!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, January 16, 2015

Kiamat: Hanya Kursi Allah dan Arsh Allah yang tidak hancur

Perjalanan yang belum selesai (184)

(Bagian ke seratus delapan puluh empat, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 23.26 WIB 15 Januari 2015)
                   
Kiamat: Hanya Kursi Allah dan Arsh Allah yang tidak hancur


Ketika malaikat Israfil meniup terompet sangkakala, maka bumi, dan alam semesta akan hancur lebur jadi debu, ini yang disebut Hadist dan kitab suci Al quran sebagai hari kiamat.

Pada hari kiamat ini hanya Kursi Allah, dan Arsh Allah saja yang tetap tidak hancur.





Apakah yang dimaksud dengan “arsy” dan “kursi ” (berdasarkan penafsiran yang beraneka-macam)?

Pertanyaan
Apakah yang dimaksud dengan “arsy” dan “kursi ” (berdasarkan penafsiran yang beraneka-macam)?
Jawaban Global
“Arsy” bermakna sesuatu yang mempunyai atap. Tahta kerajaan juga bisa dinamakan arsy sebagai kiasan (kinayah) dari kekuasaan dan pemerintahan. Sedang “kursi ” juga bermakna tahta dan singgasana. Kedua kata itu digunakan dalam al-Qur’an. Pada banyak tempat dalam al-Qur’an, arsy dinisbatkan kepada Allah Swt, sementara kursi  hanya pada satu tempat saja. Tetapi hal ini bukan bagian dari pembahasan kita.
Pertanyaan mengenai “arsy dan kursi ” itu apa? Para ulama dan mufassir berbeda pandangan dalam memberikan jawabannya. Secara global jawaban para ulama terbagi menjadi dua bagian. Sebagian ulama salaf menganggap bahwa membahas masalah itu adalah bid’ah. Mereka mengatakan: “Kita tidak mungkin dapat memahami dan menjangkau arsy dan kursi  Allah Swt, yang kita pahami hanyalah namanya saja." Lawan mereka adalah sekelompok ulama yang membolehkan membahasnya dalam lingkup agama yang dalam hal ini mereka terbagi menjadi empat kelompok.
Sekelompok ulama berpadangan bahwa arsy dan kursi  itu satu. Dan mereka memberikan makna berdasarkan lahiriah lafaz yang kaku. Kata mereka: “Arsy dan kursi  itu mempunyai wujud luar dan bentuk yang riil, yaitu berupa makhluk Allah Swt yang betul-betul mirip dengan tahta dan mempunyai beberapa kaki (tonggak). Kaki-kakinya itu bersandar kepada langit ketujuh. Dan Tuhan seperi seorang raja yang menduduki singgasana kerajaan tersebut. Dari sinilah Dia mengatur berbagai urusan”. Kelompok ini dikenal sebagai kaum Musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Kelompok lainnya berpandangan sama dengan pandangan sebelumnya, yaitu bahwa arsy dan kursi  itu memiliki wujud luar yang nyata dan sebagai makhluk, tetapi mishdaq (instanta luaran) berbeda dengan pandangan pertama. Kelompok kedua ini berdasarkan pandangan Ptolemy (Claudius Ptolemaeus)  mengatakan bahwa arsy Tuhan itu adalah falak (planet) yang tertinggi (planet kesembilan). Sedang kursi  Tuhan adalah planet kawâkib. Pandangan ini didasarkan pada riwayat yang datang dari Rasulullah Saw yang berbunuyi: “Langit-langit dan tujuh lapis bumi tidak terletak di samping kursi . Tetapi ia laksana lingkaran yang terhampar di padang sahara yang luas”.
Mayoritas mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arsy dan kursi  Tuhan adalah sebagai makna kiasan dan tidak mempunyai bentuk dan wujud luar yang nyata. Apa maksud makna kiasan yang mereka katakan? Terdapat berbagai maksud dan arti. Terkadang mereka memaknainya sesuai dengan sebuah hadis yang dinukil oleh Hafsh bin Ghiyas dari Imam maksum As. Kepada Imam Shadiq As dia bertanya mengenai tafisr ayat yang berbunyi “Wasi’a kursi yyuhu as-samawati wal ardh” (Kursi -Nya seluas langit-langit dan bumi). Imam Shadiq As menjawab: “Maksudnya adalah ilmu-Nya”. Mereka mengatakan maksudnya adalah ilmu Allah yang tidak bertepi.
Dan terkadang pula mereka memaknainya berdasarkan ayat mulia yang berbunyi: “Tsummastawa “alal arsy” (kemudian Dia bersemayam di atas arsy). Yaitu bermakna kekuasaan dan kerajaan Tuhan. Terkadang pula dimaknai dengan sifat kamâliyah (kesempurnaan) dan sifat jalaliyah (keagungan) Tuhan.
Pandangan yang keempat adalah pendapat para ulama kontemporer seperi Allamah Thabathaba’i, mereka mengatakan bahwa arsy dan kursi  itu mempunyai wujud luar yang hakiki, walaupun dari lafaz tersebut bisa dimaksudkan dua buah makna kiasan. Berdasarkan pandangan ini, pada hakikatnya arsy dan kursi  itu adalah satu perkara yang secara global dan rinci mempunyai dua martabah (peringkat) dan perbedaan keduanya adalah bersifat rutbi (urutan), dan keduanya itu merupakan hakikat dan wujud yang nyata. Tetapi bukan merupakan tahta dan singgasana Tuhan dan tempat Dia bersemayam, sebagaimana yang dimaksudkan oleh kelompong di atas. Akan tetapi maksud arsy adalah derajat tertinggi alam wujud yang merupakan sebab dan illat seluruh peristriwa, penciptaan dan semua asma. Dan mata rantai sebab-sebab dan illat berakhir kepada martabah tersebut. Sedangkan kursi  berada pada martabah yang lebih rendah, yaitu sebagai maqam rububi (tingkat pengaturan) dimana seluruh maujud planet langit dan bumi tegak berdasarkan atasnya. Banyak sekali riwayat dan hadis yang mendukung keabsahan dan kekuatan pandangan ini.
Jawaban Detil
1.Makna arsy.
“Arsy” secara leksikal bermakna segala sesuatu yang mempnyai atap.[1] Dengan itu maka saung, cadur (sejenis kerudung), kemah, atap gubuk (biasanya di tengah sawah), loteng, istana, dan bangunan di atas selokan dinamakan arsy.[2] Terkadang diartikan dengan singgasa berkaki tinggi. Karena itu singgasana kerajaan dan pemerintahan dinamakan pula dengan arsy.[3] Hal itu sebagai kiasan dari kekuasaan dan pemerintahan.
Arsy dalam Al-Qur’an.
Kata arsy sebanyak 26 kali disebutkan di dalam Al-Qur’an.[4] Dan biasanya yang dimaksud adalah arsy Tuhan. Di dalam beberapa tempat bermakna langit atau atap, seperti firman Allah Swt: “…yang tembok-temboknya runtuh di atas atap-atapnya”.[5] Atau bermakna tahta kerajaan, seperti firman-Nya: “kemudian dia mendudukkan ayah dan ibunya di atas arsy”.[6] Dan firman-Nya: “Siapakah diantara kalian yang mampu memindahkan arsy-nya kesini...”[7] Terkadang diartikan juga dengan ketinggian.[8] Yang menjadi topik pembahasan kita adalah arsy Tuhan.
Arsy Tuhan.
Pertanyaan mengenai “arsy dan kursi ” itu apa? Para ulama dan mufassir berbeda pandangan dalam memberikan jawabannya. Secara global jawaban para ulama terbagi menjadi dua bagian.
1-1.Sebagian ulama salaf mengangap bahwa membahas masalah-masalah hakikat agama dan melewati makna lahiriah Kitab dan Sunnah adalah sesuatu yang bid’ah dan haram. Mereka mengatakan: “Kita tidak mungkin akan dapat memahami dan menjangkau arsy dan kursi  Allah Swt, yang kita pahami hanyalah namanya saja”. Ayat-ayat semacam ini -menurut mereka- termasuk ayat-ayat mutasyabihat, tidak boleh dibahas dan ditafsirkan secara serampangan. Sekarang, sebagaimana telah jelas bahwa akal dan juga Al-Qur’an dan Sunnah -yang bertentangan dengan akidah mereka- sangat menganjurkan dan menekankan agar umat Islam merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an, memahaminya secara serius dan berhujjah dengan hujjah aqli. Bagaimana mungkin dengan adanya dorongan dan anjuran dalam mukaddimah-mukaddimah semacam ini, kemudian mereka dilarang untuk menetapkan hasilnya?[9]
1-2. Para ulama yang membolehkan membahas masalah arsy ini dalam lingkup agama terbagi kepada empat kelompok:
a. Kelompok yang mengartikan secara lahiriah dengan kaku mengatakan bahwa arsy itu merupakan makhluk yang mempunyai wujud luar yang betul-betul mirip dengan tahta dan singgasana yang memilki beberapa kaki. Kaki-kaki itu bersandar pasa langit yang ketujuh. Dan Tuhan tak ubahnya seperti seorang raja yang tengah duduk di singgasana-Nya tersebut. Dari tahta kerajaann-Nya inilah dia mengatur segala urusan hamba-Nya.
b. Ulama yang berpendapat bahwa arsy itu mempunyai wujud luar sebagai sebuah makhluk Tuhan. Tetapi dalam hal mishdaq dan wujud riilnya berbeda dengan pandangan ulama pertama. Mereka mengatakan bahwa arsy adalah planet yang kesembilan yang meliputi alam materi dan sebagai pembatas arahnya. Dan karena ia kosong dari bintang-bintang, maka ia dinamakan atlas.[10] Sedang kursi  Tuhan adalah planet kawakib. Pandangan ini berdasarkan riwayat yang datang dari Rasulullah Saw yang menegaskan: “Langit-langit dan tujuh lapis bumi tidak terletak di samping kursi . Tetapi ia laksana lingkaran yang terhampar di padang sahara yang luas”[11].
c. Pandangan ketiga ini berbeda dengan pandangan sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arsy dan kursi  Tuhan adalah sebagai makna kinayah dan tidak mempunyai bentuk dan wujud luar yang nyata. Apa maksud makna kinayah yang mereka katakan? Terdapat berbagai maksud dan arti. Terkadang mereka memaknainya sesuai dengan sebuah hadis yang dinukil oleh Hafsh bin Ghiyas dari Imam maksum As. Kepada Imam Shadiq As dia bertanya mengenai tafisr ayat yang berbunyi “Wasi’a kursi yyuhu as-samawati wal ardh” (Kursi -Nya seluas langit-langit dan bumi). Imam Shadiq As menjawab: “Maksudnya adalah ilmu-Nya”.[12] Mereka mengatakan maksudnya adalah ilmu Allah yang tidak bertepi.
Dan terkadang pula mereka memaknainya berdasarkan ayat mulia yang berbunyi: “Tsummastawa alal arsy”[13] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy). Atau ayat yang berbunuyi: “Ar-Rahmanu ‘alal arsyistawa”[14] (Tuhan yang Mahasayang bersemayam di atas singgasana-Nya). Yaitu bermakna kekuasaan dan kerajaan Tuhan. Terkadang pula dimaknai dengan sifat kamaliyah (kesempurnaan) dan sifat jalaliyah (keagungan) Tuhan. Karena masing-masing dari sifat terebut menjelaskan keagungan maqam Allah Swt, sebagaimana pula tahta kerajaan para raja itu menunjukkan kebesaran mereka.
d. Pandangan yang keempat, dari satu sisi sama dengan pandangan pertama dan kedua. Yaitu bahwa arsy memiliki wujud hakikat (wujud luar yang riil). Dalam hal ini berbeda dengan pandangan yang ketiga. Tetapi dari sisi lainnya, pandangan ini sama dengan pandangan yang ketiga. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan arsy adalah makna kinayah. Dan dalam hal ini berbeda dengan pandangan pertama dan kedua. Dan ini adalah pendapat para ulama kontemporer seperi Allamah Thabathaba’i. Berdasarkan pandangan ini bahwa pada hakikatnya arsy adalah martabah tertinggi alam wujud yang merupakan sebab dan illat seluruh peristriwa, penciptaan dan semua asma. Dan mata rantai sebab-sebab dan illat itu mesti berakhir kepada martabah tersebut. Allamah Thabathaba’i mengatakan bahwa kalimat: “Tsummastawa alal ‘arsy”[15] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy) yang merupakan sebuah misal yang menggambarkan tentang luasnya pengaturan Allah Swt atas seluruh milik-Nya, juga menunjukkan suatu hakikat, yaitu sebuah maqam dan peringkat dimana kendali seluruh perkara dan urusan bertumpuk pada peringkat tersebut. Dan ayat yang berbunyi: “Dan Dialah Tuhan arsy yang agung”[16] dan ayat yang berbunyi: “…hamba-hamba yang memanggul arsy dan yang disekitarnya”[17] dan ayat-ayat lainnya, semuanya itu menunjukkan makna ini.[18]
2. Kursi .
Kursi  bermakna tahta dan singgasana dan menurut pandangan masyarakat umum (urf) adalah nama sesuatu yang diduduki di atasnya.[19] Kata ini disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali yang keduanya bermakna tahta. Letak perbedaannya adalah bahwa salah satu mishdaq (wujud luar) urfi kursi  adalah tahta dan singgasana Nabi Sulaiman As. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Dan sungguh telah Kami uji Sulaiman dan Kami lemparkan jasadnya ke atas kursi nya, kemudian dia pun kembali”.[20] Sedangkan sehubungan dengan tahta Tuhan bermakna kinayah yang merupakan hakikat wujud.[21]
Kursi  Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan kursi  dan singgasana Tuhan yang meliputi seluruh langit dan bumi itu?
Sebagaimana beberapa pandangan yang telah dijelaskan di atas tentang arsy, tentang kursi  pun demikian pula dengan sedikit perbedaan. Penjelasan globalnya adalah demikian:
1-1.             Mayoritas ulama terdahulu mempunyai pandangan bahwa kursi  Tuhan adalah sesuatu yang dikenal oleh manusia, yakni mereka hanya mengenal namanya saja. Sementara untuk dapat memahami hakikatnya tidak mungkin dan membahasnya pun merupakan bid’ah.
2. Pandangan ulama ahli bahas:
a. Pandangan kaum Musyabbihah adalah bahwa kursi  dan arsy itu satu, yaitu tahta kerajaan Ilahi yang terletak di langit yang ke tujuh. Dari tahta inilah Dia mengatur seluruh urusan alam raya ini.
b. Pandangan sekelompok ulama yang mengikuti dasar pemikiran Bethlamiyus. Mereka mengatakan bahwa kursi  adalah planet kaukab. Sedangkan kursi  adalah planet yang tertinggi.
c. Pandangan mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa kursi  itu tidak mempunyai wujud hakiki. Ia hanyalah sebagai kinayah belaka. Kinayah itu adalah ilmu Tuhan atau kekuasaan dan kerajaan-Nya.
d. Pandangan para ulama kontemporer, seperti Allamah Thabathaba’i. Dan inilah pandangan yang kokoh dan benar. Berdasarkan pandangan ini bahwa kursi  itu, disamping merupakan sebuah kinayah, tetapi mempunyai wujud hakiki yang nyata, yaitu satu martabah wujudi, maksudnya adalah ma       qam rububi dimana seluruh maujud langit dan bumi tegak bedasarkan atasnya. Dengan demikian bahwa kursi  adalah satu martabah dari martabah-martabah ilmu Ilahi dimana seluruh alam semesta ini tegak atasnya dan segala sesuatu tersimpan rapih dan tertulis di sana. Karena itu, arsy dan kursi  -pada hakikatnya- adalah hal yang satu yang secara ijmali (global) dan tafshili (rinci) mempunyai dua peringkat. Dan ikhtilaf yang terdapat diantara keduanya hanyalah bersifat rutbi (urutan) dan keduanya merupakan hakikat wujudi. Tetapi tidak seperti apa yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa hal itu sebagai tahta Tuhan dan singgasana-Nya.[22] Riwayat-riwayat yang datang dari para Imam maksum pun secara kuat mendukung keabsahan pandangan ini. Sebagai contoh perhatikanlah beberapa riwayat berikut ini:
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, ketika memberikan jawaban atas pertanyaan Jaslik berkata: “Para Malaikat memanggul arsy Tuhan. Dan arsy Tuhan itu tidaklah seperti tahta kerajaan yang engkau bayangkan. Arsy Tuhan itu adalah berupa makhluk(dicipta), mahdud (terbatas) dan diatur oleh Allah Swt. Allah Swt adalah pemiliknya dan bukanlah Dia bersemayam di atasnya. [23]
Riwayat lainnya yang juga dinukil dari Imam Ali As adalah bahwa yang dimaksud dengan kursi  itu adalah ilmu Allah Swt yang meliputi seluruh langit dan bumi dan segala isinya.[24]
Hanan bin Sudair menukil sebuah riwayat dari Imam Shadiq As ketika ia bertanya kepadanya mengenai makna arsy dan kursi . Beliau menjawab: “Arsy mempunyai sifat yang banyak dan bermacam-macam. Di setiap tempat di dalam Al-Qur’an, setiap kali menyebutkan nama arsy, maka hal itu berkaitan erat dengan masalah yang disebutkan di situ”.[25]  Arsy di dalam riwayat ini bermakna kepemilikan, kehendak, keinginan dan pengetahuan.[]

