Antri Lowongan Kerja |
Perjalanan yang belum Selesai (38)
(Bagian ketigapuluh Delapan, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 4 September 2014, 17.31 WIB)
Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 banyak memukul sector
industry Indonesia, karena tidak lepas dari dampak ekonomi global, terutama di
Asia, sehingga banyak industry yang berorientasi ekspor banyak yang tutup.
Sampai-sampai tetangga saya yang suami istri yang
sama-sama kerja di pabrik garmen di Gang,Namgka harus diputus hubungan
kerjanya, sang suami kini banting setir Jadi penjual pulsa telpon, sedangkan
istrinya membuat bakpao yang di jual ke warung-warung sekitar.
Di depan rumah saya juga suami istri kerja di pabrik tekstil
di satu perusahaan, karena pabrik tutup si Istri kini menjual sembako di
rumahnya, sang suami jadi distributor sembako (beras dan kebutuhan rumah tangga
lainnya), setelah uang pesangon dia beli truk mini.
Pada saat krisis pernah terjadi nilai mata dolar AS
meningkat hingga Rp 20.000,- per satu dolar AS. Harga emas pun sempat meroket
harganya sehingga emas 14 karat yang saya miliki yang sebelumnya tidak laku
dijual, bisa saya jual Rp 3 juta di toko emas di Pasar Rebo.
Sukurlah pada akhirnya Indonesia termasuk diantara tujuh Negara
di dunia yang lolos dan terhindar dari krisis ekonomi dunia yang
berkepanjangan.
LINGKARAN KRISIS
EKONOMI INDONESIA
|
Ekonomi Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ekonomi Indonesia
Jakarta Skyline Part 2.jpg
Jakarta, ibukota keuangan Indonesia.
Peringkat 15
Mata uang Rupiah
(IDR)
Tahun fiskal Tahun
kalender
Trade organizations APEC,
WTO, G-20, IOR-ARC
Statistik
PDB $1,0 triliun
dari PPP (2010)
Pertumbuhan PDB 6,17%
(per Q3 2012)[1]
PDB per kapita $4.700
(perkiraan 2011)
PDB per sektor pertanian:
15,3%, industri: 47%, jasa: 37,6% (perkiraan 2010)
Inflasi (IHK) 5,1%
(2010)
Populasi
di bawah garis kemiskinan 13,3%
(2010)
Koefisien gini 34,3
(2008)[2]
Labour force 116,5
juta (est. 2010)
Labour force
by occupation pertanian:
38,3%, industri: 12,8%, layanan: 48,9% (2010 est.)
Pengangguran 6,56%
(2011 est.)
Industri utama minyak
dan gas alam, tekstil, pakaian, sepatu, pertambangan, semen, pupuk kimia, kayu
lapis, karet, makanan, pariwisata
Peringkat kemudahan melakukan bisnis 129[3]
Eksternal
Ekspor $208
miliar (perk. 2011)[4]
Ekspor barang-barang minyak
dan gas, alat listrik, kayu lapis, tekstil, karet
Rekan ekspor utama Jepang
16,3%, Cina 9,9%, Amerika Serikat 9,1%, Singapura 8,7%, Korea Selatan 8%, India
6,3%, Malaysia 5,9% (2010)
Impor $127,4
miliar (perk. 2010)
Impor barang-barang mesin
dan peralatan, bahan kimia, bahan bakar, bahan makanan
Rekan impor utama Cina
15.1%, Singapura 14,9%, Jepang 12,5%, AS 6,9%, Malaysia 6,4%, Korea Selatan
5,7%, Thailand 5,5% (2010)[4]
Utang kotor luar negeri $223
miliar (perk. 30 Juni 2011)
Pembiayaan publik
Utang publik 24,5%
dari PDB (perk. 2011)
Pendapatan $119,5
miliar (perk. 2011)
Beban $132,9
miliar (perk. 2011)
Peringkat utang Standard
& Poor's:[5]
BB+ (Domestic)
BB+ (Foreign)
BBB- (T&C Assessment)
Outlook: Positive[6]
Moody's:[6]
Baa3
Outlook: Stable
Fitch:[6]
BBB-
Outlook: Positive
Cadangan mata uang asing $110,30
miliar (Oktober 2012)[7]
Sumber data utama: CIA World Fact Book
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana
pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN
dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan
listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997,
pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan
pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan
hutang.
