Perjalanan yang belum selesai (356)
(Bagian ke tiga ratus lima puluh enam), Depok, Jawa
Barat, Indonnesia, 24 Agustus 2015,
18.56 WIB).
Setiap penyakit pasti ada obatnya.
Setiap penyakit pasti ada obatnya, kata Nabi Muhammad
dalam sabdanya. Dokter biasanya memberikan terapi atau resep obat-obatan kimia berupa kapsul atau pil
kaplet, sedangkan seorang herbalis biasanya memberikan obat jamu-jamuan
(herbal).
Bila dokter menggunakan terapi metode ilmiah, sedangkan
herbalis (tabib) menggunakan metode empiris, namun semua model di atas adalah
ikhtiar (usaha) manusia sebagaimana diwajibkan Allah, namun kesembuhan akhir
ditentukan atas izin Allah. Tidak ada seorang pun bisa menyembuhkan penyakit
tanpa ijin dan kehendak Allah walaupun dia berobat di dokter/tabib atau rumah
sakit paling canggih dan paling mahal.
Suatu penyakit telah ditentukan Allah di dalam kitab :
"Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh
ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Allah menentukan penyakit pada manusia menggunakan ilmu
Allah (Sunatullah), sebab akibat.
Misalnya contoh pengalaman Bapak Supri, yang menderita
gagal ginjal, akibat ginjalnya mengecil (mengerucut), akibat kebiasaannya minum-minuman
soda.
Ketika masih jadi prajurit dan bertugas di Pulau Natuna,
karena dua puluh tahun lalu belum ada peralatan penyulingan air portable, dan
air sumur di Pulau Natuna keruh.
Pulau Natuna dekat dengan Singapura, sehingga dengan
mudah Bapak Supri membeli berbagai soda dalam kaleng, sehingga makan pagi,
siang dan malam dia minum soda.
Kebiasaan ini menyebabkan kerusakan pada ginjalnya, sehingga
Bapak Supri harus menjalani cuci darah (hemo dialisa) selama 17 tahun, dan dua
bulan lalu Bapak Supri akhirnya dipanggil Allah (meninggal).
Mereka yang terkena penyakit gagal ginjal, biasanya kini
baru dikenal dua terapi, terapi pertama dengan cangkok ginjal, kedua cuci darah
(hemo dialisa), dalam cuci darah ada yang bertahan 3 tahun, ada yang sampai 20
tahun tetap bertahan , atau sampai 17 tahun seperti Pak Supri,
Selain kebiasaan minum soda, gagal ginjal kebanyakan
disebabkan karena penyakit diabetes, darah tinggi, kebiasaan minum minuman
keras (bir/wine), minum obat tanpa resep dokter, seperti obat
kuat/tonikum/ekstrak obat kuat yang melampaui batas, serta penyebab penyakit
lain.
SYARAT PENGOBATAN YANG MANJUR
Oleh
Ustadz Dr Muhammad Arifin bin Badri MA
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
مَاأَنْزَلَ اللَّه دَاءً إِِلاقَدْأَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ
مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan
telah menurunkan untuknya obat, hal itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya
dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya” [1]
Agar suatu pengobatan manjur dan mendatangkan hasil, kita
harus mengindahkan beberapa persyaratan. Dan berikut ini akan saya paparkan dua
syarat utama bagi pengobatan yang manjur.
SYARAT PERTAMA : PENGOBATAN TEPAT
Agar obat yang anda gunakan benar-benar berguna dan
manjur, sehingga penyakit yang anda derita sembuh, pengobatan anda harus tepat.
• Tepat ketika mendiagnosis penyakit yang anda derita
• Tepat memilih obat
• Tepat dalam dosis obat
• Tepat waktu penggunaan
• Tepat dengan menghindari berbagai pantangan dan hal
lain yang menghambat kerja obat.
Bila anda melakukan kesalahan pada satu dari hal-hal
tersebut maka sangat dimungkinkan pengobatan yang anda lakukan tidak akan
mendatangkan hasil sebagaimana diharapkan.
Demikianlah sebagian dari pelajaran yang dapat kita petik
dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
عَنْ جَابِرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَنَّهُ قَالَ (لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَاأُصِيبَ دَوَاءُالدَّاءِ
بَرَأَ بِإذْنِ اللَّهِ عَرَّ وَجَلَّ)
“Dari sahabat Jabir Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya,
dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh
dengan izzin Allah Azza wa Jalla” [HR Muslim]
Ibnul Qayim rahimahullah, mengomentari hadits ini dengan
berkata, “Pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan kesembuhan
dengan ketepatan (kecocokan) obat dengan penyakit. Sebab, tidak ada satu
makhlukpun melainkan memiliki lawannya. Dan setiap penyakit pasti memiliki obat
yang menjadi penawarnya, yang dengannya penyakit itu diobati. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan.
