Perjalanan yang belum selesai (348)
(Bagian ke tiga ratus empat puluh delapan), Depok, Jawa
Barat, Indonnesia, 17 Agustus 2015, 13.54
WIB).
Utang bisa menghalangi manusia masuk surga.
Salah satu sebab terhalanginya manusia (anak adam) masuk
surga, adalah ketika manusia mati masih ada tersangkut utang, kecuali ahli
waris segera melunasinya atau pihak pemberi utang memaafkannya (dengan ikhlas
memaafkan pengutang atas seluruh utangnya.
Kalau setiap manusia berdosa walau setinggi dan sebesar
langit dan bumi, kalau dia bertaubat (beriman dan minta maaf pada Allah
/Astaghfirullah Allazim), maka seluruh dosanya akan diampuni kecuali dosa syirik
(menyekutukan Tuhan), namun dosa syirik kalau dia bertaubat (beriman) pada
Allah dan mulai konsisten menjalankan rukun Islam maka dosa syirik ini akan
dihapus.
Kewajiban muslim yang kaya adalah menolong saudaranya
agar mengikhlaskan (membebaskan) utang saudaranya.
Pahala orang yang memberi utang kepada saudaranya yang
kesulitan, maka pahalanya akan terus mengalir sampai utang dilunasi, dan pahala
jauh lebih besar ketika pemberi utang mengikhlaskan membebaskan utang
saudaranya itu.Masalah utang ini cukup penting, karena masalah ini menjadi
penghalang manusia masuk surga.
Sampai Nabi Muhammad ketika akan sembahyang (menyolatkan)
jenazah, menanyakan kepada peserta sholat lain apakah si mayit masih memiliki
utang, karena ada pengakuan dari sahabat bahwa si mayit masih tersangkut utang,
maka Nabi Muhammad tidak mau menyolatkan jenazah, setelah ada diantara sahabat
sanggup melunasi utang si mayit, maka baru Nabi bersedia menyolatkan jenazah.
Salah satu kunci agar kita terhindar dari utang, adalah
agar kita hidup sederhana (tidak melebihi gaji/atau pendapatan kita.
Kita juga menghindari utang yang mengandung riba
(interest/bunga) karena riba dilarang Allah (Alquran dan sunnah/hadist), bahkan
suatu hadist menyebutkan dosa memakan uang riba setara berzina dengan 36 orang.
Hindari pinjaman yang mengandung riba, baik dari bank,
kartu kredit maupun dari per orangan (individu).
Banyak berdoa pada waktu sholat agar kita terbebas dari
utang.
Nabi Muhammad sendiri pada masa hidupnya selalu berdoa
pada Allah agar terbebas dari utang dan himpitan kemiskinan.
Nabi Muhammad (yang maksum/dijaga Allah dari berbuat
dosa) selalu meminta pada Allah yang maha kaya dan maha pemberi rezeki, agar
beliau dibebaskan dari utang, dan dari kesempitan rezeki (miskin), apalagi kita
manusia biasa Hamba Allah yang dalam hidup selalu berbuat dosa.
Karena kata Nabi setiap manusia pasti pernah berbuat
dosa, dan Allah akan mengampuni seluruh dosa yang dipikul hambanya kalau dia
bertaubat (beriman dan minta ampun pada Allah), kecuali utang yang harus dia atau
ahli waris) yang harus membayarnya.
Mati Syahid Tidak Menghapus Hak Bani Adam, Tapi Menghapus
Hak Allah Ta’la
Bagaimana cara menyatukan diantara dua hadits ini:
1. Dari Amr bin
Ash radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang mati syahid diampuni semua dosanya, kecuali hutang."
2. Dari Umar bin
Khttab radhialahu anhu berkata, ”Saat perang Khaibar, sekelompok shahabat Nabi
sallallahu alaihi wa sallam menghadap dan mengatakan, “Fulan syahid, fulan
syahid. Maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, sesungguhnya
saya melihat dia di neraka karena selendang (burdah) atau baju penutup yang
disembunyikan.” Kemudian beliau berkata kepadaku,”Wahai Ibnu Khattab,
berdirilah, dan serukan kepada orang-orang sesungguhnya tidak akan masuk surga
kecuali orang mukmin.” Maka saya berdiri dan menyeru kepada orang-orang.