'Arsy
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

‘Arsy (Bahasa Arab عَرْش, ‘Arasy) adalah makhluk tertinggi, berupa singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para malaikat.[1] Pengertian ‘Arsy ini yang diyakini oleh para manhaj Salaf, berdasarkan Al Qur'an dan hadits Muhammad, sesuai dengan ayat:

“       (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy. (Thaha, 20:5)   ”
Tetapi banyak ulama yang berpendapat beda dalam mengartikan makna dari ‘Arsy ini, apakah ‘Arsy itu berwujud fisik atau nonfisik.


‘Arsy adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘arasya – ya‘risyu – ‘arsyan (عَرَشَ يَعْرِشُ عَرْشًا) yang berarti bangunan, singgasana, istana atau tahta. Di dalam Al-Quran, kata ‘Arsy itu disebut sebanyak 33 kali. Kata ‘Arsy mempunyai banyak makna, tetapi pada umumnya yang dimaksudkan adalah singgasana atau tahta Tuhan. Kemudian arti dari kata tersebut dipakai oleh bangsa Arab untuk menunjukkan beberapa makna, yaitu:

Singgasana raja,[2]
Atap rumah, tercantum dalam hadits
Tiang dari sesuatu
Kerajaan
Bagian dari punggung kaki
Inilah sebagian dari arti ‘Arsy dalam bahasa Arab, akan tetapi arti tersebut berubah-ubah sesuai dengan kalimat yang disandarinya.

Seorang ulama yang bernama Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa ‘Arsy merupakan ”pusat pengendalian segala persoalan makhluk-Nya di alam semesta”. Penjelasan Rasyid Rida itu antara lain didasarkan pada Al Qur'an:

“       ...kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy untuk mengatur segala urusan...(Yunus 10:3)      ”
Wujud ‘Arsy[sunting | sunting sumber]
Menurut manhaj salaf, 'Arsy memiliki wujud yang teramat sangat besar, memiliki beberapa tiang yang menjadikan 'Arsy sebagai atap alam semesta. Wujud ini dicatat dalam beberapa hadits-hadits yang shahih. Saking besarnya ada malaikat yang memiliki sayap banyak, diperintahkan oleh Tuhan untuk terbang kemana saja yang ia kehendaki dan ia merasa tidak beranjak dari tempat semula ia terbang.

Allah berfirman kepada malaikat tersebut, "Sesungguhnya Aku telah menjadikan engkau memiliki kekuatan yang sebanding dengan kekuatan 7.000 malaikat." Malaikat itu diberikan 70.000 sayap. Kemudian, Allah menyuruh malaikat itu terbang. Malaikat itu pun terbang dengan kekuatan penuh dan sayap yang diberikan Allah ke arah mana saja yang dikehendaki Allah. Sesudah itu, malaikat tersebut berhenti dan memandang ke arah ‘Arsy. Tetapi, ia merasakan seolah-olah ia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya terbang semula. Hal ini memperlihatkan betapa besar dan luasnya ‘Arsy Allah itu.

“ ‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. 'Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk.”[3]

Nabi Muhammad bersabda: "Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang Sahara yang luas, dan keunggulan 'Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang Sahara yang luas itu atas cincin tersebut."

Letak ‘Arsy[sunting | sunting sumber]
Menurut syariat Islam, 'Arsy terletak di atas surga Firdaus yang berada dilangit ke-7. Keyakinan ini bersumber dari salah satu hadits Muhammad. Muhammad bersabda kepada sahabatnya yang bernama Abu Hurairah “Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohon-lah kepada-Nya Surga Firdaus. Sesungguhnya ia (adalah) Surga yang paling utama dan paling tinggi. Di atasnya terdapat ‘Arsy Allah yang Maha Pengasih...”[4]

Masih diriwayatkan dari Ibnu Abi 'Ashim, Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya ‘Arsy sebelumnya berada di atas air. Setelah Allah menciptakan langit (ke-7), ‘Arsy itu ditempatkan di langit yg ke-7. Dia jadikan awan sebagai saringan untuk hujan. Apabila tidak dijadikan seperti itu, tentu bumi akan tenggelam terendam air.”