Latar belakang
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)[sunting | sunting
sumber]
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat
buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang
beredar di masyarakat sebesar 4 miliar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di
Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6 miliar. Jumlah itu kemudian bertambah
ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan
menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan
sebesar 2,3 miliar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang
paling menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada
zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan
mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia,
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu
Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang diduduki
Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya
sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses
tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar
persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik
mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI,
juga melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang
Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan
koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk
Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula
adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh
Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI
dengan valuta asing.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November
1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini,
menutup pintu keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda
melakukan blokade ini adalah:
Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan
militer ke Indonesia;
Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik
Belanda dan milik asing lainnya;
Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Tanah pertanian rusak
Tenaga kerja dijadikan romusha
Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri
keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli
1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India
seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan
menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk
memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi
yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah
sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19
Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera)
1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board
(badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan
ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri
Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal
dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
Penanaman kembali tanah kosong
Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa
ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.
Demokrasi Terpimpin[sunting | sunting sumber]
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil
dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah
untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Gunting Syafruddin[sunting | sunting sumber]
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering).
Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya
tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin
Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal
20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950.
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang
memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas.
Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah
mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar
Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng[sunting | sunting sumber]
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah
Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang
dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro
Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah
struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan
ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu
dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
Penganguran di AS |
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan
berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet
Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3
tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan
kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan
baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini
disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan
pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung
konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan
usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar
dan menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari
keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber
defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar
rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar
rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit
khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah
sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat
menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank[sunting | sunting sumber]
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir
tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian
kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat
pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah
untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan
penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada
tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba[sunting | sunting sumber]
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq
Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini
adalah:
Untuk memajukan pengusaha pribumi.
Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi
nasional.
Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional
pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara
pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba
digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan
kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan
latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar
dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi
bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan
pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih
mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar
bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)[sunting | sunting
sumber]
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke
Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia
dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal
7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan
bilateral.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional,
tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani,
sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956
Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara
sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan
Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno
menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha
Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu
mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)[sunting | sunting
sumber]
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat
dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi
yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya
pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program
jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan
membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda
diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran
dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat
pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan
negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak
ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak
daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan[sunting | sunting sumber]
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara
pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan
Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk
mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang
menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut
tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas
pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya
ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai
konfrontasi bersenjata.
Orde Baru[sunting | sunting sumber]
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru
Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi
lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat,
inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah
menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai
melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan
hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor
eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan
pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata
mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai
ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997
menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal
sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak,
mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat
sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan
perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan
non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan
ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan
ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia
pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik.
Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku
bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar
rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan
International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program
reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan
beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan
Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto.
Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada
akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca Suharto[sunting | sunting sumber]
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui
program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang
terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program
tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh
pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun [8] meningkat lebih dari
100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia
adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara
anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia
dari tahun ke tahun[9] oleh IMF dalam juta rupiah.
Tahun PDB % Pertumbuhan/tahun
(bunga majemuk)
1980 60,143.191
1985 112,969.792 13.5
1990 233,013.290 15.5
1995 502,249.558 16.6
2000 1,389,769.700 22.6
2005 2,678,664.096 14.0
2010 6,422,918.230 19.1
Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena
itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan
rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan
sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan
mungkin negatif.
Kajian Pengeluaran Publik[sunting | sunting sumber]
Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang
memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik
Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut
menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan
dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara
drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar
dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai
sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan
ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling
penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan
dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar"
desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari
keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun
2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak
internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik
Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah
susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga
minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar,
pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar [1] tambahan
untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006
tambahan US$5 miliar [2] telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan
pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara
keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini
berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar [3] ekstra untuk
dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal'
yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi
lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang
utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an
semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga.
Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari
keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan
kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi
kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam
beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran
pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total
subsidi masih sekitar US$ 10 miliar [4] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau
sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus
2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun
2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia
sekarang membelanjakan 37 persen [5] dari total dana publik, yang mencerminkan
tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan
ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik
untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan
hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur
Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam
hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk
fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan
kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan.
Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari
dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk
belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah
mencapai 17.2 persen [6] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi
tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen [7] dari
PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun
2001[8] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen
dari PDB [9]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum
sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4
persen dari PDB [10]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah
tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar
15 persen pada tahun 2006 [11], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan
atas sumber daya publik.
Senin, 21 Desember 1998
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Krisis Ekonomi 1998, Tragedi tak Terlupakan
PENGANTAR REDAKSI
"KEAJAIBAN yang hilang". Itulah istilah yang
paling pantas diberikan bagi perekonomian Indonesia sepanjang tahun 1998.
Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan,
tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Laporan akhir
tahun ekonomi akan mengungkap semua persoalan itu dan mencoba menggambarkan
keadaan untuk tahun mendatang. Laporan akan dituangkan dua hari berturut-turut,
Senin (21/12) dan Selasa, di Rubrik UTAMA dan Rubrik OPINI. Semua dituliskan
oleh wartawan ekonomi Kompas, Andi Suruji, Banu Astono, Dedi Muhtadi, Ferry
Irwanto, Ninuk M Pambudy, Pieter P Gero, Simon Saragih, Sri Hartati Samhadi,
Subur Tjahjono, Tjahja Gunawan, Yosef Umar Hadi, dan Yovita Arika.
TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian
bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode
paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu
diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal
resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.
Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi.
Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga
sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong
milenium ketiga.
Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak
lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah
berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo
cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia
usaha.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak
Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi
dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang
putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah
di Asia Tenggara.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal
dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan
cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian
ke krisis politik.
Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang
melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di
negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto
pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya
akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Efek bola salju
Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah
menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan
Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan,
sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar
negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang
menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam
50 tahun terakhir.
Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai
138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang
dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh
tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar
14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang
ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke
level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi
lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya
permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap
angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak
realistis.
Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental
ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara
dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank
nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar
bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau
menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala
kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang
tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor
konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar
pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum
pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen
lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini,
jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50
persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako
dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita
tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610
dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999
jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian
yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan
nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar
7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen
kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54
persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa
Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September
1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar
menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75
persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak.
Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai
pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi
penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan
momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada
komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar
global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok
sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas
hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan
membuat instrumen moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan
perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa
menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan.
Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat
pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di
tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF
Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum
akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena
memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan
IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk
kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi.
Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi
kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau
kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya
terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan
pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan
gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan
berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya
Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala
yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para
pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya
pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di
Indonesia.
Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki
legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak
banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan
cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal
ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian
sepanjang tahun 1998.*
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Era Bank-bank Bangkrut
INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk.
Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka
benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki. Tindakan
likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua
prahara perbankan itu.
Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang
dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi
bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian,
jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang
menjadi kronis.
Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa
karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah
warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong
melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan
tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi
beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga
kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya
terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan,
bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang
disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan
modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan.
Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri,
terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan
sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan
internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah
membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di
perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah
pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta
telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas
saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya,
sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan
perbankan.
Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang,
tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan.
Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas
berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C
(modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.
Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan
penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan
modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari
memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp 300
trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah untuk
dipenuhi.
**
SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan
yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain
tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan.
Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali
direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas
waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu
tahun.
Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan,
pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas
bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan
kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa
membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia
perbankan.
Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung.
Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung
diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh. Setelah
kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang muncul
program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang merupakan bagian dari
kebijakan restrukturisasi perbankan nasional.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum
memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia
perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan
perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.
***
DI tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana
menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya besar? Maka
itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan beroperasi seperti sediakala.
Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah
bank-bank asing atau campuran, atau bank-bank swasta yang selama ini cukup
berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak
seperti hanya dalam bilangan jari tangan.
Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat
ini tak ada yang bisa memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik
maupun dunia internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat
endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan
sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan perbankan.
Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak
terhindarkan. Itu merupakan bagian dari reformasi perbankan, yang bisa
dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir. Maka itu, mengamati industri
perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan.
Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak
punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak
diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini,
peran aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga
perbankan satu negara.
Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi
portofolio-berbentuk saham obligasi atau produk di pasar uang lainnya. Aliran
modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct investment
(aliran investasi asing langsung).
Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu
sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus
modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan Thailand, adalah
negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya kembali arus
modal masuk itu.
Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi
kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk masuk ke Indonesia.
Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu,
ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas.
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik
PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar, tertib
dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila
diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus
meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit
diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun
1999 berada dalam situasi yang kritis. Artinya perekonomian nasional berada di
persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran.
Peluangnya separuh-separuh.
Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan
jujur dan adil, serta demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan
pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat
ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke
Indonesia.
Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang
menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus
benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia,
masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya
bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya
kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.
Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak
serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun
bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan
kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman
masih sering terjadi.
***
MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana
pegelaran dialog nasional sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut,
diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus
berhasil dan sesuai aspirasi rakyat.
Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis
dan didukung rakyat. Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya
bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan yang akan datang.
Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan yang
sekarang.
Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi
terutama moneter juga sangat penting, apabila kita mengharapkan pemulihan
ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi
perbankan dan utang luar negeri.
Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil.
Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu,
pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang memang tidak
solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus
juga selesai. Apabila persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan
ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan.
Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta.
Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis
perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah tergantung dari
penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan investor
enggan masuk ke Indonesia.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B
Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi
kalau melihat di lapangan terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada
hanya rasa waswas dan gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas
kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan
pemilu.
Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini
sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para
pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari yang sudah ada.
Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri.
Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung
pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang
dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang
tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha
melihat kondisi perekonomian nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang
sedang mengendarai mobil di tengah "kabut tebal". Kabut tebal
(situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak
bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara
itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu
sampai kabut itu berlalu.*
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular
kurs1.JPG (17016 bytes)
RUPIAH pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta
merah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak
dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika
kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?
Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden
ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa
meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah. Rupiah masih sekitar Rp 11.000
per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak
aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di
Jakarta.
Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang
sepertinya tidak habis-habisnya setelah mundurnya Soeharto. Pukulan
bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya, setelah mata uang yen Jepang
mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas
mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.
Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen,
inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk
bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri
krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ)
bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak
naik melampaui tingkat 400 poin. Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat
inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai
mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami rupiah yang cenderung membaik
sejak September lalu dan kini terus bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp
8.000.
***
MENGIKUTI perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama
tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan lembah dan ngarai yang terjal.
"Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo
Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni
lalu.
kurs2.jpg (17016 bytes)
Pasar memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan
politik. Kondisi negatif ini semakin diperparah dengan perkembangan global
seperti jatuhnya kurs yen.
Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp
4.000 - Rp 5.000 per dollar AS. Tidak terlalu "buruk" apabila
dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000.
Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan
untuk mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan
rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16 bank swasta bulan November.
Manuver-manuver politik semakin memperburuk kepercayaan
pasar atas perekonomian Indonesia. Kehadiran calon wakil presiden BJ Habibie
pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan bahwa Indonesia masih akan tetap
dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah yang juga tarik ulur dalam
mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana Moneter Internasional (IMF)
semakin mempersulit keadaan.
Hal serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ.
Setelah sempat melambung melampaui 700 poin pada bulan Juni 1997, indeks saham
terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada bulan Desember dan Januari
1998. Beruntung, penandatanganan letter of intent pemerintah dengan IMF tanggal
15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi positif pada membaiknya
perekonomian.
Kurs rupiah segera kembali menguat hingga di bawah Rp
10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp 8.000 per dollar AS pada bulan
Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut membantu. Revisi atas RAPBN 1998/
1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan pemerintahan selama ini,
juga menunjukkan sikap serius pemerintahan menghadapi krisis.
Di bursa saham, harga-harga saham juga kembali melonjak.
Indeks terus naik melampaui 500 poin pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar
modal Jasso Winarto saat itu, para investor asing mulai mengincar saham-saham
unggulan Indonesia yang ketika itu sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF
juga memberikan sentimen positif krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik.
***
SEBAGAIMANA dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan
Indonesia ternyata sudah melebar menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu,
krisis juga mulai masuk ke politik yang selama ini praktis menjadi
"kawasan tabu". Akibatnya, kepercayaan akan perekonomian Indonesia
secara perlahan namun pasti, mulai pupus.
Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima
semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri
mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya.
Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang jangka pendek pihak
swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin
bertubi-tubi.