Ketepatan ini merupakan hal yang lebih dari sekedar ada atau tidak adanya obat
(bagi suatu penyakit, pen) karena obat suatu penyakit bila melebihi kadar
penyakit, baik pada metode penggunaan atau dosis yang semestinya akan berubah
menjadi penyakit baru. Bila metode penggunaan atau dosis kurang dari yang
semestinya, maka tidak akan mampu melawan penyakit, sehingga penyembuhannya pun
tidak sempurna. Bila seorang dokter salah dalam memilih obat, atau obat yang ia
gunakan tidak tepat sasaran, maka kesembuhan tak ‘kan kunjung tiba. Bila waktu
pengobatan dilakukan tidak tepat dengan obat tersebut, niscaya obat tidak akan
berguna. Bila badan pasien tidak cocok dengan obat tersebut atau fisiknya tidak
mampu menerima obat tersebut atau ada penghalang yang menghalangi kerja obat
tersebut, niscaya kesembuhan tak kan kunjung tiba. Semua itu dikarenakan
ketidaktepatan dalam pengobatan. Bila pengobatan tepat dalam segala aspeknya,
pasti –dengan izin Allah- kesembuhan akan diperoleh. Inilah penafsiran terbaik
bagi hadits di atas. [2]
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan yang
senada dengan ucapan Ibnul Qayyim, “Pada hadits riwayat sahabat Jabir
Radhiyallahu anhu terdapat isyarat bahwa kesembuhan tergantung pada ketepatan
dan izin Allah. Yang demikian itu dikarenakan suatu obat kadang kala melebihi
batas baik dalam metode penggunaan atau dosisnya, sehingga obat tersebut tidak
manjur, bahkan dimungkinkan obat itu malah menimbulkan penyakit baru.[3]
SYARAT KEDUA : IZIN ALLAH
Sebagai seorang muslim anda pasti beriman kepada takdir
Allah. Anda mempercayai bahwa segala sesuatu di dunia ini terjadi atas kehendak
dan ketentuan dari Allah Ta’ala.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
takdir (ketentuan)” [Al-Qomar : 49]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرِ (كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ
حَتَّى الْعَجْزِوَالْكَيْسِ)
“Segala sesuatu (terjadi) atas takdir (ketentuan dan
kehendak), hingga rasa malas dan semangat pun (terjadi atas takdir)” [HR
Muslim]
Kehendak dan ketentuan Allah ini mencakup segala sesuatu,
tidak terkecuali penyakit dan kesembuhan yang menimpa manusia. Oleh karenanya, Nabi
Ibrahim Alaihissallam berkata sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an.
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan bila aku sakit, maka Dialah Yang menyembuhkan”.
[Asy-Syu’ara : 80]
Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila ada
salah seorang dari anggota keluarganya yang menderita sakit, atau ketika
menjenguk orang yang sedang sakit, beliau mengusapnya dengan tangan kanannya,
sambil berdo’a.
اللَّهُمِ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبْ اْلبَاسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ
الشَّافِي لاَشِفَاءَ إِلاشِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُسَقَمًا
“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, sirnakanlah keluhan,
sembuhkanlah dia, sedangkan Engkau Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan
kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit” [Muttafaqun
‘alaih]
Oleh karenanya, pada hadits Jabir Radhiyallahu anhu di
atas, selain mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengaitkannya dengan kehendak
Allah.
“Bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit,
niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla”.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dan pada sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَنْزَلَ الدَّوَاءَ الَّذِي أَنْزَلَ الْأَدْوَاءَ
“Yang menurunkan obat adalah (Dzat) yang menurunkan
penyakit” [4]
Terdapat dalil (yang menjelaskan) bahwa kesembuhan, tidak
ada seorang pun yang mampu menyegerakan kedatangannya, dan tidak seorang pun
yang mengetahui waktu kedatangannya. Sungguh aku telah menyaksikan sebagian
dokter (tabib) yang berusaha mengobati dua orang yang ia anggap menderita
penyakit yang sama. Keduanya ditimpa penyakit pada waktu yang sama, umur yang
sama, berasal dari negeri yang sama, bahkan kadangkala mereka adalah dua orang
saudara kembar, dan makanan mereka pun sama. Sebab itu, dokter tersebut mengobati
keduanya dengan obat yang sama. Akan tetapi, salah satunya sembuh, sedangkan
yang lain malah mati atau penyakitnya berkepanjangan. Orang kedua itu baru
sembuh setelah sekian lama, yaitu tiba waktu yang telah Allah tentukan
kesembuhannya”. [5]
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Di antara
pelajaran yang terkandung dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
َلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Obat itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan
tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya”
(Di antara pelajaran tersebut ialah) apa yang dialami
oleh sebagian pasien. Ia berobat dari suatu penyakit dengan suatu obat lalu ia
sembuh. Kemudian pada lain waktu ia ditimpa oleh penyakit yang sama, lalu ia
pun berobat dengan obat yang sama, tetapi obat itu tidak manjur. Penyebab
terjadinya hal semacam ini adalah kebodohannya (ketidaktahuannya) tentang
sebagian karakter obat tersebut. Mungkin saja ada dua penyakit yang serupa,
sedangkan salah satunya terdiri dari beberapa penyebab (penyakit/komplikasi),
sehingga tidak dapat diobati dengan obat yang telah terbukti manjur untuk
mengobati penyakit yang tidak komplikasi, di sinilah letak kesalahannya. Dan
kadang kala kedua penyakit tersebut sama, tetapi Allah menghendaki untuk tidak
sembuh, maka obat itu pun tidak manjur, dan saat itulah runtuh keangkuhan para
tabib (dokter).[6]
Penjelasan diatas membantah praduga atau pemahaman
sebagian orang bahwa bila suatu hal telah dinyatakan sebagai obat bagi suatu
penyakit maka harus pasti manjur dan penyakit sirna. Atau, apabila imunisasi
terhadap suatu penyakit telah diberikan maka anak kita pasti kebal dan
terhindar dari penyakit tersebut. Sadarlah wahai saudaraku, semua yang kita
lakukan dan kita upayakan hanyalah sebatas usaha sedangkan Allah yang
menentukan dan menakdirkan. Dahulu dinyatakan.
إِذَا وَقَعَ الْقَدَرُ بَطَلَ الحَذَرُ
“Bila takdir telah datang maka sirnalah kehati-hatian”
Maksudnya, bila Allah telah menentukan suatu penyakit
menimpa seseorang, atau bila ajal telah datang maka berbagai upaya yang
ditempuh manusia untuk menghindari tidak lagi berguna, dan kehendak Allah lah
yang pasti terjadi. Aqidah dan keyakinan ini tidak boleh kita lupakan kapan pun
kita berada, serta apa pun profesi kita. Kaitannya dengan proses pengobatan
setiap penyakit yang kita derita, maka dapat dirangkum dalam beberapa hal
berikut.
1. Hendaknya kita yakin, bahwa yang menciptakan penyakit
adalah Allah, dan yang menentukan bahwa penyakit tersebut menimpa kita adalah
Allah. Kita tidak perlu berkeluh kesah, kita menerima semuanya dengan lapang
dada. Percayalah bahwa dibalik penyakit tersebut pasti tersimpan beribu-ribu
hikmah. Dengan cara ini, apapun yang kita alami akan mendatangkan kebaikan bagi
kita, baik di dunia ataupun di akhirat.
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman,
sesungguhnya segala urusannya baik, dan hal itu tidaklah dimiliki melainkan
oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka
kesenangan itu menjadi baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia
bersabar, maka kesusahan itu baik baginya” [HR Muslim]
2. Hal selanjutnya yang hendaknya kita lakukan ialah
memohon kesembuhan kepada Allah, menumbuhkan keimanan dan keyakinan bahwa hanya
Allah lah yang dapat menyembuhkan penyakit kita. Oleh karenanya, Rasulullah
Shallallahui ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya do’a
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ
الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, sirnakanlah keluhan,
sembuhkanlah dia, sedangkan Engkaulah Penyembuh, tiada kesembuhan melainan
kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit”
Kita sering melupakan hal ini. Bahkan, sering kali do’a
menjadi upaya terakhir yang kita lakukan dalam upaya penyembuhan, atau hanya
kita lakukan bila tenaga medis telah kesulitan, atau kita telah mengeluarkan
banyak biaya sehingga rasa putus asa telah menyelimuti sanubari dan –mungkin
juga- dengan penuh keraguan kita berdo’a memohon kesembuhan kepada Allah,
sambil berkata, “Siapa tahu do’a kita dikabulkan”. Subhanallah, dengan tenaga
medis kita optimis, akan tetapi dengan kekuasaan Allah kita ragu, sehingga kita
berkata “Siapa tahu do’a kita dikabulkan”?
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 08, Tahun
ke-10/Rabi'ul Awal 1432 (Feb - 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had
Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
No comments:
Post a Comment