Tragedi Tanjung Priok 1984 |
Perjalanan yang belum selesai (34)
(Bagian ke tigapuluh empat. Depok,Jawa Barat, Indonesia,
4 September 2014, 03.24 WIB)
Salah satu tugas menarik adalah melipt bidang Hankam,
khususnya ketika ditugasi mengikuti acara Pangdam V Jakarta Raya Jenderal Try
Soetrisno yang keliling dari satu masjid ke masjid lainnya di Jakarta, yang
pada tahun 1984 dilakukan mantan Wakil Presiden Indonesia itu untuk meredam
warga Muslim yang marah dan curiga terhadap pemerintahan Suharto yang
dituduhnya telah membantai warga Muslim di Tanjung Priok (yang dikenal
Peristiwa Tanjung Priok),
Ketika itu sebagai anak seorang prajurit Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saya tinggal di Asrama Kobekdam V Jaya,
Cililitan Kecil (di Belakang PGC Cililitan) bertetangga dengan Sri Yanto mantan
Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Mayor Jenderal Sriyanto
yang ketika peristiwa Tanjung Priok masih berpangkat Kapten dan Komandan Kodim
di Tanjung Priok. Tidak heran pada waktu sidang pengadilan HAM kasus Tanjung
Priok Sriyanto turut diadili, yang kemudian diputus bebas oleh pengadilan,
karena tidak terbukti ikut membantai warga.
Istri Sriyanto kebetulan juga tetangga saya dan bersama
adiknya Kolonel Chaerul Pasha adalah rekan sepermainan saya pada masa remaja.
Terakhir saya bertemu Chaerul Pasha di Ambon tahun 2004 menjabat sebagai Kepala
Koperasi Angkatan Darat Kodam Pattimura, Ambon, ketika saya bertugas sebagai
Spesialis komunikasi Perdamaian pasca kerusuhan di Maluku.
Saya masih ingat betul seorang supir truk militer yang
tinggal bertetangga dengan saya bercerita bahwa dia baru saja mengangkat mayat
(jenazah) korban Tanjung Priok, dia sendiri tidak mau bercerita kemana saja
mayat-mayat korban Tanjung Priok itu dibawa.
Mayor Jnderal Sriyanto |
Peristiwa Tanjung Priok ketika itu semakin panas ,
apalagi isunya terjadi pembantaian orang Kristen terhadap umat Islam, karena
secara kebetulan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ketika itu
dijabat oleh Jenderal L.B.Moerdhani (seorang Kristen Katolik).
Peristiwa Tanjung Priok
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang
terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang
mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak
terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan
akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. [1][2]
Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas
oleh tindakan aparat.[3] Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam
defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada
tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi
manusia pada peristiwa tersebut.[4]
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan
pemerintah Orde Baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan
azas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan
brosur yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan Tanjung Priok
dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
Tanjung Priok pembantaian
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Tanjung Priok pembantaian
Tanggal 12 September 1984
Lokasi Tanjung Priok, Jakarta Utara, Indonesia
metode Shooting
Result Lihat Aftermath
Pihak konflik sipil
militer Indonesia
Warga Muslim Tanjung Priok
angka memimpin
Try Sutrisno
Leonardus Benjamin Moerdani
Amir Biki
nomor
diketahui
> 1.000
korban
Tidak ada
24 tewas dan 54 luka-luka (resmi)
> 100 terbunuh atau terluka (perkiraan)
The Tanjung Priok pembantaian adalah insiden yang terjadi
di wilayah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Indonesia pada tahun 1984
Laporan pemerintah memberikan total 24 tewas dan 54 terluka, sementara korban
melaporkan lebih dari seratus tewas.
Latar belakang [sunting]
Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanus, anggota
Kristen dari Desa Bimbingan Squad (Bintara Pembina Desa) tiba di Masjid As
Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurus, Amir
Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang kritis terhadap pemerintah [1]
Biki menolak permintaan ini, di mana titik Hermanus dihapus mereka sendiri;.
untuk melakukannya, dia dilaporkan memasuki area doa masjid tanpa melepas
sepatunya (pelanggaran serius terhadap etiket masjid). [1] [2] Sebagai
tanggapan, warga setempat, dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan
Sofwan Sulaeman, membakar nya sepeda motor dan menyerang Hermanus sementara ia
sedang berbicara dengan petugas lain. [1] [2] kedua kemudian ditangkap Rambe
dan Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran
bernama Muhamad Noor. [1] [2] [3]
Try Soetrisno |
Try Soetrisno dan LB Moerdhani |
Insiden
Dua hari setelah penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir
Jaelani memberikan khotbah melawan Pancasila di Masjid As Saadah. [2] Setelah
itu, Biki memimpin protes ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana empat tahanan
ditahan. [1 ] [2] sepanjang jalan, nomor kelompok membengkak, dengan perkiraan
berkisar antara 1.500 dan beberapa ribu. [1] [2] Juga selama perjalanan,
sembilan anggota keluarga Indonesia Tionghoa Muslim dipimpin oleh Tan Kioe Liem
dibunuh oleh pemrotes [4] [5] toko keluarga, apotek, dibakar ke tanah.. [5]
Setelah di komando militer, kelompok berhasil menuntut
pembebasan para tahanan. [1] Pada sekitar 23:00 waktu setempat (UTC + 7), para
demonstran mengepung komando militer. [2] personil militer dari 6 Artileri
Pertahanan Udara Batalyon menembaki para pemrotes [1] [6] Sekitar tengah malam,
saksi mata melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan
Bersenjata Leonardus Benjamin Moerdani mengawasi penghapusan korban.; mayat
dimuat ke dalam truk-truk militer dan dimakamkan di kuburan tak bertanda,
sedangkan terluka dikirim ke Gatot Soebroto Rumah Sakit Militer. [7]
Aftermath
Setelah kerusuhan, militer melaporkan bahwa mereka telah
dipicu oleh seorang pria dalam seragam militer palsu yang menyebarkan pamflet
anti-pemerintah bersama dengan 12 kaki lainnya; itu dilaporkan memiliki orang
dalam tahanan [8] Jenderal Hartono Rekso Dharsono ditangkap karena diduga
menghasut kerusuhan [9] Setelah percobaan empat bulan, dia dihukum..; ia
akhirnya dirilis pada bulan September 1990, setelah menjalani lima tahun
penjara. [9]
Setelah kerusuhan, setidaknya 169 warga sipil diduga
ditahan tanpa surat perintah. [10] Beberapa dilaporkan disiksa. [10] Para
pemimpin ditangkap dan diadili karena subversi, kemudian diberi hukuman panjang
ketika dihukum. [2] Lain-lain, termasuk sebagai Amir Biki , antara mereka yang
tewas. [7]
Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas. [8] catatan
resmi saat ini memberikan total 24 tewas dan 54 luka-luka (termasuk para
korban), sementara korban melaporkan lebih dari seratus [11] warga Tanjung
Priok memperkirakan total 400 tewas atau hilang dibunuh., sementara laporan
lain menunjukkan hingga 700 korban. [7] [6]
Investigasi [sunting]
Dengan masuknya gerakan hak asasi manusia setelah
jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, beberapa kelompok diciptakan untuk
mengadvokasi hak-hak korban, termasuk 12 September 1984 Foundation, Solidaritas
Nasional untuk 1984 Tanjung Priok Insiden (Solidaritas Nastional untuk
Peristiwa Tanjung Priok 1984), dan Keluarga diperpanjang untuk Korban Tanjung
Priok Insiden (Keluarga besar Korban Peristiwa Tanjung Priok,. didirikan oleh
Biki janda Dewi Wardah dan anak Beni) [7] kelompok-kelompok ini mendorong untuk
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Nasional Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
untuk menyelidiki lebih lanjut pembantaian; dalam DPR, perwakilan A.W. Fatwa
dan Abdul Qodir Jaelani, keduanya sebelumnya ditangkap setelah pembantaian,
ditekan untuk penyelidikan lebih lanjut. [12] Pada tahun 1999, Komnas HAM
sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut, membentuk Komisi Penyelidikan dan
Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok (KP3T) . [12]
KP3T ini terutama terdiri dari tokoh-tokoh politik dari
rezim sebelumnya, termasuk mantan jaksa penuntut Djoko Sugianto. [13] Laporan
yang dihasilkan, dirilis pada awal Juni 2000, menemukan bahwa tak ada
pembantaian sistematis dalam insiden itu. [13] Ini tidak diterima dengan baik
oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300 anggota Front
Pembela Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM saat mengenakan pakaian Islam
putih dan syal hijau. [4] Mereka memecahkan jendela dengan batu dan tongkat rotan,
outnumbering dan membanjiri pasukan keamanan [4] FPI marah pada laporan komisi
pada pembantaian dan dirasakan kolusi dengan pihak militer, dengan alasan bahwa
itu telah mengabaikan tindakan oleh militer.; itu bersikeras bahwa komisi
dihapuskan [4] Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza
Mahendra menulis bahwa Komnas HAM telah tampaknya menerapkan standar ganda
ketika menyelidiki masalah ini.; ia mengatakan bahwa mereka tampak lebih enggan
untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok kemudian mereka telah menyelidiki
krisis Timor Timur 1999. [13] Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad Sumargono
disebut putusan kekecewaan bagi umat Islam di mana-mana. [13]
Pada Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain
menunjukkan bahwa 23 individu, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki
karena keterlibatan mereka; itu menyerukan pengadilan ad hoc untuk melihat ke
dalam masalah ini lebih lanjut [13] Dengan Presiden Abdurrahman Wahid
menyerukan penyelidikan lebih lanjut dan pengadilan yang akan datang, beberapa
pejabat militer membuat kontrak pengampunan (islah) dengan keluarga korban.;
meskipun islah tidak mengandung pengakuan bersalah, hal itu memberikan korban
untuk menerima lump sum sebesar Rp. 1,5-2000000 (US $ 200-250) [14] islah pertama
mencakup 86 keluarga, yang diwakili oleh Rambe, sedangkan yang kedua ditutupi
keluarga Biki ini.; oleh 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat. [14] Sebagai
hasil dari islah, beberapa korban atau keluarga mereka, disarankan kepada
penyidik MA Rachman bahwa biaya akan turun. [15] Namun, penyelidikan terus,
membungkus di Juli 2003 [16]
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR
