Perjalanan yang belum selesai (340)
(Bagian ke tiga
ratus empat puluh), Depok, Jawa Barat, Indonnesia, 10 Agustus 2015, 19.38 WIB).
Sholat sunnah menutupi kekurangan sholat wajib.
Sholat sunnah biasanya kerap terlupakan oleh kita yang
super sibuk mencari dunia (harta), kadang subuh sudah berangkat ke kantor dan
kembali ke rumah malam hari (bahkan bisa pagi hari (tengah malam).
Karena super sibuk mencari dunia, yang tidak ada habisnya
dan kita selalu kurang terus, apalagi kita tidak membayar zakat dari harta yang
kita peroleh, maka harta yang kita peroleh tidak berkah dan semuanya akan
dihisab dihari kiamat.
Dalam keadaan super sibuk itu kita kadang melupakan sholat
wajib, nah karena banyak sekali sholat wajib yang kita tinggalkan (mungkin kita
terlalu sibuk, terlalu banyak hiburan malam seperti menonton sepak bola
sehingga melupakan waktu sholat wajib, maka kata Nabi Muhammad kini selagi kita
hidup (bernafas) bertaubatlah kita (minta ampun pada Allah) atas kelalaian
kita, dan mulai memperbanyak sholat sunnah.
Shalat-Shalat Sunnah
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
A. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ
فَقَدْ خَـابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ شَيْئًا، قَـالَ الرَّبُّ
تَبَـارَكَ وَتَعَالَى: اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَيُكَمَّلُ بِهِ
مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ ذَلِكَ.
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari
seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka
beruntung dan selamatlah dia. Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia.
Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan
Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia
memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah
tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana tadi.” [1]
B. Disunnahkan Mengerjakannya di Rumah
Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِـي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ
لِبَيْتِهِ نَصِيْباً مِنْ صَلاَتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ
نُوْرًا
“Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan
shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya.
Karena sesungguhnya Allah menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.”
[2]
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ
الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ.
“Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena
sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat
wajib.” [3]
C. Macam-Macamnya
Shalat sunnah ada dua bagian: Muthlaqah dan Muqayyadah
Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib,
yaitu yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua
bagian: muakkadah (yang ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).
1. Shalat sunnah muakkadah ada sepuluh raka’at
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku
ingat sepuluh raka’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : dua raka’at
sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua
raka’at sesudah ‘Isya', serta dua raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat
itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mau ditemui. Hafshah
Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika mu-adzin mengumandangkan
adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat dua raka’at." [4]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum
shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.” [5]
2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum
shalat ‘Ashar, Maghrib, dan 'Isya'.
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ
صَلاَةٌ، ثُمَّ قَـالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ.
“Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada
shalat, di antara dua adzan ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang
ketiga, “Bagi siapa saja yang menghendakinya.”[6]
Disunnahkan untuk menjaga empat raka’at sebelum shalat
‘Ashar
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum
shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan
salam pada para Malaikat muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang
mengikuti mereka dengan baik dari kalangan muslimin dan mukminin.” [7]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا.
“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at
sebelum ‘Ashar.” [8]
Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam sebagian shalat tersebut
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يُقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ الْفَجْرِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَقُلْ يَآ أَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ.
“Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at
sebelum Shubuh adalah qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal
kaafiruun (al-Kaafiruun). [9]
Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu 'anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun
(al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sebelum
Shubuh.” [10]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at
shalat sunnah fajar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca:
quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat
al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi
wasyhad bi annaa muslimuun." [11] (Ali ‘Imran: 52).
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku
tidak bisa menghitung berapa kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu
ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum
shalat Shubuh." [12]
QIYAMUL LAIL (SHALAT MALAM)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Shalat malam termasuk sunnah yang sangat dianjurkan. Ia
termasuk ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ
رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ
اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَفِي أَمْوَالِهِمْ
حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam
taman-taman (Surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang
diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di
dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di
waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.” [Adz-Dzaariyaat: 15-19]
Dari Abu Malik al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفًا يُرَى ظَاهِرُهَـا مِنْ بَاطِنِهَا
وَبَاطِنِهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ،
وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَأَدَامَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat kamar-kamar yang
bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar.
Allah Ta’ala menyediakannya bagi orang yang suka memberi makan, melunakkan
perkataan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam pada saat manusia tidur."
[1]
A. Semakin Dianjurkan Pada Bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan shalat malam pada bulan
Ramadhan tanpa memberi perintah yang mewajibkan. Lalu beliau bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan
keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya
yang telah lampau.” [2]
B. Bilangan Raka’atnya
Paling sedikit satu raka’at. Dan paling banyak sebelas
raka’at. Sebagaimana telah disebutkan dalam perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih
dari sebelas raka’at, baik pada bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan.”
C. Disyari'atkan Melakukannya Secara Berjama'ah Pada
Bulan Ramadhan
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Pada suatu malam,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu orang-orang
shalat dengan shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan
orang-orang kian bertambah banyak. Mereka kemudian berkumpul pada malam ketiga
atau keempat, namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar
menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ
الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ.
‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang
menghalangiku untuk keluar menemui kalian. Hanya saja aku takut jika shalat
tersebut diwajibkan atas kalian.’
Saat itu pada bulan Ramadhan.” [3]
Dari ‘Abdurrahman al-Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di
bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu
menuju masjid. Ternyata orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada
seorang laki-laki yang shalat sendirian, dan ada pula yang shalat dengan
diikuti oleh beberapa orang. Lalu ‘Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya
kukumpulkan mereka di bawah satu qari' (imam), tentulah akan lebih baik.
Kemudian dia membulatkan tekadnya dan mengumpulkan mereka di bawah Ubay bin
Ka'b. Pada suatu malam yang lain aku keluar bersamanya sedangkan orang-orang
tengah shalat bersama imam mereka. ‘Umar berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik
bid’ah (perkara yang baru). Namun, orang-orang yang tidur pada saat ini lebih
baik daripada yang sedang shalat’ -maksudnya, melaksanakan shalat di akhir
malam lebih baik- karena saat itu orang-orang mengerjakannya di awal
malam." [4]
D. Disunnahkan Agar Seseorang Shalat dengan Isterinya
(Keluarga) di Luar Bulan Ramadhan
Dari Abu Sa’id, ia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَـا
-أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا
وَالذَّاكِرَاتِ.
“Jika seorang laki-laki membangunkan isterinya di malam
hari, lalu keduanya shalat -atau shalat dua raka’at secara berjama’ah-, niscaya
Allah mencatat keduanya sebagai para hamba laki-laki dan perempuan yang banyak
mengingat Allah." [5]
E. Mengqadha Shalat Malam
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu, jika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat malam karena
sakit atau sebab lain, maka beliau shalat dua belas raka’at pada siang
harinya.” [6]
Dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَـامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ اللَّيْلِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ
مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا
قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ.
“Barangsiapa tertidur sehingga tidak membaca wirid
(shalat)nya di malam hari atau sebagian darinya, lalu membaca (melaksanakan)nya
pada waktu antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur, maka dicatat sebagaimana ia
membacanya di malam hari." [7]
F. Dimakruhkan Meninggalkan Shalat Malam Bagi yang Telah
Terbiasa Mengerjakannya
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku:
يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ يَقُوْمُ
اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.
"Wahai 'Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan.
Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, sekarang dia meninggal-kan shalat
malam." [8]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
No comments:
Post a Comment