Bursa saham AS dan Eropa menurun, Rupiah capai titik
terendah tembus Rp 14.000/US1
(BBC) - Indeks Dow Jones sempat turun sampai 1.000 poin
pada perdagangan Senin 24/08.
Bursa saham Wall Street di New York anjlok selama lima
hari berturut-turut menyusul turunnya pasar saham di Eropa dan Asia karena
kekhawatiran semakin melambatkan perekonomian Cina.
Pada hari perdagangan yang berubah dengan cepat, Senin 24
Agustus, indeks Dow Jones sempat turun sampai 1.000 poin sebelum pulih kembali
pada 15.871,35 atau turun 3,6%.
Sementara itu S&P 500 ditutup dengan penurunan3,9% di
level 1.893,21 dan Nasdaq turun 3,8% dengan penutupan pada 4.038.6.
Penurunan saham di Amerika Serikat didorong oleh
kekhawatiran akan kesehatan perekonomian Cina.
Pabrik di Cina
Kekhawatiran perlambatan ekonomi Cina lebih buruk dari
yang diperkirakan sebelumnya
Dua pekan lalu, Bank Sentral Cina menempuh devaluasi mata
uang yuan, yang meningkatkan kekhawatiran perlambatan ekonomi di negara itu
lebih buruk dari yang diperkirakan sebelumnya.
Kekhawatiran utama para investor adalah perusahaan maupun
negara yang tergantung pada permintaan tinggi dari Cina akan terkena dampak
perlambatan ekonomi.
Bagaimanapun para pengamat berpendapat investor di
Amerika Serikat bertindak agak berlebihan.
"Dugaan bahwa perekonomian Cina akan membawa
perekonomian AS ke dalam resesi adalah tidak masuk akal, karena (ekonomi AS)
dua kali lebih besar dari ekonomi Cina dan berdasar pada konsumen," jelas
Philip Blancato, pimpinan eksekutif di Ladenberg Thalmann Asset Management.
Cina saat ini merupakan negara perekonomian terbesar
dunia dan juga negara importir terbesar kedua, baik untuk barang maupun jasa.
Pasar saham London, Paris dan Frankfurt anjlok karena
kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi Cina terus menghantui para penanam
modal.
Indeks FTSE 100 London turun 2,6% pada perdagangan Senin
pagi (24/08), sementara pasar-pasar utama di Prancis dan Jerman kehilangan
hampir 3%.
Saham Asia juga terkena dampaknya, dengan Shanghai
Composite di Cina turun 8,5%, yang terburuk sejak tahun 2007.
Pemerintah Cina dipandang gagal menenangkan para
investor.
Di samping itu, harga minyak turun pada tingkat terendah
dalam enam tahun, karena para pedagang mencemaskan perlambatan pertumbuhan di
ekonomi kedua terbesar dunia tersebut.
"Sepertinya kita bergerak turun dengan begitu
cepat," kata David Madden, analis pasar di IG.
Kekhawatiran meluas penanam modal terkait anjloknya saham
di Asia semakin diperburuk tipisnya perdagangan di Eropa karena kebanyakan
investor sedang berlibur.
"Saya pikir ketidakpastian akan meningkat di masa
depan," kata Madden.
Para investor kemungkinan harus menunggu berminggu-minggu
sebelum para pedagang kembali memasuki pasar untuk meningkatkan indeks saham.
Pasar saham Asia jatuh lagi pada Senin (24/08) di tengah
kekhawatiran investor akan melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina.
Nikkei 225 di Jepang, yang merupakan pasar saham terbesar
di Asia, turun 2,4% di poin 18.963,53 - level terendah dalam lima bulan.
Investor belum percaya terhadap kemampuan Cina dalam
menstabilkan pasarnya meski ada upaya terus-menerus dari Beijing.
Pada akhir pekan, Cina berencana untuk mengizinkan dana
pensiun untuk berinvestasi pertama kalinya di pasar saham.
Dalam aturan baru tersebut, dana pensiun boleh
berinvestasi sampai maksimal 30% aset bersihnya ke saham-saham yang terdaftar
secara domestik.
Langkah ini adalah upaya terbaru dari pemerintah Cina
untuk menahan penurunan bursa saham negara tersebut.
Dana tersebut boleh berinvestasi bukan hanya pada saham,
tapi juga pada serangkaian instrumen pasar termasuk derivatif. Dengan
meningkatkan permintaan atas produk-produk tersebut, pemerintah berharap
harganya akan meningkat.
Kehabisan trik
Simon Littlewood, presiden di firma konsultan bisnis ACG
Global mengatakan pada BBC bahwa ada kekhawatiran terhadap ekonomi terbesar
kedua dunia "sudah kehabisan trik karena dalam beberapa bulan terakhir
mereka sudah berusaha membuat ekonomi mereka lebih cair", namun masih
gagal dalam menenangkan pasar.
Dalam beberapa pekan terakhir, indeks saham gabungan Cina
turun 12%, sehingga total mengalami penurunan 30% sejak Juni.