Pasar valas maupun bursa saham seperti telah patah arang
terhadap pemerintah RI. Seperti telah diungkapkan di atas, sejak itu kurs
rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp 17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp
17.000). Indeks harga saham juga mulai menunjukkan tendensi merosot menembus
angka 400 poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.
Sejak Juni dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs
paling rendah, secara perlahan mulai membaik. Tekanan terhadap rupiah mulai
melemah, setelah sejumlah perundingan bagi penyelesaian utang luar negeri pihak
swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan
dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat juga mulai memperlihatkan sikap
mendukung program ekonomi Indonesia.
Sayangnya, langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa
saham. Harga-harga saham terus berjatuhan. Tidak jarang, harga saham di BEJ
sudah senilai harga permen. Harga rokok ataupun air mineral jauh di atas harga
per lembar saham. Indeks saham pun terus turun hingga bulan September mencapai
titik terendah 254 poin.
Pertanyaannya, apakah kurs rupiah dan indeks saham ini
masih akan stabil pada tingkat ini saat memasuki tahun 1999? Penghujung tahun
1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan,
persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus mulai diselesaikan
dari diri sendiri.
Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa
menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik yang di dalam negeri.
Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah menimbulkan
kebingungan dan ketidakjelasan.
Tujuh Negara ini Selamat dari Krisis Ekonomi Global
Salah satunya adalah Indonesia, karena peningkatan daya beli
konsumen.
ddd
Rabu, 17 Oktober 2012, 06:32 Denny Armandhanu
Sejumlah gedung apartemen di Jakarta Sejumlah gedung
apartemen di Jakarta
Follow us on Google+
VIVAnews - Resesi akbar yang terjadi sejak tahun 2007 dan
masih tersisa sampai sekarang membuat banyak negara hampir pailit. Para pemain
besar perekonomian dunia juga terkena imbasnya, pertumbuhan ekonomi mereka
melambat.
Resesi ini juga yang meruntuhkan banyak institusi
finansial besar di berbagai negara, bank-bank terpaksa menggelontorkan dana
talangan (bailout) dan ambruknya pasar saham. Di beberapa negara, sektor
perumahan anjlok, usaha-usaha tutup akibat turunnya daya beli dan jumlah
pengangguran meroket.
Negara adidaya macam Amerika Serikat dan China harus
gigit jari dengan turunnya perekonomian mereka. Negara-negara Eropa harus
berjuang menutupi utang mereka, dengan memberlakukan pengetatan anggaran,
berujung pada kesengsaraan rakyat. Kerusuhan di mana-mana.
Namun, di tengah carut-marut ekonomi global, ada beberapa
negara yang masih stabil, bahkan meningkat perekonomiannya. Jurnal ekonomi dan
politik AS, Foreign Policy, bulan ini merangkum tujuh negara yang selamat dari
krisis 2007, salah satunya tercatat adalah Indonesia. Berikut adalah daftar ke
tujuh negara tersebut:
1. Korea Selatan
Kemajuan Korsel di tengah krisis ekonomi dunia tidak
terlepas dari mimpi Presiden Lee Myung-bak untuk menjadikan negara itu sebagai
negara kelas satu. Dalam mewujudkan mimpinya, Lee meningkatkan riset,
pengembangan serta inovasi dari 3,4 persen menjadi 5 persen dengan bantuan
subsidi pemerintah. Tercatat, beberapa perusahaan seperti Samsung, Kia dan
Hyundai menangguk untung di saat yang lainnya terpuruk.
Korsel adalah negara pertama yang bangkit dari resesi
pada tahun 2009. Pendapatan masyarakat Korsel meningkat pesat dalam 11 kuartal
terakhir. Lembaga pemeringkat utang Fitch pada September tahun ini menetapkan
Korsel sebagai negara surga bagi para investor.
2. Polandia
Dulu, Polandia dianggap sebagai negara paling tidak
menjanjikan di Eropa timur, tertinggal jauh dari Republik Ceko dan Slovenia.
Namun, krisis Eropa jadi berkah tersendiri bagi Polandia. Ekonomi negara ini
meningkat 15,8 persen pada 2008 dan 2011, di saat ekonomi Eropa turun hingga
setengahnya. Hal ini tidak lain berkat kebijakan fiskal dan keuangan Polandia
yang brilian, tingkat utang yang rendah dan pasar yang luas bagi konsumen
domestik.