menyetujui penggunaan hukum 2000 hak asasi manusia untuk membawa pelaku
pembantaian ke pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, [11] [17]
persidangan dimulai pada bulan September tahun itu [16] Mereka membawa. ke
pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno Mascung, pemimpin Peleton II dari Batalyon
Artileri Pertahanan Udara pada saat itu, dan 13 bawahan. [17] pejabat tinggi
berpangkat dari waktu, termasuk komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan
Kepala Angkatan Bersenjata Leonardus Benjamin Moerdani, dibebaskan dari
penuntutan, seperti mantan Presiden Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman
Ismail Saleh. [17] [18] jaksa dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua
DPR AM Fatwa menjabat sebagai saksi untuk penuntutan. [10] [19] Beberapa
petugas dituntut dihukum, sedangkan Sriyanto dan Pranowo dibebaskan. [2] Pada
tahun 2004 kantor Jaksa Agung mengajukan banding terhadap pembebasan dari
Sriyanto dan Pranowo, tetapi menolak [11] keyakinan kemudian dibatalkan oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia.. [2]
Setelah persidangan itu datang di bawah api dari kelompok
hak asasi manusia; Penulis Jerman Fabian Junge berpendapat bahwa "jaksa
sengaja mengabaikan bukti substansial sementara menakut-nakuti-taktik dan suap
merajalela di luar pengadilan". [11] Mendekati ulang tahun ke 25 dari
pembantaian, korban, dibantu oleh Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia dan Komisi
untuk Orang Hilang orang dan Korban Tindak Kekerasan, mengirim surat kepada
Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara Gabriela Carina
Knaul de Albuquerque e Silva memohon dia untuk campur tangan dalam kasus ini,
kompensasi [6] yang selamat juga telah meminta sebesar Rp1. 015000000000 (US $
130.000) dari pemerintah untuk "rasa sakit dan kehilangan" mereka.
[16] [3] Meskipun korban dan perwakilan mereka telah meminta Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk menyelidiki lebih lanjut masalah ini, pada 2011 kasus
belum datang ke penutupan . [16]
[KRONOLOGI KOMPLIT] Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian
Kaum Muslimin Oleh ABRI
Posted on Mei 30, 2014 by spedaonthel
digging suharto history for the truth header
Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian Kaum Muslimin
Oleh ABRI
Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada
pertengahan tahun 1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak
dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang
berlumuran darah dari awal masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.
Kemiliteran dibentuk untuk menopang kekuasannya dan
selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan negara untuk menghadapi
rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia.
Kekuasaan penuh yang dimilki militer saat itu meluas
mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi politik. Fungsi kekuasaan
militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan keamanan dan kestabilan negara
dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk dapat melakukan berbagai macam
bentuk tindakan provokatif tersistematif dan represif. Mereka menggunakan dalih
pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan pengamanan terhadap kekuasaan,
meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM paling berat sekalipun.
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu
peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel
militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung
Priok.
Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan
untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan,
dan para pelaku dijadikan sasaran korban.
Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai “The Killing
Feld” juga bukan tanpa survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi
sosial ekonomi Tanjung Priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok
adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang
padat dan kumuh.
Tragedi Tg Priok 1984 04Musholla As-Sa'adah
tragedi-tg-priok-1984Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang
terbuat dari barang bekas pakai dan kebanyakan penduduknya bekerja sebagai
buruh galangan kapal, dan buruh serabutan.
Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan
pendidikan yang minim seperti itu, menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah
yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali
tersulut berbagai isu.
Suasana panas di Tanjung Priok sudah dirasakan sebulan
sebelum peristiwa itu terjadi.
Upaya -upaya provokatif memancing massa telah banyak
dilakukan. Diantaranya, pembangunan gedung Bioskup Tugu yang sering memutar
film maksiat yang berdiri persis berseberangan degan masjid Al-Hidayah.
Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu
memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang
memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama
di luar Tanjung Priok.
Sebab, di kawasan lain kota di Jakarta terjadi sensor
yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis Islam
para mubalighnya bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan
menentang azas tunggal Pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan Syarifudin
Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok
agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh
ulama-ulama Tanjung Priok.
Awal Mula Peristiwa, kejadian berdarah Tanjung Priok
dipicu oleh tindakan provokatif tentara
Pada pertengahan tahun 1984, beredar isu tentang RUU
organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini
menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini,
terdapat seorang mubaligh yang terkenal, menyampaikan ceramah pada jama’ahnya
dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan
Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversial.
Musholla As-Sa'adah Tg PriokPada tanggal 7 September
1984, seorang Babinsa beragama Katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla
kecil yang bernama “Musholla As-sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut
pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin pada masa itu,
dan disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang.
Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah
melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi
beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum.
Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah
menghina kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan
menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.
Kronologi Pembantaian
Kronologi Pembantaian Kaum Muslimin Oleh Bala Tentara
pada Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir
Djaelani, salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah
seorang dalang peristiwa Tanjung Priok.
Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia
mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani
terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi
pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam
Indonesia”.
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu,
memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam
(masjid) di Jalan Sindang.
Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala
as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang
berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan
dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid
Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu
Syarifuddin Rmbe dan Sofyan
Sulaiman dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan
Musholla As-sa’adah, berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua
tentara itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah
yang sedang hangat.
Ketika mereka sedang berbicara di depan kantor, massa
diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada
kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi
mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan
kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang
yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu
tiba-tiba saja menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata
seorang marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan
Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla
As-sa’adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian,
selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan
empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian
memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim
sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang
jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah tersebut.
Selasa, 11 September 1984
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam
kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir
Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya
agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali
Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk
meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya
tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai
salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil
dan sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian
remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada
peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak
termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik
mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di
hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan
memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,
“Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta
teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan
oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela
kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka
kita harus memprotesnya.”
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang
isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00
Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan
demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak
apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan
golongan kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).”