Penurunan tajam itu menyebabkan penjualan saham global,
dengan Dow Jones di Amerika Serikat mengalami kerugian 6%, dan FTSE 100 di
Inggris mencatat kerugian terbesar dalam sepekan mencapai 5% sepanjang tahun
ini.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina dan jatuhnya nilai
saham bukanlah krisis tapi penyesuaian "yang perlu"
Awal bulan ini, bank sentral Cina mendevaluasi yuan
sebagai cara untuk mendorong ekspor.
Di Australia, S&P/ASX turun 2,2% ke level 5.098,80
pada penjualan Senin pagi.
Di Korea Selatan, indeks Kospi mengikuti tren kawasan,
dibuka 0,4% lebih rendah pada level 1.869,13.
Dan Senin (24/8) ini, pasar saham di Timur Tengah juga
turun drastis.
IMF: 'Tak ada krisis'
Pada akhir pekan, Dana Moneter Internasional (IMF)
mengeluarkan pernyataan tentang penjualan saham global dalam upaya menghindari
panik berlebihan di pasar.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina dan jatuhnya nilai
saham bukanlah krisis tapi penyesuaian "yang perlu" untuk ekonomi,
menurut pejabat senior IMF pada Minggu (23/8).
"Masih terlalu awal untuk berbicara ada krisis di
Cina," kata direktur eksekutif IMF Carlo Cottarelli yang mewakili
negara-negara seperti Italia dan Yunani, lewat sebuah konferensi pers.
Dia mengulangi lagi prediksi pengutang internasional yang
memperkirakan peningkatan ekonomi Cina sebesar 6,8%, di bawah level 7,4% yang
mereka capai pada 2014.
Pada Jumat (21/08), angka-angka menunjukkan aktivitas
pabrik di Cina pada bulan Agustus menyusut dalam skala tercepat enam tahun
terakhir.
Angka ini muncul setelah data resmi Cina menunjukkan
perlambatan ekonomi yang terus terjadi. Dalam tiga bulan sampai akhir Juli,
ekonomi negara tersebut tumbuh 7% jika dibandingkan setahun sebelumnya,
terendah sejak 2009.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mencapai Rp14.050
per US$1 memang tak lepas dari fenomena ekonomi global dan devaluasi mata uang
yuan, namun pemerintah juga harus melihat kinerja tim ekonomi dalam negeri.
Devaluasi yuan tersebut, menurut David Sumual selaku
ekonom Bank Central Asia, mengakibatkan terjadinya perubahan struktural
(tectonic shift) dalam pasar finansial global. Rupiah pun terpengaruh oleh
perubahan ini.
"Sejak dua minggu lalu, mata uang global melemah
semua terhadap dolar Amerika," kata David kepada wartawan BBC Indonesia,
Isyana Artharini.
Dari sektor domestik, pelemahan ini juga disebabkan oleh
isu-isu ekonomi yang relatif masih sama, yaitu bagaimana pemerintah mempercepat
belanja agar infrastruktur mulai dibangun dan meyakinkan investor untuk
melakukan investasi langsung.
Sayangnya, upaya melakukan investasi langsung ini
terhambat oleh sentimen pasar yang masih negatif terhadap Indonesia.
David juga melihat potensi perekonomian Indonesia
sebenarnya masih bagus, namun hal itu bergantung pada kemampuan pemerintah
menjaga stabilitas harga pangan dan menghilangkan isu-isu yang mengganggu
stabilitas tersebut.
"Sekarang kan harga daging tiba-tiba naik, isunya
kadang mau impor kadang enggak, kadang bilang suplai cukup, kadang kita bilang
kekurangan pasokan. Ketersediaan datanya kadang kita suka bingung nih, yang
benar yang mana," tambah David.
Meski begitu, menurut David, pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih salah satu yang tertinggi di Asia setelah Cina, Filipina, dan
India. Ada negara-negara lain yang mengalami situasi lebih parah dari
Indonesia, namun negara-negara yang melakukan reformasi struktural, kondisinya
relatif lebih baik.
"India berhasil melakukan reformasi struktural
sehingga meski mata uangnya masih lemah, tapi pelemahannya tidak sedrastis mata
uang yang lain," ujar David.
Perombakan kabinet adalah upaya untuk melakukan perubahan
struktural tersebut meski butuh waktu untuk melihat hasilnya.
Di sisi lain, menurut David, pemerintah dan otoritas juga
harus menyiapkan rencana darurat untuk menghadapi kemungkinan terburuk,
terutama dari sisi stabilitas harga pangan, mempercepat belanja infrastruktur,
dan meyakinkan investor.
"Bukan saran-saran baru, sudah lama diminta tapi
kelihatan pemerintah masih perlu mempercepat lagi," kata David.
Pemerintah juga harus menentukan langkah yang hendak
diambil agar nilai tukar ke depan lebih stabil.
Dalam pidatonya di sidang umum MPR/DPR, Presiden Jokowi
menargetkan kurs rupiah terhadap dolar Rp13.400 pada awal 2016. Menanggapi
target ini, David mengatakan, angka ini masih sulit untuk dicapai karena
kondisi-kondisi fundamentalnya yang masih lemah.
