!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Thursday, April 3, 2014

Muslim Myanmar Terisolasi, Ketegangan Buddha dan Muslim Berkali-Kali Meletus

Muslim Myanmar Terisolasi, Ketegangan Buddha dan Muslim Berkali-Kali Meletus

Dua pos pemeriksaan berdiri di Maungdaw, kota pegunungan di negara bagian Rakhine, barat Myanmar, dekat perbatasan Bangladesh. Penjagaan militer yang ketat membuatnya terputus dari dunia luar: cerminan isolasi atas komunitas Muslim di Rakhine.

Pemerintah mendirikan pos pemeriksaan ini, hanya beberapa bulan sesudah dugaan meninggalnya warga Muslim dalam pembunuhan massal di Maungdaw. Pemerintah membantah tudingan yang dilontarkan sejumlah lembaga hak asasi manusia serta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) soal kerusuhan itu.

Ketegangan antara kelompok Buddha dan minoritas Muslim di Myanmar berkali-kali meletus, hingga menimbulkan kekerasan berdarah. Sebagian besar terjadi di negara bagian Rakhine. Kelompok Muslim di sana merasa ketakutan. Undang-undang membuat mereka tak memiliki hak sebagai warga negara. Mereka pun terputus dari bantuan kemanusiaan. Kelompok itu merasa diawasi di pos-pos pemeriksaan.

Menurut beberapa kelompok hak asasi manusia, sejumlah warga Muslim—jumlahnya antara 10 dan lebih dari 40, bergantung pada kelompok mana yang mencatat—terbunuh sepanjang Januari di Du Chee Yar Tan. Desa itu berada sekitar 20 menit berkendara di atas jalanan berdebu dari pos pemeriksaan. Pembunuhan terjadi sesudah seorang petugas kepolisian hilang. Menurut polisi, saksi mata melihat petugas itu diserang kelompok Muslim.

Dalam laporan kepada pemerintah Myanmar pada Februari, PBB menyitir pengakuan beberapa saksi mata. Mereka mengaku sempat melihat kepala manusia mengambang dalam tangki air. PBB mengaku telah mengantungi bukti kuat bahwa sedikitnya 40 warga Muslim terbunuh di negara bagian Rakhine. Mereka dibunuh kelompok ekstremis Buddha yang disokong pasukan keamanan.

Sesudah menggelar penyelidikan mandiri, pemerintah Myanmar menyangkal terjadinya pembunuhan di Rakhine dalam periode yang dilaporkan PBB. Dalam laporannya, pemerintah mengaku tidak menemukan “dasar” apapun atas dugaan pembunuhan. Dan, kata mereka, seorang warga desa Muslim yang dilaporkan terbunuh sebetulnya ditahan di kantor polisi.

Doctors Without Borders, penyedia layanan kesehatan bagi warga Maungdaw—yang mayoritas merupakan pemeluk Muslim—diusir dari Rakhine pada Februari. Pengusiran terjadi sesudah kelompok itu mengungkap kondisi terbaru di Rakhine kepada media asing. Doctors Without Borders sempat menyatakan telah merawat warga yang terluka parah sepanjang periode dugaan pembunuhan massal.

Beberapa warga Muslim yang tinggal di Maungdaw mengaku semakin sering dilacak polisi berpakaian preman. Pengawasan kian ketat setiap kali mereka berbicara dengan orang asing atau warga di luar kawasan mereka.

Kondisi semakin memburuk dalam dua bulan terakhir,” kata Romzin Ali, penjaga toko yang juga Muslim. “Dulu, kami sudah sangat kesusahan kala bepergian. Kini, kesulitan menjadi-jadi.”

Kekerasan etnis telah mengguncang Rakhine sejak 2012. Lebih dari 140.000 warga terpaksa mengungsi. Nyaris 200 orang tewas, menurut data PBB. Mayoritas korban merupakan pemeluk Islam. Populasi kelompok Muslim hanya sekitar 4% di kawasan itu. Meski populasi Muslim sedikit, beberapa warga Buddha menganggap keberadaan kelompok Muslim mengancam karakter nasional, akibat pengaruhnya yang dinilai kian kuat.

Selama dua bulan sesudah dugaan pembunuhan meretas, pemerintah terus memperkuat keamanan, berikut kehadiran personel di Maungdaw. Langkah pemerintah mendapat perhatian diplomat serta pendukung proses reformasi Myanmar. Mereka cemas pemerintah justru akan memberikan kelonggaran bagi orang-orang yang terlibat serangan, bukannya menahan mereka yang sebetulnya bertanggung jawab.

“Ada kecemasan di nyaris seluruh komunitas internasional soal minimnya kemauan pemerintah untuk bertindak tegas dan efektif di Rakhine, demi mencegah bencana kemanusiaan,” kata seorang diplomat senior di Yangon. Ia menambahkan, “ketiadaan tindakan tegas” untuk mengatasi ketegangan yang mendalam di Rakhine ikut “mengancam proses reformasi” serta “berisiko bagi [reputasi] Presiden Thein Sein

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada Minggu mendesak Presiden Thein Sein agar lekas bertindak. Ban menegaskan “kekebalan hukum [yang dinikmati kelompok tertentu] tak bisa ditoleransi dalam konteks proses reformasi Myanmar dan perlindungan terhadap semua warga sipil.”

Win Myaing, juru bicara pemerintah Rakhine, menyatakan penguatan pos pemeriksaan dan keamanan bertujuan untuk menjamin keamanan serta ketertiban di kawasan. Pengerahan polisi preman, katanya, sesuai dengan norma keamanan internasional. Menurut Myaing, pembatasan terhadap media semakin kuat, lantaran media-media baru mulai “menulis laporan yang berbeda dengan situasi terkini.”

Hanya sedikit warga Maungdaw yang diizinkan bepergian ke luar kota. Kelompok itu merasa keseharian mereka kini semakin terkekang. Petugas keamanan masih dikerahkan di  klinik sepi Doctors Without Borders di Maungdaw. Dulu, kata petugas keamanan, ratusan orang membanjiri klinik setiap minggunya. Sebagian pasien mengidap penyakit mematikan, seperti tuberkulosis (TBC). Kini, banyak warga setempat kesulitan mendapat perawatan kesehatan yang layak.WSJ

No comments:

Post a Comment