Perjalanan yang belum selesai (346)
(Bagian ke tiga ratus empat puluh enam), Depok, Jawa
Barat, Indonnesia, 14 Agustus 2015, 20.07
WIB).
Utamakan untuk kehidupan akherat, namun jangan lupakan
dunia
Allah dalam surat Al-qashash ayat 77 memberitahu manusia,
bahwa manusia diwajibkan mengutamakan tujuan hidup sebenarnya di akherat
(surga) yang abadi, namun manusia tidak boleh melupakan kehidupan (kenikmatan)
yang dianugerahkan Allah di dunia (sementara).
Dari sisi Allah dunia itu tidak lebih nilainya dari sayap
seekor nyamuk dan lebih hina dibandingkan bangkai anak kambing yang cacat
(Hadist/Sunnah/al-hikmah)
Namun dari sisi manusia dunia ini sungguh kaya, ada
buah-buahan, sayuran, padi, gamdum dan berbagai flora dan fauna termasuk
binatang yang halal dimakan, seperti ikan, kambing, ayam, sapi, serta bisa
diperah susunya, selain kekayaan alam (ada di dalam tanah) seperti minyak
mentah, gas alam, panas bumi, batu bara, emas, intan, perak, serta air (hujan),
baik di dalam tanah (sumber mata air, danau, sungai, dan air laut (bisa
disuling menjadi air tawar, sehingga menyuburkan tanaman dan kebun (hutan),
serta kebutuhan air bagi mahluk hidup (manusia dan binatang).
Allah menetapkan rezeki, jodoh dan maut (meninggal/mati)
dalam kitab:
"Lauh Mahfuzh" .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima
puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no.
2653).
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Namun Allah memberi tahu manusia bahwa Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum (seseorang) kalau dia sendiri tidak ingin merubahnya
(tidak berusaha) (Al Quran).
Jadi kalau seseorang ingin meraih (mendapatkan gaji (atau
keuntungan), maka dia harus melalui usaha (ikhtiar) baik dengan berdagang,
belajar menjadi pilot kalau dia ingin jadi pilot, menjadi dokter, arsitek, ahli
matematika, periset (peneliti), agar ditemukan obat-obatan atau alat metode
penyembuhan penyakit, atau agar mampu membuat mobil atau pesawat (agar bisa
digunakan untuk perjalanan jauh seperti pergi Haji/Umroh ke Mekah, Arab Saudi,
dan ribuan profesi lainnya.
Seluruh masalah dunia ini memang akhirnya bertujuan agar
manusia selamat untuk hidup di akherat, karena usaha dunia , pada akhirnya
semata untuk beribadah pada Allah.
Dari sebagian harta yang kita peroleh ada kewajiban
membayar zakat, membantu orang miskin dan anak yatim miskin, membangun sarana
masjid , sekolah dan sarana lainnya selain untuk biaya pergi
Haji/Umroh.
Islam mengharamkan umatnya mengemis (meminta-minta),
kecuali terpaksa (terancam kelaparan).
Bahkan Nabi Muhammad telah mengajarkan kepada seorang
sahabat untuk mencari kayu bakar di hutan dan di jual di pasar agar keluarganya
bisa makan. Ini maknanya di zaman modern, adalah kita harus bekerja dan
berusaha sendiri sambil berdoa, kaena rezeki sudah Allah hampar di bumi, baik
mencari ikan di laut, bertani (berladang) menjadi buruh di pabrik, pegawai di
perusahaan, maupun berdagang.
Nabi Muhammad bersabda, sembilan dari 10 rezeki Allah ada
pada bidang perdagangan (termasuk bertani/mencari ikan), dan satu saja menjadi
karyawan perusahaan (pegawai negeri). Jadi kalau kita ingin kaya (harta) maka
profesi dagang adalah tempatnya, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika
berdagang yang dimodali istrinya khadijah (janda kaya).
Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ
الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan empat
macam nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya, namun
begitu nasihat dan petunjuk tersebut harus diamalkan pula oleh kita sebagai
pengikut Rasulullah s.a.w. karena Al-Quran adalah petunjuk yang sempurna untuk
ummat beliau s.a.w. Barangsiapa mengamalkan nasihat dan petunjuk itu akan
memperoleh kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak.
Tanda-tanda ilmu yang bermanfaat
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ilmu yang bermanfaat dapat diketahui dengan melihat
kepada pemilik ilmu tersebut. Di antara tanda-tandanya adalah:
1. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap
keadaan dan kedudukan dirinya serta hati mereka membenci pujian dari manusia,
tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan
ilmu yang dimilikinya.
Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah
mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat
mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam
beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang
yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya,
dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan
kepadanya.” [1]
2. Pemilik ilmu yang bermanfaat, apabila ilmunya
bertambah, bertambah pula sikap tawadhu’, rasa takut, kehinaan, dan
ketundukannya di hadapan Allah Ta’ala.
3. Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari
dunia. Yang paling besar adalah kedudukan, ketenaran, dan pujian. Menjauhi hal
itu dan bersungguh-sungguh dalam menjauhkannya, maka hal itu adalah tanda ilmu
yang bermanfaat.
4. Pemilik ilmu ini tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan
tidak berbangga dengannya terhadap seorang pun. Ia tidak menisbatkan kebodohan
kepada seorang pun, kecuali seseorang yang jelas-jelas menyalahi Sunnah dan
Ahlus Sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata, bukan karena
pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas
seorang pun. [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H)
rahimahullaah membagi ilmu yang bermanfaat ini -yang merupakan tiang dan asas
dari hikmah- menjadi tiga bagian. Beliau rahimahullaah berkata, “Ilmu yang
terpuji, yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah adalah ilmu yang
diwariskan dari para Nabi, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَمْ يَرِثُوا
دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ
بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan
mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan
ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]
Ilmu Ini Ada Tiga Macam:
1. Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya
serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah menurunkan
surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.
2. Ilmu mengenai berita dari Allah tentang hal-hal yang
telah terjadi dan akan terjadi di masa datang serta yang sedang terjadi.
Contohnya adalah Allah menurunkan ayat-ayat tentang kisah, janji, ancaman,
sifat Surga, sifat Neraka, dan sebagainya.
3. Ilmu mengenai perintah Allah yang berkaitan dengan
hati dan perbuatan-perbuatan anggota tubuh, seperti beriman kepada Allah, ilmu
pengetahuan tentang hati dan kondisinya, serta perkataan dan perbuatan anggota
badan. Dan hal ini masuk di dalamnya ilmu tentang dasar-dasar keimanan dan
tentang kaidah-kaidah Islam dan masuk di dalamnya ilmu yang membahas tentang
perkataan dan perbuatan-perbuatan yang jelas, seperti ilmu-ilmu fiqih yang
membahas tentang hukum amal perbuatan. Dan hal itu merupakan bagian dari ilmu
agama. [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H)
rahimahullaah juga berkata, “Telah berkata Yahya bin ‘Ammar (wafat th. 422 H),
‘Ilmu itu ada lima:
1. Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama, yaitu ilmu
tauhid
2. Ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu tentang
mempelajari makna-makna Al-Qur-an dan hadits
3. Ilmu yang merupakan obat agama, yaitu ilmu fatwa.
Apabila suatu musibah (malapetaka) datang kepada seorang hamba, ia membutuhkan
orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah itu, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu
4. Ilmu yang merupakan penyakit agama, yaitu ilmu kalam
dan bid’ah, dan
5. Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu
sihir dan yang sepertinya.’” [5]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
“Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama
Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
No comments:
Post a Comment