Perjalanan yang belum selesai (375)
(Bagian ke tiga ratus tujuh puluh lima), Depok, Jawa
Barat, Indonnesia, 21 September 2015,
21.50 WIB).
Hindari kita termasuk orang yang merugi.
Ketika hari kiamat tiba, maka kata Allah di dalam
firmannya di Al Quran, bahwa mereka selama hidup di dunia antara lain selalu
membuat kerusakan di muka bumi, serakah dalam meraih rezeki dengan selalu
membakar hutan sembarangan sehingga menimbulkan kerusakan hutan, hujan asap
yang merugikan mahluk hidup, membuat rasa tidak aman tetangganya, merusak diri
sendiri dengan bunuh diri atau merorok (mengisap tembakau), padahal fatwa yang
telah dikeluarkan para ulama (Muhammadiyah Indonesia dan Ulama Arab Saudi)
memutuskan merokok hukumnya haram.
Juga bunuh diri dalam bentuk menegak narkoba (obat-obatan
terlarang/heroin dan sejenisnya), diancam Allah kalau tidak segera bertaubat
akan dijebloskan masuk neraka.
Kita juga harus memastikan tetangga kita merasa aman dan
bisa hidup berdampingan dengan kita, walaupun mereka berbeda agama, ras, warna
kulit, dan berbeda bahasa dan bangsa. Negara.
ISTIQOMAH
Oleh
Ustadz Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari
Sesunguhnya nikmat Allâh Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya
tidak terbatas. Di antara nikmat yang paling besar adalah nikmat iman dan
islam. Demikian juga nikmat istiqomah di atas iman. Hal ini ditunjukkan oleh
hadits di bawah ini:
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا
بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku
berkata, "Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan
yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda!" Beliau
menjawab: "Katakanlah, 'aku beriman', lalu istiqomahlah". [HR Muslim,
no. 38; Ahmad 3/413; Tirmidzi, no. 2410; Ibnu Majah, no. 3972].
MAKNA ISTIQOMAH
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (wafat tahun 795
H) berkata menjelaskan makna istiqomah dan kedudukan hadits ini dengan
mengatakan: “Istiqomah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus,
dengan tanpa membelok ke kanan atau ke kiri. Dan istiqomah mencakup melakukan
semua ketaatan yang lahir dan yang batin dan meninggalkan semua perkara yang
dilarang. Maka wasiat ini mencakup seluruh ajaran agama".[1]
Dari penjelasan di atas maka diketahui bahwa ukuran istiqomah
adalah agama yang lurus ini. Yaitu melakukan ketaatan sebagaimana diperintahkan
dengan tanpa melewati batas, tanpa mengikuti hawa-nafsu, walaupun orang
menganggapnya sebagai sikap berlebihan atau mengurangi. Allâh Ta'ala berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا
إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka istiqomahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar),
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta
kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang
kamu kerjakan. [Hûd/11:112].
Allâh Ta'ala juga berfirman:
فَلِذَٰلِكَ فَادْعُ ۖ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ ۖ وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ ۖ وَأُمِرْتُ
لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا
ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan
istiqomahlah (tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah) sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allâh dan aku
diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allâh-lah tuhan kami dan
tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu, tidak ada
pertengkaran antara kami dan kamu, Allâh akan mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah tempat kembali (kita)". [Syûrâ/42:15].
ISTIQOMAH HATI DAN ANGGOTA BADAN
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: Pokok istiqomah
adalah istiqomah hati di atas tauhid, sebagaimana penjelasan Abu Bakar
ash-Shiddîq dan lainnya terhadap firman Allâh:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami
ialah Allah" kemudian mereka istiqomah (meneguhkan pendirian mereka".
[al-Ahqâf/46:13].
(Yaitu) bahwa mereka tidak berpaling kepada selain-Nya.
Ketika hati telah istiqomah di atas ma'rifah
(pengetahuan) terhadap Allâh, khasyah (takut) kepada Allâh, mengagungkan Allâh,
menghormati-Nya, mencintai-Nya, menghendaki-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa
kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya; maka semua
anggota badan juga istiqomah di atas ketaatan kepada-Nya. Karena hati merupaka
raja semua anggota badan, dan semua anggota badan merupakan tentara hati. Maka
jika raja istiqomah, tentara dan rakyatnya juga istiqomah.
Demikian juga firman Allâh:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allâh
-Rûm/30 ayat 30- ditafsirkan dengan memurnikan niat dan kehendak bagi Allâh
semata, tanpa sekutu bagi-Nya.
Setelah hati, maka perkara terbesar yang juga dijaga
isitqomahnya adalah lisan, karena ia merupakan penterjemah hati dan pengungkap
(isi) hati. Oleh karena itulah setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan istiqomah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan.
Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Mâlik , dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ
وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ
لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya
istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya
istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya,
tidak akan masuk surga. [HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim
al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13].