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang
demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada waktu
berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian
menuju Kodim.
Musholla As-Sa'adah Tg Priok (circa 2000)
Musholla As-Sa’adah Tg Priok (circa 2010)
Kelompok Yang Menuju Polres
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter
jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam
posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran
berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.
Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol,
mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa
tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil
mengumandankan takbir.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar
militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut
oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan
lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang
langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan
senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di
hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit!
Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit
histeris, tersungkur berlumuran darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi
syuhada! Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk
menyelamatkan diri, pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi.
Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat!
Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang
belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai
mati.
Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah
pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan.
Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh
dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan
senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas
jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah
tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan
raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas
mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di
got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Dari atas truk tentara dengan membabi buta masih
menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad
manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka
tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat
disekitar kejadian.
Tragedi Tg Priok 1984 02Setelah itu, truk-truk besar itu
berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang
bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni.
Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau
orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sembari
para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk
militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta,
sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban
penembakan Tanjung Priok.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah
pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan
mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di
jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Kelompok Yang Menuju Kodim
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju
Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor
Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan
perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah
pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3
orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari
senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu
jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di
belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri,
tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian
jatuh tersungkur menjadi syahid.
Tragedi Tg Priok 1984
Penghuni toko onderdil mobil yang menjadi korban di Jalan
Jampea, Tanjung Priok setelah kerusuhan Tanjung Priok, Jakarta, 1984. [
TEMPO/Ilham Sunharjo; 35B/115/84; 20000621]
Saksimata
Menurut ingatan salahsatu saksi yang belum tewas bernama
Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang
beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa
menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung
dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan
bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron
berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat
saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di
Tanjung Priok tidak terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB
Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib
yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu
mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.
Hal ini terjadi karena pada tanggal 11 September 1984,
sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya
sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel
Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung
Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar
motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di
saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12
September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor
Satgas Intel Jaya.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam
tragedi berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan
bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi
data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang
tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer
mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu
korban yang tewas diberondong peluru tentara. (Abdul Qadir Djaelani).
Tragedi Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah
Tragedi Tg Priok 1984 01Pemerintahan Soeharto banyak
diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa, terutama mengarah
terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing
tentang apa yang disebut “politik menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena
tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam
ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para mubaligh di sana
hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan
penguasa.
Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa
menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah larangan memakai jilbab dan
penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan sosial antara
pribumi dengan non-pribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab
Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 : 26) dijelaskan bahwa proses
terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10 September 1984 ketika seorang
petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian
dikeroyok oleh sekelompok orang.
Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi
sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap
empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai
ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib keempat orang yang
ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka
ditolak.
Tragedi Tg Priok 1984 07Peristiwa ini terjadi pada hari
Rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah
agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki,
Syarifin Maloko, M. Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah
peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki
yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak
dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim.
Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal
Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki
yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan.
Ia juga berpesan agar selama perjalanan, massa jangan
membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena
mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang
aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira
lima meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang
petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut.
Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara
persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan
keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil
mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
Tragedi Tg Priok 1984 05Tak berapa lama ada komando untuk
mundur. Pasukan terlihat mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”.
Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan
peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki
penyerang, korban pun tidak dapat dihindari.
Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa
mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali
petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa
melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata
dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya. Terjadilah
tragedi pembantaian itu.
Aparat yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap
ribuan massa dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka
yang berada di barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih selamat
melarikan diri. Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-sasaran peluru.
Beberapa truk datang untuk mengangkut tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di
suatu tempat.
Proses Hukum
Tragedi Tg Priok 1984 08
Tri Sutrisno (kiri) dan LB Moerdani (kedua dari kiri).
Hingga hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi
korban yang dulunya ditembaki, ditangkap semena-mena, ditahan secara
sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan harta bendanya dirampas
serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas.
Masih terang diingatan korban, bagaimana pada tahun 2006
Mahkamah Agung memperagakan parade pembebasan hukum (Impunitas secara De Jure)
terhadap sejumlah nama yang seharusnya bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo,
Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar.
Kegagalan Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya
telah tergambar dari buruknya kinerja Penuntut Umum.
Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno
dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan luar
biasa (Extra Ordinary Crime) pada kasus Tanjung Priok dengan sistem pidana umum
(Ordinary Crime) yang berbasis pada KUHAP.
Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan politik bahwa
tidak adanya jaminan dari otoritas negara dalam mendukung administratif atas
kerja Pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok. Selain itu Pemerintah tidak
menyiapkan sistem perlindungan saksi yang memadai. Sementara, di pengadilan,
Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku dengan sejumlah
saksi untuk mencabut kesaksian.
Try Sutrisno LB Moerdani
Try Sutrisno (kiri) dan LB Moerdani (kanan)
Pengadilan HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian
hukum berupa penghukuman terhadap para pelaku dalam kasus Tanjung Priok,
Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran yang sejati atas kasus Tanjung Priok
serta gagal menjamin kepastian reparasi (Perbaikan) atas penderitaan dan
kerugian para korban Kasus Tanjung Priok 1984.
Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan
keberadaan keluarganya yang masih hilang. Banyak diantara para korban yang
sampai hari ini harus menanggung biaya pengobatan akibat atau efek dari
kekerasan yang dialami pada 12 September 1984 atau kekerasan-kekerasan
berikutnya.
Tragedi Tg Priok 1984 06Banyak diantara para korban yang
harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat dirampas atau
distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
Demikian pula para korban yang masih anak-anak, tidak
bisa melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang kehilangan ayah atau
kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.
Usaha pun tetap dilakukan oleh para korban lewat
Pengadilan Negeri pada 28 Februari 2007 menuntut Pemerintah mengeluarkan dana
kompensasi bagi korban. Namun, lagi-lagi, Hakim tunggal Martini Marjan menolak
mentah-mentah permohonan Penetapan Kompensasi para korban dengan alasan tidak
ada pelanggaran berat HAM dalam kasus Tanjung Priok 1984.
Jelas bahwa Hakim tunggal Martini Marjan Menegasikan
fakta, penderitaan dan kerugian yang telah dihadirkan dalam persidangan
Penetapan di PN Jakarta Pusat.
Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi
yang telah diajukan sejak 5 Maret 2007.
Dewi Wardah isteri Amir Biki
Dewi Wardah isteri Amir Biki, setia untuk tetap
memperjuangkan keadilan terhadap kasus terbunuhnya sang suami, Amir Biki.
Pada tahun 1984 itu, jelas korban telah dikorbankan oleh
kebijakan anti kritik Soeharto dan brutalitas aparat keamanan. Pada era transisi
politik, setelah belas… bahkan puluhan tahun upaya koreksi pun tetap didominasi
oleh pelaku. Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan kondisi korban bahkan
tidak diakui adanya pelanggaran berat HAM.
Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan,
menjadi korban sistem peradilan yang tidak adil dan jujur. Transisi politik
tidak digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa lalu,
sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok.
Akan tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan
tetap menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun
reparasi.
Try Sutrisno
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Try Sutrisno
Wakil Presiden Indonesia ke-6
Masa jabatan
11 Maret 1993 – 10 Maret 1998
Presiden Suharto
Didahului oleh Sudharmono
Digantikan oleh Bacharuddin
Jusuf Habibie
Informasi pribadi
Lahir 15 November
1935 (umur 78)
Surabaya, Jawa Timur, Hindia Belanda
Partai politik Golkar
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
Suami/istri Tuti
Sutiawati
Alma mater Akademi
Teknik Angkatan Darat
Pekerjaan Purnawirawan
Agama Islam
Try Sutrisno (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 15 November
1935; umur 78 tahun) adalah Wakil Presiden Indonesia ke-6 periode 1993-1998.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Awal kehidupan
2 Karier militer
2.1 Awal karier militer
2.2 KODAM XVI/Udayana dan KODAM IV/Sriwijaya
2.3 KODAM V/Jaya dan Insiden Tanjung Priok
2.4 Wakil KSAD dan KSAD
2.5 Panglima ABRI dan Pembunuhan Massal Dili
3 Wakil Presiden
3.1 Nominasi
3.2 Wakil Kepresidenan
4 Setelah masa Wakil Kepresidenan
5 Keluarga
6 Referensi
7 Pranala luar
Awal kehidupan[sunting | sunting sumber]
Try Sutrisno lahir pada 15 November 1935 di Surabaya,
Jawa Timur. Ayahnya Subandi adalah sopir ambulans, dan ibunya Mardiyah adalah
ibu rumah tangga. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali
untuk mengklaim kembali Indonesia sebagai koloni mereka. Try Sutrisno dan
keluarganya pindah dari Surabaya ke Mojokerto. Ayahnya bekerja sebagai petugas
medis untuk Batalyon Angkatan Darat Poncowati, memaksa Try Sutrisno untuk
berhenti sekolah dan mencari nafkah sebagai penjual rokok dan penjual koran.
