Perjalanan yang belum selesai (338)
(Bagian ke tiga
ratus tiga puluh delapan), Depok, Jawa Barat, Indonnesia, 10 Agustus 2015, 05.45 WIB).
Jangan patah hati.
Saya punya paman, pada masa kuliah (sekolah) dulu pernah
jatuh cinta pada seorang mahasiswi (gadis), namun karena gadis itu
meninggalkannya dan kawin (nikah) dengan pria lain, lalu paman saya itu patah
hati, dan tidak pernah kawin sampai tua (meninggal).
Teman saya yang seminggu dua kali harus ke rumah sakit
mengantarkan adik lelakinya karena suatu penyakit bercerita, kalau adiknya itu
sudah berusia mendekati 50 tahun. Dan dia bersama istrinya secara rutin ke
rumah sakit, karena adiknya itu sampai sekarang tetap membujang (belum kawin).
Kata dia adiknya itu pernah patah hati ditinggal pacar puluhan tahun lalu,
sehingga malas menikah.
Akibatnya ketika dia kini sakit, tidak ada istri atau
anak yang mengantar, kecuali abangnya (kakak lelaki) itu.
Mungkin banyak diantara kita baik pria atau wanita yang
memutuskan tetap membujang (tidak menikah) karena alasan patah hati.
Patah hati adalah kekecewaan yang alamiah dialami setiap
orang,namun apakah perlu dan ada gunanya kita patah hati terus menerus sampai
akhir hayat kita (meninggal).
Padahal Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di
bumi, agar manusia beribadah hanya kepada Allah dan sebagai persiapan menuju
kehidupan yang hakiki (abadi) di akherat.
Jadi kalau kita selama hidup di dunia ini yang sifatnya
hanya sementara dan sebagai ladang ujian dari Allah, maka tidak ada pilihan
lain bila kita hidup itu memiliki tujuan atau perencanaan. Petunjuk yang
sempurna mengarungi kehidupan itu adalah kitab Suci Al-Quran dan Sunnah
(Hadist/al-hikmah) Nabi Muhammad.
Dengan petunjuk ini kita akan hidup dengan baik dan
selalu dimudahkan Allah dalam segala hal urusan.
Jadi keputusan untuk patah hati tidak ada dalam kamus
Al-Quran dan sunnah, karena jodoh, rezeki dan maut (meninggal itu) sudah
ditentukan Allah dalam kitab:
"Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh
ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Seandainya kita sampai tua (meninggal) namun Allah tidak
mempertemukan kita dengan jodoh kita, maka kalau kita tetap beriman dan
konsisten melaknakan rukun Islam, maka Insya Allah kita di surga akan mendapat
jodoh (suami/istri) bidadari (untuk pria) dan bidadara (untuk wanita).
Jadi tetap sabar dalam bertawakal (beriman) kepada Allah,
jangan berputus asa (patah hati) dalam hidup yang singkat ini (rata-rata
manusia hidup tidak lebih 70 tahun). Padahal tujuan hidup sebenarnya adalah di
surga (akherat) yang selama-lamanya.
Siapakah Wanita Pilihan? Siapakah Lelaki Pilihan? Khitbah
(Meminang)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Nikah termasuk salah satu di antara Sunnah para Rasul
yang paling ditekankan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ
أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
"Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul
sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan." [Ar-Ra’d: 38]
Dimakruhkan meninggalkan Sunnah ini tanpa alasan,
sebagaimana disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu, ia berkata :
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا، فَقَالُوْا:
وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ رَسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْغُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ وَمَاتَأَخَّرَ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا، فَأَنَا أُصَلِّى
اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ الآخَرُ: أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلاَأُفْطِرُ وَقَالَ
آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: ((أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟
أَمَّا وَاللهِ إِنِّى َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّى أَصُوْمُ
وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى)).
“Ada tiga laki-laki datang ke rumah isteri Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menanyakan tentang ibadah beliau, setelah
diceritakan kepada mereka, maka mereka merasa bahwa ibadah mereka itu sedikit,
kemudian mereka berkata, “Di manakah posisi kami dibanding Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan beliau telah diampuni segala dosanya,
baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Maka salah seorang di antara
mereka berkata, ‘Aku akan shalat malam selamanya.’ Seorang lagi berkata, ‘Aku
akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka,’ dan yang lain berkata, ‘Aku akan
menghindari wanita dan tidak akan menikah selamanya.’ Kemudian Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam datang dan bersabda, ‘Kaliankah yang telah berkata begini dan
begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan
bertakwa kepada Allah daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat
dan tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia tidak
termasuk golonganku.’” [1]
Bagi orang yang telah mampu dan takut dirinya terjatuh ke
dalam perbuatan keji, maka nikah adalah wajib hukumnya, karena zina dan segala
sesuatu yang mendorong seseorang kepada perbuatan tersebut adalah haram. Orang
yang takut dirinya akan terjerumus kepada perbuatan zina, maka ia harus
mengantisipasinya. Dan apabila hal itu tidak dapat tercapai kecuali dengan
menikah, maka wajib baginya untuk menikah.[2]
Adapun bagi yang belum mampu untuk menikah sedangkan ia
sudah sangat berhasrat, maka hendaknya ia berpuasa, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia
berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian telah
mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia
berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya.” [3]
Siapakah Wanita Pilihan ?