"Bank Indonesia beberapa kebijakan sudah ada, tapi
pemerintah gimana?" kata David.
Kondisi darurat
Sementara itu, pengamat mata uang Farial Anwar mengatakan
bahwa meski ada faktor eksternal yang bermain seperti spekulasi kenaikan suku
bunga di AS dan devaluasi yuan, namun kurs rupiah yang sudah mencapai Rp14.050
harus dilihat sebagai kondisi darurat.
"Ini level rupiah sudah oversold, undersell. Sudah
tidak ada pembenaran yang menyebutkan kurs rupiah ini bagus untuk perekonomian
Indonesia. Sudah tidak ada lagi hubungannya dengan fundamental ekonomi. Sudah
lebih banyak diguncang oleh permainan spekulator. Apakah kejatuhan saham ini
masih akan berhenti atau terus berlanjut? Ini jadi pertanyaan besar," kata
Farial pada BBC Indonesia.
Bank Indonesia harus terus melakukan kebijakan kontrol
ketat atas transaksi-transaksi dolar di pasar valuta asing
Yang terjadi saat ini menurutnya adalah hot money yang
masuk ke Indonesia sedang melakukan aksi jual sehingga IHSG jatuh tajam, dari
tertinggi 5523 di bulan April, sampai menembus 4300.
Rupiah yang diperoleh dari aksi penjualan ini dibelikan
dolar sehingga ada permintaan tinggi terhadap dolar dan nilai tukar sampai
menembus Rp14.050.
Selain itu, meski Bank Indonesia sudah menerapkan
peraturan yang mewajibkan transaksi dalam negeri untuk menggunakan rupiah namun
peraturan itu belum berjalan efektif.
Maka ada transaksi-transaksi dolar yang tidak ada
kaitannya dengan luar negeri, seperti di industri migas, listrik, pertambangan,
sewa mal, perkantoran, dan biaya konsultan yang menambah permintaan pada dolar.
Farial juga memuji langkah Bank Indonesia yang menurunkan
pembatasan pembelian dolar, dari maksimal US$100 ribu per bulan menjadi
maksimal US$25 ribu per bulan dengan harapan bisa menekan permintaan terhadap
dolar.
Namun, menurutnya, Bank Indonesia harus terus melakukan
kebijakan kontrol ketat atas transaksi-transaksi dolar di pasar valuta asing
selain juga melakukan pengendalian melalui intervensi dengan menggunakan
cadangan devisa.
"Jangan dianggap ini hal yang biasa yang boleh
dibiarkan terus terjadi," kata Farial.
Ia berharap pemerintah bekerja bersama dengan Bank
Indonesia untuk melakukan sinkronisasi antara sektor fiskal dengan moneter
terutama dalam mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
'Di luar garis'
Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Senin
(24/8) mengatakan, perlambatan ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi
juga negara-negara tetangga.
Menurutnya, beberapa penyebabnya perlambatan ekonomi
adalah depresiasi yuan dan jadi-tidaknya rencana kenaikan suku bunga di AS.
"Kita antisipasi bersama. Semuanya harus mempunyai
pemikiran yang sama dan kepatuhan terhadap garis yang nanti akan kita
sampaikan, apa yang harus kita lakukan. Jangan sampai kita sudah memberikan
garis, nanti masih ada yang di luar garis," kata Presiden pada wartawan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga sebelumnya
mengatakan akan mencegah mengalirnya dana dari Sertifikat Berharga Negara
dengan mendorong pasar sekunder.
Dari sisi pergerakan saham dan rupiah, Bambang melihatnya
sebagai tindakan irasional untuk mencari safe haven sementara, dan dolar
Amerika dilihat sebagai opsi teraman.
Cina mendevaluasi mata uang yuan sebesar hampir 2%
terhadap mata uang dolar Amerika Serikat yang merupakan titik terendah selama
hampir tiga tahun belakangan.
Bank Sentral Cina beralasan devaluasi ditempuh sebagai
koreksi yang lebih mencerminkan kekuatan pasar.
Menurut para analis, devaluasi yuan akan mendongkrak
ekspor Cina yang mengalami penurunan tajam selama bulan Juli.
Sejauh ini pihak berwenang memegang teguh kebijakan untuk
menjaga mata uang agar tetap kuat guna mendorong permintaan dalam negeri dan mendorong
perusahaan dalam negeri meminjam uang dan kemudian melakukan investasi di luar
negeri.
Namun kebijakan terbaru Cina ini, lapor wartawan BBC Theo
Legget, kemungkinan besar akan mendapat kecaman dari Amerika Serikat. Pasalnya,
selama ini para produsen di negara itu mengaku sudah mengalami kompetisi tak
adil dari produsen-produsen tirai bambu.
Ditambahkan oleh Legget, keputusan Cina ini mungkin akan
mempengaruhi bank sentral negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, untuk
menaikkan suku bunga karena barang-barang lebih murah dari Cina mungkin akan
menekan inflasi.
No comments:
Post a Comment