Hamalat al-‘Arsy[sunting | sunting sumber]
Para malaikat pemikul 'Arsy terkenal dengan nama Hamalat al-‘Arsy (Arab: حملة العرش) berjumlah empat malaikat, setelah kiamat akan bertambah menjadi delapan malaikat yaitu; Israfil, Mikail, Jibril, Izrail dan Hamalat al-‘Arsy.[5] Didalam Al-Qur'an juga disebutkan para malaikat ini, dalam surah Al Haqqah 69 ayat 17:

“       ...dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit, dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. (Al Haqqah, 69:17)    ”
Wujud Hamalat al-‘Arsy[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari seorang sahabat Jabir bin Abdillah, wujud para malaikat pemikul singgahsana Allah sangatlah besar dan jarak antara pundak malaikat tersebut dengan telinganya sejauh perjalanan burung terbang selama 700 tahun.[6][7]

Dikatakan pula dalam hadits, bahwa Hamalat al-'Arsy memiliki sayap lebih besar dan banyak dibandingkan dengan Jibril dan Israfil. Dikatakan bahwa Hamalat al-'Arsy memiliki sayap sejumlah 2400 sayap dimana satu sayapnya menyamai 1200 sayap Israfil, sedangkan Israfil mempunyai 1200 sayap, dimana satu sayapnya menyamai 600 sayap Jibril.[8]

Sedangkan Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar bin 'Arabi Al-Jawi Al-Bantani, seorang wali besar dari tanah Jawa, mengatakan bahwa, "Mereka adalah tingkatan tertinggi para Malaikat dan Malaikat yang pertama kali diciptakan, dan mereka berada di dunia sebanyak 4 malaikat, pada saat qiyamat akan berjumlah 8 malaikat dengan bentuk kambing hutan. Jarak antara telapak kakinya sampai lututnya sejauh perjalanan 70 tahun burung yang terbang paling cepat. Adapun sifat dari 'Arsy, dikatakan bahwa bahwa 'Arsy adalah permata berwarna hijau dan 'Arsy adalah makhluk yang paling besar dalam penciptaan, dan setiap harinya 'Arsy dihiasi dengan 1000 warna daripada cahaya, tidak ada satu makhlukpun dari makhluk Allah ta'ala yang sanggup memandangnya.. dan segala sesuatu seluruhnya di dalam 'Arsy seperti lingkaran ditanah lapang...Dikatakan sesungguhnya 'Arsy merupakan kiblat para penduduk langit.. sebagaimana Ka'bah sebagai kiblat penduduk bumi..."[9]

Perbedaan Pendapat Tentang ‘Arsy[sunting | sunting sumber]
Di dalam perbincangan para ulama tradisional dengan ulama kontemporer dan modern, mereka masing-masing memiliki perbedaan pendapat dalam menafsirkan istilah 'Arsy ini. Mereka memperdebatkan apakah 'Arsy itu suatu nonmateri (nonfisik) atau materi (fisik).

Para ulama tradisional lebih menyukai memahami 'Arsy sebagai suatu singgasana, dimana dari singgasana-Nya inilah Tuhan mengendalikan kekuasaan-Nya atas makhluk-makhluk-Nya, namun ulama-ulama tersebut juga lebih suka untuk tidak melakukan pembahasan lebih jauh mengenainya dan hanya mencukupkan urusannya kepada iman dan itu menjadi rahasia Allah saja.

Sejumlah ulama lain yang lebih moderat menolak penafsiran 'Arasy seperti yang telah disebutkan di atas tadi, karena menurut mereka Allah tidak membutuhkan tempat, ruangan dan juga tidak terikat dengan waktu. Jika dikatakan bahwa Allah duduk di atas 'Arsy maka berarti Allah memiliki wujud yang sama seperti makhluk-Nya yang memerlukan tempat tinggal dan tempat bernaung, padahal Allah Maha Suci dan Maha Mulia dari semua itu.

Dalam penafsiran ‘Arsy oleh para ulama ini, maka bisa digolongkan menjadi tiga pendapat yang berbeda, yaitu:

Mu'tazilah
Berpendapat bahwa kata ‘Arsy di dalam al-Quran harus diartikan dan dipahami sebagai makna metaforis (majazi). Jika dikatakan Tuhan bersemayam di ‘Arsy, maka arti ‘Arsy di sini adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan merupakan zat yang nonmateri, karenanya mustahil Dia berada pada tempat yang bersifat materi.

Mujassimah
Berpendapat golongan ini bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut mereka, kata ‘Arsy harus dipahami sebagaimana adanya. Karena itu, mereka mengartikan ‘Arsy sebagai sesuatu yang yang bersifat fisik atau materi. Mereka memiliki paham antropomorfisme.

Asy'ariyah
Berpendapat yang menyatakan bahwa ‘Arsy dalam arti tahta atau singgasana harus diyakini keberadaannya, karena Al-Quran sendiri mengartikan demikian adanya.

Perjalanan yang belum selesai (182)

(Bagian ke seratus delapan puluh dua, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 13 Januari 2015, 14.56 WIB)

Pesawat Air Asia QZ8501 di selat Karimata, Kalimantan Tengah, dekat Pangkalan Bun, hampir dipastikan menewaskan seluruh 155 penumpang, yang terdiri dari 138 orang dewasa, 16 anak-anak dan seorang bayi, walaupun Tim Sar baru menemukan sekitar 28 jenazah.
Di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, belum lama ini puluhan pohon tumbang hingga menewaskan empat orang dan melukai puluhan orang lainnya yang tengah berwisata ke kebun raya ini.
Di Banjarnegara, Jawa Tengah belum lama ini terjadi tanah longsor sehingga menewaskan lebih seratus penduduk, dan banyak peristiwa musibah lainnya di tanah air.
Di Amerika Serikat di kabarkan ada pesawat jatuh yang menewaskan seluruh penumpang terdiri dari tiga penumpang dewasa dan satu pilot, kecuali seorang anak perempuan berusia enam tahun yang selamat dan sempat keluar dari pesawat dan melaporkan ke rumah penduduk setempat member tahu pesawat yang ditumpanginya bersama anggota keluarganya jatuh.
Di Afrika, ada pesawat jet pribadi yang terbang dari Timur Tengah menuju Maroko untuk berwisata jatuh, menewaskan tiga penumpang, termasuk salah satu orang terkaya di Timur Tengah, namun pilotnya seorang tetap hidup dan selamat. Juga musibah lainnya seperti gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh Desember 2004 lalu hingga menewakan ratusan ribu jiwa di 16 negara, dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Maladewa, Sri Lanka, India sampai Somalia di Afrika.
Peristiwa di atas menunjukkan Takdir Allah (Iradah Kauniah) yang tidak bisa berubah, termasuk manusia penumpang pesawat yang jatuh namun tetap hidup tanpa luka sedikit pun.
Pesawat dengan alat secanggih apa pun, walau dengan teknologi tinggi, tidak bisa melawan kehendak Allah yang Maha kuasa dan atas kehendak Allah juga walau pesawat jatuh dari ketinggian ratusan ribu kaki, tetap saja ada penumpang yang masih hidup atau selamat bila Allah belum menghendaki yang bersangkutan mati.
Jadi mati, jodoh dan rezeki sudah Allah tentukan dan sudah tertulis di kitab
"Lauh Mahfuzh" seperti di dalam sabda Nabi Muhammad SAW:.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).

Juga tertulis di dalam kitab suci Al- Quran:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
Selain musibah , sakit pun sudah Allah tentukan Taqdirnya pada manusia, baik sakit ringan seperti pusing, sakit perut, tertusuk duri, sampai sakit berat seperti sakit jantung, kanker, gagal ginjal, diabetes dan lain penyakit.
Sakit dan musibah yang menimpa seorang mukmin mengandung hikmah yang merupakan rahmat dari Allah Ta’ala. Imam Ibnul Qayyim berkata : “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini”. (Syifa-ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil hal 452).



Dalam menyikapi sakit dan musibah tersebut, berikut ini ada beberapa prinsip yang harus menjadi pegangan seorang muslim :


1. Sakit dan Musibah adalah Takdir Allah Azza wa Jalla
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).



“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah” (QS. At-Taghaabun : 11).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).
2. Sakit dan Musibah Adalah Penghapus Dosa



Ini adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Dan hikmah ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Acapkali kita mendengar manusia ketika ditimpa sakit dan musibah malah mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan yang lebih parah meratapi nasib dan berburuk sangka dengan takdir Allah. Nauzubillah, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal apabila mereka mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka -insya Allah- sakit dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat dan kasih sayang dari Allah Ta’ala.

Hikmah dibalik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”.

(HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).



“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).



“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no. 2573).
“Bencana senantiasa menimpa orang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya”.

(HR. Tirmidzi no. 2399, Ahmad II/450, Al-Hakim I/346 dan IV/314, Ibnu Hibban no. 697, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 576).

“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”.

(HR. Al-Hakim I/348, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Shohih Jami’is Shoghir no.1870).



“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim no. 2572).

“Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api neraka”. (HR. Al-Bazzar, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash Shohihah no. 1821).



“Janganlah kamu mencaci-maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi”. (HR. Muslim no. 2575).

Walaupun demikian, apabila seorang mukmin ditimpa suatu penyakit tidaklah meniadakan usaha (ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya”. (HR. Bukhari no. 5678). Dan yang perlu diperhatikan dalam berobat ini adalah menghindarkan dari cara-cara yang dilarang agama seperti mendatangi dukun, paranormal, ‘orang pintar’, dan sebangsanya yang acapkali dikemas dengan label ‘pengobatan alternatif’. Selain itu dalam berobat juga tidak diperbolehkan memakai benda-benda yang haram seperti darah, khamr, bangkai dan sebagainya karena telah ada larangannya dari Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam yang bersabda :


“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR. Ad Daulabi dalam al-Kuna, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash- Shohihah no. 1633).

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang haram”.

(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban no. 1397. Dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 1172).

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa-apa yang diharamkan atas kalian”. (HR. Bukhari, di-maushulkan ath-Thabrani dalam Mu’jam al Kabiir, berkata Ibnu Hajar : ‘sanadnya shohih’, Fathul Baari : X/78-79).
3. Wajib Bersabar dan Ridho Apabila Ditimpa Sakit dan Musibah



Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).

Dalam beberapa hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari keridhoan pada saat musibah yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu melainkan surga”.

(HR. Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).

Maksud hadis diatas yakni apabila seorang hamba ridho dengan musibah yang menimpanya maka Allah ridho memberikan pahala kepadanya dengan surga.

“Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah akan berkata kepada malaikat-Nya : ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?. Para Malaikat menjawab : ‘Ya, benar’. Lalu Dia bertanya lagi : ‘Apakah kalian mengambil buah hatinya?’. Malaikat menjawab : ‘Ya’. Kemudian Dia berkata : ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu?’. Malaikat menjawab ‘Ia memanjatkan pujian kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’un). Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘Bangunkan untuk hamba-Ku sebuah rumah di surga dan namai dengan (nama) Baitul Hamd (rumah pujian)’.” (HR Tirmidzi no.1021, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi no. 814)



“Tidaklah ada suatu balasan (yang lebih pantas) di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya dari penduduk dunia kemudian ia bersabar atas kehilangan orang kesayangannya itu melainkan surga”. (HR. Bukhari).

“Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : ‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya (yakni menjadikan seorang hamba kehilangan dua penglihatannya/buta) lalu ia bersabar maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga”. (HR. Bukhari).

Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah menyukai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho maka baginya keridhoan, dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. (HR. Tirmidzi no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi II/286).



Hikmah lainnya dari sakit dan musibah adalah menyadarkan seorang hamba yang tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah -karena tertipu oleh kesehatan badan dan sibuk mengurus harta- untuk kembali mengingat Robb-nya. Karena jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah barulah ia merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah Ta’ala, sehingga ia kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan berdoa kepada-Nya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri”. (QS. Al-An’aam : 42).



Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza wa Jalla. Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga ia akan selalu tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya, hanyalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Hakikat Sabar (1)

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)




Pesawat AirAsia QZ8501 Tabrak Awan Cb

Jakarta (sijorinews.co) – Pesawat Air Asia QZ8501 yang hilang kontak diperkirakan terkena turbolensi akibat awan comulunimbus (Cb). Pasalnya aparat BMKG memantau memang ada gumpalan awan berbahaya ini di atas laut Babel dan Kalimantan, Minggu (28/12/2014).
“Ada awan kumulonimbus atau awan Cb, yang terbentuk karena pertemuan massa udara dari timur laut dan tenggara,” ucap Kepala Bidang Data dan Informasi BMKG Heru Djatmiko di Jakarta.
“Tapi saya tidak bilang pesawat hilang karena awan Cb, bisa saja karena hal lain,” sambung dia.
Heru menegaskan semua pilot harus menghindari awan Cb karena sangat berbahaya. “Awan Cb sifatnya menyebabkan turbulensi (guncangan) kuat di dalam awannya itu sendiri,” tutur Heru.
“Awan ini masih ada sampai 40 ribu kaki ke atas,” tambah dia, menangggapi informasi pilot QZ8501 yang meminta izin menaikkan pesawatnya ke ketinggian 38 ribu kaki.
Untuk menghindari kejadian tak diinginkan, Heru mengimbau semua pilot di Tanah Air untuk memantau kondisi cuaca di situs BMKG. “Di situ tersaji lengkap data-data cuaca,” kata Heru.
QZ8501 membawa 155 penumpang, yang terdiri dari 138 orang dewasa, 16 anak-anak dan seorang bayi. Sedangkan kru pesawat terdiri dari dua pilot, empat awak kabin dan satu teknisi.
AirAsia mengonfirmasi adanya tujuh warga negara asing yang berada di QZ8501. Saat ini pencarian oleh petugas gabungan di sekitar Belitung dan Kalimantan masih berlangsung.
sumber: metrotv

Kotak Hitam Pesawat AirAsia Berhasil Diangkat

Kepala Badan SAR Nasional Bambang Soelistyo mengatakan perekam data penerbangan (FDR) AirAsia QZ8510 berhasil diangkat pukul 7.11 pagi waktu setempat


Perekam data penerbangan (FDR) AirAsia QZ8501 diletakkan di dalam sebuah kotak setibanya di pangkalan Angkatan Udara Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (12/1).

Pihak berwenang di Indonesia menyatakan para penyelam telah mengambil kotak hitam atau perekam data penerbangan (FDR) dari pesawat AirAsia nomor penerbangan 8501 yang jatuh dan menemukan lokasi perekam suara di kokpit (CVR)​.

Kepala Badan SAR Nasional Bambang Soelistyo mengatakan perekam data penerbangan (FDR) itu berhasil diangkat pukul 7.11 pagi. Beberapa jam kemudian, para penyelam menemukan lokasi perekam suara di kokpit (CVR), tetapi perekam itu belum dapat segera diambil karena terjepit di bawah rongsokan yang berat.

Ditemukannya perekam data penerbangan itu kemungkinan besar sangat penting dalam mengetahui penyebab jatuhnya pesawat itu pada 28 Desember lalu, yang menewaskan ke-162 orang di dalamnya.

Pesawat Airbus 320 itu hilang dari pantauan layar radar sewaktu berada di bagian utara Laut Jawa, kurang dari separuh perjalanannya dalam penerbangan dua jam dari kota terbesar ke-dua di Indonesia, Surabaya, menuju Singapura. (VOA)

Militer Asing Bantu Cari QZ 8501, Ini Kata Wapres

Centroone.com -   Sejumlah negara turut membantu pencarian korban pesawat Air Asia QZ 8501. Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Malaysia, tercatat turut mengirimkan bantuan berupa Kapal tempur dengan kemampuan canggih untuk melakukan korban pesawat naas tersebut.

Keterlibatan para kru militer negara-negara asing tersebut, menurut wakil presiden Jusuf Kalla bukanlah suatu hal yang mengkhawatirkan. Pasalnya, sulit melakukan kegiatan intelijen lewat cara demikian di dunia yang sudah terbuka seperti sekarang. "Tidak (berbahaya). Banyak sekarang dunia terbuka," kata JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (06/01/2015).

JK menilai, bantuan negara-negara sahabat dibutuhkan agar proses pencarian dan evakuasi korban AirAsia QZ8501 berjalan cepat. "Dunia menganggap kita terbaik dibanding negara lain, mencari berbulan-bulan kita bisa. Tapi ini kan butuh alat lebih canggih lagi, dan juga kan saling kerjasama internasional, penting, di mana pun," tutur JK.

Pohon Tumbang di Kebun Raya Bogor, Empat Orang Tewas


BOGOR - Sebuah pohon tua di Kebun Raya Bogor tumbang dan menimpa puluhan orang. Akibatnya, empat orang tewas tertimpa batang pohon dan puluhan orang terluka.

Dari informasi yang didapat, pohon yang berada di Kebun Raya Bogor tumbang sekira pukul 10.00 WIB, Minggu (11/1/2015). Nahas, saat pohon tumbang puluhan orang yang sedang berada di bawahnya tertimpa batang pohon. Dari data sementara, empat orang tewas tertimpa pohon dan 21 orang luka-luka.

Salah seorang saksi, Yudi Wahyudi mengatakan saat kejadian, para korban yang merupakan pekerja dari PT Asata Mandiri Agung tengah berkumpul di bawah pohon.

"Karyawan lagi ngumpul. Bahas soal UMK dan sosialisasi. Pas ngumpul tiba-tiba pohon langsung tumbang," jelasnya di Rumah Sakit PMI Kota Bogor.

Yudi menjelaskan, beberapa rekannya terhimpit di batang pohon. Ia berusaha menolong temannya yang tengah tertimpa. "Sebelum tumbang memang ada suara seperti pohon retak. Kejadiannya cepat banget. Saya liat banyak yang luka parah di kepalanya," ungkapnya.

Kini seluruh korban dibawa ke Rumah Sakit PMI Kota Bogor untuk diberikan penanganan medis. Beberapa rekan korban sudah memenuhi PMI Kota Bogor

BERIMAN KEPADA QADA’ DAN QADAR

Makna Qada’
Dari segi bahasa ialah penyempurnaan dari sesuatu perkara berdasarkan ketetapan Allah yang azali.
Istilah syarak ialah pelaksanaan sesuatu perkara mengikut ketetapan Allah yang azali. Contoh;Allah mencipta manusia yang telah mendiami bumi.
Makna Qadar
Dari segi bahasa ialah ketentuan sesuatu perkara mengikut kadar yang tertentu.
Istilah syarak ialah ketentuan Allah yang azali terhadap semua makhluk.
Contoh;ketentuan Allah sejak azali ialah manusia akan diciptakan untuk mendiami bumi.
Sabda nabi s.a.w.
Maksudnya ;hendaklah kamu percaya kepada Allah ,malaikatNya,kitab-kitabNya,rasul-rasulNya,hari akhirat dan beriman pula dengan qadar (ketentuan) baik dan buruk.
riwayat Bukhari dan Muslim
Maksud beriman kepada qada’ dan qadar
Mempercayai dan meyakini bahawa Allah mengetahui segala perkara yang akan berlaku kepada semua makhluk.
Allah juga menetapkan ketentuan tertentu dan tidak ada satu perkara pun yang akan terlepas daripada ketentuan Allah s.w.t.
Setiap orang islam wajib beriman bahawa perkara yang berlaku merupakan pelaksanaan ketentuan Allah yang telah termaktub sejak azali.
Hukum beriman dengan qada’ dan qadar
Beriman kepada qada’ dan qadar termasuk dalam rukun iman yang ke enam.
Maka hukumnya adalah wajib beriman dengan qada ‘ dan qadar.
Allah bersifat Iradah,Qudrah dan Ilmu.Dengan beriman kepada qada dan qadar bererti kita telah menyakini sifat-sifat kesempurnaan Allah
Sesiapa yang tidak percaya atau ingkar ,maka hukumnya adalah kufur.
Ada ulama yang membahagikan qada’ itu kepada dua iaitu:
- Qada’ mubram – pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan berubah.
contohnya; kelahiran,kematian,kejadian siang dan malam.
Qada’ mu’allaq – pelaksanaan sesuatu perkara mengikut ketetapan Allah berdasarkan usaha dan ikhtiar manusia.(boleh berubah dengan ikhtiar dan doa)Hasilnya tidak dapat diketahui sebelum ia berlaku.
Hadis rasulullah bermaksud ‘ Tidak boleh dihindarkan qada’ melainkan dengan doa’.
riwayat tarmizi.
Contohnya,rezeki,kejayaan,kegagalan,kesenangan,kesusah an atau kemalangan yang menimpa seseorang,penyakit dan lain-lain.
Implikasi
Beriman dengan qada mubram-menambahkan keimanan kepada Allah.
Beriman dengan qada mua’llaq – melatih diri supaya rajin berusaha untuk mencapai sesuatu yang diingini disamping usaha dan bertawakkal.
Martabat beriman dengan qada dan qadar
Pertama ;beriman bahawa Allah s.w.t. mengetahui semua yang akan berlaku sebelum ianya berlaku sebagaimana firman Allah Taala dalam surah al Baqarah ayat 30:`dan ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat ,`sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi’.mereka bertanya tentang hikmah ketetapan tuhan itu dengan berkata `adakah engkau ya tuhan kami hendak menjadikan yang di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah ,padahal kami sentiasa bertasbih dengan memujiMu dan mensucikan Mu ?’Allah berfirman ‘sesungguhnya aku mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya’.
Martabat pertama ini termasuk dalam beriman dengan sifat Ilmu bagi Allah.
Kedua; Tulisan dan catatan Allah terhadap ilmuNya akan perkara tersebut di dalam kitab di sisiNya di atas Arasy sebagaimana firman Allah yang bermaksud; Dan ingatlah ,tiap-tiap sesuatu kami catitkan satu persatu dalam kitab (ibu suratan)yang jelas nyata.(yasin :12)
Ibnu kasir berkata `semua perkara yang berlaku telah pun ditulis (sebelum berlakunya) dalam kitab yang dibentang dan ditetapkan dalam Luh Mahfuz dan maksud Imam Mubin dalam ayat ini adalah ibu kitab.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan bahawa peringkat penulisan Allah terhadap takdir yang telah diketahuinya sebelum itu lagi.
Ketiga;Martabat beriman bahawa semua yang berlaku dalam alam ini adalah dengan kehendak Allah.Segala kehendak manusia itu bergantung dengan kehendak Allah.
Iradah dan kehendak Allah terbahagi kepada 2 iaitu:
i) Iradah kauniah ii) Iradah syar’iyyah
Keempat ;Penciptaan Allah terhadap takdir yang ditetapkanNya atau disebut marhalan`penciptaan perbuatan‘ dan inilah yang dimaksudkan dengan qada’.Maka apa yang Allah s.w.t. berkehendak untuk berlaku maka dia jualah yang menciptakannya untuk berlaku.
Firman Allah bermaksud `dan Allah jua yang menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan’ (as-saffat ;96)
Jenis-jenis qadar
Pertama; Takdir Am sebelum penciptaan alam iaitulah yang dijelaskan terdahulu yang tertulis dalam Luh Mahfuz.Takdir dalam Luh Mahfuz ini tidak berubah bahkan Luh Mahfuz adalah Ummul Kitab.
Yang tertulis diLuh Mahfuz ini adalah berdasarkan Ilmu Allah yang azali lagi abadi yang tidak akan berubah.
Kedua :Takdir rezeki,ajal dan amalan manusia sebelum diciptakan mereka .Sebagaimana dalam hadis debat antara Adam a.s. dengan Musa a.s. yang bermaksud`(berkatalah Adam) Adakah kamu mencela aku atas urusan yang telah ditakdirkan Allah berlaku atasku sebelum Dia mencipta aku dalam jarak 40 tahun?’.
Ketiga; takdir yang diatas juga setelah menjadi janin dan ditiupkan roh.
Keempat; Takdir tahunan yang ditentukan pada malam lailatul qadarberdasarkan firman Allah dalam al Qadar ayat 4 yang bermaksud `pada malam itu turun malaikat dan jibril dengan izin tuhan mereka ,kerana membawa segala perkara (yang ditakdirkan berlaku pada tahun berikut).
Kelima ;Takdir harian berdasarkan firman Allah dalam surah Ar-Rahman ayat 29 yang bermaksud `sekelian makhluk yang ada dilangit dan dibumi sentiasa berhajat dan memohon kepadaNya .tiap-tiap masa dia di dalam urusan (mencipta dan mentadbirkan makhluk-makhlukNya).
Pandangan mengikut pendapat mazhab Jabariah
Manusia adalah makhluk yang telah ditentukan pergerakannya oleh Allah s.w.t. secara mutlak .Manusia tiada pilihan dalam persoalaniman,kafir,kekayaan,kemiskinan,nasib baik dan buruk.
Mazhab ini dinamakan Jabariah kerana mereka beriktikad bahawa segala pergerakkan manusia itu dipaksa oleh Tuhan.
Mazhab ini juga berpendapat,iman itu sudah mencukupi dengan beriktikad sahaja di dalam hati.
Mazhab ini menyemai perasaan malas dikalangan kaum muslimin.
Pandangan mengikut mazhab Qadariah
Fahaman Qadariah memfatwakan bahawa segala pekerjaan manusia yang baik adalah ciptaan dari Tuhan.Tetapi perbuatan buruk dan maksiat ,manusia sendiri yang menciptanya.Tidak ada kena-mengena dengan Tuhan.
Fahaman Qadariah beriktikad bahawa manusia di beri kuasa mutlak menguruskan kehidupan dan tindakan.Ikhtiar dan takdir adalah daripada manusia tanpa ada kaitan dengan Allah .
Kesannya membentuk sifat takbur dan memandang hina kepada orang lain serta tidak dapat menerima hakikat sesuatu natijah.
Pandangan mengikut mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah
Yakin dan percaya segala apa yang berlaku telah ditentukan oleh Allah sejak azali.
Setiap ketentuan baik dan buruk telah ditetapkan oleh Allah.
Menghayati konsep tawakal dengan sebaiknya.
Berusaha dan berikhtiar dengan bersungguh-sungguh.
Berdoa untuk mendapat yang terbaik.
Usaha,ikhtiar dan tawakakal
Apabila kita hendak mendapatkan sesuatu ,hendaklah berusaha dan berikhtiar bersungguh-sungguh contohnya seorang pelajar yang mahu berjaya dalam peperiksaan.Setelah berusaha dan berikhtiar hendaklah disusuli dengan doa .Setelah berdoa hendaklah bertawakkal kepada Allah setelah berusaha.
Tawakkal ialah berserah diri kepada Allah setelah berusaha seperti pelajar di atas.
Sedia menerima keputusan apa pun setelah kita berdoa dan berikhtiar dengan sungguh-sungguh.Inilah yang disebut percaya kepada takdir Allah yang baik ataupun yang buruk. Percaya kepada takdir akan melahirkan jiwa syukur saat kita berjaya dan akan bersabar saat kita mengalami kegagalan. Itulah hubungan antara doa, ikhtiar, dan percaya kepada takdir.
Berjaya atau gagal itu adalah takdir Allah (yakni qada dan qadar Allah).Kita hanya mampu berserah.Barulah kita dapat menjadi muslim yang sejati
Kesimpulan
Kita wajib beriman dengan qada dan qadar Allah.Menerima perkara buruk dan baik yang berlaku keatas kita adalah tanda kita beriman dengan salah daripada rukun iman.Semoga kita menjadi mukmin yang sejati.Insya Allah…..