Hadits pertama menegaskan bahwa dosa-dosa orang mati
syahid dimaafkan kecuali hutang. Sedangkan dalam hadits kedua menegaskan, bahwa
orang mati syahid tidak diampuni karena dia menyembunyikan ghanimah. Tidakkah
menyembunyikan ghanimah termasuk dosa selain hutang. Maka seharusnya diampuni
sesuai dengan hadits pertama. Mohon penjelasannya.
Alhamdulillah
Pertama:
Diriwayatkan Muslim, 1886 dari Abdullah bin Amr bin Ash
sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ
“Orang yang mati syahid diampuni semua dosa kecuali
hutang."
Diriwayatkan oleh Muslim, (114) dari Ibnu Abbas berkata
Umar bin Khottab memberitahukan kepadaku berkata,
لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا : فُلَانٌ شَهِيدٌ فُلَانٌ
شَهِيدٌ ، حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوا فُلَانٌ شَهِيدٌ ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( كَلَّا ، إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ
فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ ) ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ! اذْهَبْ فَنَادِ فِي النَّاسِ أَنَّهُ
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ ) قَالَ : فَخَرَجْتُ فَنَادَيْتُ
: أَلَا إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ "
“Ketika waktu perang Khoibar, sekelompok shahabat Nabi
sallallahu’alaihi wa salllah menghadap dan mengatakan, “Fulan Syahid, fulan
syahid." Kemudian mereka melewati seseorang (yang terbunuh), maka mereka
mengatakan ‘Orang ini Syahid.’ Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak, sesungguhnya saya melihat dia di neraka karena selendang
(burdah) atau baju penutup yang disembunyikan.” Kemudian Rasulullah sallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ibnu Khattab! Keluarlah, dan sampaikan kepada
orang-orang bahwa tidak akan masuk surga
kecuali orang mukmin. Maka saya keluar dan menyeru,”Ketahuilah bahwa tidak ada
yang masuk surga kecuali mukmin."
Dua hadits ini shahih diriwayatkan oleh Muslim
rahimahullah dalam shahihnya. Tidak ada pertentangan pada keduanya
Alhamdulillah. Hadits pertama menunjukkan bahwa orang mati syahid diampuni
semua dosa yang dilakukannya antara dia dan Tuhannya kecuali hutang. Maka ia
tidak diampuninya. Karena tergantung dengan urusan antar manusia. Maka, hak-hak
Bani Adam tidak dapat diampuni dengan mati syahid.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sabda Nabi
sallallahu alaihi wa sallam (Kecuali hutang) di dalamnya terdapat peringatan
terhadap semua hak Bani Adam. Bahwa jihad dan mati syahid dan selain dari dua
amalan kebaikan tidak dapat menghapus hak Bani Adam. Akan tetapi dapat
menghapus hak Allah Ta’ala.” Syarh Muslim, 13/29.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Adapun hadits
lainnya yang shahih, bahwa orang mati syahid itu diampuni seluruh dosanya
kecuali hutang. Dapat diambil pelajaran bahwa mati syahid itu tidak dapat
menghapus hak orang. Sedangkan adanya hak orang pada dirinya, tidak
menghalanginya mendapatkan derajat syahadah/syahid. Tidak ada makna syahadah
melainkan bahwa Allah memberikan kepada orang yang mendapatkan syahadah dengan
pahala khusus. Dimuliakan dengan kemuliaan yang berlebih. Sungguh dalam hadits
telah diterangkan bahwa Allah mengampuni (semua dosa) kecuali ada sangkutan
(hak manusia). Jika orang yang mati syahid itu mempunyai amalan-amalan saleh,
dan syahadah dapat menghapuskan kejelekan selain dari sangkutan (hak). Maka
amalan-amalan saleh akan bermanfaat dalam timbangan (untuk menghapus) sangkutan
(hak). Sehingga derajat syahadah akan tetap (diperoleh) sempurna. Jika tidak
mempunyai amalan saleh, maka itu tergantung (keputusan Allah).
Wallahu’alam." Fathul Bari, 10/193.
Tourbasyti mengatakan, “Maksud dari hutang disini adalah
yang terkait dengan tanggungannya terhadap hak-hak orang Islam. Karena orang
yang berhutang itu tidak lebih berhak dengan ancaman dan tuntutan dibandingkan
orang yang berbuat kejahatan, orang yang merampas harta orang lain, orang yang
berkhianat dan mencuri.” Tuhfatul Ahwadzi, 5/302, dengan sedikit editan.
Kedua,
Ghanimah termasuk hak anak Adam, bahkan ia termasuk hak
anak adam yang sangat besar, Karena terkait dengan harta umum. Al-Hijawi dalam
Az-Zad, hal. 97 mengatakan, “Ghanimah didapat dengan menguasai wilayah perang
(Darul Harbi). Ia bagi orang yang ikut berperang dalam pasukan perang.
Disisihkan seperlima, kemudian sisanya, pejalan kaki satu bagian, penunggang
kuda tiga bagian: satu bagian untuknya dan dua bagian untuk kudanya. Seluruh
pasukan diikutsertakan sebagai tentara untuk mendapat ghanimah.”
Ghulul adalah pencurian ghanimah sebelum dibagi. Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, “(Al-Ghulul) pengkhianatan, asalnya adalah
pencurian dari harta rampasan (ghanimah) sebelum dibagi.” Maka syahadah tidak
dapat menghapuskan ghulul, karena syahadah tidak dapat menghapus hak-hak anak
adam, seperti (yang dijelaskan) tadi.
Ungkapan penanya ‘Tidakkah ghulul merupakan dosa selain
dari hutang?’ maka dikatakan, “Ghulul adalah dosa terkait dengan hak anak adam.
Maksud dari hutang dalam hadits ini adalah hak-hak manusia, bukan khusus hanya
hutang. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa ghulul menghalangi status syahid
tertinggi terhadap orang yang mencuri ghanimah yang membuatnya tak tidak layak
untuk mendapatkan ampunan atas seluruh
dosanya, meskipun hal tersebut tidak menghalanginya untuk mendapatkan dasar
syahid dan keutamaannya. Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghulul dapat
menghalangi status syahid secara umum bagi pelakunya kalau dia terbunuh.”
Al-Qori rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ada
pembahasan, bahwa tidak ada dalil dalam hadits ini yang menafikan status
syahidnya. Bagaimana tidak, ia telah dibunuh di jalan Allah (sabilillah) dan
membela Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Tidak disyaratkan dalam ijmak
(consensus para ulama), bahwa orang yang mati syahid harus tidak punya dosa
atau hutang.” Mirqotul Mafatih, 6/2583.
Dapat dikatakan
juga bahwa ghulul menghalagi orang yang mati syahid mencapai derajat syahadah
tertinggi, sehingga semua dosanya dihapus, meskipun dia tidak terhalan
mendapatkan status dasar syahid dan keutamaannya. Sebagai tambahan, silakan
membaca penjelasan bahwa selayaknya jangan meremehkan masalah hutang pada
jawaban soal no. 144635.
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” [At-Taubah:
60]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat
ini (II/364), “Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan
pencelaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah
pembagian sedekah. Dia melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan
pembagian tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini
adalah Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun,
kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan yang
tersebut di dalam ayat di atas.”
Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua
GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih
pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah
wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan
kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya?
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan
ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.
Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan,
bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua
harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah
pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara
mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun
bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’
Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut
dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima
zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan
tersebut.”
Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan
menyebutkan beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:
1. Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia
berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.
“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka
yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]
Dari ‘Ubaidillah bin 'Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua
orang yang telah bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian
beliau memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau
bersabda:
إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ
وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.
“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun
tidak ada zakat bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]
2. Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى
النَّاسِ, فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ,
قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى
يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.
“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling
meminta-minta kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap
makanan dan satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya,
“Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang
bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang mengetahui keadaannya
sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia juga tidak meminta-minta kepada
manusia.” [3]
3. Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik
zakat, mereka berhak menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja
mereka dan tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan sedekah, sebagaimana yang
diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin
al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi menemui Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta agar mereka berdua dijadikan
sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ,
إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.
“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan
keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]
4. Keempat : Muallaf (Orang-Orang Yang Dilunakkan
Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat
agar mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain,
dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku harta rampasan
hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai, padahal sebelum
itu beliau adalah manusia yang paling aku benci.” [5]
Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat
agar mereka semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salla
ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada sekelompok
pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang tidak diperangi di
saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:
إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ,
خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal
yang lainnya lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan
memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]
Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id,
bahwasanya ‘Ali menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
emas mentah batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat
orang, al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid
al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]
Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud
agar orang-orang yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan
harta zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang
setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap kaum
muslimin.
Allaahu a'lam.
Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang
yang dilunakkan hatinya setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggal ?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini
terjadi perbedaan pendapat:
Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama
lainnya, bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin telah jaya
dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah ditundukkan bagi mereka
banyak kaum.
Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap
berhak menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap
memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan perkara ini
terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada mereka.”