Pada usia 13, Try Sutrisno ingin bergabung dengan
Batalyon Poncowati dan melawan tapi tidak ada yang menganggapnya serius dan ia
akhirnya dipekerjakan sebagai kurir.[1] Tugas Try Sutrisno adalah untuk mencari
informasi ke daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Belanda serta mengambil
obat untuk Angkatan Darat Indonesia. Akhirnya pada tahun 1949, Belanda mundur
dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Try Sutrisno dan keluarganya kemudian
kembali ke Surabaya di mana ia menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1956.
Setelah lulus dari SMA, Try Sutrisno ingin mendaftar di
ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat). Dia berpartisipasi dan lulus dalam
ujian masuk, sebelum gagal dalam pemeriksaan fisik. Meskipun demikian, Mayor
Jenderal GPH Djatikusumo tertarik dengan Try dan memanggilnya kembali. Try
Sutrisno berpartisipasi dalam pemeriksaan psikologis di Bandung, Jawa Barat,
dan ia diterima di ATEKAD.
Karier militer[sunting | sunting sumber]
Awal karier militer[sunting | sunting sumber]
Pengalaman militer pertama Try Sutrisno adalah pada tahun
1957, ketika ia berperang melawan Pemberontakan PRRI. Pemberontakan PRRI adalah
kelompok separatis di Sumatera yang ingin membentuk pemerintahan alternatif
selain Presiden Soekarno. Try Sutrisno menyelesaikan pendidikan militernya pada
tahun 1959, ketika ia lulus dari ATEKAD.
Pengalaman awal Try Sutrisno di ABRI termasuk menjalankan
tugas di Sumatera, Jakarta, dan Jawa Timur. Pada tahun 1972, Try dikirim ke
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Pada tahun 1974, Try
terpilih menjadi ajudan Presiden Soeharto. Soeharto mulai menyukai Try dan
sejak saat itu, karier militer Try akan meroket.
KODAM XVI/Udayana dan KODAM IV/Sriwijaya[sunting |
sunting sumber]
Pada tahun 1978, Try diangkat menjadi Kepala Staf di
KODAM XVI/Udayana. Setahun kemudian, ia menjadi Panglima KODAM IV/Sriwijaya, di
mana ia memulai kariernya. Sebagai Pangdam, Try Sutrisno pindah untuk menekan
tingkat kejahatan serta menghentikan penyelundupan timah. Dia bahkan
berpartisipasi dalam kampanye lingkungan untuk mengembalikan gajah Sumatera ke
habitat alami mereka.[2]
KODAM V/Jaya dan Insiden Tanjung Priok[sunting | sunting
sumber]
Pada tahun 1982, Try diangkat menjadi Panglima KODAM
V/Jaya dan ditempatkan di Jakarta.
Tahun 1984 pemerintah mengeluarkan undang-undang yang
mengharuskan semua organisasi apakah itu politik atau non-politik untuk
mengadopsi ideologi nasional Pancasila sebagai prinsip tunggal (Azas Tunggal).
Perbedaan pendapat di kalangan Islam mencapai puncaknya ketika para ulama mulai
mengajarkan pertentangan penerapan Pancasila sebagai ideologi nasional, yang
mereka anggap sebagai kristenisasi pemerintah, program keluarga berencana
pemerintah, dan dominasi perekonomian Indonesia oleh populasi
Tionghoa-Indonesia.[3]
Pada 7 September 1984, Sersan Satu Hermanu, melakukan
pemeriksaan di Jakarta Utara, datang ke masjid yang terdapat poster yang
meminta perempuan untuk mengenakan jilbab. Ini adalah poster atau selebaran
yang mendorong Muslim yang membacanya untuk menentang kebijakan pemerintah
untuk tidak membiarkan wanita mengenakan jilbab. Sertu Hermanu meminta
selebaran untuk diturunkan tapi perintahnya tidak diikuti.
Keesokan harinya, Hermanu kembali dan menghapus poster
itu dengan koran yang dicelup air got. Entah bagaimana rumor mulai beredar di
sekitar yang menyebutkan bahwa Hermanu telah mencemarkan masjid dengan masuk ke
dalamnya tanpa membuka sepatunya.[3] Hal itu menyebabkan kemarahan warga dan
sepeda motor Hermanu dibakar. Tentara kemudian kembali untuk menangkap 4 pemuda
yang membakar sepeda motor.
Selama beberapa hari berikutnya ada protes yang meminta
pembebasan 4 pemuda dan ulama mengambil keuntungan dari situasi untuk
berkhotbah menentang pemerintah. Akhirnya pada 12 September 1984, kerumunan di
Tanjung Priok mulai menyerang toko-toko yang dimiliki oleh orang Tionghoa serta
mendatangi markas Kodim Jakarta Utara.
Try Sutrisno, bersama dengan Panglima ABRI, Benny
Moerdani setuju bahwa pasukan harus dikerahkan untuk menghadang perusuh.
Kerusuhan terus memburuk, menurut tentara, massa menolak untuk mengindahkan
tembakan peringatan dan melanjutkan penyerbuan mereka dengan mengacung-acungkan
golok dan celurit.[3] Akhirnya pasukan terpaksa melepaskan tembakan. Pemerintah
mengklaim bahwa 28 orang tewas namun korban tetap bersikeras bahwa sekitar 700
orang tewas. Episode ini akan terus menghantui Try Sutrisno untuk sisa kariernya.
Wakil KSAD dan KSAD[sunting | sunting sumber]
Karier Try Sutrisno terus maju. Pada tahun 1985, ia
menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, sebelum menjadi Kepala Staf Angkatan
Darat pada tahun 1986. Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Try memulai Badan
Tabungan Wajib Perumahan TNI-AD untuk memudahkan bagi prajurit Angkatan Darat
untuk membeli rumah bagi mereka sendiri.
Panglima ABRI dan Pembunuhan Massal Dili[sunting |
sunting sumber]
Try Sutrisno akhirnya mencapai puncak karier militer pada
tahun 1988, ketika ia ditunjuk sebagai Panglima ABRI untuk menggantikan L.B.
Moerdani. Sebagai Panglima ABRI, Sutrisno menghabiskan banyak waktu untuk
menumpas pemberontakan di seluruh Indonesia. Target langsungnya adalah
separatis di Aceh, yang berhasil ditekan pada 1992. Pada tahun 1990, ada
Insiden Talangsari, di mana Try Sutrisno mengulangi tindakannya pada tahun 1984
dengan menindak demonstran Islam.
Pada bulan November 1991, di Provinsi Timor Timur,
sekelompok mahasiswa menghadiri pemakaman seorang teman mereka yang telah
ditembak mati oleh pasukan Indonesia dan mereka mengambil kesempatan untuk
meluncurkan protes terhadap pendudukan Indonesia. Pada prosesi pemakaman, para
mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan,
menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmão. Ketika prosesi tersebut
memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang
berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang.