Kursi Allah
Maksud dengan “arsy” dan “kursi
” (berdasarkan penafsiran yang beraneka-
macam)
ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
1.Makna arsy .
“Arsy” secara leksikal bermakna segala sesuatu yang
mempnyai atap.[1] Dengan itu maka saung, cadur (sejenis
kerudung), kemah, atap gubuk (biasanya di tengah sawah),
loteng, istana, dan bangunan di atas selokan dinamakan arsy.
[2] Terkadang diartikan dengan singgasa berkaki tinggi.
Karena itu singgasana kerajaan dan pemerintahan dinamakan
pula dengan arsy .[3] Hal itu sebagai kiasan dari kekuasaan
dan pemerintahan.
Arsy dalam Al-Qur’an .
Kata arsy sebanyak 26 kali disebutkan di dalam Al-Qur’an. [4]
Dan biasanya yang dimaksud adalah arsy Tuhan. Di dalam
beberapa tempat bermakna langit atau atap, seperti firman
Allah Swt: “…yang tembok-temboknya runtuh di atas atap-
atapnya”.[5] Atau bermakna tahta kerajaan, seperti firman-
Nya: “kemudian dia mendudukkan ayah dan ibunya di atas
arsy”.[6] Dan firman-Nya: “Siapakah diantara kalian yang
mampu memindahkan arsy-nya kesini... ”[7] Terkadang
diartikan juga dengan ketinggian. [8] Yang menjadi topik
pembahasan kita adalah arsy Tuhan.
Arsy Tuhan.
Pertanyaan mengenai “arsy dan kursi ” itu apa? Para ulama
dan mufassir berbeda pandangan dalam memberikan
jawabannya. Secara global jawaban para ulama terbagi
menjadi dua bagian.
1-1.Sebagian ulama salaf mengangap bahwa membahas
masalah-masalah hakikat agama dan melewati makna
lahiriah Kitab dan Sunnah adalah sesuatu yang bid’ah dan
haram. Mereka mengatakan: “Kita tidak mungkin akan dapat
memahami dan menjangkau arsy dan kursi Allah Swt, yang
kita pahami hanyalah namanya saja”. Ayat- ayat semacam ini
-menurut mereka- termasuk ayat-ayat mutasyabihat , tidak
boleh dibahas dan ditafsirkan secara serampangan. Sekarang,
sebagaimana telah jelas bahwa akal dan juga Al-Qur’an dan
Sunnah -yang bertentangan dengan akidah mereka- sangat
menganjurkan dan menekankan agar umat Islam merenungkan
ayat-ayat Al-Qur’an, memahaminya secara serius dan
berhujjah dengan hujjah aqli. Bagaimana mungkin dengan
adanya dorongan dan anjuran dalam mukaddimah-
mukaddimah semacam ini, kemudian mereka dilarang untuk
menetapkan hasilnya? [9]
1-2. Para ulama yang membolehkan membahas masalah arsy
ini dalam lingkup agama terbagi kepada empat kelompok:
a. Kelompok yang mengartikan secara lahiriah dengan kaku
mengatakan bahwa arsy itu merupakan makhluk yang
mempunyai wujud luar yang betul-betul mirip dengan tahta
dan singgasana yang memilki beberapa kaki. Kaki-kaki itu
bersandar pasa langit yang ketujuh. Dan Tuhan tak ubahnya
seperti seorang raja yang tengah duduk di singgasana-Nya
tersebut. Dari tahta kerajaann-Nya inilah dia mengatur segala
urusan hamba-Nya.
b. Ulama yang berpendapat bahwa arsy itu mempunyai wujud
luar sebagai sebuah makhluk Tuhan. Tetapi dalam hal
mishdaq dan wujud riilnya berbeda dengan pandangan ulama
pertama. Mereka mengatakan bahwa arsy adalah planet yang
kesembilan yang meliputi alam materi dan sebagai pembatas
arahnya. Dan karena ia kosong dari bintang-bintang, maka ia
dinamakan atlas .[10] Sedang kursi Tuhan adalah planet
kawakib. Pandangan ini berdasarkan riwayat yang datang dari
Rasulullah Saw yang menegaskan: “Langit-langit dan tujuh
lapis bumi tidak terletak di samping kursi . Tetapi ia laksana
lingkaran yang terhampar di padang sahara yang luas” [11] .
c. Pandangan ketiga ini berbeda dengan pandangan
sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan arsy dan kursi Tuhan adalah sebagai makna kinayah
dan tidak mempunyai bentuk dan wujud luar yang nyata. Apa
maksud makna kinayah yang mereka katakan? Terdapat
berbagai maksud dan arti. Terkadang mereka memaknainya
sesuai dengan sebuah hadis yang dinukil oleh Hafsh bin
Ghiyas dari Imam maksum As. Kepada Imam Shadiq As dia
bertanya mengenai tafisr ayat yang berbunyi “Wasi’a kursi
yyuhu as-samawati wal ardh” ( Kursi -Nya seluas langit-langit
dan bumi). Imam Shadiq As menjawab: “Maksudnya adalah
ilmu-Nya”. [12] Mereka mengatakan maksudnya adalah ilmu
Allah yang tidak bertepi.
Dan terkadang pula mereka memaknainya berdasarkan ayat
mulia yang berbunyi: “Tsummastawa alal arsy ”[13] (kemudian
Dia bersemayam di atas arsy). Atau ayat yang berbunuyi:
“Ar-Rahmanu ‘alal arsyistawa”[14] (Tuhan yang Mahasayang
bersemayam di atas singgasana-Nya). Yaitu bermakna
kekuasaan dan kerajaan Tuhan. Terkadang pula dimaknai
dengan sifat kamaliyah (kesempurnaan) dan sifat jalaliyah
(keagungan) Tuhan. Karena masing-masing dari sifat terebut
menjelaskan keagungan maqam Allah Swt, sebagaimana pula
tahta kerajaan para raja itu menunjukkan kebesaran mereka.
d. Pandangan yang keempat, dari satu sisi sama dengan
pandangan pertama dan kedua. Yaitu bahwa arsy memiliki
wujud hakikat (wujud luar yang riil). Dalam hal ini berbeda
dengan pandangan yang ketiga. Tetapi dari sisi lainnya,
pandangan ini sama dengan pandangan yang ketiga. Yaitu
bahwa yang dimaksud dengan arsy adalah makna kinayah .
Dan dalam hal ini berbeda dengan pandangan pertama dan
kedua. Dan ini adalah pendapat para ulama kontemporer
seperi Allamah Thabathaba’i. Berdasarkan pandangan ini
bahwa pada hakikatnya arsy adalah martabah tertinggi alam
wujud yang merupakan sebab dan illat seluruh peristriwa,
penciptaan dan semua asma. Dan mata rantai sebab-sebab
dan illat itu mesti berakhir kepada martabah tersebut. Allamah
Thabathaba’i mengatakan bahwa kalimat: “Tsummastawa alal
‘arsy ”[15] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy) yang
merupakan sebuah misal yang menggambarkan tentang
luasnya pengaturan Allah Swt atas seluruh milik-Nya, juga
menunjukkan suatu hakikat, yaitu sebuah maqam dan
peringkat dimana kendali seluruh perkara dan urusan
bertumpuk pada peringkat tersebut. Dan ayat yang berbunyi:
“Dan Dialah Tuhan arsy yang agung ”[16] dan ayat yang
berbunyi: “…hamba-hamba yang memanggul arsy dan yang
disekitarnya”[17] dan ayat-ayat lainnya, semuanya itu
menunjukkan makna ini. [18]
2. Kursi .
Kursi bermakna tahta dan singgasana dan menurut
pandangan masyarakat umum (urf) adalah nama sesuatu
yang diduduki di atasnya. [19] Kata ini disebutkan di dalam
Al-Qur’an sebanyak dua kali yang keduanya bermakna tahta.
Letak perbedaannya adalah bahwa salah satu mishdaq (wujud
luar) urfi kursi adalah tahta dan singgasana Nabi Sulaiman
As. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Dan sungguh
telah Kami uji Sulaiman dan Kami lemparkan jasadnya ke
atas kursi nya, kemudian dia pun kembali”. [20] Sedangkan
sehubungan dengan tahta Tuhan bermakna kinayah yang
merupakan hakikat wujud. [21]
Kursi Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan kursi dan singgasana Tuhan
yang meliputi seluruh langit dan bumi itu?
Sebagaimana beberapa pandangan yang telah dijelaskan di
atas tentang arsy , tentang kursi pun demikian pula dengan
sedikit perbedaan. Penjelasan globalnya adalah demikian:
Mayoritas ulama terdahulu mempunyai pandangan
bahwa kursi Tuhan adalah sesuatu yang dikenal oleh
manusia, yakni mereka hanya mengenal namanya saja.
Sementara untuk dapat memahami hakikatnya tidak mungkin
dan membahasnya pun merupakan bid’ah.
2. Pandangan ulama ahli bahas:
a. Pandangan kaum Musyabbihah adalah bahwa kursi dan
arsy itu satu, yaitu tahta kerajaan Ilahi yang terletak di langit
yang ke tujuh. Dari tahta inilah Dia mengatur seluruh urusan
alam raya ini.
b. Pandangan sekelompok ulama yang mengikuti dasar
pemikiran Bethlamiyus. Mereka mengatakan bahwa kursi
adalah planet kaukab. Sedangkan kursi adalah planet yang
tertinggi.
c. Pandangan mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa
kursi itu tidak mempunyai wujud hakiki. Ia hanyalah sebagai
kinayah belaka. Kinayah itu adalah ilmu Tuhan atau
kekuasaan dan kerajaan-Nya.
d. Pandangan para ulama kontemporer, seperti Allamah
Thabathaba’i. Dan inilah pandangan yang kokoh dan benar.
Berdasarkan pandangan ini bahwa kursi itu, disamping
merupakan sebuah kinayah, tetapi mempunyai wujud hakiki
yang nyata, yaitu satu martabah wujudi, maksudnya adalah
ma qam rububi dimana seluruh maujud langit dan bumi
tegak bedasarkan atasnya. Dengan demikian bahwa kursi
adalah satu martabah dari martabah-martabah ilmu Ilahi
dimana seluruh alam semesta ini tegak atasnya dan segala
sesuatu tersimpan rapih dan tertulis di sana. Karena itu, arsy
dan kursi -pada hakikatnya- adalah hal yang satu yang
secara ijmali (global) dan tafshili (rinci) mempunyai dua
peringkat. Dan ikhtilaf yang terdapat diantara keduanya
hanyalah bersifat rutbi (urutan) dan keduanya merupakan
hakikat wujudi . Tetapi tidak seperti apa yang digambarkan
oleh sebagian orang bahwa hal itu sebagai tahta Tuhan dan
singgasana-Nya. [22] Riwayat-riwayat yang datang dari para
Imam maksum pun secara kuat mendukung keabsahan
pandangan ini. Sebagai contoh perhatikanlah beberapa
riwayat berikut ini:
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, ketika memberikan
jawaban atas pertanyaan Jaslik berkata: “Para Malaikat
memanggul arsy Tuhan. Dan arsy Tuhan itu tidaklah seperti
tahta kerajaan yang engkau bayangkan. Arsy Tuhan itu adalah
berupa makhluk(dicipta), mahdud (terbatas) dan diatur oleh
Allah Swt. Allah Swt adalah pemiliknya dan bukanlah Dia
bersemayam di atasnya. [23]
Riwayat lainnya yang juga dinukil dari Imam Ali As adalah
bahwa yang dimaksud dengan kursi itu adalah ilmu Allah Swt
yang meliputi seluruh langit dan bumi dan segala isinya. [24]
Hanan bin Sudair menukil sebuah riwayat dari Imam Shadiq
As ketika ia bertanya kepadanya mengenai makna arsy dan
kursi . Beliau menjawab: “Arsy mempunyai sifat yang banyak
dan bermacam-macam. Di setiap tempat di dalam Al-Qur’an,
setiap kali menyebutkan nama arsy, maka hal itu berkaitan
erat dengan masalah yang disebutkan di situ”. [25] Arsy di
dalam riwayat ini bermakna kepemilikan, kehendak, keinginan
dan pengetahuan.