Disebutkan dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa'id
al-Khudri secara marfuu' dan mauqûf:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ
اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ
اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota
badannya berkata merendah kepada lisan: "Takwalah kepada Allâh di dalam
menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau
istiqomah, maka kami juga istiqomah, jika engkau menyimpang (dari jalan
petunjuk), kami juga menyimpang. [HR Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh
Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin 3/17, no. 1521].[2]
KEUTAMAAN ISTIQOMAH
Istiqomah tidaklah mudah. Namun seorang hamba akan
mendapatkan semangat di dalam istiqomah dengan mengetahui keutamaannya. Allâh
Ta'ala berfirman memberitakan keutamaan besar yang akan diraih oleh orang-orang
yang istiqomah:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami
ialah Allâh" kemudian mereka istiqomah (meneguhkan pendirian mereka), maka
malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut
dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan jannah yang telah
dijanjikan Allâh kepadamu". [Fush-shilat/41:30].
Di dalam ayat yang lain Allâh Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿١٣﴾ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ
خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami
ialah Allâh", kemudian mereka tetap istiqomah (teguh pendirian dalam
tauhid dan tetap beramal yang shalih) maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan. [al-Ahqâf /46:13-14].
ISTIGHFAR MELENGKAPI ISTIQOMAH
Manusia pasti memiliki kekurangan. Manusia tidak akan
mampu melaksanakan agama ini secara menyeluruh dengan sempurna. Oleh karena
itulah Allâh Ta'ala memerintahkan istighfar setelah memerintahkan istiqomah.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا
إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ ۗ وَوَيْلٌ
لِلْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia
seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha
Esa, maka istiqomahlah (tetaplah pada jalan yang lurus) menuju kepada-Nya dan
mohonlah ampun kepada-Nya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya. [Fush-shilat/41:6].
Iman Ibnu Rajab berkata: "Di dalam firman Allâh
'maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya', merupakan isyarat bahwa pasti terjadi kekuarangan di dalam
(menjalankan) istiqomah yang diperintahkan, maka diperbaiki dengan istighfar
yang mengharuskan taubat dan ruju' menuju istiqomah".[3]
SEBAB-SEBAB ISTIQOMAH
Sesungguhnya sebab-sebab istiqomah sangat banyak.
Diantara sebab-sebab terpenting yang menjadikan seseorang istiqomah di jalan
Allâh Ta'ala ialah sebagai berikut:
1. Merenungkan
al-Qur`ân.
2. Mengamalkan
agama Allâh.
3. Doa.
4. Dzikir.
5. Pembinaan
iman.
6. Meneladani
Salafush-Shâlih dan ulama yang istiqomah.
7. Mencintai
Allâh dan Rasul-Nya melebihi yang lainnya.
8. Mencintai dan
membenci sesuatu karena Allâh.
9. Saling
berwasiat dengan al-haq, kesabaran, dan kasih-sayang.
10. Meyakini masa
depan bagi agama Islam.
Inilah sedikit penjelasan tentang istiqomah, semoga
bermanfaat.
Wallâhu A'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XVII/1435H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
KERUGIAN HAKIKI
Oleh
Syaikh Abdul Bari ast-Tsubaiti
Semua orang pasti ingin selalu bahagia dan tidak pernah
menginginkan kesengsaraan walau sejenak. Semua orang ingin senantiasa beruntung
dan berusaha maksimal menghindari kerugian, namun apa hendak dikata, fakta
berbicara lain. Tidak semua yang diinginkan manusia di dunia terwujud,
terkadang apa yang justru dihindari menjadi fakta yang harus diterima, meski
terasa pahit. Kerugian terus mendera. Kenyataan pahit ini disikapi dengan sikap
yang berbeda-beda, mulai dari sikap ekstrim sampai yang biasa-biasa saja.
Terkadang sikap itu justru mendatangkan kerugian atau penderitaan baru, seperti
bunuh diri – na’ûdzu billâh-, merusak harta benda, mencederai diri sendiri atau
mencederai orang lain. Tapi ada juga yang menyikapi dengan santai, tenang dan
penuh kesabaran. Dia menyadari bahwa kerugian yang dialami di dunia ini
bukanlah kerugian hakiki, bukan kerugian yang akan mendatangkan penderitaan
abadi; Dia bukanlah kerugian yang disebutkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam
firman-Nya :
قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang rugi
ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari
kiamat". ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
[Az-Zumar/39:15]
Kerugian yang disebutkan dalam ayat di atas itulah
kerugian yang hakiki, yang akan menyebabkan penyesalan yang kekal. Kerugian
pada hari kiamat; kerugian disaat kebaikan dan keburukan manusia ditimbang
dengan timbangan teradil yang tidak mengandung kecurangan sama sekali. Semoga
Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan kita semua dari kerugian tersebut.
Kerugian pada hari kiamat merupakan akibat dari perbuatan
kita selama hidup di dunia. Jika kesempatan hidup ini bisa kita manfaatkan
dengan baik dan maksimal sebagaimana seorang pebisnis memanfaatkan modal
usahanya yang sangat terbatas untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, maka
insya Allâh kita akan terselamatkan dari kerugian tersebut.