Insiden, yang dikenal sebagai Insiden Dili ini, memicu
kecaman dari masyarakat internasional seluruh dunia. Try Sutrisno mengatakan
dua hari setelah pembantaian: "Tentara tidak dapat diremehkan. Akhirnya
kami harus menembak mereka. Berandalan seperti agitator ini harus ditembak, dan
mereka akan .... ".[4] Try Sutrisno kemudian diundang untuk berbicara di
hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjelaskan dirinya sendiri. Try
Sutrisno memberikan pembelaan keputusannya dan menyatakan bahwa pengunjuk rasa
memprovokasi tentara dan bahwa klaim bahwa protes yang damai adalah "omong
kosong".[5]
Masa jabatan Try Sutrisno sebagai Panglima ABRI habis
pada bulan Februari 1993.
Wakil Presiden[sunting | sunting sumber]
Nominasi[sunting | sunting sumber]
Try Sutrisno mengambil sumpah jabatan pada tanggal 11 Maret
1993 pada sesi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pada bulan Februari 1993, bulan yang sama ketika Try
dipecat dari posisinya sebagai Pangab dan sebulan sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dijadwalkan bertemu untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden baru, anggota MPR dari fraksi ABRI mencalonkan Try Sutrisno
untuk menjadi Wakil Presiden. Secara teknis, anggota fraksi MPR diizinkan untuk
mengajukan calon mereka untuk Wakil Presiden. Tapi aturan tak tertulis dalam
rezim Soeharto adalah menunggu Presiden untuk mengajukan calon yang dipilihnya.
Anggota dari Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Indonesia dengan cepat menyetujui pencalonan Try sementara Golkar
berjuang dalam memberitahu anggotanya bahwa Golkar tidak mencalonkan Try sebagai
Wakil Presiden. Soeharto dilaporkan marah karena telah didahului oleh ABRI,[6]
tetapi ia tidak ingin adanya perselisihan terbuka. Soeharto akhirnya menerima
Try dan Golkar mencoba mengecilkan ketegangan dengan mengatakan telah
membiarkan pihak lain dan ABRI mencalonkan kandidat Wakil Presiden mereka.[7]
ABRI sudah membalaskan dendam mereka dari Sidang Umum MPR
1988 saat Soeharto memilih Sudharmono, seseorang tidak menyukai ABRI sebagai
Wakil Presiden. Benny Moerdani yang pada tahun 1993 adalah Menteri Pertahanan,
dia bertekad bahwa ABRI akan memilih Wakil Presiden bagi Suharto pada Sidang
Umum MPR 1993.
Berspekulasi bahwa tidak pernah mendahului, Soeharto akan
memilih baik BJ Habibie sebagai Wakil Presidennya atau memilih kembali
Sudharmono.
Wakil Kepresidenan[sunting | sunting sumber]
Meskipun ia telah menerima Try Sutrisno sebagai Wakil
Presiden, namun Soeharto merasa tidak senang pada Wakil Presidennya. Soeharto
menunjukkan sedikit hal dan bahkan tidak berkonsultasi dengannya dalam proses
pembentukan kabinet.[butuh rujukan]
Saat Soeharto berkunjung ke Mesir tahun 1995, Try dalam
sebuah pemberitaan di harian nasional menyatakan jika dalam bisnis, anak
pejabat jangan pakai nama bapaknya, pihak penguasa marah dan sejak itu
pemberitaan Try Sutrisno di harian manapun ditiadakan. Beberapa bulan kemudian
Ibu Negara wafat.
Pengabaian lainnya datang pada akhir 1997 ketika Soeharto
harus pergi ke Jerman untuk menerima perawatan kesehatan. Alih-alih
meninggalkan Try Sutrisno untuk menjalankan tugas Presiden, Soeharto
memerintahkan Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono untuk datang ke kediamannya
untuk menerima tugas Presiden.[8] Sebuah KTT APEC juga dihadiri oleh Menteri
Luar Negeri, Ali Alatas.
Try Sutrisno adalah figur yang sangat populer dan banyak
yang mengira bahwa ia akhirnya akan menggantikan Soeharto sebagai Presiden
Indonesia.[9] Karena dia memiliki latar belakang militer, ia akan diterima oleh
ABRI. Pada saat yang sama, dia juga seorang kandidat yang diterima elemen Islam
di Indonesia, dibesarkan bersama sebuah sekolah Islam.
Pada tahun 1998, pada Sidang Umum MPR lainnya yang akan
diselenggarakan dan Asia Tenggara sedang menderita akibat Krisis Finansial
Asia, banyak yang ingin Try Sutrisno untuk mengemban masa jabatan kedua sebagai
Wakil Presiden. Meskipun ada dukungan yang kuat, Try Sutrisno tidak menegaskan
dirinya dan pilihan Soeharto untuk Wakil Kepresidenan, Habibie terpilih sebagai
Wakil Presiden.
Setelah masa Wakil Kepresidenan[sunting | sunting sumber]
Pada Mei 1998, pada malam jatuhnya Soeharto, Try Sutrisno,
bersama dengan Umar Wirahadikusumah dan Sudharmono mengunjungi Soeharto di
kediamannya untuk membahas opsi yang memungkinkan.
Pada tahun 1998, Try terpilih menjadi Ketua Persatuan
Purnawirawan ABRI (Pepabri). Ia berhasil membuat Pepabri bersatu menjadi satu
di bawah kepemimpinannya meskipun suasana lazim pada waktu itu setiap cabang
dari Angkatan Bersenjata memiliki persatuan purnawirawan mereka sendiri. Try
Sutrisno menyelesaikan masa jabatannya di posisi ini pada tahun 2003.
Try juga menjabat sebagai sesepuh partai untuk partainya
Jenderal Edi Sudrajat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Pada bulan Agustus 2005, Try Sutrisno, bersama dengan
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Wiranto, dan Akbar Tanjung membentuk
sebuah forum yang disebut Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu. Forum ini
mengkritik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atas nota kesepahaman dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hal ini diikuti pada bulan September 2005 dengan
kritik terhadap keputusan Yudhoyono menaikkan harga BBM.
Try Sutrisno agak melunak sikapnya dengan pemerintah
setelah pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada bulan September 2005.
Kalla dikirim untuk menjelaskan alasan di balik kebijakan yang diambil terhadap
GAM dan menaikkan harga BBM. Pada akhir pertemuan, Try mengatakan bahwa ia
dapat memahami posisi pemerintah dan mendorong orang-orang untuk mendukung
pemerintah dalam keputusan mereka.[10]
Danjen Kopassus Bebas
Jakarta (Bali Post) -
Majelis hakim ad hoc membebaskan Mayjen TNI Sriyanto dari
keterkaitannya dalam kasus Tanjung Priok. Putusan yang sudah bisa diduga
terhadap Danjen Kopassus ini disampaikan majelis hakim yang diketuai Herman
Heler Hutapea di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/8) kemarin.
Sebelumnya, JPU Dharmono menuntut terdakwa Sriyanto untuk
dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun. Pimpinan pasukan elite TNI-AD ini
dinilai terlibat tindak pidana pelanggaran berat HAM serta percobaan pembunuhan
dalam peristiwa berdarah 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Ketika peristiwa itu, terdakwa menjabat Kasie II Operasi
Kodim 0502 Jakarta Utara. JPU dalam tuntutannya menyebutkan bahwa terdakwa
Sriyanto yang ketika itu berpangkat kapten, bersama pasukan Artileri Pertahanan
Udara Sedang (Arhanudse) VI melakukan penembakan terhadap massa.
Saat itu, massa tengah melakukan unjuk rasa menuntut
pembebasan enam rekannya yang dipenjara di Markas Kodim. Insiden itu telah
menimbulkan 23 korban tewas dan 54 korban luka-luka. Sementara majelis hakim
dalam putusannya menyatakan sebaliknya. Terdakwa Sriyanto dikatakan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pelanggaran HAM,
baik yang didakwakan dalam dakwaan pertama dan kedua primer serta subsider. Selain
membebaskannya, pengadilan juga memulihkan nama baik sekaligus merehabilitasi
harkat dan kedudukan terdakwa Sriyanto.
Putusan tersebut kontan disambut gembira dengan tepukan
tangan para prajurit TNI yang hadir dalam persidangan itu. Sikap yang sama juga
diperlihatkan para korban dan keluarga korban Tanjung Priok. Mereka ini tentu
saja yang telah menyepakati perdamaian (islah) dan menerima ganti rugi
material.
