!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Sunday, July 5, 2015

Tuduhan miring terhadap Salafi dengan menyebut Wahabi

Perjalanan yang belum selesai (306)

(Bagian ke tiga ratus enam), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 5 juli 2015, 19.07 WIB)

Tuduhan miring terhadap Salafi dengan menyebut Wahabi

Beberapa tahun lalu sebelum mengenal ahlul sunnah waljamaah (salafi), ada seorang teman meminta saya untuk mendengarkan Radio Rodja, Radio Sunnah (salafi).
Beberapa tahun kemudian setelah bertemu lagi dengan teman saya itu saya diminta mendengar Radio lain (teman saya menduga Radio itu milik syiah).
Dan teman saya itu malah menuduh kami yang salafi sebagai Wahabi dan dia banyak bercerita dengan membela syiah.
Padahal syiah menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai aliran sesat (ada 10 kriteria mengapa MUI menganggap Syiah sebagai sesat).
Di Masjid di komplek saya tinggal dalam ceramahnya ada seorang ustad yang tanpa dalil ilmiah juga sering menyerang Wahabi dan seakan Salafi identik dengan firqah Wahabi yang sesat.

Ustadz Badrusalam, Lc di Radio Rodja dalam video TV Rodja mengatakan,
Sering kita dengar sebagian manusia menyebut-nyebut "Wahabi... Wahabi..." disertai dengan kesan negatif yang dilekatkan padanya. Lalu sebenarnya apa itu Wahabi / Wahabiyah? Bagaimana sejarah Wahabi? Kapan kemunculannya? Apakah kita sudah benar-benar paham tentang Wahabi yang diklaim sesat tersebut?
Perkataan seorang alim:
لان أخطأ في العفو احب الي من ان اخطأ اخي العقبة
"Saya salah dalam memaafkan itu lebih saya sukai daripada saya salah dalam memberikan vonis."
Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال ، وإلا رجعت عليه
"Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, "Wahai kafir," maka akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Kalau yang dituduhkannya memang kafir, maka memang benar (kafir). Tapi kalau tuduhan itu tidak benar, maka tuduhan itu akan kembali kepada dia (orang yang mengucapkannya)." (HR Bukhari dan Muslim)
Wahabi / Wahabiyah
Wahabi itu dari kata 'Wahhaab' dan 'i', 'i' dalam bahasa Arab disebut dengan "ياء النسبة", ya' yang merupakan penisbatan, artinya nisbat kepada Wahhab. Dan Wahhab (الوهاب) itu salah satu dari nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itu sebatas makna secara bahasa saja.
Pernah saya (Ustadz Abu Yahya Badrusalam – Ed) di Masjid Al-Azhar dahulu membawakan dialog ringan antara ulama Saudi yang bernama Syaikh Dr. Muhammad Asy-Syuwai'ir dengan para ulama Maroko (Maghrib), didapati sebuah fatwa dari seorang ulama yang bernama Al-Lakhmi, di mana ulama yang bernama Al-Lakhmi ini pernah ditanya tentang masjid oleh firqah Wahabiyah, bagaimana status masjid ini dan bagaimana Wahabiyah itu. Dan beliau (Al-Lakhmi) memfatwakan bahwasanya itu (adalah) masjid yang harus dihancurkan dan beliau menyatakan firqah Wahabi itu firqah yang sesat dan menyesatkan, firqah Khawarij yang menyesatkan.
Maka kemudian, Dr. Muhammad bin Sa'ad Asy-Syuwai'ir berkata kepada orang yang membawakan fatwa itu. Kata beliau, bahwa dirinya membawakan fatwa itu dari mana? Ternyata dari sebuah buku yang berjudul Al-Mi'yar Al-Mu'rib fi Fatawa Ahli Al-Maghrib yang ditulis oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi yang wafat tahun 914 H (1508 M). Kemudian beliau (Asy-Syaikh Sa'ad Asy-Syuwai'ir) bertanya, bahwa Ibnul Lakhmi yang ditanya tentang firqah Wahabi itu wafat tahun berapa? Disebutkan bahwa Ibnu Lakhmi wafat tahun 478 H (abad ke-5 Hijriyah), dan yang menukil fatwa Al-Ibnu Al-Lakhmi adalah Al-Wansyarisi yang wafat tahun 914 H (abad ke-10 Hijriyah). Kemudian Asy-Syaikh Sa'ad Asy-Syuwa'ir berkata, bahwa apakah Anda (lawan bicara Asy-Syaikh) tahu kapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan? Lawan bicara Asy-Syaikh tidak mengetahuinya. Kata Asy-Syaikh, bahwaSyaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab dilahirkan tahun 1.115 H. Padahal Ibnu Al-Lakhmi wafat 478 H, yang menukil fatwa Ibnul Lakhmi, Al-Wansyarisi wafat tahun 914 H, sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir tahun 1.115 H.
Mungkinkah Ibnul Lakhmi memfatwakan tentang sebuah firqah yang akan datang ratusan tahun kemudian? Maka di sini yang harus kita pahami, ternyata Wahabi yang dimaksud oleh Ibnu Al-Lakhmi ini adalah firqah yang dibawa oleh Abdul Wahhab bin Rustum.
Siapa Wahabi? Bagaimana Sejarah Wahabi?
Wahabi adalah firqah yang muncul di abad ke-2 Hijriyah yang dibawa oleh Abdul Wahhab bin Rustum. Dia memang seorang Khawarij yang mengkafirkan kaum Muslimin. Pemikirannya memang menyesatkan, bahkan difatwakan oleh para ulama akan kekafiran firqah ini.
Jadi secara sejarah, penamaan Wahabi itu dengan yang diklaim katanya "pentolan dakwah Wahabi itu (adalah) Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab", (maka) ini adalah suatu sejarah yang aneh sekali. Bahwasanya firqah Wahabiyah sudah muncul jauh sebelum Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab lahir. Kebetulan, Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab (mengandung) nama "'Abdul Wahhab", nah dikira oleh orang-orang (awam) bahwa 'Abdul Wahhab inilah pendiri daripada Wahabiyah, akhirnya diklaimlah Wahabi. Subhanallah, padahal nama beliau adalahMuhammad bin 'Abdul Wahhab, secara penisbatan saja sangat salah; "Wahabi" itu nisbat kepada Wahhab, nama beliau itu Muhammad, seharusnya "Muhammadiyah", bukan "Wahabiyah".
Video ceramah ini juga sebagai sebagian bantahan terhadap buku karya penulis yang mengatasnamakan dirinya sebagai Syaikh Idahram.

Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Suka Mengkafirkan Orang?

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah salah seorang ulama yang diakui banyak pihak sebagai mujaddid (pembaharu agama) di abad 12 hijriyah. Karena banyak sekali dampak kebaikan yang dihasilkan oleh dakwah beliau rahimahullah . Dakwah beliau adalah dakwah yang berlandaskan kitab suci al-Qur’ân, Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikuti Salaf (para pendahulu) yang shalih.

Namun, ada sebagian orang yang tidak mengerti dakwah beliau rahimahullah berani mencela beliau rahimahullah , bahkan berusaha menjauhkan manusia dari dakwah beliau rahimahullah . Mereka menuduh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan berbagai macam tuduhan, diantara beliau rahimahullah dituding suka mengkafirkan kaum Muslimin secara membabi buta. Mereka juga menuduh bahwa tindakan terorisme di zaman ini, termasuk berbagai pengeboman dan pengrusakan, adalah buah dari ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah .

Bagaimanakah kebenaran dari tuduhan ini ? Sungguh, semua tuduhan itu tidak benar. Karena Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah hanya menjatuhkan vonis kafir kepada orang-orang yang telah tegak hujjah dan tahu benar jalan kebenaran, namun ia tetap nekat dalam perbuatan kufurnya. Dan kalau dikatakan bahwa ajaran beliau rahimahullah menimbulkan berbagai perbuatan teror, maka itu terbantahkan dengan fakta. Betapa banyak orang yang mengkaji dan mengikuti ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah namun mereka tidak apa-apa, tidak rusak dan tidak melakukan pengerusakan. Bahkan sebaliknya, yang timbul adalah kebaikan yang besar bagi orang yang diberi petunjuk oleh Allâh Azza wa Jalla . Pemikiran teror yang ada pada sebagian orang, itu merupakan akibat dari pemahaman yang salah dan menyelisihi kebenaran.

Untuk membuktikan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak menjatuhkan vonis kafir kepada sembarang orang, kami merasa perlu membawakan perkataan-perkatan beliau rahimahullah dalam masalah ini. Intinya adalah orang yang zhahirnya Islam, jika ia melakukan perbuatan syirik atau kekafiran dengan sebab ketidaktahuannya, maka dia tidak dikafirkan sampai kecuali setelah ada penjelasan baginya dan setelah tegak hujjah kepadanya.

Prinsip Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dalam Takfîr (Menjatuhkan Vonis Kafir)
Sebagaimana sikap para Ulama Ahlus Sunnah yang lain, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga memiliki prinsip: tidak mengkafirkan seorang yang melakukan syirik atau kekafiran kecuali setelah ada penjelasan baginya dan setelah tegak hujjah kepadanya.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata :

بَلْ نُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَا يَعْلَمُهُ مِنْ قُلُوْبِنَا بِأَنَّ مَنْ عَمِلَ بِالتَّوْحِيْدِ وَتَبَرَّأَ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ فَهُوَ الْمُسْلِمُ فِي أَيِّ زَمَانٍ وَأَيِّ مَكَانٍ، وَإِنَّمَا نُكَفِّرُ مَنْ أَشْرَكَ بِاللهِ فِي إِلَهِيَّتِهِ بَعْدَمَا نُبَيِّنُ لَهُ الْحُجَّةَ عَلَى بُطْلاَنِ الشِّرْكِ

Bahkan kami mempersaksikan Allâh yang mengetahui hati kami, bahwa orang yang mengamalkan tauhid, berlepas diri dari syirik dan pelakunya, maka dia adalah seorang Muslim, kapan saja dan di mana saja. Kami hanya mengkafirkan orang yang melakukan perbuatan syirik (perbuatan menyekutukan) Allâh dalam uluhiyah (peribadahan) setelah kami jelaskan hujjah kepadanya tentang kebatilan syirik. [Majmû’ Muallafât Syaikh Muhammad bin AbdIl Wahhab, 3/34]

Tuduhan Dusta Kepada Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Sesungguhnya tuduhan suka mengkafirkan kaum Muslimin yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah , tidak hanya marak di zaman ini, bahkan tuduhan dan fitnah itu sudah disebarkan semenjak beliau masih hidup!

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata :

وَإِذَا كُنَّا لاَنُكَفِّرُ مَنْ عَبَدَ الْصَّنَمَ الَّذِي عَلَى عَبْدِ الْقَادِرِ، والْصَّنَمَ الَّذِي عَلَى قَبْرِ أَحْمَدَ الْبَدَوِيْ، وَأَمْثَالِهِمَا لِأَجْلِ جَهْلِهِمْ وَعَدَمِ مَنْ يُنَبِّهُهُمْ، فَكَيْفَ نُكَفِّرُ مَنْ لَمْ يُشْرِكْ بِاللهِ إِذَا لَمْ يُهَاجِرْ إِلَيْنَا أَوْ لَمْ يُكَفِّرْ وَيُقَاتِلْ ؟ سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ

Jika kami tidak menjatuhkan vonis kafir kepada orang yang menyembah berhala yang ada di atas (kuburan) Abdul Qadir (Jailani), dan yang menyembah berhala yang ada di atas kuburan Ahmad Badawi, dan selainnya, karena ketidaktahuan mereka juga karena tidak ada orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana mungkin kami mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Allâh jika dia tidak berhijrah kepada kami, atau dia tidak mengkafirkan dan memerangi ? Maha Suci Engkau Wahai Allâh , ini adalah dusta (fitnah) yang besar!! [ad-Durar as-Saniyyah, 1/66]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga berkata:

ما ذكر لكم عني أني أكفر بالعموم، فهذا من بهتان الأعداء، وكذلك قولهم: إني أقول: من تبع دين الله ورسوله وهو ساكن في بلده أنه ما يكفيه حتى يجيء عندي، فهذا أيضاً من البهتان، إنما المراد اتباع دين الله ورسوله في أي أرض كانت، ولكن نكفر من أقرّ بدين الله ورسوله ثم عاداه وصدّ الناس عنه، وكذلك من عبد الأوثان بعدما عرف أنه دين المشركين وزينه للناس، فهذا الذي أكفره وكل عالم على وجه الأرض يكفر هؤلاء إلاّ رجلاً معانداً أو جاهلاً )). مجموع مؤلفات الشيخ (3/33).