Kerugian terburuk yang menimpa seseorang adalah kerugian
yang menimpa agamanya, karena kerugian ini akan menyebabkan penderitaan abadi
di akhirat. Kerugian yang menimpa agama seseorang merupakan musibah terparah
bagi seseorang. Oleh karena itu, diantara do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah :
... وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا
Janganlah Engkau menjadikan musibah pada agama kami
Apalagi jika musibah pada agama ini sampai menyeretnya ke
lembah kemurtadan – na’ûdzu billâh.
Diantara ciri orang yang menderita kerugian dengan
kerugian hakiki adalah ia melalaikan kesempatan beramal shaleh dalam
kehidupannya. Dia membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja, sehingga
akhirnya saat kematian tiba, amal kabaikan yang pernah dilakukannya masih
sedikit, sementara keburukannya menggunung. Jika demikian keadaannya, timbangan
keburukannya akan mengalahkan timbangan kebaikannya. Orang seperti ini termasuk
yang merugi, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٨﴾ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ
خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka
barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Dan barangsiapa ringan timbangan kebaikannya, maka itulah
orang-orang yang merugikan dirinya sendiri. [Al-A’raf/7:8-9]
Tanda-tanda orang merugi lainnya adalah sering
mengingkari janji, membuat kerusakan di muka bumi dengan menyebarkan syubhat
dan membangkitkan nafsu syahwat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ
وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ
أُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allâh
sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka itulah orang-orang yang rugi. [Al-Baqarah/2:27]
Orang tunduk dan taat kepada orang-orang kafir serta
memberikan loyalitas kepada mereka juga diantara ciri orang yang rugi.
Al-Qur’an dengan tegas telah mengingatkan terhadap perbuatan yang menyebabkan
akibat buruk ini. Karena orang-orang kafir itu akan berusaha membuat kita
seperti mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا
يَرُدُّوكُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati
orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada
kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. [Ali Imran/3:149]
Termasuk orang-orang yang merugi pada hari Kiamat adalah
orang yang hanya beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla di saat dia mendapatkan
anugerah kebaikan, disaat hidupnya nyaman, enak dan makmur atau dia beribadah
kepada Allâh Azza wa Jalla disaat apa yang dilakukan itu bisa mendatangkan
keuntungan atau kebaikan duniawi. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ
أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَىٰ
وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada
Allâh dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan); Maka jika ia
memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh
suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat.
yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. [Al-Hajj/22:11]
Termasuk merugi juga yaitu orang yang dilalaikan oleh
harta dan keluarga sehingga tidak bisa beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ
وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh. barangsiapa yang berbuat
demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. [Al-Munafiqun/63:9]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang
menyebutkan kata merugi dan hal-hal yang menyebabkan kerugian. Ini semua dalam
rangka mengingatkan manusia agar tidak tertimpa kerugian yang mengakibatkan
penderitaan yang tidak terperikan akibatnya dalam kehidupan akhirat.
Akhirnya, kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar
menjaga dan menyelamatkan kita dari kerugian-kerugian tersebut.
Bagaimanakah cara kita menghindari kerugian tersebut ?
Manakah bisnis yang bisa mendatangkan keuntungan ?
Jawabannya telah dijelaskan dalam al-Qur’an dengan
penjelasan gamblang dalam al-Qur’an, Surat al-‘Ashr.
Dalam ayat lain dijelaskan rambu-rambu bisnis yang
mendatangkan keuntungan serta dijamin tidak akan tersentuh kerugian. Allâh Azza
wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ
تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿١٠﴾ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari adzab yang pedih ?
(Yaitu) kamu beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allâh
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
[Ash-Shaff/61:10-11]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ
تَبُورَ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allâh
dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. [Fathir/35:29]
Itulah jawabannya. Itulah cara dan langkah-langkah yang
bisa ditempuh untuk menghindari kerugian dan meraih keuntungan. Barangsiapa
melalaikan dan mengabaikan cara yang diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla
tersebut, kerugian pasti tidak akan terelakkan dan dia akan merasakan
penyesalan yang tiada tara. Dia akan menyesali prilakunya yang telah
menyia-nyiakan kesempatan beramal yang tidak akan pernah kembali lagi. Dia akan
menyesali dirinya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang mereka ini
:
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا يَا
حَسْرَتَنَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَىٰ
ظُهُورِهِمْ ۚ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan
tiba-tiba, mereka berkata, "Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap
kelalaian kami tentang kiamat itu!", sambil mereka memikul dosa-dosa di
atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu.
[Al-An’am/6:31]
Semoga kita semua senantiasa berada dalam hidayah Allâh
Azza wa Jalla dan senantiasa mendapatkan taufiq dari Allâh Azza wa Jalla untuk
beramal sesuai dengan aturan Allâh Azza wa Jalla.
(Diangkat dari khutbah Syaikh Abdul Bari ast-Tsubaiti di
Masjid an-Nabawi, pada tanggal 30 Jumadil Akhir 1434 H dengan judul al-Khasâtul
Haqîqiyatu)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XVII/1435H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
No comments:
Post a Comment