Perjalanan yang belum selesai (306)
(Bagian ke tiga ratus enam), Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 10 juli 2015, 10.07 WIB)
Ramadhan, Puasa dan Sholat.
Ramadhan (bulan Puasa) di Indonesia identik dengan sholat
taraweh (sholat sunnah) di Masjid dan berpuasa.
Kebiasaan ini sudah menjadi budaya bangsa Indonesia,
bukan karena adanya perintah dari Allah dan Rasulnya.
Karena kalaupun seseorang sehari-harinya belum
melaksanakan sholat wajib (sholat lima waktu), namun biasanya mereka tetap
ramai-ramai memenuhi sholat taraweh (sholat sunnah berjamaah di bulan Ramadhan.
Begitu juga berpuasa, walaupun seseorang tidak
mempraktekkan sholat wajib lima waktu, tetap saja mereka rajin sholat taraweh,
dan berpuasa terutama pada pekan pertama bulan Ramadhan.
Padahal sholat Taraweh adalah sunnah (tidak wajib). Nabi
Muhammad sendiri ketika masih hidup melakukan sholat taraweh berjamaah hanya
tiga hari pertama bulan Ramdhan, sedangkan hari ke-4 sampai berakhirnya bulan
Ramadhan, sholat berjamaah di rumahnya bersama anak dan istrinya.
Nabi Muhammad beralasan, dia tidak ingin nanti ummatnya
menganggap sholat Taraweh adalah wajib, sehingga takut memberatkan ummat Islam.
Dan Nabi kuatir kalau sholat Taraweh jadi wajib, bisa
melupakan dan melalaikan sholat lima waktu yang wajib, yang kini banyak
dilakukan sebagian rakyat Indonesia.
Padahal Sholat lima waktu adalah terpenting kedua dalam
rukun Islam, setelah mengucapkan kalimat Tauhid, Laillahailaulah
Muhammadarasullah (Tiada Illah yang wajib disembah kecuali Allah, dan Muhammad
adalah Rasul Allah), baru kemudian ketiga berpuasa, ke empat rmembayar zakat
dan kelima Naik Haji/Umroh kalau mampu.
Itu sebabnya ketika kita di hisab dan dibangkitkan pada
hari kiamat, yang pertama kali ditanya Allah adalah tentang sholat kita, kalau
sholat kita tidak ada masalah, maka masalah lainnya akan lancar.
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya',
dan Shubuh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada
malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit)
diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu.
Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai
Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan
sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]
Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia
menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau
menjawab:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.
"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin
menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa
Ramadhan." [3]
A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari
wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih
tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban
hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat
sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang
bermalas-malasan mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ
الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan
dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat.
Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama',
bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak
mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits
tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ
أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ
لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ
فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa
mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap
enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya ke
Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian
dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia
berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]
Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih
di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada
kehendak Allah.
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang
pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah
shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika
tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia
memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah
tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’”
[7]
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap
sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui
apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam
satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah
segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami
dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun
mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha
illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat,
puasa, qurban, dan shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi
pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada
kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah
yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]
B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah
baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ،
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.
“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari
orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang
gila hingga kembali sadar.” [9]
Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan
shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk
mengerjakan shalat.
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ
سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia
tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh
tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Meninggalkan Puasa Ramadhan Termasuk Dosa Besar
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Puasa memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Ia
salah satu dari rukun Islam yang lima. Barangsiapa berpuasa untuk mencari ridha
Allâh Azza wa Jalla dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , maka ia akan meraih kebaikan dan keutamaan yang sangat besar. Oleh
karena itu kewajiban kaum Muslimin memperhatikan ibadah puasa dengan
sebaik-baiknya.
MAKNA PUASA
Dalam bahasa Arab, puasa disebut dengan shaum atau
shiyâm, artinya menahan. Adapun menurut istilah syari'at, Syaikh Muhammad bin
Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Shaum adalah: beribadah kepada Allâh
Azza wa Jalla dengan menahan diri dari makan, minum, dan segala yang
membatalkan, mulai terbit fajar (shadiq) sampai matahari tenggelam. (Syarhul
Mumti’, 6/298)
MACAM-MACAM PUASA
Para ulama menyebutkan bahwa puasa ada dua: puasa wajib
dan sunnah.
• Puasa wajib, seperti puasa Ramadhân, kaffârah, dan
nadzar.
• Puasa sunnah, seperti puasa Senin dan Kamis, enam hari
pada bulan Syawal, puasa Nabi Dawud, dan lainnya.
Selain itu ada juga puasa maksiat, seperti puasa pada
hari 'Idul Fithri dan Adh-ha, puasa mutih, puasa patigeni, puasa untuk mencari
kesaktian, dan lainnya.
HUKUM PUASA RAMADHAN
Hukum Puasa Ramadhân sudah sangat dikenal oleh umat
Islam, yaitu wajib, berdasarkan al-Qur'ân, al-Hadits, dan Ijma'. Barangsiapa
mengingkari kewajiban puasa Ramadhân, maka dia menjadi kafir. (Lihat al-Wajîz,
hlm. 189)
Allâh Azza wa Jalla berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. [al-Baqarah/2:183]
Puasa Ramadhân merupakan salah satu dari rukun Islam yang
lima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Laa ilaaha
illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh; menegakkan shalat; memberikan zakat; haji;
dan puasa Ramadhân”. [HR. al-Bukhâri, no. 8; Muslim, no. 16]
Syaikh Abdul ‘Aziz ar-Râjihi -hafizhahullâh- berkata,
“Barangsiapa mengingkari kewajiban puasa (Ramadhân), maka dia kafir, murtad
dari agama Islam. Karena dia telah mengingkari satu kewajiban besar dan satu
rukun dari rukun-rukun Islam, serta satu perkara yang diketahui dengan pasti
sebagai ajaran Islam. Barangsiapa mengakui kewajiban puasa Ramadhân dan namun
dia berbuka dengan sengaja tanpa udzur, berarti dia telah melakukan dosa besar,
dia dihukumi fasik dengan sebab itu, namun tidak dikafirkan menurut pendapat
yang paling kuat dari pendapat Ulama. Dia wajib berpuasa, dan Penguasa muslim
(harus) menghukumnya dengan penjara atau dera atau kedua-duanya. Sebagian Ulama
berkata, “Jika seseorang berbuka puasa Ramadhân dengan sengaja tanpa udzur, dia
menjadi kafir”. [Ilmâm bi Syai-in min Ahkâmis Shiyâm, hlm. 1]
ANCAMAN MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN TANPA UDZUR (ALASAN)
Puasa Ramadhân merupakan salah satu dari rukun Islam yang
lima, maka orang yang meninggalkannya atau meremehkannya akan mendapatkan siksa
yang pedih di akhirat.
Di antara hadits dan riwayat tentang bab ini adalah :
عَنْ أَبْي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى
رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ
فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ
حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ
: مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ
بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ
تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ
يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata: Aku mendengar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku sedang tidur,
tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya memegangi kedua
lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata
kepadaku, “Naiklah!” Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami
akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung
itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara
apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa,
tiba-tiba aku melihat sekelompok orang tergantung (terbalik) dengan urat-urat
kaki mereka (di sebelah atas), ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan
darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Mereka menjawab, “Meraka adalah
orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”. [HR. Nasâ’i dalam as-Sunan
al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân; Ibnu Khuzaimah; al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim,
no. 1568; ath-Thabarani dalam Mu’jamul Kabîr. Dishahihkan oleh al-Hâkim,
adz-Dzahabi, al-Haitsami. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60]
Di dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا
اللَّهُ لَهُ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ الدَّهْرَ كُلَّهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuka sehari
dari (puasa) bulan Ramadhân bukan dengan (alasan) keringanan yang Allâh berikan
kepadanya, maka tidak akan diterima darinya (walaupun dia berpuasa) setahun
semuanya. [HR. Ahmad, no. 9002; Abu Dâwud, no. 2396; Ibnu Khuzaimah, no.1987;
dll]
Namun hadits didha’ifkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, syaikh
Syu’aib al-Arnauth, syaikh al-Albani, dan lainnya, karena ada perawi yang tidak
dikenal yang bernama Ibnul Muqawwis.
Walaupun hadits ini lemah secara marfû’ (riwayat dari
Nabi) akan tetapi banyak riwayat dari para sahabat yang menguatkannya.
Diriwayatkan dari Abdulah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu
bahwa dia berkata:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ
لَقِيَ اللَّهَ بِهِ، وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ
شَاءَ عَذَّبَهُ
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân
dengan tanpa keringanan, dia bertemu Allâh dengannya, walaupun dia berpuasa
setahun semuanya, (namun) jika Allâh menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan
jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksanya”. [Riwayat Thabarani, no. 9459,
dihasankan oleh syaikh Al-Albani, tetapi riwayat yang marfû’ didha’ifkan. Lihat
Dha’if Abi Dawud –Al-Umm- 2/275]
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu,
bahwa dia berkata:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مُتَعَمِّدًا لَمْ يَقْضِهِ
أَبَدًا طُولُ الدَّهْرِ
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân
dengan sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”. [Riwayat Ibnu
Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa
ada seorang laki-laki berbuka di bulan Ramadhân dia berkata :
لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَوْمُ سَنَةٍ
Berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya. [Riwayat
Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
Bahkan sahabat Ali bin Abi Thâlib memberikan hukuman dera
(pukulan) kepada orang yang berbuka di bulan Ramadhân, sebagaimana disebutkan
di dalam riwayat :
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَرْوَانَ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ عَلِيَّ
بْنَ أَبِي طَالِبٍ أُتِيَ بِالنَّجَاشِيِّ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي رَمَضَانَ, فَضَرَبَهُ
ثَمَانِينَ, ثُمَّ ضَرَبَهُ مِنْ الْغَدِ عِشْرِينَ, وَقَالَ: ضَرَبْنَاكَ الْعِشْرِينَ
لِجُرْأَتِكَ عَلَى اللَّهِ وَإِفْطَارِكَ فِي رَمَضَانَ.
Dari Atha’ bin Abi Maryam, dari bapaknya, bahwa
An-Najasyi dihadapkan kepada Ali bin Abi Thâlib, dia telah minum khamr di bulan
Ramadhân. Ali memukulnya 80 kali, kemudian esoknya dia memukulnya lagi 20 kali.
Ali berkata, “Kami memukulmu 20 kali karena kelancanganmu terhadap Allâh dan
karena engkau berbuka di bulan Ramadhân”. [Riwayat Ibnu Hazm di dalam
al-Muhalla, 6/184]
an-Najasyi ini adalah seorang penyair, namanya Qais bin
‘Amr al-Hâritsi. Dia mengikuti Ali sampai Ali menderanya, kemudian dia lari
menuju Mu’awiyah. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60)
Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa meninggalkan
puasa sehari di bulan Ramadhan tanpa udzur merupakan dosa besar, maka bagaimana
jika meninggalkan puasa sebulan penuh? Tentu dosanya lebih besar. Oleh karena
itu seorang yang ingin selamat di dalam kehidupannya, hendaklah dia
melaksanakan perintah-perintah Allâh dan meninggalkan larangan-laranganNya,
sehingga meraih keberuntungan di dunia dan akhirat.
Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun
XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
No comments:
Post a Comment