Kursi Allah
Maksud dengan “arsy” dan “kursi
” (berdasarkan penafsiran yang beraneka-
macam)
ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
1.Makna arsy .
“Arsy” secara leksikal bermakna segala sesuatu yang
mempnyai atap.[1] Dengan itu maka saung, cadur (sejenis
kerudung), kemah, atap gubuk (biasanya di tengah sawah),
loteng, istana, dan bangunan di atas selokan dinamakan arsy.
[2] Terkadang diartikan dengan singgasa berkaki tinggi.
Karena itu singgasana kerajaan dan pemerintahan dinamakan
pula dengan arsy .[3] Hal itu sebagai kiasan dari kekuasaan
dan pemerintahan.
Arsy dalam Al-Qur’an .
Kata arsy sebanyak 26 kali disebutkan di dalam Al-Qur’an. [4]
Dan biasanya yang dimaksud adalah arsy Tuhan. Di dalam
beberapa tempat bermakna langit atau atap, seperti firman
Allah Swt: “…yang tembok-temboknya runtuh di atas atap-
atapnya”.[5] Atau bermakna tahta kerajaan, seperti firman-
Nya: “kemudian dia mendudukkan ayah dan ibunya di atas
arsy”.[6] Dan firman-Nya: “Siapakah diantara kalian yang
mampu memindahkan arsy-nya kesini... ”[7] Terkadang
diartikan juga dengan ketinggian. [8] Yang menjadi topik
pembahasan kita adalah arsy Tuhan.
Arsy Tuhan.
Pertanyaan mengenai “arsy dan kursi ” itu apa? Para ulama
dan mufassir berbeda pandangan dalam memberikan
jawabannya. Secara global jawaban para ulama terbagi
menjadi dua bagian.
1-1.Sebagian ulama salaf mengangap bahwa membahas
masalah-masalah hakikat agama dan melewati makna
lahiriah Kitab dan Sunnah adalah sesuatu yang bid’ah dan
haram. Mereka mengatakan: “Kita tidak mungkin akan dapat
memahami dan menjangkau arsy dan kursi Allah Swt, yang
kita pahami hanyalah namanya saja”. Ayat- ayat semacam ini
-menurut mereka- termasuk ayat-ayat mutasyabihat , tidak
boleh dibahas dan ditafsirkan secara serampangan. Sekarang,
sebagaimana telah jelas bahwa akal dan juga Al-Qur’an dan
Sunnah -yang bertentangan dengan akidah mereka- sangat
menganjurkan dan menekankan agar umat Islam merenungkan
ayat-ayat Al-Qur’an, memahaminya secara serius dan
berhujjah dengan hujjah aqli. Bagaimana mungkin dengan
adanya dorongan dan anjuran dalam mukaddimah-
mukaddimah semacam ini, kemudian mereka dilarang untuk
menetapkan hasilnya? [9]
1-2. Para ulama yang membolehkan membahas masalah arsy
ini dalam lingkup agama terbagi kepada empat kelompok:
a. Kelompok yang mengartikan secara lahiriah dengan kaku
mengatakan bahwa arsy itu merupakan makhluk yang
mempunyai wujud luar yang betul-betul mirip dengan tahta
dan singgasana yang memilki beberapa kaki. Kaki-kaki itu
bersandar pasa langit yang ketujuh. Dan Tuhan tak ubahnya
seperti seorang raja yang tengah duduk di singgasana-Nya
tersebut. Dari tahta kerajaann-Nya inilah dia mengatur segala
urusan hamba-Nya.
b. Ulama yang berpendapat bahwa arsy itu mempunyai wujud
luar sebagai sebuah makhluk Tuhan. Tetapi dalam hal
mishdaq dan wujud riilnya berbeda dengan pandangan ulama
pertama. Mereka mengatakan bahwa arsy adalah planet yang
kesembilan yang meliputi alam materi dan sebagai pembatas
arahnya. Dan karena ia kosong dari bintang-bintang, maka ia
dinamakan atlas .[10] Sedang kursi Tuhan adalah planet
kawakib. Pandangan ini berdasarkan riwayat yang datang dari
Rasulullah Saw yang menegaskan: “Langit-langit dan tujuh
lapis bumi tidak terletak di samping kursi . Tetapi ia laksana
lingkaran yang terhampar di padang sahara yang luas” [11] .
c. Pandangan ketiga ini berbeda dengan pandangan
sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan arsy dan kursi Tuhan adalah sebagai makna kinayah
dan tidak mempunyai bentuk dan wujud luar yang nyata. Apa
maksud makna kinayah yang mereka katakan? Terdapat
berbagai maksud dan arti. Terkadang mereka memaknainya
sesuai dengan sebuah hadis yang dinukil oleh Hafsh bin
Ghiyas dari Imam maksum As. Kepada Imam Shadiq As dia
bertanya mengenai tafisr ayat yang berbunyi “Wasi’a kursi
yyuhu as-samawati wal ardh” ( Kursi -Nya seluas langit-langit
dan bumi). Imam Shadiq As menjawab: “Maksudnya adalah
ilmu-Nya”. [12] Mereka mengatakan maksudnya adalah ilmu
Allah yang tidak bertepi.
Dan terkadang pula mereka memaknainya berdasarkan ayat
mulia yang berbunyi: “Tsummastawa alal arsy ”[13] (kemudian
Dia bersemayam di atas arsy). Atau ayat yang berbunuyi:
“Ar-Rahmanu ‘alal arsyistawa”[14] (Tuhan yang Mahasayang
bersemayam di atas singgasana-Nya). Yaitu bermakna
kekuasaan dan kerajaan Tuhan. Terkadang pula dimaknai
dengan sifat kamaliyah (kesempurnaan) dan sifat jalaliyah
(keagungan) Tuhan. Karena masing-masing dari sifat terebut
menjelaskan keagungan maqam Allah Swt, sebagaimana pula
tahta kerajaan para raja itu menunjukkan kebesaran mereka.
d. Pandangan yang keempat, dari satu sisi sama dengan
pandangan pertama dan kedua. Yaitu bahwa arsy memiliki
wujud hakikat (wujud luar yang riil). Dalam hal ini berbeda
dengan pandangan yang ketiga. Tetapi dari sisi lainnya,
pandangan ini sama dengan pandangan yang ketiga. Yaitu
bahwa yang dimaksud dengan arsy adalah makna kinayah .
Dan dalam hal ini berbeda dengan pandangan pertama dan
kedua. Dan ini adalah pendapat para ulama kontemporer
seperi Allamah Thabathaba’i. Berdasarkan pandangan ini
bahwa pada hakikatnya arsy adalah martabah tertinggi alam
wujud yang merupakan sebab dan illat seluruh peristriwa,
penciptaan dan semua asma. Dan mata rantai sebab-sebab
dan illat itu mesti berakhir kepada martabah tersebut. Allamah
Thabathaba’i mengatakan bahwa kalimat: “Tsummastawa alal
‘arsy ”[15] (kemudian Dia bersemayam di atas arsy) yang
merupakan sebuah misal yang menggambarkan tentang
luasnya pengaturan Allah Swt atas seluruh milik-Nya, juga
menunjukkan suatu hakikat, yaitu sebuah maqam dan
peringkat dimana kendali seluruh perkara dan urusan
bertumpuk pada peringkat tersebut. Dan ayat yang berbunyi:
“Dan Dialah Tuhan arsy yang agung ”[16] dan ayat yang
berbunyi: “…hamba-hamba yang memanggul arsy dan yang
disekitarnya”[17] dan ayat-ayat lainnya, semuanya itu
menunjukkan makna ini. [18]
2. Kursi .
Kursi bermakna tahta dan singgasana dan menurut
pandangan masyarakat umum (urf) adalah nama sesuatu
yang diduduki di atasnya. [19] Kata ini disebutkan di dalam
Al-Qur’an sebanyak dua kali yang keduanya bermakna tahta.
Letak perbedaannya adalah bahwa salah satu mishdaq (wujud
luar) urfi kursi adalah tahta dan singgasana Nabi Sulaiman
As. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “Dan sungguh
telah Kami uji Sulaiman dan Kami lemparkan jasadnya ke
atas kursi nya, kemudian dia pun kembali”. [20] Sedangkan
sehubungan dengan tahta Tuhan bermakna kinayah yang
merupakan hakikat wujud. [21]
Kursi Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan kursi dan singgasana Tuhan
yang meliputi seluruh langit dan bumi itu?
Sebagaimana beberapa pandangan yang telah dijelaskan di
atas tentang arsy , tentang kursi pun demikian pula dengan
sedikit perbedaan. Penjelasan globalnya adalah demikian:
Mayoritas ulama terdahulu mempunyai pandangan
bahwa kursi Tuhan adalah sesuatu yang dikenal oleh
manusia, yakni mereka hanya mengenal namanya saja.
Sementara untuk dapat memahami hakikatnya tidak mungkin
dan membahasnya pun merupakan bid’ah.
2. Pandangan ulama ahli bahas:
a. Pandangan kaum Musyabbihah adalah bahwa kursi dan
arsy itu satu, yaitu tahta kerajaan Ilahi yang terletak di langit
yang ke tujuh. Dari tahta inilah Dia mengatur seluruh urusan
alam raya ini.
b. Pandangan sekelompok ulama yang mengikuti dasar
pemikiran Bethlamiyus. Mereka mengatakan bahwa kursi
adalah planet kaukab. Sedangkan kursi adalah planet yang
tertinggi.
c. Pandangan mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa
kursi itu tidak mempunyai wujud hakiki. Ia hanyalah sebagai
kinayah belaka. Kinayah itu adalah ilmu Tuhan atau
kekuasaan dan kerajaan-Nya.
d. Pandangan para ulama kontemporer, seperti Allamah
Thabathaba’i. Dan inilah pandangan yang kokoh dan benar.
Berdasarkan pandangan ini bahwa kursi itu, disamping
merupakan sebuah kinayah, tetapi mempunyai wujud hakiki
yang nyata, yaitu satu martabah wujudi, maksudnya adalah
ma qam rububi dimana seluruh maujud langit dan bumi
tegak bedasarkan atasnya. Dengan demikian bahwa kursi
adalah satu martabah dari martabah-martabah ilmu Ilahi
dimana seluruh alam semesta ini tegak atasnya dan segala
sesuatu tersimpan rapih dan tertulis di sana. Karena itu, arsy
dan kursi -pada hakikatnya- adalah hal yang satu yang
secara ijmali (global) dan tafshili (rinci) mempunyai dua
peringkat. Dan ikhtilaf yang terdapat diantara keduanya
hanyalah bersifat rutbi (urutan) dan keduanya merupakan
hakikat wujudi . Tetapi tidak seperti apa yang digambarkan
oleh sebagian orang bahwa hal itu sebagai tahta Tuhan dan
singgasana-Nya. [22] Riwayat-riwayat yang datang dari para
Imam maksum pun secara kuat mendukung keabsahan
pandangan ini. Sebagai contoh perhatikanlah beberapa
riwayat berikut ini:
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, ketika memberikan
jawaban atas pertanyaan Jaslik berkata: “Para Malaikat
memanggul arsy Tuhan. Dan arsy Tuhan itu tidaklah seperti
tahta kerajaan yang engkau bayangkan. Arsy Tuhan itu adalah
berupa makhluk(dicipta), mahdud (terbatas) dan diatur oleh
Allah Swt. Allah Swt adalah pemiliknya dan bukanlah Dia
bersemayam di atasnya. [23]
Riwayat lainnya yang juga dinukil dari Imam Ali As adalah
bahwa yang dimaksud dengan kursi itu adalah ilmu Allah Swt
yang meliputi seluruh langit dan bumi dan segala isinya. [24]
Hanan bin Sudair menukil sebuah riwayat dari Imam Shadiq
As ketika ia bertanya kepadanya mengenai makna arsy dan
kursi . Beliau menjawab: “Arsy mempunyai sifat yang banyak
dan bermacam-macam. Di setiap tempat di dalam Al-Qur’an,
setiap kali menyebutkan nama arsy, maka hal itu berkaitan
erat dengan masalah yang disebutkan di situ”. [25] Arsy di
dalam riwayat ini bermakna kepemilikan, kehendak, keinginan
dan pengetahuan.
TEROMPET SANGKAKALA, Bag.1
Tiupan Sangkakala, Bag.1