Usai putusan dibacakan, Sriyanto dengan wajah gembira
langsung menyatakan puas dan menerima vonis tersebut. Bahkan, ia sempat
mengatakan pengadilan sudah membuat putusan yang benar dan tepat. Putusan yang
membebaskannya itu dianggap objektif, rasional dan logis. ''Atas putusan ini,
saya menerima sepenuhnya,'' katanya, tanpa lebih dahulu konsultasi dengan tim
pembelanya, Yan Juanda Saputra.
Sebaliknya, JPU Dharmono menyatakan pikir-pikir atas
putusan ini. Namun, kemungkinan besar mengajukan kasasi. Pembacaan putusan
(vonis) yang dimulai pukul 09.30 WIB ini tampak dihadiri ratusan tentara yang
didominasi baret merah alias Kopassus. Selain itu, juga dijejali belasan Polisi
Militer serta puluhan massa dari FKPPI. Sementara dari kalangan umum, tampak
masyarakat Tanjung Priok, baik korban maupun keluarga korban yang telah
menyepakati perdamaian (islah) dengan petinggi militer tersebut. Di antara
mereka, terlihat Wakil Ketua DPR AM Fatwa dan mantan hakim agung Benjamin
Mangkoedilaga.
Sebagaimana diketahui, dalam perkara Tanjung Priok,
majelis sebelumnya juga telah memutuskan perkara atas nama terdakwa Mayjen
(Purn) Rudolf A Butar-butar. Mantan Dandim 0502 Jakarta Utara ini dijatuhi
hukuman 10 tahun penjara. Sementara terdakwa Mayjen (Purn) Pranowo yang
merupakan mantan Danpomdam Jaya divonis bebas.
Leonardus Benyamin Moerdani
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Leonardus Benyamin Moerdani
Menteri Pertahanan dan Keamanan ke-18
Masa jabatan
21 Maret 1988 – 17 Maret 1993
Presiden Soeharto
Didahului oleh Poniman
Digantikan oleh Edi
Sudradjat
Panglima ABRI
Masa jabatan
28 Maret 1983 – 27 Februari 1988
Didahului oleh M.
Jusuf
Digantikan oleh Try
Sutrisno
Pangkopkamtib
Masa jabatan
29 Maret 1983 – 5 September 1988
Didahului oleh Sudomo
Digantikan oleh Tidak
ada, jabatan dihapuskan
Informasi pribadi
Lahir 2 Oktober 1932
Bendera Belanda Cepu, Blora, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal 29 Agustus
2004 (umur 71)
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Agama Katolik
Dinas militer
Pengabdian bagi
Indonesia
Dinas/cabang TNI
Angkatan Darat
Masa dinas 1945–1988
Pangkat Jenderal
Unit Tentara
Pelajar
KKAD
RPKAD
Pertempuran/perang Revolusi
Nasional Indonesia
Pembebasan Irian Barat
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Pendudukan Indonesia di Timor Timur
Leonardus Benyamin Moerdani, atau L.B. Moerdani, atau
kerap disebut Benny Moerdani (lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 2 Oktober 1932
– meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2004 pada umur 71 tahun) adalah salah satu
tokoh militer Indonesia yang terkenal pada masanya. Benny Moerdani dikenal
sebagai perwira TNI yang banyak berkecimpung di dunia intelijen, sehingga
sosoknya banyak dianggap misterius.
L.B. Moerdani merupakan perwira yang ikut terjun langsung
di operasi militer penanganan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan
206 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Kerajaan Thai pada tanggal 28 Maret 1981,
peristiwa yang kemudian dicatat sebagai peristiwa pembajakan pesawat pertama
dalam sejarah maskapai penerbangan Republik Indonesia dan terorisme bermotif
jihad pertama di Indonesia.
Dalam posisi pemerintahan, selain sebagai Panglima ABRI,
ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga
Pangkopkamtib.
Awal kehidupan[sunting | sunting sumber]
Moerdani lahir pada 2 Oktober 1932 di Cepu, Blora, Jawa
Tengah dari pasangan R.G. Moerdani Sosrodirjo, seorang pekerja kereta api dan
istrinya yang seorang Indo Eurasia Jeanne Roech, yang memiliki darah setengah
Jerman. Moerdani adalah anak ke-3 dari 11 bersaudara. Meskipun seorang Muslim,
Moerdani Sosrodirjo mentolerir istrinya dan iman Katolik anak-anaknya.[1]
Karier militer[sunting | sunting sumber]
Karier militer awal[sunting | sunting sumber]
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, Moerdani terjebak dalam gelombang nasionalisme. Pada bulan
Oktober 1945, ketika berusia 13, Moerdani mengambil bagian dalam serangan
terhadap markas Kempetai di Solo setelah Kempetai menolak untuk menyerah kepada
pasukan Indonesia.[2] Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal ABRI
dibentuk, Moerdani bergabung dengan Tentara Pelajar yang berada di bawah
otoritas dari Brigade ABRI. Dari brigade ini, Moerdani mengambil bagian dalam
Revolusi Nasional Indonesia melawan Belanda, dia berpartisipasi dalam sebuah
serangan umum yang sukses di Solo.
Setelah kemerdekaan Indonesia situasi berangsur aman,
Moerdani mengambil kesempatan untuk menyelesaikan pendidikannya, lulus dari
sekolah menengah pertama dan melanjutkan ke sekolah menengah atas; sementara
itu ia mengambil pekerjaan paruh-waktu untuk membantu pamannya menjual
barang.[3] Pada tahun 1951, Pemerintah Indonesia mulai melakukan demobilisasi,
brigade Moerdani dianggap telah melakukan tugas cukup baik dan para prajuritnya
terus bertugas dengan ABRI. Moerdani, bersama dengan brigadenya terdaftar dalam
Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada bulan
Januari 1951. Pada saat yang sama, Moerdani juga mengambil bagian dalam Sekolah
Pelatihan Infanteri (SPI).
Moerdani menyelesaikan pendidikan militernya dari P3AD
pada bulan April 1952 dan dari SPI Mei 1952.[4] Ia juga diberi pangkat Pembantu
Letnan Satu. 2 tahun kemudian, pada tahun 1954, Moerdani menerima pangkat
Letnan Dua dan ditempatkan di TT/III Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa
Barat.
KKAD/RPKAD[sunting | sunting sumber]
Dalam upaya untuk menghadapi ancaman dari Darul Islam,
Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima TT/III Siliwangi membentuk Kesatuan
Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (KESKO TT III). Keberhasilan mereka
menarik Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk mendukung pembentukan
Satuan Pasukan Khusus. Dengan demikian, pada tahun 1954, Kesatuan Komando
Angkatan Darat (KKAD) dibentuk. Moerdani ditugaskan sebagai pelatih bagi para
prajurit yang ingin bergabung dengan KKAD dan diangkat sebagai Kepala Biro
Pengajaran. Pada tahun 1956, KKAD mengalami perubahan nama menjadi Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tidak lama setelah itu, Moerdani diangkat
menjadi Komandan Kompi.[5]
Sebagai anggota RPKAD, Moerdani menjadi bagian dari
pertempuran untuk menekan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI),
kelompok separatis yang berbasis di Sumatera. Pada bulan Maret 1958, Moerdani
diterjunkan ke bawah di belakang garis musuh di Pekanbaru dan Medan untuk
mempersiapkan dasar bagi ABRI untuk mengambil alih dua kota. Sebulan kemudian,
pada tanggal 17 April 1958, Moerdani mengambil bagian dalam Operasi 17 Agustus,
sebuah operasi yang memukul para pemberontak PRRI.[6] Tugas Moerdani berikutnya
adalah untuk mengurus Piagam Perjuangan Semesta (Permesta), kelompok separatis
lain di Sulawesi. Mirip dengan apa yang dia lakukan di Sumatera, Moerdani dan
pasukannya meletakkan dasar bagi semua serangan terhadap Permesta yang kemudian
menyerah pada bulan Juni 1958.