Masyarakatnya juga ikut andil menyumbang peningkatan
ekonomi Polandia. Pekerja di negara ini bekerja lebih lama 500 jam per tahun
dibandingkan Jerman, dengan upah yang lebih kecil. Alhasil, Polandia adalah
satu-satunya negara di Uni Eropa yang tidak terimbas krisis terparah pada 2009.
3. Kanada
Tahun ini untuk pertama kalinya sepanjang sejarah,
masyarakat Kanada lebih kaya dari pada masyarakat Amerika Serikat. Padahal dua
dekade lalu, Kanada jatuh bangun menghadapi utang dan pertumbuhan yang minim.
Keberhasilan Kanada mengatasi krisis ekonomi adalah
berkat penghematan yang mereka lakukan sejak tahun 1990an. Di tengah investasi
pemerintah yang masif di bidang infrastruktur, perdana menteri kala itu, Paul
Martin, juga mengeluarkan kebijakan yang melarang sektor perbankan melakukan
praktik-praktik beresiko dan membahayakan institusi finansial lainnya.
Ahli ekonomi mencatat, pendapatan Kanada meningkat 15
persen dalam 10 tahun terakhir. Kanada juga merupakan 10 negara yang layak
untuk tempat hidup.
4. Swedia
Saat krisis finansial menimpa Swedia pada 1992,
pemerintah langsung mengambil alih beberapa bank. Swedia memotong pajak yang
tinggi dari perusahaan-perusahaan dan individu, dan menggunakan sebagian besar
anggaran untuk pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah Swedia mampu menjaga utang mereka tetap
rendah, sekitar 38 persen dari GDP. Swedia tercatat sebagai negara dengan
ekonomi tercepat-tumbuh se-Eropa pada 2011 setelah Estonia. Nilai mata uang
krona juga terus melampaui euro.
5. Indonesia
Foreign Policy menuliskan, Indonesia tertolong oleh rasa
percaya diri pemerintah dan rakyat yang luar biasa tinggi. Sebanyak delapan
persen rakyatnya percaya bahwa negara ini akan menjadi negara superpower
berikutnya. Indonesia juga melampaui India sebagai negara dengan konsumen
paling optimis sedunia.
Pertumbuhan tahunan Indonesia stabil, 4,5 persen saat
resesi dan menempati pertumbuhan kedua tertinggi di G-20 setelah China tahun
lalu. Pertumbuhan ini berkat komoditi seperti batu bara, minyak kelapa sawit,
dan timah. Tingkat konsumen kelas menengah Indonesia juga meningkat pesat.
Penjualan mobil naik 15 persen per tahun, berujung pada semakin banyaknya perusahaan
otomotif yang investasi. Salah satunya adalah Nissan yang meningkatkan produksi
mereka hingga dua kali lipat, atau senilai US$400 juta.
6. Turki
GDP dan pendapatan per kapita Turki hampir meningkat
hingga tiga kali lipat di tengah krisis di Eropa. Turki sekarang menjadi
produsen mobil terbesar bagi pasar Eropa. Sebut saja Honda, Hyundai, Renault,
Toyota dan Ford buka pabrik di negara ini.
Kemajuan Turki adalah berkat pemerintahan Perdana Menteri
Recep Tayyip Erdogan yang meliberalisasi investasi dan memperketat regulasi
yang membendung korupsi. Turki juga telah mengembalikan perannya sebagai
jembatan antara Eropa dan Timur Tengah. Mitra dagang terbesar Turki adalah
Jerman, Mesir, Iran, Irak dan Arab Saudi.
7. Meksiko
Walaupun Meksiko terkenal banyak masalah, di antaranya
kekerasan kartel narkoba yang membunuh lebih dari 50.000 orang dalam enam
terakhir, namun ekonominya meroket. Pertumbuhan ekonomi Meksiko melampaui
Brasil tahun lalu. Lebih dari 700.000 lapangan pekerjaan tercipta di negara ini
pada 2010, menantang dominasi China dan AS sebagai produsen alat-alat rumah
tangga.
Inflasi dan tingkat utang Meksiko juga sangat rendah.
Untuk pertama kalinya tahun ini, tingkat migrasi warga Meksiko ke Amerika
Serikat nihil, menandakan kemajuan membuat rakyat betah di negaranya sendiri.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment