!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Tuesday, January 27, 2015

Joko Widodo: bagi-bagi kekuasaan wajar.

Perjalanan yang belum selesai (195)

(Bagian ke seratus Sembilan puluh lima, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 27 Januari 2015, 18.05 WIB)

Joko Widodo: bagi-bagi kekuasaan wajar.

Ada selentingan (kabar angin) di masyarakat kini bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi di Indonesia bukan Presiden Joko Widodo, namun tiga serangkai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Diantara ketiga orang ini, Megawati lah yang paling berkuasa, karena dialah yang mencalonkan Joko Widodo menjadi Presiden.
Karena jasa ketiga orang inilah kenapa kini formalnya Joko Widodo menjadi orang paling berkuasa di Indonesia, walau masih dalam baying-bayang tiga serangkai itu.
Itulah sebabnya kebijakan balas budi ini tercermin pertama kali dalam formasi susunan para Menteri Kabinet Joko Widodo, yang banyak dihuni pimpinan dan tokoh PDIP, seperti Menteri Dalam Negeri, dan tokoh pendukung Joko Widodo seperti Menteri Perindustrian Rini.
Juga ada pengurus Partai Nasdem seperti Jaksa Agung, dan ada posisi dari pengurus partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Jadi hal yang normal bila Joko Widodo balas budi terhadap pimpinan pendukung dari keempat partai itu.
Tapi yang menjadi masalah apakah pimpinan Ke empat partai itu sudah mencalonkan kandidatnya adalah orang yang jujur, kompeten dan memiliki trak record yang baik.
Kalau latar belakang para kandidat Menteri, Jaksa Agung, Kapolri yang diusulkan Pimpinan Partai Politik itu ke Joko Widodo memiliki trak rekor tidak pernah cacad dan berkompeten tentu tidak masalah.
Kalau yang dicalonkan itu bermasalah dan tetap dicalonkan Joko Widodo, tentu saja Joko Widodo akan berhadapan langsung dengan rakyat dan para pendukungnya sendiri, yang menginginkan Joko Widodo memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Tapi KKN di bidang politik akan sulit dihapus, karena politik balas budi itu, yang menjadi keinginan masyarakat adalah apakah Joko Widodo bisa objektif dan adil.
Tapi Joko Widodo kan  manusia biasa, bukan nabi dan malaikat, kalau nabi kejujuran dan keadilannya langsung dijaga Allah yang maha kuasa. Kalau Joko Widodo sebagai manusia keadilannya di satu pihak akan dijaga Allah (kalau dia terus berdoa meminta pada Allah agar dia bisa berlaku adil) di satu pihak dia akan digoda terus oleh syaitan yang menginginkan bangsa Indonesia hancur dan masuk neraka. Jadi rasa keadilan Joko Widodo akan selalu di dua sisi itu, (sisi menuju kebenaran tergantung kuatnya dan konsistennya  diaberdoa kepada Allah, agar bisa bebuat adil bukan kebijakan atas dasar nafsu syahwat belaka, tapi rasa keadilan, yang nanti dipertanggungjawabkan dihadapan Allah di hari kiamat.
Lihat saja Raja Abdullah dari Arab Saudi, penguasa paling berkuasa secara mutlak di system Kerajaan paling kaya minyak Mentah saja pekan lalu dalam usia 90 tahun meninggal, dan dikuburkan secara sederhana, menghapuskan upacara pemakaman seorang Raja, dia dikuburkan secara sederhana, hanya membawa kain kafan. Raja Andullah meninggal meninggal kelurga dan harta benda. Begitu juga para pemimpin Indonesia yang kini tengah berkuasa, jangan mempermainkan kekuasaan demi nafsu syahwat belaka, karena semua itu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, setap harta dam setiap jengkal kekuasaan akan dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu konsisten lah kita menjalankan sholat lima waktu dan banyak berzikir agar setiap kebijakan yang kita ambil akan diridhoi Allah yang maha kuasa.

SIFAT AMANAH MENURUT AL-QURAN

A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad saw. untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. al-Qur’an berisi ayat-ayat yang arti etimologisnya “tanda-tanda” dalam bentuk bahasa Arab[1]mengandung berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada aspek keagamaan semata.
Sebagai intelektual muslim dan pewaris para nabi,[2][2]ulama berkewajiban memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut, ulama menempuh beberapa metode, baik metode penulisan maupun metode pembahasan. Salah satu metode pembahasan yang paling populer digunakan ulama atau cendekiawan saat ini adalah metode maudhu’i (tematik) yaitu upaya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan satu topik dan menyusunnya sebagai sebuah kajian yang lengkap dari berbagai sisi permasalahannya.[3][3]
Kendatipun al-Qur’an mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu menggunakan metode tematik tersebut. Salah satu topik yang paling sering menjadi bahan pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam al-Qur’an adalah amanah. Amanah merupakan aspek muamalah yang sangat penting karena terkait dengan kewajiban. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa beratnya sebuah amanah. Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Allah memberikan amanah kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanah tersebut. Namun, hanya manusia yang berani menerima amanah itu.  Amanah pada kenyataannya tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanah berarti ada pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan. Kajian dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanah dan hal-hal yang terkait dengan amanah meliputi objek amanah, bentuk-bentuk serta pandangan atau sikap al-Qur’an terhadap amanah.
Berbagai metode digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik dalam bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan muncul sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwaلاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه.[4][4]Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an ?
2.      Apa saja sifat amanah dalam al-Qur’an ?
3.   Bagaimana Sikap al-Qur’an terhadap Amanah ?
4.     Bagaimana konsep Amanah dalam Al-Qur’an ?


BAB II
A.  Pengertian Amanah
Amanah salah satu bahasa Indonesia yang telah disadur dari bahasa Arab. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua kata, yaitu amanah atau amanat. Amanah memiliki beberapa arti, antara lain 1) pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan. 2) keamanan: ketenteraman. 3) kepercayaan.[5][5]Sedangkan amanat diartikan sebagai 1) sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain. 2) pesan. 3) nasihat yang baik dan berguna dari orang tua-tua; petuah. 4) perintah (dari atas). 5) wejangan (dari seorang pemimpin).[6][6] Sedangkan dalam bahasa Arab, kata amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun yang memiliki dua makna: 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman hati, 2) al-tas}diq yaitu pembenaran.[7][7]I brahim dkk., mengatakan bahwa amanah dapat diartikan sebagai penetapan janji dan titipan.
Abu al-Baqa’ al-Kafumi mengatakan bahwa amanah adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan segala kewajiban yang lain.[8][8] Muhamamd Rasyid Rida mengatakan bahwa amanah adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali. [9][9]Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa amanah adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain.[10][10]
Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga semua syariat Allah adalah amanah.[11][11] Al-Qurtubi berpendapat bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan dan pelaksanaannya.[12][12] Dalam al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam bentuk fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2: 283.
Namun untuk mengetahui subtansi amanah, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu: subjek, objek dan predikat atau subtansi.
Subtansi amanah adalah kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga menimbulkan ketenangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
                           Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[13][13]
Jika dilihat dari sisi subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa datang dari Allah swt. sebagaimana yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
                          Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[14][14]
Dan kadang amanah tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang tertera dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ.
                           Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[15][15]
Sedangkan jika dilihat dari objeknya (orang yang melakasanakan amanah), maka amanah diberikan kepada malaikat, jin, manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan selanjutnya. Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulama tafsir, dapat dipahami bahwa amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt, atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah yang meliputi malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan demikian, amanah yang datang dari Allah swt. terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan yang dibebankan kepada manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa amanah adalah amal saleh yang paling agung, namun sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika langit, bumi dan gunung enggan menerima amanah dari Allah swt.,[16][16]bahkan manusia yang berani menerima amanah dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum jahul (penganiaya dan bodoh).
Oleh karena itu, amanah harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak menimbulkan kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.[17][17]
                 Artinya: “Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat bertanya, bagaimana penyia-nyian amanah wahai Rasulullah saw.? Rasulullah menjawab, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu, Nabi Muh}ammad saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu Zarr al-Gifari ketika meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah untuk posisi tersebut.
عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).[18][18]
                 Artinya: “Dari Abu> Z|arr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk punggungnya seraya berkata, wahai Abu> Z|arr, sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
B.  Sifat Amanah dalam Alqur’an dan Al hadist
Sifat amanah adalah sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan tanggungjawab dalam menyampaikan risalah-Nya. Selain itu amanah juga adalah sifat-sifat para malaikat yang mengerjakan kebaikan, dan dari kalangan mereka adalah Jibril alaihissalam yang menurunkan Al-Quran ke atas Nabi Muhammad shallahualaihiwasallam.Demikian juga sifat amanah itu adalah dari sifat-sifat para hamba Allah Ta’ala yang beriman daripada kalangan jin dan manusia.

1.    Sifat Amanah Nabi dan Rasul ALLAH S.W.T
Dalam al-Qur’an, makhluk yang paling sering disifati dengan amanah adalah para nabi dan rasul, sehingga dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki empat sifat yang wajib bagi mereka, seperti al-tabli>g/ menyampaikan risalah kepada umatnya, al-fat}a>nah/memiliki kecerdasan atau intelegensia yang tinggi, al-s}idq/memiliki kejujuran dan al-ama>nah/dapat dipercaya atau memiliki integritas yang tinggi.[19][19]Dengan demikian, sering ditemukan dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya sebagai al-ami>n.
Nabi Nu>h} misalnya ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah swt. atas kesyirikan yang mereka lakukan, namun kaum Nu>h} itu tetap mendustakan dia dan rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nu>h} mengatakan kepada kaumnya:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 106-107).[20][20]
Nabi Nu>h} mengatakan hal tersebut di atas, sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.[21][21]
Senada dengan Nabi Nu>h}, Nabi Hu>d juga mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan taat kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi Hu>d dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h}.
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 124-125).[22][22]
Bahkan pada ayat yang lain, Nabi Hu>d disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya, ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan takut kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya sebagai orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hu>d menyanggah ejekan itu dengan mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi Aku Ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. al-A‘ra>f: 67-68).[23][23]
Menurut al-Ra>zi>, maksud dari ungkapan na>s}ih} ami>n dalam ayat tersebut sebagai 1) Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الكاذبين, 2) Pokok pembicaraan tentang risalah dan tabli>g adalah amanah, sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan kenabian, 3) penjelasan tentang integritas Nabi Hu>d sebelum menjadi rasul sebagai seorang yang dikenal amanah oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya kaumnya menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.[24][24]
Hal yang sama dilakukan oleh Nabi S}a>lih}, Nabi lu>t} dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h} dan Nabi Hu>d, yaitu:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.[25][25]
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-ami>nadalah Nabi Mu>sa> as., bahkan Nabi Mu>sa> disebutkan dua kali sebagai al-ami>n dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukha>n: 18.
وَلَقَدْ فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir’aun dan Telah datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata): “Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.[26][26]
Kata rasu>l al-ami>n dalam ayat tersebut sebagai dasar ajakan Nabi Mu>sa> terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah swt. pengakuan Nabi Mu>sa> as. diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-ami>n kedua yang diberikan kepada Nabi Mu>sa> terjadi bukan dalam masalah risalah, akan tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Mu>sa> as. dengan mengatakan:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ.
                          Terjemahnya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qas}as}: 26).[27][27]
Dalam tafsir al-T}abari>dijelaskan bahwa penilaian salah satu putri Nabi Syu’aib terhadap Nabi Mu>sa> bahwa dia sangat kuat dan dapat dipercaya karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi Mu>sa> memberi minum terhadap hewan ternak mereka, sedangkan penilaian amanah terjadi karena keterjagaan pandangan Nabi Mu>sa> terhadap kedua putri Nabi Syu’aib dalam perjalanan ke rumah mereka.[28][28]
2.    Malaikat
Di antara makhluk yang menjadi objek amanah adalah malaikat. Malaikat terkadang disifati sebagai al-ami>n oleh Allah swt., khususnya Jibri>l pembawa wahyu kepada para nabi.
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
                                   Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (QS. al-Syu’ara>’: 192-194).[29][29]
Menurut Ibn ‘A<syu>r, yang dimaksud dengan al-ru>h} al-ami>n dalam ayat tersebut adalah Jibri>l as. Menurutnya, Jibri>l as. dinamakan al-ru>h} karena malaikat berasal dari alam ruhaniyah, sedangkan al-amin diberikan sebagai kepercayaan Allah swt. terhadap Jibri>l untuk menyampaikan wahyu-Nya.[30][30]
Lain halnya dengan al-Sya’ra>wi>, menurutnya Jibri>l as. disebut al-ru>h} karena dengan ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak memiliki jasad. Sedangkan al-ami>n diberikan kepadanya karena dia terpelihara di sisi Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan terpelihara di sisi Nabi saw.[31][31]
Dengan demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud al-ru>h} al-ami>ndalam ayat tersebut adalah Jibri>l as.[32][32]karena hal itu diperkuat oleh ayat lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibri>l as.
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ…
                                   Terjemahnya: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”.[33][33]
Ayat lain yang menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanah adalah QS. al-Takwi>r: 21-22:
مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ.
                                   Terjemahnya: “Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”.[34][34]