Setelah penyerahan diri PRRI dan Permesta, Moerdani,
ditempatkan di Aceh. Pada awal 1960, ia mempertimbangkan untuk menjadi pilot
pesawat Angkatan Darat tetapi dibujuk oleh Ahmad Yani yang mengirimnya ke
Amerika Serikat untuk bergabung dengan Sekolah Infanteri Angkatan Darat Amerika
Serikat di Fort Benning. Di sana, Moerdani mengambil bagian dalam Kursus
Lanjutan Perwira Infanteri dan berlatih dengan 101st Airborne Division.
Moerdani kembali ke Indonesia pada tahun 1961 ketika ABRI
sedang mempersiapkan diri untuk pengambilalihan Irian Barat. Tugas pertamanya
adalah melatih pasukan terjun payung yang seharusnya mendarat di belakang garis
musuh dan menyusup. Bulan-bulan pun berlalu, infiltrasi tidak membawa hasil
yang nyata. Pada bulan Mei 1962, Moerdani ditugaskan untuk memimpin penurunan
pasukan terjun payung yang terdiri dari tentara RPKAD dan Kostrad.[7] Setelah
mendarat di Irian Barat pada akhir Juni 1962, Moerdani memimpin pasukannya
dalam pertempuran-pertempuran melawan anggota Angkatan Laut Belanda sampai PBB
ikut campur pada bulan Agustus 1962 dan memutuskan memberikan Irian Barat ke
Indonesia. Setelah ada gencatan senjata, Moerdani ditempatkan untuk bertanggung
jawab atas semua pasukan gerilya di Irian Barat.
Pada tahun 1964, Moerdani kembali ke Jakarta lagi.
Prestasinya selama kampanye pembebasan Irian Barat telah menarik perhatian dari
Presiden Soekarno yang ingin merekrutnya sebagai Ajudan Presiden dan
menikahkannya dengan salah satu putrinya,[8] namun Moerdani menolak kedua
penawaran tersebut.
Pada tahun 1964, Moerdani dan Batalyon RPKAD dikirim ke
Kalimantan untuk bertempur dalam perang gerilya melawan tentara Malaysia dan
Inggris sebagai bagian dari konfrontasi Indonesia-Malaysia. Namun, ia tidak
menghabiskan waktu yang lama di Kalimantan, kembali ke Jakarta pada bulan
September. Pada tahap ini, Moerdani sekali lagi memikirkan pada perluasan
kariernya kali ini ia mencoba untuk memutuskan antara karier sebagai komandan
teritorial di Kalimantan atau sebagai atase militer. Dia memilih yang terakhir
dan telah meminta untuk ditempatkan di Beijing.
Pada akhir 1964, sebuah pertemuan perwira RPKAD diadakan
dan Moerdani diundang bersama. Topik dari pertemuan ini adalah untuk membahas
penghapusan tentara cacat dari RPKAD namun Moerdani keberatan.[9] Berita
keberatan Moerdani sampai ke Yani, yang telah menjadi Panglima Angkatan Darat.
Yani memanggil Moerdani dan menuduhnya melakukan pembangkangan. Pertemuan
diakhiri dengan Yani memerintahkan Moerdani untuk berpindah dari RPKAD ke
Kostrad. Moerdani menyerahkan komando batalyon RPKAD nya pada tanggal 6 Januari
1965.
Kostrad[sunting | sunting sumber]
Langkah Moerdani dari RPKAD ke Kostrad adalah hal yang
tiba-tiba dan belum ada posisi yang disiapkan untuknya. Posisi pertamanya
adalah sebagai seorang perwira Operasi dan Biro Pelatihan. Peruntungannya
berubah ketika Letnan Kolonel Ali Moertopo mengetahui bahwa ia adalah bagian
dari Kostrad. Setelah berkenalan dengan Moerdani selama operasi di Irian Barat,
Ali mengakui potensi Moerdani dan ingin lebih mengembangkan hal itu. Kebetulan,
Ali pada saat itu adalah Asisten Intelijen Komando Tempur 1, salah satu unit
Kostrad yang ditempatkan di Sumatera dalam persiapan untuk menginvasi Malaysia.
Ali merekrut Moerdani menjadi Wakil Asisten Intelijen dan memberinya pengalaman
pertama kerja intelijen.
Selain menjadi Wakil Asisten Intelijen, Moerdani juga
menjadi bagian dari tim intelijen Operasi Khusus (Opsus). Tugasnya adalah untuk
mengumpulkan informasi intelijen di Malaysia dari Bangkok ia menyamar menjadi
penjual tiket Garuda Indonesia.[10]
Setelah Gerakan 30 September hancur pada 1 Oktober 1965
oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto, kegiatan Moerdani diintensifkan. Dia
bergabung dengan Ali dan bersama-sama mereka mulai bekerja meletakkan dasar
untuk mengakhiri Konfrontasi tersebut. Upaya mereka memuncak pada tanggal 11
Agustus 1966 ketika Pemerintah Indonesia dan Malaysia menandatangani
kesepakatan untuk menormalkan hubungan antara kedua negara.
Karier diplomatik[sunting | sunting sumber]
Meskipun perdamaian telah tercapai, Moerdani tinggal di
Malaysia sebagai chargé d'affaires. Tugas pertamanya adalah untuk menjamin
pembebasan tentara Indonesia dan para pejuang gerilya yang telah tertangkap
selama Konfrontasi.[11] Pada bulan Maret 1968, bersama seorang duta besar
akhirnya ia ditugaskan di Malaysia, Moerdani menjadi kepala Konsulat Indonesia
di Malaysia Barat. Pada saat yang sama, ia terus menjadi bagian dari Opsus
dengan tugas melakukan pengawasan terhadap kejadian di dalam Perang Vietnam.
Pada akhir tahun 1969, Moerdani dipindahkan ke Seoul
untuk menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Korea Selatan. Pada tahun 1973,
status Moerdani ditingkatkan dari Konsul Jenderal menjadi chargé d'affaires.
Perwira intelijen[sunting | sunting sumber]
Karier diplomatik Moerdani berakhir tiba-tiba ketika
terjadi Peristiwa Malari di Jakarta pada bulan Januari 1974 dan dalam waktu
seminggu setelah peristiwa itu, Moerdani telah kembali ke Jakarta. Presiden
Soeharto segera memberinya posisi yang membuatnya memiliki banyak kekuasaan.
Moerdani menjadi Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten
Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala
Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).[12]
Pada tahun 1975, Moerdani menjadi sangat terlibat dengan
masalah dekolonisasi Timor Timur. Pada bulan Agustus 1975, Moerdani mulai
mengirimkan tentara Indonesia dengan kedok relawan untuk mulai menyusup ke
Timor Timur.[11] Situasi diintensifkan pada tanggal 28 November 1975 ketika
Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur. Operasi intelijen berhenti
dan operasi militer, Operasi Seroja dimulai sebagai gantinya. Meskipun operasi
itu bukan sebuah operasi intelijen, Moerdani terus terlibat, kali ini sebagai
perencana invasi. Metodenya dalam merencanakan invasi memicu kemarahan dari
rekan-rekan karena dilakukan tanpa sepengetahuan perwira komando tinggi,
seperti Wakil Panglima ABRI Surono Reksodimedjo dan Pangkostrad Leo Lopulisa
yang seharusnya terlibat dalam proses perencanaan.[13]
Pada 28 Maret 1981, Garuda Indonesia Penerbangan 206,
yang seharusnya terbang dari Jakarta ke Medan dibajak. Berita itu tiba ketika
Moerdani di Ambon di mana ia menghadiri pertemuan Pemimpin ABRI bersama
Panglima ABRI M. Jusuf. Moerdani segera meninggalkan pertemuan itu untuk pergi
ke Jakarta dan mempersiapkan untuk mengambil tindakan, pesawat yang dibajak
telah mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok. Moerdani bertemu dengan Soeharto
dan atas ijin Presiden ia menggunakan kekuatan dalam upaya untuk membebaskan
para sandera; dasar pemikirannya adalah bahwa para pembajak seharusnya tidak
diperbolehkan untuk mengintimidasi pilot pesawat untuk terbang ke negara-negara
lain.[14]
Didampingi oleh pasukan dari Kopassandha, sebelumnya
bernama RPKAD, Moerdani berangkat ke Thailand. Meskipun rencananya mengalami
beberapa hambatan, terutama dari Pemerintah Thailand, pada akhirnya kesepakatan
terjadi untuk mengambil tindakan militer. Pada pagi hari tanggal 31 Maret 1981,
Moerdani secara pribadi memimpin pasukan Kopassandha menyerbu pesawat,
mengambil kembali kendali itu, dan menyelamatkan para sandera.