Apa yang diceritakan kepada kalian tentang saya, bahwa saya mengkafirkan dengan umum, maka ini termasuk kedustaan (fitnah) dari para musuh. Demikian juga perkataan mereka bahwa saya mengatakan, “Barangsiapa mengikuti agama Allâh dan Rasul-Nya, namun dia tinggal di kotanya, maka itu tidak cukup (yakni tidak sah Islamnya!) sampai dia datang di dekatku”, ini juga termasuk kedustaan (fitnah). Sesungguhnya yang dikehendaki (agama ini) adalah mengikuti agama Allâh dan Rasul-Nya, di bumi mana saja. Tetapi kami mengkafirkan orang yang mengakui kebenaran agama Allâh dan Rasul-Nya, kemudian dia memusuhinya dan menghalangi manusia darinya. Kami juga mengkafirkan orang yang menyembah berhala setelah dia tahu bahwa itu adalah agama kaum musyrikin dan dia menghiasinya (menganggapnya baik) untuk manusia. Inilah yang aku kafirkan. Dan semua orang berilmu di permukaan bumi mengkafirkan orang-orang ini. Kecuali orang yang menentang atau bodoh. [Maj’mû Muallafât Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, 3/33]

Beliau juga berkata:

(( وأما ما ذكر الأعداء عني أني أكفر بالظن وبالموالاة أو أكفر الجاهل الذي لم تقم عليه الحجة، فهذا بهتان عظيم يريدون به تنفير الناس عن دين الله ورسوله ))

Adapun yang diceritakan oleh musuh-musuh tentang saya, bahwa saya menjatuhkan vonis kafir berdasarkan perasangka, dan berdasarkan muwâlah (loyalitas, maksudnya jika ada orang yang tidak membela syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka dihukumi kafir-pen), atau aku mengkafirkan orang yang jahil (bodoh; tidak berilmu) yang belum tegak hujjah padanya, maka ini kedustaan (fitnah) yang besar. Mereka ingin menjauhkan manusia dari agama Allâh dan Rasul-Nya. [Maj’mû Muallafât Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, 3/14]

Persaksian Ulama Setelah Beliau
Sikap hati-hati yang diambil oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di atas juga ditegaskan oleh orang-orang yang memahami dakwah beliau rahimahullah . Inilah syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh, salah seorang Ulama besar keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah , beliau rahimahullah berkata :

(( والشيخ محمد رحمه الله من أعظم الناس توقفاً وإحجاماً عن إطلاق الكفر،حتى أنه لم يجزم بتكفير الجاهل الذي يدعو غير الله من أهل القبور أو غيرهم إذا لم يتيسر له من ينصحه ويبلغه الحجة التي يكفر تاركُها، قال في بعض رسائله: (( وإذا كنا لا نقاتل من يعبد قبّة الكواز، حتى نتقدم بدعوته إلى إخلاص الدين لله، فكيف نكفر من لم يهاجر إلينا وإن كان مؤمناً موحداً )).

Syaikh Muhammad (bin Abdul Wahhab) rahimahullah termasuk orang yang sangat berhati-hati dan tidak berani memvonis kafir (orang Islam lain). Sampai beliau rahimahullah tidak memastikan kekafiran orang bodoh yang berdoa kepada selain Allâh , baik berdoa kepada penghuni kubur atau lainnya, jika belum ada orang yang menasehatinya dan menyampaikan hujjah kepadanya, yang mana orang yang meningalkan hujjah itu menjadi kafir. Beliau rahimahullah berkata dalam sebagian risalahnya, “Jika kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah kubah al-Kawaz sampai kami mendakwahinya untuk mengikhlaskan agama bagi Allâh , maka bagaimana kami mengkafirkan orang yang tidak berhijrah kepada kami, walaupun dia adalah seorang mukmin dan bertauhid!! [Minhâj at-Ta’sîs wat Taqdîs, hlm. 98-99]

Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh rahimahullah juga berkata:

(( فمن بلغته دعوة الرسل إلى توحيد الله ووجوب الإسلام له، وفقه أن الرسل جاءت بهذا لم يكن له عذر في مخالفتهم وترك عبادة الله، وهذا هو الذي يجزم بتكفيره إذا عبد غير الله، وجعل معه الأنداد والآلهة، والشيخ وغيره من المسلمين لا يتوقفون في هذا، وشيخنا رحمه الله قد قرّر هذا وبينه وفاقاً لعلماء الأمة واقتداء بهم ولم يكفر إلاّ بعد قيام الحجة وظهور الدليل حتى إنه رحمه الله توقف في تكفير الجاهل من عباد القبور إذا لم يتيسر له من ينبهه، وهذا هو المراد بقول الشيخ ابن تيمية رحمه الله: حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول *، فإذا حصل البيان الذي يفهمه المخاطب ويعقله فقد تبين له )).

Barangsiapa telah sampai dakwah para Rasul yang mengajak kepada tauhîdullâh (mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam peribadahan) dan kewajiban berserah diri kepada-Nya, dan dia telah memahami bahwa para Rasul datang membawa ajaran ini, maka dia tidak memiliki alasan untuk menyelisihi para Rasul itu dan tidak beribadah kepada Allâh. Orang inilah yang dipastikan kekafirannya, jika dia menyembah selain Allâh dan menjadikan tandingan-tandingan serta tuhan-tuhan bersama Allâh. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan lainnya dari umat Islam tidak ragu-ragu dalam hal ini. Syaikh kami (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) telah menetapkan hal ini dan telah menjelaskannya karena menyetujui dan meneladani Ulama umat Islam. Dan beliau tidak mengkafirkan sampai tegaknya hujjah dan jelasnya dalil. Sampai beliau rahimahullah tidak memastikan kekafiran orang bodoh yang berdoa kepada kuburan-kuburan, jika belum ada orang yang mengingatkannya. Dan inilah yang dimaksudkan dengan perkataan syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah “Sampai jelas bagi mereka perkara yang dibawa oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Jika telah ada penjelasan yang bisa dipahami dan dimengerti oleh orang yang diajak bicara, maka hal itu telah jelas baginya”. [Mishbâhuzh Zhalam, hlm. 499]

Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh rahimahullah juga berkata:

(( وشيخنا رحمه الله لم يكفر أحدا ابتداء بمجرد فعله وشركه، بل يتوقف في ذلك حتى يعلم قيام الحجة التي يكفر تاركها، وهذا صريح في كلامه في غير موضع، ورسائله في ذلك معروفة