Ayat tersebut di atas dan ayat sebelumnya menjelaskan beberapa sifat mulya malaikat Jibri>l as. di antaranya kari>m/mulya karena diberikan tugas yang paling mulya yaitu menyampaikan wahyu kepada para nabi, z\i> quwwah/memiliki kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari kelupaan dan kesalahan, z\i> al-‘arsy maki>n/mempunyai posisi yang tinggi di sisi Allah swt. karena dia diberi apa yang dimintanya, mut}a>’in/yang ditaati di alam malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para malaikat, ami>n/dipercaya membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para nabi-Nya.[35][35]
Dari kedua ayat tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan kepada manusia, akan tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat, khususnya malaikat Jibri<l as. selaku penghubung Allah swt. dengan para nabi-Nya.
3.    Jin
Jin meskipun sering dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam al-Qur’an sebagian jin ada yang beriman kepada Allah swt.[36][36] bahkan ‘Ifri>t dari golongan jin yang hidup pada masa nabi Sulaima>n berkenan membantu nabi Sulaima>n dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqi>s, sebagaimana dalam QS. al-Naml: 39:
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
                                  Terjemahnya: “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.[37][37]
Ayat tersebut menegaskan tentang kemampuan ‘Ifri>t memindahkan singgasana ratu Balqi>s pada saat itu dalam waktu singkat. ‘Ifri>t juga menjamin bahwa dia dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Ma>wardi> dalam tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu: 1) dia dapat dipercaya menjaga permata dan berlian yang terdapat dalam istana tersebut, 2) dia dapat dipercaya mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain, 3) dia dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu balqi>s.[38][38]
Namun mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh ‘Ifri>t untuk membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan atau penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
4.    Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari Allah swt. pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
                                    Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[39][39]
Al-Biqa>’i ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insa>n adalah mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu, manusia yang khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanah, karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan. Oleh sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan z}alu>m jahu>l agar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan ramah, al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[40][40]
C.  Sikap Al-Qur’an terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1.    Perintah Menjaga amanah
Banyak dijumpai dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Dalam QS. al-Nisa>’: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
                          Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.
Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah ‘Us\ma>n ibn T}alh}ah al-H}ujubi> tentang kunci Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abba>s agar dia yang memegangnya, kemudian Allah swt, menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang yang berhak.[41][51] Namun menurut Wahbah al-Zuhaili>, ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak maupun kepada individu tertentu.[42][52]
Pada ayat lain, meskipun tidak menggunakan fi’il amr/perintah secara langsung seperti pada ayat di atas, akan tetapi tetap mengandung perintah untuk melaksanakan amanah karena menggunakan fi’il mud}a>ri’ yang disertai lam amr, seperti dalam QS. al-Baqarah: 283.
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
                          Terjemahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[43][53]
Dalam ayat yang lain, al-Qur’an datang dengan menggunakan jumlah ismiyah, agar mengandung makna bahwa penjagaan terhadap amanah tidak terikat dengan waktu, akan tetapi amanah merupakan sifat orang-orang yang beriman, seperti dalam QS. al-Mu’minu>n: 8
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
                          Terjemahnya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.[44][54]
Oleh karena itu, dalam beberapa hadis Rasulullah saw. dijelaskan bahwa salah satu karakter orang munafik adalah tidak amanah.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.[45][55]
                 Artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia ingkari dan jika dia dipercaya dia berkhianat”.
Bahkan lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah mengungkapkan bahwa orang yang tidak memegang amanah berarti dia tergolong orang yang tidak beriman.
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.[46][56]
                    Artinya: “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai/ melaksanakan amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan janjinya”.
Dari ketiga ayat di atas dengan berbagai redaksi yang digunakan dalam berbagai bentuk menunjukkan bahwa amanah adalah tanggungjawab yang sangat besar yang harus dilaksanakan oleh siapapun yang diberi amanah.
2.    Larangan Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang larangan mengkhianati amanah antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
                                    Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui” (QS. al-Anfa>l: 27).[47][57]
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan khianat kepada Allah dan Rasulullah saw. Dengan demikian, diketahui betapa besar posisi amanah di sisi Allah swt. karena khianat terhadap amanah disejajarkan dengan khianat kepada Allah swt. dan rasul-Nya.