Panglima ABRI[sunting | sunting sumber]
Jenderal TNI L.B. Moerdani menjadi warga kehormatan Korps
Marinir.
Penunjukan[sunting | sunting sumber]
Pada bulan Maret 1983, Moerdani mencapai puncak karier
militernya ketika Soeharto menunjuknya sebagai Panglima ABRI dan mempromosikan
dirinya menjadi Jenderal.
Moerdani mencapai posisi ini dengan sedikit agak berbeda
karena ia tidak pernah memerintah di unit yang lebih besar dari batalyon dan
tidak menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Kodam) dan Kepala Staf Angkatan
Darat. Selain sebagai pemimpin ABRI, Moerdani juga ditunjuk menjadi Pangkopkamtib,
dan mempertahankan posisinya di Pusintelstrat, yang berganti nama menjadi Badan
Intelijen Strategis (BAIS). Tidak seperti Panglima ABRI Orde Baru sebelumnya,
Moerdani tidak memegang Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Reorganisasi ABRI[sunting | sunting sumber]
Moerdani segera mengambil langkah untuk membenahi ABRI,
pemotongan anggaran, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan profesionalisme
sebagai tujuan langsungnya.[15]
Berkaitan dengan struktur komando, pertama Moerdani
menghilangkan Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), struktur komando yang
telah ada sejak 1969. Ia kemudian mengubah sistem komando daerah untuk Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Komando Daerah Militer (Kodam)
dikurangi dari 16 menjadi 10, 8 Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral)
dirampingkan menjadi 2 Komando Armada, dan 8 Komando Daerah Angkatan Udara
(Kodau) sama-sama dirampingkan menjadi 2 Komando Operasi.[16] Polisi juga
melakukan reorganisasi dengan pita merah yang dipotong untuk memungkinkan
pasukan polisi di tingkat terendah untuk mengambil tindakan segera.
Moerdani juga mengurangi porsi kurikulum non-militer
Akabri. Untuk meningkatkan kualitas input Akademi serta untuk memperkuat basis
nasionalis, Moerdani mengonsep sekolah menengah atas untuk melatih bakat bangsa
yang cerah untuk kemudian menjadi anggota kelompok elit nasional (SMA Taruna
Nusantara, sekarang berjalan dan terletak bersamaan dengan Akademi ABRI di
Magelang). Moerdani juga meningkatkan kerjasama antara Angkatan Bersenjata
negara-negara ASEAN.[17]
Peristiwa Tanjung Priok[sunting | sunting sumber]
Latar belakang Moerdani yang Katolik akan mencuat ke
permukaan pada tahun 1984 ketika bersama-sama dengan Panglima Kodam V/Jaya, Try
Sutrisno, memerintahkan untuk menggunakan tindakan keras terhadap demonstran
Islam di Tanjung Priok, Jakarta yang mengakibatkan kematian. Moerdani mengklaim
bahwa para demonstran telah terprovokasi dan tidak bisa dikendalikan secara
damai dan sebagai hasilnya ia memerintahkan tindakan keras.[18] Moerdani
bersikeras bahwa dia tidak pernah ingin menganiaya Muslim dan melakukan
kunjungan ke sekolah-sekolah Muslim di seluruh Jawa untuk meningkatkan citranya
dengan Muslim.
Sebagai Panglima ABRI, Moerdani bisa dibilang sebagai
orang paling kuat kedua secara de facto dalam aspek sosial dan politik di
Republik Indonesia saat itu, setelah Soeharto.
Karier politik[sunting | sunting sumber]
Sidang Umum MPR 1988[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1988, hubungan Moerdani dengan Soeharto telah
memburuk. Meskipun ia setia kepada Soeharto, Moerdani cukup tegas untuk
mengkritik Presiden soal korupsi dan nepotisme dalam rezimnya. Pada saat ini,
Moerdani menjadi musuh dari Prabowo Subianto, menantu Soeharto.
Tahun 1988 merupakan tahun yang penting karena itu adalah
tahun digelarnya Sidang Umum MPR, tempat di mana Presiden dan Wakil Presiden
terpilih. Sidang Umum hampir tiba, Soeharto mulai membuat tanda-tanda bahwa ia
ingin Sudharmono sebagai Wakil Presidennya. Menurut Kivlan Zen, rekan dekat
Prabowo, hal ini berlawanan dengan Moerdani, yang ingin agar dirinya menjadi
Wakil Presiden.[19] Dengan demikian, hal ini tampaknya telah menjadi alasan
pemberhentian Moerdani dari posisi Panglima ABRI pada Februari 1988, meskipun
menurut Robert Elson, hal ini dilakukan lebih karena Soeharto tidak ingin Moerdani
mengendalikan ABRI ketika Sudharmono dinominasikan. Robert Elson berteori
kemungkinan masa Wakil Kepresidenan Sudharmono menjadi langkah terakhir sebelum
dirinya menjadi Presiden Indonesia.[20]
Moerdani tampaknya tidak menyerah. Pada bulan yang sama
petinggi Golkar bertemu untuk membahas Sidang Umum MPR. Soal calon Wakil
Presiden, fraksi-fraksi sepakat untuk mencalonkan Sudharmono. Nominasi fraksi
ABRI ditunda, Moerdani terus menunda-nunda dengan mengklaim bahwa ia tidak
membahas pencalonan Wakil Presiden Soeharto. Ketika ditekan, Moerdani
menyatakan keprihatinan tentang pencalonan Sudharmono meskipun ia tidak
memberikan alasan tertentu. Pada satu tahap, ia mulai memberikan sinyal bawah
sadar bahwa Try Sutrisno harus dinominasikan sebagai Wakil Presiden. Try tidak
menangkap ini dan bersama dengan perwira lainnya meyakinkan Moerdani bahwa
calon Wakil Presiden fraksi ABRI adalah Sudharmono.
Banyak yang percaya bahwa Moerdani bertanggung jawab atas
kontroversi pencalonan Sudharmono. Diyakini bahwa serangan Brigjen Ibrahim
Saleh kepada Sudharmono dan pencalonan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Jaelani Naro sebagai Wakil Presiden adalah pekerjaan Moerdani. Namun, keinginan
Suharto terwujud pada akhirnya Sudharmono terpilih menjadi Wakil Presiden.
Menteri Pertahanan dan Keamanan[sunting | sunting sumber]
Meskipun ada upaya untuk menggagalkan Sudharmono,
Soeharto tidak menurunkan Moerdani dan menunjuknya sebagai Menteri Pertahanan
dan Keamanan. Namun, Moerdani kehilangan sebagian dari kekuasaannya pada bulan
September 1988 dengan dibubarkannya Kopkamtib.
Selama masa jabatannya sebagai Menteri, Moerdani dituduh
merencanakan kudeta terhadap Soeharto.[21] Hal ini mendorong Soeharto
menjanjikan tindakan keras terhadap siapa saja yang berani menggantikannya
secara inkonstitusional.
Sidang Umum MPR 1993[sunting | sunting sumber]
Sebelum Sidang Umum MPR 1993, Moerdani dipandang sebagai
insinyur pencalonan Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Soeharto tidak senang
dengan pencalonan itu dan menerima Try dengan berat hati. Penghiburan bagi
Soeharto adalah bahwa ia tidak memasukan nama Moerdani ke kabinet berikutnya.
Wafat
Moerdani meninggal dunia sekitar pukul 01.00 WIB, Minggu
29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Moerdani sudah dirawat di rumah sakit
tersebut sejak 7 Juli 2004 karena stroke dan infeksi paru-paru.[22] Dia
meninggalkan seorang istri, satu putri, dan lima cucu. Jenazahnya disemayamkan
rumah duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta Selatan dan kemudian di
Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan jenazah di Mabes AD
dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu. Ia
dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 WIB di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
dengan inspektur upacara Panglima TNI, Jenderal TNI Endriartono Sutarto.[23]
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment