!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Saturday, May 4, 2013

Dilema politik di Indonesia: Sistem Politik yang belum bisa membendung Korupsi Politik.


Dilema politik di Indonesia: Sistem Politik yang belum bisa membendung Korupsi Politik. Oleh: Muhammad Jusuf*



Dilema politik di Indonesia: Sistem Politik yang belum bisa membendung Korupsi Politik.

Oleh: Muhammad Jusuf*

Baru saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerima daftar calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari sebelas partai politik yang berhak ikut pemilu Presiden dan anggota DPR yang dijadwalkan tahun 2014 mendatang.

Sejak reformasi politik di Indonesia pemilihan anggota DPR tidak lagi ditentukan pimpinan Partai Politik lagi, tapi langsung oleh rakyat lewat pemilu. Proses ini juga berlaku untuk pemilihan calon Gubernur, Bupati dan Walikota.

Dari sistem politik ini kita berharap bisa dihasilkan para pemimpin yang bersih dan berdedikasi untuk mensejahteraan rakyat. Tapi ternyata banyak sekali Gubernur, Bpati dan Walikota termasuk anggota DPR yang terjerat kasus pidana korupsi baik yang dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polisi atau Kejaksaan.

Tidak disangka mereka banyak yang tersangkut hukum karena menjadi tersangka kasus korupsi. Ini terjadi konon (saya menggunakan istilah konon ,karena informasi ini harus dibuktikan lagi oleh KPK, Polisi dan Kejaksaan) karena informasi ini saya tulis berdasarkan cerita dari para kandidat itu sendiri, anngota tim sukses, maupun anngota masyarakat lain. Proses awal untuk menjadi Gubernur, Bupati, Walikota maupun an, anggota DPR cukup besar, sehinnga ketika mereka menjabat menjadi Gubernur, Walikota maupun anggota DPR tergoda untuk mencari jalur cepat (Korupsi) untuk mana mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan, atau untuk mengembalikan utang-utang dari pihak ketiga karena berani memodali calon kandidat dengan utangnya.

Biasanya bila kandidat merupakan kader dari partai politik yang bersan
gkutan tidak sebesar dana yang harus dikeluarkan bila calon kandidat bukan berasal dari partai politik.
Seorang kandidat bila maju ingin menjadi Bupati harus diusung partai pilitik yang memiliki kursi di DPR atau DPRD. Sehingga jauh sebelum seorang kandidai mendaftarkan diri di KPU atau KPUD harus sudah dapat dukungan dari partai politik yang memiliki kursi yang cukup di DPR atau DPRD. Bila satu partai tidak memiliki cukup kursi ,maka seorang kandidat akan akan memburu partai lain walaupun partai kecil yang ngak memiliki kursi, karena akumulasi suara pemilih bisa dihitung menjadi kursi.

Berapa dana yang harus dikeluarkan seorang kandidat agar bisa terpilih agar dapat diusung oleh partai politik. Biasanya proses pemilihan kandidat calon Gubernur, Bupati ,Walikota tetap melului jalur kongres atau jalur proses prosedur partai semacam Fit dan Proper test. Tapi ini konon hanya formalitas belaka, walaupun kandidat telah membeberkan visi dan misinya di raker atau kongres partai tetap saja mereka seperti tender dagang sapi, misalnya bila ada calon Bupati menyanggupi membayar Rp 25 miliar untuk pencalonannya menjadi seorang Bupati, walaupun kandidat Wakil Bupati adalah dari kader partai yang bersangkutan, tetap saja kandidat lain yang hanya sanggup setengahnya atau sepertiganya akan gugur.
Belum lagi pengeluaran dana yang harus dikeluarkan untuk ‘’membeli” partai-partai kecil lain.

Bukan itu saja, seorang kandidat juga biasanya banyak mengeluarkan dana untuk mengambil hati rakyat walau dibungkus bakti sosial swperti bantu sembako (beras, gula, kopi dan lain-lain) untuk korban banjir, atau bakti sosial lain, belum lagi belanja iklan sepeti Baliho , poster yang terpampang dimana-mana jauh sebelum hari deperbolehkannya kampannye resmi.

Mengapa seorang kandidat berani mengeluarkan begitu banyak dana, kalau bukan jabatan yang diincar itu memang ladang ‘’empuk’’ korupsi. Tidak heran bila seorang Gubernur,Bupati atau Walikota yang telah menjabat dua periode (10 tahun)  pada Pilkada (pemilu) berikutnya karena ngak boleh dipih lagi bersedia dicalonkan lagi jadi Wakil, atau bahkan mendorong istrinya, bahkan kerabatnya seperti anak, untuk menjadi kandidat mengantikan dirinya, agar kesinambungan korupsi tetap dijaga.

Inilah simalakama korupsi di Indonesia,sistem politik sebaik apapun banyak celah untuk dilangar, karena korupsi juga tidak saja melibatkan Gubernur,Bupati, Walikota dan anngota DPR,DPRD, tapi bahkan komon sudah merasuk ke kalangan penegak hukum dan para pengawas di lembaga pemilu sendiri termasuk konon para oknum Di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang melegalisir seorang kandidat walau tanpa pernah menginjak bangku sekolah ,tapi dilololoskan KPU/KPUD, karena ijasah sekolahnya (termasuk paket)telah sah dilegalisir.

*30 tahun wartawan Koran, Kantor Berita Radio dan Majalah di Indonesia, kini pensiun setelah terkena stroke dua tahun lalu. Bagi media ingin mengutip tulisan ini diharap mentransfer uang penganti riset (media di Indonesia Rp250.000), media asing di luar Indonesia US$ 100,00 ditransfer ke Bank Central Asia (BCA) cabang Villa Pertiwi, Depok, Jawa Barat, Indonesia. No.Rekening 7170000042 atas nama Muhammad Jusuf)

No comments:

Post a Comment