Allah akan memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup ‘Shur’ (terompet sangkakala) sebanyak tiga kali tiupan bila waktu kehancuran dunia dan alam semesta (kiamat) telah tiba.

Tiupan Pertama, Tiupan Guncangan

Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang dilangit dan di bumi, kecuali siapa-siapa dikehendaki Allah. Dan mereka semua akan datang menghadapnya dengan merendahkan diri.”
(An Naml: 87)

Tiupan yang pertama ini adalah panjang dan menyebabkan keguncangan dan kepanikan semua yang berada di langit dan di bumi, kecuali orang-orang yang dikehendaki oleh Allah, yaitu para Nabi dan para syahid. Tiupan ini akan menggetarkan dan membuat panik semua yang hidup, sedangkan para Rasul dan Syahid adalah hidup disisi Tuhan mereka, maka Tuhanpun melindungi mereka dari guncangan tiupan ini.


Tiupan ini akan mengguncangkan bumi seguncang-guncangnya, mendatarkan gunung dengan bumi selumat-lumatnya, meletuskan gunung-gunung dengan sangat sehingga menjadi debu yang bertebaran, membuat laut-laut saling beradu dan mengeluarkan api yang menyala, langit akan pecah secara luar biasa dan hilanglah hukum grafitasi yang biasa kita kenal, bintang-bintang berjatuhan, planet-planet saling bertubrukan, bersatulah matahari dengan bulan dan hilanglah cahaya benda tersebut, setelah itu keadaan alam semesta kembali seperti sebelum Allah menciptakannya yaitu hanya berupa kabut dan gas (asap).

Allah berfirman:
”Hai manusia, bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya guncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang amat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat keguncangan ini; lalai lah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusukannya dan gugurlah semua kandungan seluruh wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka semua tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat kerasnya.”
(Al Hajj: 1-2)

Terompet Sangkakala, Bag.2

Tiupan Kedua, Tiupan Kejutan (Pingsan) dan Kematian

Malaikat Israfil akan diperintahkan oleh Allah untuk meniupkan ‘Shur’ (terompet sangkakala) sebanyak tiga kali tiupan bila kiamat telah tiba. Setelah tiupan pertama, Allah memerintahakan ‘Shur’ pada kali yang kedua.

Pada tiupan kedua ini, maka terkejutlah (pingsan) dan matilah semua makhluk yang berada di langit dan di bumi (termasuk para nabi dan syahid) kecuali mereka-mereka yang dikehendaki oleh Allah, yaitu: Jibril, Mikail, Israfil, Izrail dan empat malaikat pembawa Arsy. Malaikat para pembawa ‘Arsy adalah berjumlah empat malaikat, maka apabila telah berdiri hari kiamat bergabunglah mereka kepada empat malaikat yang lain.

Allah berfirman:
“Dan ditiuplah sangkakala maka matilah siapa yang ada di langit dan di bumi kecuali siapa-siapa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (keputusannya masing-masing).”
(Az Zumar: 68)

Kemudian Allah memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawa Jibril, Mikail, Israfil dan para malaikat pembawa Arsy yang empat, maka tidak ada yang tersisa kecuali Allah dan malaikat maut.
Kemudian Allah berkata kepada malaikat maut:
“Wahai malaikat maut, kamu adalah salah satu dari makhluk-makhluk Ku, maka sekarang matilah kamu”, dengan demikian matilah malaikat maut dan tidak ada yang tersisa kecuali Allah Yang Maha Perkasa, Yang Hidup, Yang tidak pernah mati, Yang Awal Yang tidak ada sebelumnya sesuatu apa pun, Yang Akhir Yang tidak ada sesudahnya sesuatu apapun.

Kemudian Allah berkata: “Akulah raja, Akulah Penguasa, Dimanakah raja-raja bumi? Dimakah para penguasa? Dimanakah orang-orang yang sombong? Dan untuk siapakah kekuasaan pada hari ini? Maka Dzat menjawab dengan berkata: “Bagi Allah yang Maha Esa lagi Perkasa.”

Keadaan alam semesta akan tetap seperti diatas selama 40 hari sebagaimana yang diterangkan oleh hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abi Hurairah:
“Antara dua tiupan adalah 40”, orang-orang bertanya: “40 harikah wahai Abu Hurairah?”, ia menjawab: “Saya tidak tahu dan saya enggan untuk menjawab”, mereka bertanya lagi: “40 tahunkah?”, Abu Hurairah menjawab: “Saya tidak tahu dan saya enggan untuk menjawab”, mereka bertanya lagi: “40 bulankah?”, Ia menjawab: “Saya tidak tahu dan saya enggan untuk menjawab.”

Kemudian setelah itu Allah menurunkan hujan dari langit seperti gerimis atau bayangan (naungan), yangmana dengannya tumbuhlah semua jasad makhluk dan sesungguhnya semua manusia akan hancur kembali kecuali “ekor yang terakhir” (tulang yang ada dipunggung paling bawah), darinyalah tumbuh tubuh atau jasad dan tersusun kembali.

Setelah sempurna penciptaan tersebut kemudian Allah menghidupkan Israfil sebagai makhluk yang dihidupkan, kemudian memerintahkan untuk berseru dengan mengatakan: “wahai tulang-tulang yang hancur, sendi-sendi yang terputus, bagian-bagian yang terpisah dan rambut-rambut yang tercabik sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk bersatu kembali untuk keputusan keadilan..”
(Lihat bab: Hasyiyat Asshary terhadap Tafsir Jalalain, 3:328 pada ayat 53, surat Yasin, yaitu yang berarti: “Sesungguhnya ia hanyalah sekali tiupan saja, maka tiba-tiba mereka sudah dihadirkan di hadapan kami)


Tiupan Ketiga, Tiupan Kebangkitan

Pada ‘Shur’ (terompet sangkakala) terdapat lobang-lobang yang banyak sesuai dengan jumlah roh atau nyawa semua makhluk, maka Israfil pun meniupnya dan terbanglah semua roh ke jasadnya masing-masing. Arwah kaum Mukminin akan terbang dengan memancarkan nur (cahaya) sedangkan arwah kaum kafir akan menimbulkan kegelapan, kemudian Allah berkata: “Demi kebesaran dan keperkasaanku semua roh harus benar-benar kembali kepada jasadnya yang dulunya ia huni di dunia”.