D. KonsepdanImplementasiAmanahdalam Al- Qur’an danHadits

1. Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Alasan penolakan alam (bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.Al-Ahzab: 72) adalah karena mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal untuk menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab. Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia, walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja “benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya oleh Allah. Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggung jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia memiliki beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakumalardh). Sebuah tugas yang mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan manusia dari makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal, sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri. Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2. Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Sosial Manusia kepada Sesama
Dalam pandangan Islam setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja semua itu akan dimintai pertanggung jawaban. Rasulullah SAW bersabda:
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
Artinya:
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
Fenomena yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyak sekali orang yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam akan hancurnya  sebuah bangsa.
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
Amanah menempati posisi ‘strategis’ dalam syariat Islam.Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin (yang bisadipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
Dengan demikian, meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dibuat beberapa poin-poin penting sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.      Amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah, baik dari kalangan malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanah sangat berat dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang profesional di bidang tersebut.
2.      Amanah dilihat dari segi objek yang mendapatkan amanah, dapat diklasifikasi dalam beberapa bagian, yaitu amanah bagi para nabi dan hal tersebut yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an karena amanah merupakan sifat wajib bagi para rasul, amanah bagi malaikat, khususnya pembawa wahyu yaitu Jibri>>l as., amanah bagi jin yang hidup pada masa Nabi Sulaiman, amanah bagi manusia secara umum dalam melaksanakan hal-hal yang terkait dengan kewajiban kepada Allah swt., sesama manusia dan kepada dirinya sendiri, bahkan ada amanah yang diberikan kepada wilayah/kampung yaitu kota Mekah.
3.      Amanah juga dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu amanah dalam bentuk pekerjaan yang mencakup semua bentuk pekerjaan yang dipercayakan kepada seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari sesama manusia. Dan amanah dalam bentuk hukum yang sebenarnya juga merupakan pekerjaan, akan tetapi khusus disebutkan karena menjadi asas pemerintahan yang Islami.
4.      Sikap al-Qur’an terhadap amanah terlihat dari perintah Allah swt. kepada manusia untuk menunaikan amanah tersebut. Perintah tersebut menggunakan fi’il amr, fi’il mud}a>ri’ dan isimyang menunjukkan betapa amanah tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an tidak cukup sekedar memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap amanah, bahkan khianat terhadap amanah sejajar dengan khianat terhadap Allah dan rasul-Nya.


B.   Implikasi

Amanah sangat penting posisinya dalam kehidupan dunia, karena tanpa amanah berbagai macam aturan, undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk ketaatan. Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti jabatan dan kekuasaan tapi juga terkait dengan aspek ukhrawi seperti ibadah.
Hal ini juga terkait dengan kondisi masa sekarang, yang mana sebagian besar orang mengabaikan amanah. Mereka tidak menyadari apa makna dan hakekat amanah serta posisi amanah yang begitu urgen dalam mengemban tugas sebagai khalifah fi al-ard}.






No comments:

Post a Comment