Syaikh kami (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) tidak mengkafirkan seorangpun semenjak awal semata-mata perbuatannya dan kemusyrikannya. Bahkan beliau tidak menetapkan hal itu sampai diketahui tegaknya hujjah kepadanya, yang mana orang yang meningalkan hujjah itu menjadi kafir. Ini nyata di dalam perkataan beliau di banyak tempat. Dan risalah-risalah beliau tentang hal itu telah dikenal”. [Mishbâhuzh Zhalam, hlm. 516]

Dengan sedikit keterangan ini maka semoga kebenaran menjadi semakin jelas. Orang yang meniti jalan kebenaran supaya menitinya dengan keyakinan. Dan orang yang menyimpang silahkan menyimpang dengan pengetahuan. Hanya Allâh Yang Memberikan taufik.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Menjawab Tuduhan-Tuduhan Dusta Terhadap Dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhab

Oleh
Ustadz Firanda Andirja, MA


Membela harkat dan martabat sesama Muslim merupakan ibadah ysng sangat mulia. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa membela kehormatan saudaranya maka Allah akan membela wajahnya dari api neraka pada hari Kiamat.[1]

Terlebih lagi jika yang dibela adalah harkat dan martabat Ulama yang memiliki jasa sangat besar bagi kaum Muslimin sekelas Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab, seorang tokoh dan pejuang dakwah yang bermadzhab Hanbali. Berkat jasa beliau maka berdirilah Kerajaan Arab Saudi yang aman dan tenang, dan merupakan satu-satunya negara yang menerapkan hukum dan syariat Islam. Dan sejak dahulu hingga saat ini banyak dusta yang disebarluaskan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab ini. Orang-orang yang berakal sehat, tentu, tatkala membaca dusta-dusta itu bakal mempertanyakan kebenarannya, karena tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sangat tidak mendasar dan penuh kedustaan.

Berikut diantara tuduhan-tudahan yang diarahkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab. Semoga menjadi pencerahan bagi kita dan para penentang-penentangnya.

Pertama: Kaum Wahhabi Dituduh Sebagai Khawarij?
Tahukah Anda, siapakah Khawarij itu? Khawarij adalah suatu sekte sesat yang menggambarkan momok haus darah, hobi menumpahkan darah kaum Muslimin. Apakah hakikat sekte sesat ini? Sehingga, apakah benar kaum Salafi Wahhabi adalah Khawarij yang haus darah kaum Muslimin?

Para Ulama yang menulis khusus tentang firqah-firqah Islam telah menyebutkan secara spesifik tentang aqidah Khawarij.

Abul-Hasan al-Asy’ari (wafat 330 H) berkata tentang perkara yang mengumpulkan kelompok-kelompok Khawarij : Kelompok-kelompok Khawarij bersepakat dalam hal pengkafiran Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu karena beliau menyerahkan hukum[2] dan mereka (kelompok-kelompok Khawarij) berselisih, apakah kekufurannya tersebut merupakan kesyirikan ataukah bukan?

Mereka bersepakat bahwa seluruh dosa besar merupakan kekufuran, kecuali kelompok an-Najdat[3] karena kelompok an-Najdat tidak mengatakan demikian.

Mereka bersepakat bahwasanya Allah Ta’ala mengadzab para pelaku dosa besar yang abadi, kecuali kelompok an-Najdat, para pengikut Najdah (bin ‘Amir).[4]

Abdul-Qahir al-Baghdadi (wafat 429 H) berkata: Para Ulama telah berselisih tentang perkara apakah yang mengumpulkan (disepakati) oleh kelompok-kelompok Khawarij yang beragam sekte-sektenya.

Al-Ka’bi dalam kitab Maqalat-nya menyebutkan bahwa yang mengumpulkan seluruh sekte-sekte Khawarij adalah mengkafirkan Ali Radhiyallahu anhu, Utsman Radhiyallahu anhu, dan dua hakim, para peserta perang Jamal, dan seluruh yang ridha dengan penyerahan hukum kepada dua hakim, dan juga pengkafiran karena pelanggaran dosa, dan wajibnya khuruj (memberontak) kepada pemimpin yang zhalim.

Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari berkata, “Yang menyebabkan mereka berkumpul adalah pengkafiran (terhadap) Ali, Utsman, para peserta perang Jamal, dan hakim, dan siapa saja yang ridha terhadap penyerahan hukum kepada dua hakim, atau membenarkan kedua hakim tersebut, atau salah satu dari keduanya, dan memberontak kepada penguasa yang zhalim”.
Yang benar adalah yang disebutkan oleh Syaikh kami Abul-Hasan al-Asy’ari dari mereka (Khawarij). Al-Ka’bi telah keliru tatkala menyebutkan bahwa Khawarij bersepakat tentang kafirnya pelaku dosa, karena sekte Khawarij an-Najdat tidak mengkafikan orang-orang yang melakukan dosa dari orang-orang yang sepakat dengan mereka.[5]

Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata,”Barangsiapa yang sepakat dengan Khawarij dalam hal mengingkari penyerahan hukum (kepada dua hakim), dan mengkafirkan para pelaku dosa besar, serta pendapat (boleh) memberontak kepada para penguasa yang zhalim, dan para pelaku dosa besar kekal di neraka, para penguasa boleh saja dari selain Quraisy, maka dia adalah Khawarij, meskipun ia menyelisihi Khawarij pada perkara-perkara yang lain yang diperselisihkan oleh kaum Muslimin. Dan jika ia menyelisihi mereka pada perkara-perkara yang kami sebutkan, maka ia bukanlah Khawarij”[6].

Asy-Syahristani (wafat 548 H) berkata, “Barang siapa yang memberontak kepada penguasa yang sah yang telah disepakati oleh jama’ah maka (ia) dinamakan khariji, sama saja apakah bentuk pemberontakan tersebut pada zaman para Sahabat, yaitu memberontak kepada para Khulafaur-Rasyidin, atau pemberontakan terjadi setelah itu, yaitu memberontak kepada para tabi’in yang mengikuti para Sahabat dengan baik, dan juga memberontak kepada para penguasa di sepanjang zaman .... dan Wa’idiyah termasuk dalam Khawarij; dan merekalah yang menyatakan kafirnya pelaku dosa besar dan kekal di neraka”.[7]

Dari penjelasan para ulama ahli sekte-sekte Khawarij di atas, maka dapat diketahui ada beberapa aqidah yang khusus dan merupakan ciri khas sekte-sekte Khawarij yang disepakati oleh seluruh sekte-sekte Khawarij. Aqidah-aqidah tersebut adalah: Pertama, mengkafirkan Ali dan dua hakim, yaitu Abu Musa al-‘Asy’ari dan ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu an huma. Kedua, mengkafirkan para pelaku dosa besar, kecuali sekte an-Najdat yang tidak berpendapat demikian. Ketiga, mewajibkan memberontak kepada penguasa yang zhalim.