Dengan demikian bersemayamlah setiap roh di jasadnya dan setiapnya akan bangun dari kuburnya masing-masing sedangkan kepalanya masih bergelimang tanah, dan berkatalah orang-orang kafir: “Inilah adalah hari yang sulit”, sedangkan orang-orang Mu’min berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami”.

Hari Kiamat adalah hari yang digambarkan sebagai musnahnya seluruh alam dan kebangkitan. Kiamat berasal dari bahasa Arab yang berarti bangkit atau bangun. Sesungguhnya setiap makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) memiliki tanda-tanda dari akhir kesudahan hidupnya di dunia. Tanda-tanda dekatnya kematian manusia adalah rambut beruban, tua, sakit dan lemah. Begitu juga halnya dengan hewan yang hampir sama dengan manusia. Sedangkan tumbuhan adalah warna daunnya menguning, kering, roboh, lalu hancur. Demikian juga alam semesta, memiliki tanda-tanda akhir masanya seperti kehancuran dan kerusakan.
Al-Qur'an banyak menyebutkan tentang kejadian di hari kiamat. Terjadinya kiamat adalah hal yang gaib. Hanya Allah SWT saja yang tahu mengenai hal itu. Tidak ada satu pun dari makhlukNya yang mengetahui kapan hari kiamat terjadi, baik para rasul-Nya dan para malaikat-Nya.

Dalil-Dalil Tentang Hari Kiamat
Allah SWT berfirman yang artinya: "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat. dan Dia-lah Yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."QS. Luqman : 34

Allah SWT berfirman yang artinya: "Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: Bilakah terjadinya?
Katakanlah: Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku. Tidak seorang pum yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya, selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya.
Katakanlah: Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."QS. Al-A'raaf : 187

Tanda-Tanda Hari Kiamat

a. Tanda-Tanda Kiamat Kecil:
* Diutusnya Rasulullah SAW (HR. Muslim)
* Disia-siakannya Amanat (HR. Bukhari)
* Penggembala menjadi Kaya (HR. Muslim)
* Sungai Eufrat berubah menjadi Emas (Muttafaqun 'alaihi)
* Banyak terjadi Pembunuhan (HR. Muslim)
* Munculnya Kaum Khawarij (HR. Bukhari)
* Banyak Polisi dan Pembela Kezhaliman (HR. At-Tabrani)
* Perang antara Yahudi dengan Umat Islam (HR. Muslim)
* Semakin banyaknya Fitnah (HR. Ahmad)
* Bermewah-mewah dalam Membangun Masjid (HR. Ahmad, An-Nasa'i dan Ibnu Hibban)
* Menyebarnya Riba dan Harta Haram (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ahmad dan Bukhari).

b. Tanda-Tanda Kiamat Besar:
* Keluarnya Asap
* Munculnya Dajjal
* Keluarnya binatang melata di Bumi
* Terbitnya matahari di sebelah barat
* Turunnya Nabi Isa A.s
* Keluarnya Ya'juj dan Ma'juj
* Gerhana di Timur
* Gerhana di Barat
* Gerhana di jazirah Arab
* Munculnya api dari kota Yaman yang menghalau manusia ke Tempat penggiringan Mereka.
Seluruh tanda-tanda kiamat besar di atas dikutip dari (HR. Muslim)

Berkata Ali bin Abi Thalib: "Akan datang di suatu masa dimana Islam itu hanya akan tinggal namanya saja, agama hanya bentuknya saja, Al-Qur'an hanya dijadikan bacaan saja, mereka mendirikan masjid dengan megah, sedangkan masjid itu sunyi dari zikir menyebut nama-nama Allah SWT. Orang-orang yang paling buruk pada zaman itu ialah para ulama, dari mereka akan timbul fitnah dan fitnah itu akan kembali kepada mereka juga. Dan kesemua yang tersebut adalah tanda-tanda hari kiamat."

Dajjal maksudnya adalah bahaya besar yang tidak ada bahaya sepertinya sejak zaman Nabi Adam A.s sampai hari kiamat. Dajjal boleh membuat apa saja perkara-perkara yang luar biasa. Dia akan mendakwa dirinya Tuhan, sebelah matanya buta dan diantara kedua matanya tertulis perkataan Ini adalah orang Kafir.

Ya'juj dan Ma'juj juga akan keluar, mereka ini merupakan dua golongan. Satu golongan kecil dan satu lagi golongan besar. Ya'juj dan Ma'juj itu kini berada di belakang bendungan yang dibangun oleh Iskandar Zulqarnain. Apabila mereka telah keluar, banyaknya sudah pasti tak dapat terhitung oleh bilangan terakhir.
ALLAH TA’ALA* DAN LETAK ‘ARSY

Keagungan-Kekuasaan Allah Ta’ala* dan Letak ‘Arsy (Tempat Alloh bersemayam / istiwa’)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

*) Dalam bab terakhir ini, Syaikh menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan keagungan dan kekuasaan Alloh Ta’ala, dengan maksud untuk menunjukkan bahwa hanya Alloh saja Tuhan yang berhak dengan segala macam ibadah yang dilakukan manusia dan hanya milik Alloh segala sifat kesempurnaan dan kemuliaan.

Firman Alloh Ta’ala (artinya):

“Dan mereka (orang-orang musyrik) tidak mengagungkan Alloh dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat, dan semua langit digulung dengan Tangan Kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Alloh dari segala perbuatan syirik mereka.” (Az-Zumar: 67)

‘Ibnu Mas’ud RadhiyAllohu ‘anhu menuturkan: “Salah seorang pendeta Yahudi datang kepada Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam dan berkata:

“Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Alloh akan meletakkan langit di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Alloh berfirman: “Aku-lah Penguasa.” Tatkala mendengarnya, tersenyumlah Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam sehingga tampak gigi-gigi beliau, karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu; kemudian beliau membacakan firman Alloh:

“Dan mereka tidak mengagungkan Alloh dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat…” dst.

Disebutkan dalam riwayat lain oleh Muslim:

“…gunung-gunung dan pohon-pohon di atas satu jari, kemudian digoncangkan-Nya dan berfirman: “Aku-lah Penguasa, Aku-lah Alloh“.”

Dan disebutkan dalam riwayat lain oleh Al-Bukhari:

“…meletakkan semua langit di atas satu jari, serta tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari…” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Alloh akan menggulung seluruh lapisan langit pada hari kiamat lalu diambil dengan Tangan Kanan-Nya, dan berfirman: Aku-lah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?” Kemudian Alloh menggulung ketujuh lapis bumi, lalu diambil dengan Tangan Kiri-Nya dan berfirman: “Aku-lah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?”.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RadhiyAllohu ‘anhuma, ia berkata:

“Langit tujuh dan bumi tujuh di Telapak Tangan Alloh Ar-Rahman, tiada lain hanyalah bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di tangan seseorang di antara kamu.”

Ibnu Jarir berkata: “Yunus menuturkan kepadaku, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Zaid, dari bapaknya (Zaid bin Aslam), ia menuturkan: Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Ketujuh langit berada di Kursi, tiada lain hanyalah bagaikan tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai.”

Ibnu Jarir berkata pula: “Dan Abu Dzar RadhiyAllohu ‘anhu menuturkan: Aku mendengar Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa Sallam:

“Kursi itu berada di ‘Arsy, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dicampakkan di tengah padang pasir.”

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia menuturkan:

“Antara langit yang paling bawah dengan langit berikutnya jaraknya 500 tahun, dan diantara setiap langit jaraknya 500 tahun; antara langit yang ketujuh dengan kursi jaraknya 500 tahun; dan antara kursi dan samudra air jaraknya 500 tahun; sedang ‘Arsy berada di atas samudra air itu; dan Alloh berada di atas ‘Arsy tersebut, tidak tersembunyi bagi Alloh sesuatu apapun dari perbuatan kamu sekalian.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dari Hamad bin Salamah, dari ‘Ashim, dari Zirr, dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud)

Dan diriwayatkan dengan lafadz seperti ini oleh Al-Mas’udi dari ‘Ashim dari Abu Wa’il dari ‘Abdullah, demikian dinyatakan Adz-Dzahaby Rahimahullah Ta’ala; lalu katanya: “Atsar tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalan.”

Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib RadhiyAllohu ‘anhu menuturkan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dengan bumi?” Kami menjawab: “Alloh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Antara langit dan bumi jaraknya perjalanan 500 tahun, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya perjalanan 500 tahun, sedang ketebalan masing-masing langit adalah perjalanan 500 tahun. Antara langit yang ketujuh dengan ‘Arsy ada samudra, dan antara dasar samudra itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dengan bumi. Alloh Ta’ala di atas itu semua dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam.” (HR Abu Dawud dan Ahli Hadits lainnya)

Kandungan tulisan ini:

Tafsiran ayat tersebut di atas. Ayat ini menunjukkan keagungan dan kebesaran Alloh Ta’ala dan kecilnya seluruh makhluk dibandingkan dengan-Nya; menunjukkan pula bahwa siapa yang berbuat syirik, berarti tidak mengagungkan Alloh dengan pengagungan yang sebenar-benarnya.

Pengetahuan-pengetahuan tentang sifat Alloh Ta’ala, sebagaimana terkandung dalam hadits pertama, masih dikenal di kalangan orang-orang Yahudi yang hidup pada zaman Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa Sallam. Mereka tidak mengingkarinya dan tidak menafsirkannya dengan tafsiran yang menyimpang dari kebenaran.

Ketika pendeta Yahudi itu menyebutkan pengetahuan tersebut kepada Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, beliau membenarkannya dan turunlah ayat Al-Qur’an menegaskannya.

Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa Sallam tersenyum tatkala mendengar pengetahuan yang agung ini disebutkan oleh pendeta Yahudi.

Disebutkan dengan tegas dalam hadits adanya dua tangan bagi Alloh, dan bahwa seluruh langit diletakkan di tangan kanan dan seluruh bumi diletakkan di tangan yang lain pada hari Kiamat nanti.

Dinyatakan dalam hadits bahwa tangan yang lain itu disebut tangan kiri.

Disebutkan keadaan orang-orang yang berlaku lalim dan berlaku sombong pada hari Kiamat.

Dijelaskan bahwa seluruh langit dan bumi di telapak tangan Alloh bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di telapak tangan seseorang.

Besarnya (luasnya) kursi dibanding dengan langit.

Besarnya (luasnya) ‘Arsy dibandingkan dengan kursi.

‘Arsy bukanlah kursi, dan bukanlah samudra.

Jarak antara langit yang satu dengan langit yang lain perjalanan 500 tahun.

Jarak antara langit yang ke tujuh dengan kursi perjalanan 500 tahun.

Dan jarak antara kursi dengan samudra perjalanan 500 tahun.

‘Arsy, sebagaimana dinyatakan dalam hadits, berada di atas samudra tersebut.

Alloh ‘Azza wa Jalla berada di atas ‘Arsy.

Jarak antara langit dan bumi ini perjalanan 500 tahun.

Masing-masing langit tebalnya perjalanan 500 tahun.

Samudra yang berada di atas seluruh langit itu, antara dasar dan permukaannya, jauhnya perjalanan 500 tahun. Dan hanya Alloh Ta’ala yang Maha Mengetahui.

Segala puji hanya milik Alloh Rabb sekalian alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Alloh kepada junjungan kita Nabi Muhammad ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, kepada keluarga dan para sahabatnya.


Dikutip dari buku: “Kitab Tauhid” karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Penerbit: Kantor Kerjasama Da’wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.


No comments:

Post a Comment