Abdurrahman Wahid (Gis Dur) |
Perjalanan yang belum selesai (33)
(Bagian ke tigapuluhtiga, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 3
September 2014, 16.17 WIB)
Saya mengenal Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pertama kerap
mewawancarai beliau sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di
kantornya di jalan Kramat Raya ,Jakarta Pusat.
Kedua ketika saya bersama Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenni
Wahid) ikut tes calon penyiar untuk Radio Singapore Internasional (RSI).
Akhirnya saya lulus, tapi menjadi Koresponden Radio Singapore Internasional
berbasis di Jakarta, sedangkan Yenni Wahid walaupun dinyatakan lulus , namun
dia tidak mengambil kesempatan itu karena harus membantu tugas-tugas ayahnya
yang baru saja dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4.
Ketiga, ketika saya bertugas meliput kegiatan di DPR/MPR
sampai kemudian Gus Dur terpilih menjadi Presiden Indonesia.
Abdurrahman Wahid
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
K.H.
Abdurrahman Wahid
Presiden Indonesia ke-4
Masa jabatan
20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001
Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri
Didahului oleh Baharuddin
Jusuf Habibie
Digantikan oleh Megawati
Sukarnoputri
Informasi pribadi
Lahir 7 September
1940
Flag of the Netherlands.svg Jombang, Jawa Timur, Hindia
Belanda
Meninggal 30
Desember 2009 (umur 69)
Bendera Indonesia Ciganjur, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Partai politik PKB
Suami/istri Sinta
Nuriyah
Anak Alissa
Qotrunnada
Zannuba Ariffah Chafsoh
Anita Hayatunnufus
Inayah Wulandari
Agama Islam
Situs web www.gusdur.net
Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur
(lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal di Ciganjur, 30
Desember 2009 pada umur 69 tahun)[1] adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin
politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga
2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah Indonesia 1999|Pemilu 1999]]. Penyelenggaraan pemerintahannya
dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid
dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun
2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati
Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah
mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kehidupan awal
Gus Dur semasa muda.
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8
kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid
Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus,
namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender
Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil.
"Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata
"Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid",
dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah
panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati
"abang" atau "mas".[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid
lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur.
Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren
pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid
Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949.
Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta
Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia
memiliki darah Tionghoa.[4] Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan
dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah
(Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[5][6]
Makam Putri Campa di Trowulan (foto diambil pada tahun
1870-1900)
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri
Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[6] Tan Kim Han
sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis,
Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang
diketemukan makamnya di Trowulan.[6]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta,
tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara
Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada
di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang
tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan
koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[7]. Gus Dur terus tinggal di
Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama
pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan
mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk
ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu
mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji
kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada
tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai
Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai
murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun
(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren
Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri,
Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya
sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah
seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.[8]
Gus Dur dan Keluarga |
Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian
Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia
pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur
diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial
sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti
bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas
remedial.[9]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun
1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan
sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi
jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas
remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab
tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan
dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas [10].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia.
Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor
Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis
dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di
Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas
dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada
Wahid, yang ditugaskan menulis laporan [11].
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan
metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu
dirinya.[12] Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang
belajar.[12] Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di
Universitas Baghdad.[13] Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya.
Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga
meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis
majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas
Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan
pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena
pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[14] Dari Belanda, Wahid
pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Awal karier[sunting | sunting sumber]
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan
pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia
membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum
intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang
disebut "Prisma" dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama
majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES,Gusdur juga
berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,pesantren
berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi
kurikulum pemerintah. Gusdur merasa prihatin dengan kondisi itu karena
nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gusdur
juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama
ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah
juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam
perkembangan ekonomi Indonesia. Gusdur memilih batal belajar luar negeri dan
lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai
jurnalis,menulis untuk majalah dan surat kabar Artikelnya diterima dengan baik
dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan
popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan
seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat
Gusdur tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu,
Gusdur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia
bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang
sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik.
Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al
Hikam.
Pada tahun 1977, Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim
Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas
ingin agar Gusdur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi.
Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan
universitas.
Nahdlatul Ulama[sunting | sunting sumber]
Awal keterlibatan[sunting | sunting sumber]
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan
diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini
berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua
kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid
akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri,
memberinya tawaran ketiga [15]. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga
memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai
anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman
politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye
untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk
sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa
Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya [16].
Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang
penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformasi NU[sunting | sunting sumber]
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai
organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat
Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu
reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi
termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU
bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri.
Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke
Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei
1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia
berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid,
Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat
menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya
[17].
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai
presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai
mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni
1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan
untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan
bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober
1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara
[18]. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari
PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah
sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Amin Rais dan Gus Dur |
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama[sunting |
sunting sumber]
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU.
Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan
keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid
menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih
para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun,
persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak
terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas
persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya,
Idham Chalid. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia
Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun, Panitia Munas, yang
bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda
kepada para peserta Munas.[19]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan
rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra
moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985,
Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[20] Pada tahun 1987,
Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut
dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat
Partai Golkar Suharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar.
Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk
Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia.[21] Hal ini merenggangkan hubungan
Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik
dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam
mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas
sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.[22] Pada
tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur
untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan
menyediakan interpretasi teks Muslim.[23] Gus Dur pernah pula menghadapi kritik
bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi
salam sekular "selamat pagi".[24]
Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru[sunting |
sunting sumber]
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU
pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam
pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat
dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto,
diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual
Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun
1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena
ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap
kuat.[25] Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi,
organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius
dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah
menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang
pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah
Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU
terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit
satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan
polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta.
Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur
mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi
kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.[26] Selama masa
jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak
pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong
dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober
1994.[27]
Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi[sunting |
sunting sumber]
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan
dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid
tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti
Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika
musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam
tindakan intimidasi.[28] Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak
memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan
ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati
Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan
nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim
Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih
sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus
membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung
Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur
berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan
mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama
kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan
berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada
tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[29] Pada saat yang
sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan
pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia.
Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk
melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia terkena stroke pada
Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan
pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang
menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di
Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan
pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto.
Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin
tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki
pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti
untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya.[30] Hal tersebut tidak
disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat
itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998.
Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Reformasi[sunting | sunting sumber]
Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur[sunting | sunting
sumber]
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai
politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik:
Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai
terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN)
bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan
Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur
membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide
tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena
mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar
dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan
Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai
tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut
terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur,
bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan
komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi
menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR[sunting | sunting sumber]
Amien Rais dan Gus Dur pada Sidang Umum MPR.
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu
legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara.
Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan
presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki kursi mayoritas
penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk
Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim.[31] Poros Tengah mulai
menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan
komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi
menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.[32] Pada 19 Oktober 1999,
MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan
presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20
Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru.
Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373
suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.[33]
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan
pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati
harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk
tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung
Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21
Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan
mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kepresidenan[sunting | sunting sumber]
1999[sunting | sunting sumber]
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional,
adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P,
PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada
dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi
pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan,
senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah
membubarkan Departemen Sosial yang korup.[34]
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara
anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah
itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.[35]
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional,
Menteri Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz
mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa
pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet
melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.[34] Beberapa
menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya
atas pendekatan Gus Dur dengan Israel [36].
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun
referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum
Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut
terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi
Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi
Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan
pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.[37]
2000[sunting | sunting sumber]
Abdurrahman Wahid di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar
negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi
Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid
melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris,
Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus
Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi
Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77,
sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid
sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan,
dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang
dikunjunginya.[38]
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia
mulai meminta Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai
halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran
HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.[39]
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara
dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun,
Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000,
Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan
Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa
keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan
bukti yang kuat.[40] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan
PDI-P.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan
negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah
menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua
penandatangan akan melanggar persetujuan.[41] Gus Dur juga mengusulkan agar TAP
MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.[42]
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang
menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia.[43] Isu ini diangkat
dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen
Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada
Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab
menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta
agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.[44]
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer
dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus
Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret.
Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra,
yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI
mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan.[45]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika
Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke
Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid
meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil
mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.[46]
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal
Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG)
melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit
pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang.[47] Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur
menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate.
Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya
sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di
Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini
disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur
masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya
meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR,
pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid
menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan
sebagian tugas.[48] Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima
tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP
MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus
Dur mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati
menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet.
Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat
anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku
karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa
Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad
Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera
bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang
kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.[49] Ia dikritik
oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan
bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh
Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang
kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya
adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun
lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan
Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur,
sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir
November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus
Dur.[50]
2001 dan akhir kekuasaan[sunting | sunting sumber]
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional.[51] Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika
Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[52] Abdurrahman Wahid melakukan
kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia
mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27
Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme.
Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.[53] Pertemuan
tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk
mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang
Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa
walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara
NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional
Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut.
Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.[54].
Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada
bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan
melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril
Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus
Dur mundur.[55] Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan
berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap
tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[56] yang pada saat itu massanya ikut
dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai
menjaga jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30
April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR
pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator
Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya
dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada
tanggal 1 Juli 2001.[57] Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa
Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara
di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai
bentuk penunjukan kekuatan.[58] Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan
dekret yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke
tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3)
membekukan Partai Golkar[59] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa
MPR. Namun dekret tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR
secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Sukarnoputri.[60] Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden
dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada
tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.[61]
Aktivitas setelah kepresidenan[sunting | sunting sumber]
Perpecahan pada tubuh PKB[sunting | sunting sumber]
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak
hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB,
bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai
Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada
tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai
sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.[62] Pada tanggal 14
Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di
PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya
dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah
Munas Matori selesai[63] Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai
Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih
dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB
Batutulis.
Pemilihan umum 2004[sunting | sunting sumber]
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan
memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus
Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak
memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan
pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam
pemilu. Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan
Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi terhadap pemerintahan SBY[sunting | sunting
sumber]
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin
koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan
Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik
kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan
subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat
orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita
Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai
Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute.
Kematian[sunting | sunting sumber]
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai
menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali
surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau
dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke.
Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari
Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak
lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut
Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.[64]
Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai
mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[65]
Testimonial[sunting | sunting sumber]
KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)[66]
“Menurut saya, Gus Dur itu diutus Tuhan, untuk mengajarkan
Indonesia agar pandai berbeda dengan yang lain. Karena itu, Gus Dur sangat
kontroversial, setiap sikap dan ucapannya menimbulkan kontoroversi. Dengan
begitu, orang Indonesia akan belajar bagaimana berbeda dengan orang lain. Itu
sebetulnya hakikat kehadiran Gus Dur di Indonesia.
Kemudian, kita akan menjadi Negara yang betul-betul
demokratis, karena saling menghargai pendapat orang lain. Kita Negara yang
sangat plural, sangat majemuk. Kita mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika, dan
itu akhir-akhir ini seperti sedang mendapatkan tantangan orang-orang yang tidak
bisa berbeda dengan saudara-saudaranya. Gus Dur sangat berperan, sangat berjasa
dan banyak. Mungkin nanti, pengikut-pengikutnya yang bertanggung jawab untuk
meneruskan perjuangan beliau.”
Guruh Soekarnoputra[66]
“Saya rasa beliau patut menjadi pahlawan nasional. Banyak
hal-hal dari beliau yang perlu diteladani dan harus diturun-temurunkan kepada
generasi muda. Misalnya apa dibuat buku tentang pemikiran-pemikiran beliau,
biografi beliau dan sebagainya.”
Viryanadi Mahatera[66]
“Gus Dur itu salah satu tokoh yang benar-benar universal.
Selama ini Gus Dur seringkali hadir ditengah-tengah kami. Setiap kali ada
even-even besar, seperti seminar, talkshow dalam konteks pluralisme, dan
lain-lain. Dan apa yang disampaikan; pesan, petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat,
ini membawa kemajuan bagi khususnya umat budha. Gus Dur adalah penasehat kami.”
Soesilo Bambang Yudhoyono (Petikan pidato dalam penutupan
upacara kenegaraan di Ponpes Tebuireng)[66]
“Sebagai pejuang reformasi, almarhum telah mengajari kita
kepada gagasan-gagasan universal mengenai pentingnya kita sebagai bangsa yang
beragam ini menghormati dan menghargai keadilan. Melalui ucapan, sifat, dan
perbuatan beliau, Gus Dur mengobarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita
kepada kemajemukan dan identitas yang tercampur dari perbedaan agama,
kepercayaan, etnis, dan kedaerahan. Disadari atau tidak, sesungguhnya beliau
adalah bapak pluralisme dari multikularisme di Indonesia.”
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award,
sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community
Leadership.[67]
Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh
beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang
selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.[6]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center,
sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid
mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu
tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.[68][69] Gus Dur memperoleh
penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai
memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat
beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat
terpasung selama era orde baru.[68] Wahid juga memperoleh penghargaan dari
Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman
Wahid Chair of Islamic Study.[68] Pada 21 Juli 2010, meskipun telah meninggal,
ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010.[70]
Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
Tasrif Award-AJI[sunting | sunting sumber]
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur
mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[71]
Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan
Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan
kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di
Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari
budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni,
dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan
23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para
wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[72] Seorang wartawan mengatakan
bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi,
ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti,
mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan
mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan
pers.[72]
Doktor kehormatan[sunting | sunting sumber]
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan
(Doktor Honoris Causa) dari berbagai lembaga pendidikan:
Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas
Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)[73]
Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology,
Bangkok, Thailand (2000)[73]
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu
Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne,
Paris, Perancis (2000)[73]
Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn,
Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
[74]
Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru,
India (2000)[73]
Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo,
Jepang (2002)[73]
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas
Netanya, Israel (2003)[75]
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk,
Seoul, Korea Selatan (2003)[73]
Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea
Selatan (2003) (Bersambung)
No comments:
Post a Comment