Inilah aqidah khusus yang disepakati oleh seluruh sekte Khawarij. Tiga aqidah inilah yang telah dilakukan oleh Khawarij yang muncul pertama kali pada zaman Ali bin Abi Thalib, (1) mereka telah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib serta sebagian sahabat, dan (2) sebab mereka mengkafirkan karena mereka menganggap Ali bin Abi Thalib telah terjerumus dalam dosa besar yaitu berhukum kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (karena Ali menyerahkan hukum kepada dua hakim), dan barang siapa yang terjerumus dalam dosa besar menjadi kafir menurut mereka, (3) sehingga jadilah mereka memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Sebagaimana pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah bahwasanya barangsiapa memiliki aqidah ini (sepakat dengan Khawarij dalam aqidah ini) meskipun ia menyelisihi Khawarij dalam hal-hal yang lain maka ia adalah (tetaplah sebagai) seorang Khawarij. Adapun jika ia menyelisihi aqidah-aqidah khusus Khawarij ini, maka ia bukanlah Khawarij sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm di atas.

Dengan meninjau kesimpulan di atas, maka marilah kita renungkan tentang kelompok Salafi Wahhabi, apakah mereka beraqidah sebagaimana aqidah sekte Khawarij?

Apakah mereka yang disebut Salafi Wahhabi mengkafirkan Ali, Mu’awiyyah, Aisyah, ‘Amr bin al-‘Ash, dan para Sahabat yang ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin? Ataukah mereka yang justru menjunjung tinggi para Sahabat tersebut, dan membela mereka habis-habisan, terutama Sahabat Mu’awiyyah dan Ummul-Mukminin Aisyah yang telah dikafirkan oleh kaum sekte sesat Syi’ah?

Apakah kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan seorang Muslim hanya dikarenakan satu dosa besar yang dilakukan olehnya? Ataukah justru kaum Salafi Wahhabi yang getol membantah pemahaman takfiriyin yang hobi mengkafirkan pemerintah? Apakah pernah didapati kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan orang yang berzina, mencuri, atau membunuh orang lain? Kalaupun kaum Salafi Wahhabi mengkafirkan, maka yang mereka kafirkan adalah orang yang dinyatakan kafir oleh al-Qur’an dan Sunnah, dan itu pun setelah ditegakkan hujjah dan penjelasan kepadanya.

Apakah kaum Salafi Wahhabi menyerukan untuk memberontak keada pemerintah? Ataukah justru kaum Salafi Wahhabi yang senantiasa menyeru untuk taat kepada pemerintah? Barangsiapa yang mengikuti kajian-kajian yang disampaikan oleh para da’i Salafi, maka ia akan memahami bahwasanya kaum Salafi sangat memerangi sikap oposisi kepada pemerintah.

Kedua, Kaum Wahhabi Di tuduh Telah Mengkafirkan Kaum Muslimin
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab dituduh mengkafirkan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengikutinya.

Ini merupakan tuduhan dusta yang telah beliau bantah dalam tulisan-tulisannya. Sebagai bukti nyata, Kerajaan Arab Saudi yang meneruskan dakwah beliau ternyata tidak mengkafirkan para jama’ah haji yang berjuta-juta datang setiap tahunnya. Jika para jama’ah haji dianggap kafir dan musyrik, tentu mereka adalah najis dan tidak boleh menginjak tanah Haram di Mekkah. Bahkan kenyataannya Kerajaan Arab Saudi justru terus meningkatkan pelayanan kepada para jama’ah haji. Kaum Wahhabi adalah kaum yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan.

Syaikh Abdul-Lathif bin Abdirrahman Alu Syaikh berkata: “Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab termasuk orang yang paling menjaga dan menahan diri menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak memastikan kafirnya seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan penghuni kubur atau yang lainnya, jika tidak dimudahkan baginya adanya orang yang mengingatkannya”.[8]

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata: “Permasalahan memvonis kafir orang tertentu adalah permasalahan yang ma’ruf (dikenal), jika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang menimbulkan kekafiran, maka dikatakan: ‘Barangsiapa yang mengatakan perkataan ini maka ia kafir’, akan tetapi orang tertentu jika mengucapkan perkataan tersebut maka tidak duhukumi menjadi kafir hingga ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang menjadi kafir karena meninggalkan hujjah tersebut”.[9]

Beliau juga berkata: “Adalah kedustaan, seperti perkataan mereka bahwasanya kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan orang yang mampu untuk menampakkan agamanya untuk berhijrah kepada kami, kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak berperang; dan kedustaan seperti ini banyak dan dilakukan secara terus-menerus. Semua ini adalah kedustaan yang menghalangi manusia dari agama Allah dan Rasul-Nya.

Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah berhala yang ada pada Abdul-Qadir, dan berhala yang ada di kuburan Ahmad al-Baidawi dan yang semisal mereka berdua dikarenakan kejahilan dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana kami lantas mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia tidak berhijrah kepada kami, atau tidak mengkafirkan, dan tidak berperang? Maka suci Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini merupakan kedustaan besar”.[10]

Beliau juga berkata: “Adapun takfir (pengkafiran), maka aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasulullah, kemudian setelah ia mengetahui agam Rasul (tetapi) lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama tersebut serta memusuhi orang yang menjalankan agama Rasul; maka orang inilah yang aku kafirkan. Dan mayoritas umat –al-hamdulillah- tidak seperti ini”.[11]

Berikut Keyakinan Kaum Wahhabi Tentang Takfir (Pengkafiran).
Pertama, Kaum Salafi Wahhabi memandang bahwa takfir (pengkafiran) merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu pengkafiran harus dibangun berdasarkan dalil syar’i.

Kedua, Kaum Salafi Wahhabi hanya mengkafirkan dengan perkara-perkara yang merupakan Ijma’ ulama.

Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab berkata saat beliau ditanya:”Atas (landasan) apa ia berperang? Alpa yang menyebabkan seseorang dikafirkan?”, maka beliau menjawab:”Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia mengakuinya namun meninggalkan/tidak melaksanakannya karena lalai, maka kami –meskipun kmi memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang menginggalkan keempat rukun karena malas tanpa menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasan kepadanya jika ia telah tahu dan tetap mengingkari”.[12]

Ketiga, Kaum Salafi Wahhabi memandang perbedaan antara takfir mutlaq dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlaq, seperti halnya perkataan para ulama “barang siapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk maka ia kafir”, akan tetapi tidak serta merta setiap orang yang mengatakan al-Qur’an makhluk lantas kita kafirkan.

Keempat, Kaum Salafi Wahhabi meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir kecuali setelah memenuhi persyaratan (seperti ditegakkannya hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di kepalanya) serta tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran (seperti kebodohan, baru masuk Islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga tidak mengerti, atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dan lain-lain).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:”Tidak seorang pun boleh mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin meskipun ia keliru atau bersalah hingga ditegakkan hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah. Barang siapa yang secara yakin Islamnya tegak maka tidaklah Islam tersebut hilang darinya hanya dengan keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat”.[13]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:”Adapun memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk neraka maka hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu (khusus), karena penerapan vonis tersebut tergantung pada adanya persyaratan dan hilangnya halangan-halangan”.[14]

Ketiga, Kaum Wahhabi Dituduh Memiliki Aqidah Tajsim Dan Tasybih
Tajsim dan tasybih yang merupakan kekufuran adalah jika kita mengatakan bahwa tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan kita, wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti wajah kita, penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan kita. Hal ini sebagaimana halnya jika kita mengatakan bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti ilmu kita dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti kekuatan kita.[15]

Imam at-Tirmidzi rahimahullah dengan menukil perkataan Imam Ishaq bin Rahuyah, beliau berkata: Ishaq bin Ibrahim berkata: Hanyalah merupakan tasybih jika ia berkata ‘tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan (manusia) atau pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran (manusia)’. Jika ia berkata ‘pendengaran (Allah Subhanahu wa Ta’ala) seperti pendengaran (makhluk)’,maka inilah tasybih.

Adapun jika ia berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Tangan, pendengaran, dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ia tidak mengatakan bagaimananya serta tidak mengatakan bahwasanya pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaran (makhluk), maka hal ini bukanlah tasybih. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.[16]

Al-Imam Ahmad berkata,”Barangsiapa yang berkata ‘Penglihatan Allah seperti penglihatanku dan tangan Allah seperti tanganku, serta kaki Allah seperti kakiku’, maka ia telah mentasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya”.[17]

Karenanya menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat ilmu, qudrah, penglihatan, pendengaran, berbicara akan tetapi tidak sama dengan ilmu manusia, qudrah manusia, penglihatan dan pembicaraan manusia; maka demikian ini bukan tasybih atau tajsim, bahkan ini adalah tauhid kepada Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat Allah yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi sifat-sifat tersebut maha tinggi dan tidak akan sama dengan sifat-sifat makhluk.

Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. [asy-Syura/42:11].

Perhatikanlah dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, akan tetapi tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, sehingga penglihatan dan pendengaran Allah tidak seperti penglihatan dan pendengaran manusia atau makhluk.
Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tentang sifat-sifat Allah dibangun di atas mensifati Allah sesuai dengan apa yang Allah sifatkan tentang diri-Nya dalam al-Qur’an atau melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya tanpa adanya (1) tahrif dan (2) ta’thil serta tanpa (3) takyif dan (4) tamtsil.[18]

Secara bahasa, tahrif adalah merubah atau mengganti,[19] dan secara terminologi, tahrif –yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah- adalah merubah lafal-lafal nash yang berkaitan dengan sifat Allah atau merubah makna dari lafal-lafal tersebut.[20] Sedangkan ta’thil, secara terminologi adalah menolak sifat-sifat Allah yang datang dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik menolak sebagian sifat (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Asya’irah dan all-Maturidiyah) ataupun menolak seluruh sifat Allah (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum al-Jahmiyah dan al-Mu’tazilah). Adapun takyif, secara terminologi adalah membagaimanakan sifat-sifat Allah, seperti menyatakan bahwa sifat Allah begini dan begitu tanpa dalil, dan tanpa menyamakan dengan makhluk.[21] Dan tamtsil, secara terminologi adalah mengvisualkan sifat Allah dengan menyamakan sifat Allah seperti sifat makhluk, seperti menyatakan bahwa tangan Allah sama seperti tangan manusia, turunnya Allah sama seperti turunnya manusia, penglihatan Allah seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.[22]

Aqidah inilah yang disepakati oleh para Imam Salaf umat ini. Ibnu Abdil-Bar rahimahullah (salah seorang ulama besar madzhab Maliki, wafat tahun 463 H) telah menukil Ijma’ (konsensus) Ahlus-Sunnah terkait aqidah ini. Beliau rahimahullah berkata dalam kitabnya yang sangat mashur, at-Tamhid Lima fi al-Muwattha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid: “Ahlus-Sunnah Ijma’ (berkonsensus) dalam menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat tersebut. Adapun ahlul-bid’ah, Jahmiyah dan Mu’tazilah seluruhnya, demikian juga kaum Khawarij seluruhnya mengingkari sifat-sifat Allah pada makna hakikatnya, dan mereka menyangka bahwasanya barang siapa yang menetapkan sifat-sifat tersebut maka ia adalah musyabbih. Mereka ini di sisi para penetap sifat-sifat Allah adalah para penolak Allah yang disembah. Dan al-haq (kebenaran) pada apa yang dikatakan oleh mereka yang berbicara sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, dan mereka adalah para imam Jama’ah, al-hamdulillah”.[23]

Sebagaimana hal ini juga telah disebutkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan tentang sifat tangan kanan Allah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanannya, lalu Allah mentarbiyahnya (mengembangkannya) untuk salah seorang dari kalian sebagaimana salah seorang dari kalian mengembangkan kuda kecilnya. Sampai-sampai sesuap makanan sungguh-sungguh menjadi seperti gunung Uhud’”.[24]

Setelah meriwayatkan hadits ini, kemudian at-Tirmidzi berkata:”Telah berkata lebih dari satu dari kalangan ahli ilmu tentang hadits ini dan riwayat-riwayat hadits yang lain tentang sifat-sifat Allah, dan turunnya Allah setiap malam ke langit dunia; mereka berkata, telah tetap riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah dan diimani, tidak dikhayalkan, serta tidak dikatakan bagaimananya sifat-sifat tersebut”.[25]


Demikianlah diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Abdullah bin al-Mubarak, bahwasanya mereka berkata tentang hadits-hadits ini: “Tetapkan hadits-hadits tersebut tanpa menggambarkannya”. Dan demikianlah perkataan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan mereka berkata bahwasanya hal ini adalah tasybih.

Terdapat lebih dari satu tempat dalam al-Qur’an bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang tangan, pendengaran, dan penglihatan. Kaum Jahmiyah mentakwil ayat-ayat ini dan menafsirkannya dengan tafsiran yang tidak sesuai dengan tafsir para ahli ilmu. Jahmiyah berkata:”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya”, dan Jahmiyah berkata,”Makna tangan di sini adalah kekuatan”[26].

Menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana lahiriahnya tanpa mentasybih dengan sifat-sifat makhluk merupakan aqidah para imam empat madzhab.

Imam Abu Hanifah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam al-Qur’an. Apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an berupa penyebutan tentang wajah, tangan, dan jiwa maka itu adalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa menggambarkannya. Dan tidak dikatakan sesungguhnya tangannya adalah qudrah (kemampuan)-Nya atau nikmat-Nya, karena hal ini menolak sifat, dan ini adalah perkataan para penolak taqdir dan kaum Mu’tazilah; akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa membagaimanakannya. Kemarahan-Nya dan keridhaan-Nya adalah dua sifat yang termasuk sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menggambarkannya”.[27]

Imam Malik rahimahullah tatkala ditanya tentang bagaimanakah istiwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka beliau berkata: “Istawa diketahui (maknanya), dan bagaimananya tidak bisa dipikirkan, dan mengimaninya adalah wajib, serta bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”.[28]

Ibnu Qudamah rahimahullah meriwayatkan atsar dari Imam Syafii rahimahullah, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: Yunus bin ‘Abdil-A’la berkata, aku mendengar Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafii, tatkala ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang diimani oleh asy-Syafii, maka asy-Syafii berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang terdapat dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dan dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya; tidak boleh seorang pun dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah tegak hujjah kepadanya untuk menolaknya karena al-Qur’an telah menurunkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, dan telah sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang nama-nama dan sifat-sifat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh para perawi yang adil (tsiqah/terpercaya). Jika seseorang menyelisihinya setelah tetapnya hujjah kepadanya maka ia kafir; adapun sebelum tegaknya hujjah maka ia mendapat udzur karena kejahilan, karena ilmu tentang hal ini (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa diketahui dengan akal, atau dengan pemikiran, dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang jahil (tidak tahu), kecuali setelah sampai kabar tentang hal tersebut kepadnya. Kami menetapkan sifat-sifat ini dan kami menolak tasybih dari sifat-sifat tersebut sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolak tasybih dari diri-Nya.[29]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitabnya, Dzam at-Takwil, halm.20: Abu Bakr al-Marwazi berkata: Dan telah mengabarkan kepadaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal telah menyampaikan kepada mereka, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan ‘sesungguhnya Allah Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia’, dan ‘sesungguhnya Allah Ta’la dilihat’, dan ‘sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kaki-Nya’, dan hadits-hadits yang semisal ini”, maka Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) berkata, “Kami beriman dengan hadits-hadits ini dan kami menbenarkannya, tanpa ada bagaimananya dan tanpa memaknainya (mentakwilnya) dan kami tidak menolak sedikitpun dari hadits-hadits ini, dan kami mengetahui bahwasanya apa yang datang dari Rasulullah adalah benar jika datang dengan sanad-sanad yang shahih, dan kami tidak menolak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disifati lebih dari apa yang Allah Ta’ala sifatkan diri-Nya sendiri, atau pensifatan Rasul-Nya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa adanya batasan

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

(tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat).

Orang-orang yang mensifati (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak akan sampai kepada sifat-Nya (yang sebenarnya) dan sifat-sifat-Nya dari-Nya. Kami tidak melebihi al-Qur’an dan Hadits, maka kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami mensifati sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifati diri-Nya, kami tidak melampuinya, kami beriman kepada seluruh al-Qur’an yang muhkam maupun yang mutasyabih, dan kami tidak menghilangkan satu sifat pun dari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya karena celaan”.

Demikianlah aqidah empat Imam madzhab Ahlus-Sunnah, bahwasanya mereka menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih, akan tetapi mereka menafikan tasybih dan penyamaan dengan sifat-sifat makhluk. Mereka menetapkan sifat tangan Allah Ta’ala akan tetapi tidak seperti tangan makhluk; demikian pula wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana penglihatan dan pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak seperti penglihatan dan pendengaran makhluk.

Meskipun Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi mereka menyerahkan hakikat bagaimana sifat-sifat tersebut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Karena akal dan ilmu manusia tidak akan mampu menangkap bagaimananya hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

Ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya [Thaha/20:110].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Madzhab Salaf –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka- menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memperlakukan sifat-sifat tersebut sebagaimana zhahirnya (lahiriyahnya) dan menafikan bagaimananya hakikat sifat-sifat tersebut. Karena pembiaraan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah cabang dari pembicaraan tentang Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan penetapan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menetapkan adanya wujudnya Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan menetapkan bagaimananya Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka demikian pula penetapan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah madzhab para Salaf seluruhnya”.[30]

Hal ini berbeda dengan musyabbihah yang menggambarkannya sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk.

Kaum Mu’atthilah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada di antara mereka yang menolak sebagian sifat, seperti kaum Asya’irah dan Maturidiah. Juga ada di antara mereka yang menolak seluruh sifat, seperti kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah.

Mereka menganggap penetapan setiap sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala berkonsekwensi telah mentasybih (menyerupakan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluknya. Padahal menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk sama-sama memiliki pendengaran dan penglihatan bukanlah tasybih atau tajsim yang merupakan kekufuran. Hanya saja yang merupakan kekufuran, ialah jika kita menyatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti penglihatan dan pendengaran manusia –sebagaimana telah lalu penjelasannya. Bahkan hingga Jahmiyah dan Mu’tazilah (yang menolak seluruh sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) menamakan Asya’irah sebagai musyabbihah karena telah menetapkan sebagian sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara tuduhan Mu’tazilah (para penolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah menuduh Ahlus-Sunnah sebagai mujassim dan musyabbih. Hal ini telah jauh-jauh hari diingatkan oleh para Ulama Salaf.