5. Kelima : Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan,
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid
mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak
yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang
sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa
al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata
Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai
tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan
Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari
sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya.
Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang
memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api Neraka
anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari anggota badan
budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan [8]. Hal ini semua
karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan jenis amalan tersebut:
وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai
dengan amalan yang kalian kerjakan.”
6. Keenam : Orang Yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang
orang lain dan manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya
untuk melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi
hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian dia
bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin
Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain,
kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta
bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami dapatkan
kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ
ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا
ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ,
وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى
يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ
مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak
dihalalkan kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung
hutang orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian
ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan
hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau
berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang yang ditimpa
kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang berpengetahuan (alim)
berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup.’ Ia boleh meminta-minta
sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata: Sesuatu yang bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun selain tiga golongan tersebut, wahai
Qabishah, maka haram hukumnya dan mereka yang memakannya adalah memakan makanan
yang haram.’” [9]
7. Ketujuh : Orang Yang Berjuang Di Jalan Allah (Fii
Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak
dari baitul mal. Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang
yang berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.
Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits
adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ingin menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada
suaminya, ‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut
menjawab, ‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi
haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia berkata,
‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’ Kemudian
lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku mengucapkan salam atasmu dan
ia telah memintaku untuk menghajikannya bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab,
‘Sesungguhnya aku tidak memiliki harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu
pergi haji.’ Ia berkata lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’
Aku berkata kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di
jalan Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga termasuk
dalam fii sabilillaah.’” [10]
8. Kedelapan: Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak
memiliki sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia
diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang
kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini berlaku
bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan tidak ada sesuatu
apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta dari zakat yang bisa
mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya adalah ayat tentang
golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang diri-wayatkan oleh Imam Abu
Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari Yazid bin Aslam, dari ‘Atha' bin
Yasar, dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ
عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ
اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.
“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya
kecuali lima macam, yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya
atau orang yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang
miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang
kaya.”[11]
Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)],
Sunan at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan
diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839), Sunan
an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan
Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039),
dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479),
Sunan an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)],
Shahiih Muslim (II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan
an-Nasa-i (V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas,
bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan jiwa
mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’ Maka, zakat tersebut
ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim Syarah an-Nawawi (VII/251), cet.
Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)],
Shahiih Muslim (II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no.
2969), Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/79, no. 27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no.
4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(VIII/67, no. 4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud
(XIII/109, no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)].
Diriwayatkan oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia
berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ
عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman
niscaya Allah akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota
badan orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan
kemaluannya.” (III/49, no. 1541).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)],
Shahiih Muslim (II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan
an-Nasa-i (V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)],
Sunan Abi Dawud (V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi
(VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)],
Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).
Saya ingin memberikan semua kemuliaan kepada Yang Maha Kuasa atas apa yang dia gunakan untuk Ibu Rossa dalam hidup saya, nama saya Mira Binti Muhammad dari kota bandung di indonesia, saya adalah seorang janda dengan 2 anak, suami saya meninggal dalam kecelakaan mobil dan Sejak saat itu kehidupan menjadi sangat kejam bagi saya dan keluarga saya dan saya telah mencoba beberapa tahun untuk mendapatkan pinjaman dari bank-bank di Indonesia dan saya ditolak dan ditolak karena saya tidak memiliki agunan dan tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank dan saya sangat sedih
ReplyDeletePada hari yang penuh dedakan ini saat saya melewati internet, saya melihat kesaksian Annisa tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari Ibu Rossa dan saya menghubungi dia untuk bertanya tentang perusahaan pinjaman ibu Rossa dan betapa benarnya pinjaman dari ibu Rossa dan dia mengatakan kepada saya itu benar dan saya menghubungi Ibu Rossa dan setelah mengajukan aplikasi pinjaman saya dan pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 24 jam saya mendapatkan uang pinjaman saya di rekening bank saya dan ketika saya memeriksa rekening saya, uang pinjaman saya utuh dan saya sangat bahagia dan saya telah berjanji bahwa saya akan membantu untuk memberi kesaksian kepada orang lain tentang perusahaan pinjaman ibu rossa, jadi saya ingin menggunakan media ini untuk memberi saran kepada siapa saja yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. Rossa melalui email: rossastanleyloancompany@gmail.com dan Anda Bisa juga hubungi saya via email saya: mirabintimuhammed@gmail.com untuk informasi serta teman-teman Annisa Barkarya via email: annisaberkarya@gmail.com