!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Monday, April 14, 2014

.Menyoal Pemilih Indonesia, “Efek Jokowi” Hanyalah Ilusi

.Menyoal Pemilih Indonesia, “Efek Jokowi” Hanyalah Ilusi



Hasil perhitungan cepat dalam pemilihan umum legislatif menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Sukarnoputri menangguk 19% suara. Walau capaian itu telah cukup untuk menjadikan PDI-P meraih kursi mayoritas di DPR, perolehannya tidak seperti yang diharapkan. Calon presiden partai, Gubernur Jakarta Joko Widodo, kemungkinan bingung dengan hasil tersebut.

Setelah pria yang akrab dipanggil Jokowi itu diajukan menjadi kandidat presiden bulan lalu, banyak lembaga survei meramalkan kinerja PDI-P akan terdongkrak dalam pemilu legislatif. Sejumlah analis bahkan menyebut bahwa partai tersebut akan menjala 35% suara secara nasional.

Namun, fenomena yang dikenal sebagai “efek Jokowi” hanyalah ilusi. Keraguan mengenai ketangguhan Jokowi dalam menghadapi pemilu presiden pada Juli nanti pun meruap. Kinerja yang tidak sesuai harapan itu dikabarkan memicu perseteruan di antara sosok kunci partai.

Sulit mengurai kekusutan yang melilit PDI-P. Namun, sejumlah penjelasan masuk akal dapat diajukan. Pertama, kita mesti ingat bahwa pemilu legislatif adalah ajang yang menguji popularitas PDI-P sebagai partai, bukan calon presidennya. Kandidat kuat tentu saja dapat ikut membantu suatu partai dalam pemilu legislatif. Namun, popularitas calon tak harus sama dengan partai.

Hal itu dapat pula berlaku dua arah. Contoh partai yang suaranya melampaui calon presiden usungannya adalah Golkar, yang dipimpin oleh taipan kontroversial Aburizal Bakrie. Survei atas Bakrie sebagai calon presiden tak mampu melampaui angka 10%. Namun, partainya menduduki peringkat kedua di bawah PDI-P dengan perolehan suara nasional 15%..

Popularitas Jokowi kadang mencapai 45% dalam survei, jauh melebihi popularitas PDI-P dan di atas dua kali dari angka yang dicapai dalam pemilu legislatif. Memang, kemungkinan banyak warga yang memandang Jokowi secara positif sebagai gubernur Jakarta, dan menyukainya sebagai sosok rendah hati. Namun, bisa jadi mereka meragukan kualitasnya sebagai calon presiden. Tak satu pun survei yang berfokus pada popularitas Jokowi setelah ia dicalonkan sebagai presiden. Jadi, hingga survei lebih matang digelar, prospeknya masih belum pasti.

Kedua, sigi atas perolehan suara berbasis daerah menunjukkan bahwa PDI-P unggul di Jawa sementara Golkar unggul di luar Jawa. Hasil tersebut menyiratkan bahwa “efek Jokowi” memang hadir, tapi terbatasi garis wilayah. Bahkan di Jawa sendiri, PDI-P hanya unggul lebih baik di sejumlah lokasi yang memiliki ikatan personal kuat dengan Jokowi.

Ketiga, selentingan muncul dari lingkaran dalam PDI-P mengenai perolehan suara partai yang kemungkinan akan lebih baik jika Megawati dan Jokowi memiliki ikatan kuat. Beberapa pihak menyinggung perpecahan yang mungkin bakal berkembang lebih serius dalam beberapa bulan ke depan. Ketegangan di antara dua lingkaran penasihat—para loyalis Megawati dan tim Jokowi—harus dibereskan sebelum kampanye presiden memanas.

Kebingungan di tubuh partai pun berdampak pada aliran dana kampanye. Hal tersebut seharusnya menjadi kekhawatiran besar bagi PDI-P.

Dengan adanya ketidakpastian pada peta pemilih, sejumlah keputusan besar menggantung. Tiga partai dengan suara terbesar—PDI-P, Golkar, Demokrat—masing-masing harus memilih mitra koalisi untuk mengamankan 20% kursi parlemen sebagai prasyarat pengajuan calon presiden. Selain itu, partai-partai pun harus memilih calon wakil presiden.


Biasanya, para calon berasal dari mitra senior di koalisi. PDI-P hanya membutuhkan partai kecil untuk melewati ambang. Ada sedikit kemungkinan bahwa partai itu bisa leluasa memilih sendiri calon wakil presiden.

Megawati agaknya akan mengajukan loyalis keluarga sebagai calon wakil presiden untuk Jokowi. Seorang pengamat berujar, “Jokowi mungkin meminjam kendaraan partai, tapi [Megawati] belum siap memberikan semua kunci.”

Aburizal Bakrie (Golkar) dan Prabowo Subianto (Gerindra) di sisi lain akan membutuhkan mitra koalisi dahsyat guna melampaui ambang yang disyaratkan. Karenanya, mereka takkan terlalu leluasa dalam memilih calon wakil presiden. Keduanya akan terkekang oleh kompromi dan penyatuan visi politik yang sulit dikendurkan.

Walau demikian, dalam pengertian lebih luas, keputusan seperti penentuan mitra koalisi dan calon wakil presiden tidak terlampau penting. Pasalnya, para calon pemilih tak ambil banyak peduli terhadap afiliasi partai calon presiden, apalagi nama-nama calon wakil presiden. Yang paling banyak berpengaruh adalah sosok calon presiden itu sendiri.

Hal tersebut mengajak kita untuk mengambil pelajaran dari pemilu legislatif barusan. Pendeknya, kinerja PDI-P yang tidak memenuhi harapan menjadi pengingat bahwa politik Indonesia tidak menjanjikan kemenangan mutlak. Energi partai harus terpusat pada jelasnya pesan dukungan terhadap calonnya.

Jokowi dan PDI-P berada dalam posisi bertahan, setidaknya sekarang. Prabowo Subianto, yang dalam survei terbaru dianggap sebagai politikus paling berpengaruh kedua di Indonesia, mendapat peningkatan kepercayaan diri setelah kinerja partainya jauh membaik. Ia pun selangkah lagi memenuhi syarat sebagai calon presiden berhadapan dengan Jokowi.

Siapa pemenangnya? Jawaban paling mungkin adalah alih-alih kemenangan satu putaran bagi Jokowi dan PDI-P, pemilu presiden dua putaran kemungkinan besar akan terjadi.WSJ

No comments:

Post a Comment