Oleh karena itu, selayaknya para pemuda bersegera menikah
dan merealisasikannya. Kami ingatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ
الْعَفَافَ
Tiga macam manusia wajib bagi Allah membantunya; seorang
mujahid di jalan Allah, budak yang ingin menebus diri untuk dapat merdeka dan
seorang yang akan menikah untuk ‘iffah. [25]
Hadits ini memberikan motivasi kepada para pemuda, bahwa
Allah berjanji akan menolongnya dan memudahkan urusannya, jika dia berazzam
untuk menikah. Sehingga tidak ada lagi alasan baginya, kecuali mulai berusaha
untuk merealisasikannya dan bertawakkal kepada Allah.
Hendaklah diketahui, bahwa menikah di usia dini akan
memudahkan pasagan suami istri untuk dapat saling berinteraksi dan memahami
tabiat masing-masing. Terlebih lagi nikah dini sangat efektif untuk menjaga
kesucian umat, berdampak positif untuk kesehatan dan kedewasan berfikir,
sebagaimana realita telah terbukti. Karena itulah Islam menganjurkannya.
Sebaliknya kaum wanita juga jangan telat menikah. Nikah
dini lebih mendukung kebahagian rumah tangga, sebagaimana disebutkan di atas.
Jika datang kepadanya pria yang sekufu' (setara), maka wajib baginya untuk
menerima dan tidak menolak, walaupun dengan alasan studi dan sebagainya. Jangan
menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Bias jadi, tidak akan pernah lagi datang
kepadanya lelaki yang sekufu’ atau malah tidak akan datang seorangpun yang
melamarnya.
Jika ternyata masih ingin sekolah, hendaklah dia membuat
perjanjian terlebih dahulu kepada suaminya, kecuali jika ternyata persyaratan
ini akan menjadi sandungan dalam kehidupan rumah tangga. Jika ini terjadi, maka
wajib baginya mendahulukan perkara yang dapat mendatangkan ketentraman dan
mensucikan dirinya dengan memilih menikah. Hendaklah dia mengambil pelajaran
dari para wanita yang telat menikah. Dikarenakan sebab-sebab di atas, akhirnya
mereka banyak kehilangan kesempatan dan pahala.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,
08157579296]
No comments:
Post a Comment