Barangsiapa yang ingin menikah, maka hendaknya ia mencari
seorang wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Taat beragama, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, beliau bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِـهَا، وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِـهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta,
keturunan, kecantikan dan agamanya. Maka dapatkanlah wanita yang taat beragama
niscaya kamu beruntung.” [4]
2. Masih gadis, kecuali jika ada mashlahat baginya untuk
menikahi wanita janda, karena telah disebutkan dalam satu riwayat bahwasanya
Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata:
تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَقِيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ:
يَاجَابِرُ، تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ : بِكْرٌ أَمْ َثيِّبٌ؟ قُلْتُ: ثَيِّبٌ.
فَهَلاَّ بِكْرًا تُـلاَعِبُهَا؟ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله إِنَّ لِيْ أَخَوَاتٌ،
فَخَشِيْتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِيْ وَبَيْنِهِنَّ. قَالَ: فَذَاكَ إِذَنْ. إِنَّ الْمَرْأَةَ
تُنْكَحُ عَلَى دِيْنِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ.
“Aku telah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam beliau bertanya, ‘Wahai Jabir, apakah engkau telah menikah?’
aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bertanya, ‘Dengan gadis atau janda?’ Aku
menjawab, ‘Seorang janda.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa engkau tidak memilih
seorang gadis sehingga engkau dapat bercanda dengannya?’ Kemudian aku berkata,
‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku me-miliki beberapa saudara perempuan sehingga
aku takut akan terjadi kesalahpahaman.’ Maka beliau bersabda, ‘Jika demikian
adanya, maka tidak masalah. Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agama,
harta dan kecantikannya, maka nikahilah wanita yang taat beragama niscaya
engkau akan bahagia.” [5]
3. Wanita yang subur, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, beliau bersabda :
(تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإنِّيْ مُكَاثِرٌ
بِكُمُ الأُمَمُ).
“Nikahilah wanita yang subur peranakannya dan penyayang,
sebab aku akan berbangga di hadapan umat lain dengan jumlah kalian yang
banyak.” [6]
Siapakah Lelaki Pilihan?
Apabila seorang lelaki dianjurkan untuk mencari wanita
berkriteria seperti yang telah kami sebutkan di atas, maka bagi wali wanita
juga berkewajiban untuk mencari lelaki shalih yang akan dinikahkan dengan
anaknya. Abu Hatim al-Muzani Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَكُـمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ،
إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.
‘Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai
agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak wanita kalian), jika
tidak maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [7]
Dan tidaklah mengapa apabila seorang wali menawarkan
puteri atau saudara wanitanya kepada orang-orang yang shalih, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bahwasanya tatkala
Hafshah binti ‘Umar Radhiyallahu anhuma ditinggal mati oleh suaminya yang
bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin
al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan
Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa
hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk
tidak menikah pada saat sekarang.’ ‘Umar berkata, ‘Kemudian aku menemui Abu
Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku nikahkan engkau dengan
Hafshah binti ‘Umar.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun
dan pada saat itu aku merasa lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada
‘Utsman. Beberapa hari berlalu sampai kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam meminangnya, maka aku nikahkan ia dengan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Engkau marah
kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah akan tetapi aku tidak berkomentar
apa-apa?’ ‘Umar menjawab ‘Ya’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada
sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu kecuali karena aku tahu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutnya
(Hafshah). Aku tidak ingin menyebarluaskan rahasia Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, jika beliau meninggalkannya, maka niscaya aku akan
menerimanya.’”[8]
Melihat Wanita Yang Dipinang
Barangsiapa yang hatinya berhasrat ingin meminang seorang
wanita, maka disyari’atkan baginya untuk melihatnya sebelum ia meminang.
Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita,
maka aku bersembunyi dan mengintip wanita tersebut sehingga aku dapat
melihatnya.” Kemudian dikatakan kepadanya, “Bagaimana engkau melakukan hal ini
sedangkan engkau adalah Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Ia
menjawab, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فِيْ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ،
فَلاَبَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا.
"Jika Allah menaruh hasrat kepada hati seorang
laki-laki untuk melamar seorang wanita, maka tidak mengapa jika ia melihat
wanita tersebut.’” [9]
Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan kepada
beliau bahwasanya aku melamar seorang wanita, maka beliau bersabda :
اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ
بَيْنَكُمَا.
"Pergi dan lihatlah wanita tersebut, karena dengan
melihatnya dapat lebih mengekalkan kasih sayang di antara kalian berdua.’” [10]
Khitbah (Meminang)
Khitbah artinya melamar seorang wanita untuk dijadikan
isterinya dengan cara yang telah diketahui di kalangan masyarakat. Jika telah
tercapai kesepakatan, maka hal tersebut hanyalah satu janji kesepakatan untuk
menikah, lelaki yang melamar tersebut tidak diperbolehkan untuk melakukan apa
pun terhadap wanita yang dilamarnya karena statusnya masih orang lain sampai ia
diikat dengan tali pernikahan.
Dan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melamar
seorang wanita yang telah dilamar saudaranya, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ
بَعْضُكُـمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sebagian
dari kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh orang lain. Dan janganlah
seseorang melamar wanita yang masih dilamar oleh saudaranya sampai orang
tersebut meninggalkannya atau mengizinkannya.” [11]
Demikian juga tidak boleh melamar wanita yang sedang
dalam ‘Iddah thalaq Raj’i (masa penantian seorang wanita setelah ditalak dan
masih dapat rujuk kembali-penj), karena statusnya masih sebagai isteri orang
lain, sebagaimana ia juga tidak diperbolehkan untuk tashrih (secara
terang-terangan) melamar wanita yang masih dalam ‘iddah thalaq ba’in (masa
penantian seorang wanita setelah talak yang tidak dapat rujuk kembali-pent)
atau karena meninggalnya suami, akan tetapi tidak mengapa baginya untuk ta’ridh
(dengan sindiran). Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ
النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita
itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu." [Al-Baqarah: 235]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
No comments:
Post a Comment