Abu Zur’ah ar-Razi (wafat 264 H) berkata: “Mu’atthilah (para penolak sifat yang mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla), yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensifati diri-Nya di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya, dan mereka (Mu’atthilah) mendustakan hadits-hadits shahih yang datang dari Rasulullah tentang sifat-sifat, lalu mereka mentakwilnya dengan pemikiran mereka yang terbalik agar sesuai dengan keyakinan mereka yang sesat, lalu mereka menisbahkan para perawi hadits-hadits tersebut kepada tasybih. Maka barang siapa yang menisbahkan orang-orang yang mensifati Rabb mereka –Tabaraka wa Ta’ala- dengan sifat-sifat –yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati dirinya di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya tanpa tamtsil dan tasybih- kepada tasybih maka ia adalah seorang mu’atthil yang menafikan sifat. Dan mereka (para mu’atthil) diketahui dengan sikap mereka yang menisbahkan para penetap sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada tasybih. Demikianlah yang para Ulama katakan, di antaranya Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H) dan Waki’ bin al-Jarah (wafat 197 H)”.[31]

Ishaq bin Rahuyah (wafat 238 H) berkata: “Tanda Jahm (bin Shafwan) dan para sahabatnya –yang gemar berdusta- adalah mereka menuduh Ahlu Sunnah wal-Jama’ah bahwsanya mereka adalah musyabbihah. Bahkan justru merekalah (Jahm dan pengikutnya) adalah mu’atthilah”.[32]

Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi asy-Syafii (wafat 219 H) berkata:
“Apa yang diucapkan oleh al-Qur’an dan hadits, seperti:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ

Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu. [al-Ma-idah/5:64].

Dan seperti:

وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ

Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. [az-Zumar/39:67].

Dan yang semisal ayat-ayat ini dalam al-Qur’an dan hadits, maka kami tidak menambahkannya dan kami tidak menafsirkannya (dengan takwil-takwil), dan kami berhenti dimana berhenti al-Qur’an dan al-Hadits, dan kami berkata:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

(yaitu)Tuhan yang Maha Pemurah, yang ada di atas ‘Arsy. ([Thaha/20:5].

Dan barang siapa yang menyangka selain dari ini maka ia adalah mu’atthil Jahmiah.[33]
Inilah kaum yang telah jauh-jauh diperingatkan oleh para imam kaum Muslimin akan bahaya mereka.

Keempat, Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Tentunya ini merupakan tuduhan dusta. Justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan untuk bershalawat. Salah seorang ulama yang menjadi sumber inspirasi kaum Wahhabi, yaitu Imam Ibnul-Qayyim (murid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) telah menulis sebuah buku khusus tentang keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjudul

جَلاَءُ الأَفْهَامِ فِي فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلَى خَيْرِ الأَنَامِ

Adapun yang dilarang adalah shalawat-shalawat bid’ah yang berisi makna-makna menyimpang. Seperti halnya shalawat Fatih yang dipopulerkan Thariqah at-Tijaniyah –yang menurut anggapan mereka- keutamaan membaca shalawat ini sekali saja seperti mengkhatamkan al-Qur’an 6000 kali.

Kelima, Kaum Wahhabi Dituduh Membenci Ahlul-Bait (Keluarga Nabi)
Tuduhan ini merupakan kedustaan –karena- bahkan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab telah memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama Ahlul-Bait. Diantara nama anak beliau adalah Hasan, Husain, Ali, Ibrahim, Abdullah, Abdulaziz, Fathimah. Tentunya seorang yang berakal tidak akan memberi nama anaknya dengan nama orang yang ia benci, akan tetapi justru sebaliknya ia akan memberinya nama dengan nama orang yang ia cintai.

Keenam, Kaum Wahhabi Dituduh Melarang Ziarah Kubur
Ini juga merupakan tuduhan dusta, malah justru kaum Wahhabi sangat menganjurkan ziarah kubur yang merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kubur. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur yang di dalamnya terdapat praktek (amaliyah) perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti meminta atau beristighatsah kepada mayat penghuni kubur, atau beribadah di kuburan, karena hal ini menyelisihi dan melanggar sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketujuh, Syaikh Muhammad Bin Abdil-Wahhab Dituduh Mengaku Sebagai Nabi
Ini merupakan kedustaan yang amat kelewat batas dan pernah disampaikan oleh Ahmad Zaini Dahlan yang dengki kepada dakwah beliau. Subhanallah, sedemikian keji Dahlan menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab mengaku sebagai seorang nabi. Padahal, sungguh terlalu banyak perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab yang tegas menyatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir, penutup para Nabi.

Di antara perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab ialah: “Manusia mengetahui bahwasanya tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kita maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan kita begitu saja, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul kepada kita. Rasul yang pertama adalah Nuh, dan yang terakhir adalah Muhammad ‘alihimus-sallam. Dari para rasul tersebut kita memperoleh Rasul yang terakhir dan yang paling mulia, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita adalah umat yang terakhir”.[34]

Syaikh juga berkata: “Rasul yang pertama adalah Nuh ‘alaihis-Sallam, dan yang terakhir adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia adalah penutup para Nabi, tidak ada lagi Nabi setelahnya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Bukanlah Muhammad adalah ayah salah seorang dari kalian akan tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi.”[35]

Syaikh juga mengkafirkan orang yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula yang membenarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dihukumi kafir oleh Syaikh. Beliau berkata:”Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia telah kafir setelah Islamnya... atau mengaku sebagai nabi, atau membenarkan orang yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[36]

Beliau juga berkata: “Mereka, para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Bani Hanifah –padahal Banu Hanifah telah masuk Islam pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mereka bersaksi bahwsanya tidak sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala dan bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasulullah, mereka mengumandangkan adzan dan mereka shalat”.

Jika ada yang berkata: “Akan tetapi Bani Hanifah (dikafirkan dan diperangi, karena) mereka mengatakan bahwa Musailamah adalah nabi”, maka katakanlah: “Inilah yang dimaksud, jika seseorang yang mengangkat seseorang hingga derajat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(maka ia) menjadi kafir, halal darah dan hartanya, serta tidak bermanfaat dua kalimat syahadatnya dan juga shalatnya, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengangkat Samson, atau Yusuf, atau sahabat, atau nabi ke derajat Allah Ta’ala penguasa langit dan bumi?”[37]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______



No comments:

Post a Comment