!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Thursday, January 30, 2014

Akibat Banjir, Indonesia Rugi lebih Rp 2 Triliun Per Hari. Kini Total Kerugian Lebih Rp 50 Triliun



Akibat Banjir, Indonesia Rugi lebih Rp 2 Triliun Per Hari. Kini Total Kerugian Lebih Rp 50 Triliun

Bencana banjir di sejumlah daerah telah berimbas pada terganggunya roda perekonomian. Kegiatan para pelaku bisnis terganggu. Pusat-pusat perdagangan seperti pasar tradisional pun tidak dapat beroperasi. Aktivitas distribusi barang dan jasa terhambat, juga para supir angkot pun merugi. (Lihat: http://www.asatunews.com/berita-19141-supir-angkot-diselamatkan-bbg.html)

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto memperkirakan, kerugian yang ditimbulkan akibat banjir mencapai triliunan rupiah. "Secara pasti saya belum bisa mendapatkan itu (besaran kerugian).  Tapi, saya perkirakan minimum Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun per hari," ujar Suryo kepada wartawan seusai temu pers Kadin bertajuk 'Catatan Awal Tahun: Kepemimpinan Ekonomi Baru 2014' di Menari Kadin Indonesia, Senin (27/1).

Suryo mengharapkan, terdapat keringanan dari unsur lembaga keuangan dan perbankan kepada kalangan dunia usaha yang terimbas banjir. "Mungkin reschedule (penjadwalan ulang) pinjamannya.  Hal-hal seperti ini mungkin bisa membantu," kata Suryo.

Untuk mengantisipasi dampak negatif banjir yang kerap berulang setiap tahunnya, Suryo menegaskan, kalangan dunia usaha siap membantu.  Bantuan dalam bentuk pembangunan sarana-sarana pencegah banjir, pengerukan sungai dan sebagainya siap diberikan. "Tapi, kalau kebijakan tentu dari pemerintah datangnya, baik pusat maupun daerah," ujar Suryo.


Itulah Sebabnya pemerintah pusat diminta segera meningkatkan kualitas infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Akibat banjir yang melanda banyak daerah di Indonesia pada Januari 2014, diperkirakan menelan biaya hingga Rp 50 triliun.

“Kami mendesak pemerintah untuk mengawasi dan meningkatkan kualitas infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar Harry Azhar Azis, di Jakarta, Rabu (29/1/2014).

Menurut Harry, upaya meningkatkan kualitas infrastruktur itu mulai dilakukan sejak tahap awal pemerintah melakukan tender. Karena itu, proses waktu tender harus dilakukan minimal 3 bulan sebulan tahun anggaran baru dimulai.

Ia menuturkan, harus diakui bahwa pemerintah terus melakukan pembenahan dari sisi pelaksanaan tender untuk proyek-proyek infrastruktur. Bahkan beberapa kementerian/lembaga juga telah melaksanakannya dengan sejak 2-3 bulan sebelum dimulainya tahun anggaran baru.

Akibatnya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi dalam proses tender proyek pemerintah, berkurang.

Namun realitanya, kata Harry, ruang terjadinya praktik KKN ternyata masih tersisa. Pasalnya, terlihat jelas banyak sekali infrastruktur yang dikelola pemerintah, tidak tahan terhadap air. Meskipun air menggenang hanya beberapa centimeter tingginya, tetap mengakibatkan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, rusak.

Ia menjelaskan, bahwa sistem tender proyek infrastruktur pemerintah sudah membaik karena menggunakan e-procurement. Namun, pemerintah tetap harus melakukan pengecekan ke lapangan untuk melihat kualitas bahan-bahan yang digunakan oleh kontraktor pemenang tender.
 “Karena itu, pemerintah harus terus meningkatkan kualitas proyek-proyek infrastrukturnya. Sehingga dana negara yang dialokasikan untuk sektor infrastruktur, dapat dioptimalkan. Apalagi, selama ini alokasi infrastruktur cukup besar, maka kualitasnya pun haruslah tinggi,” jelas Harry.

Harry menilai, akibat banjir yang melanda banyak daerah di Indonesia, pemerintah mengalami kerugian hingga Rp 50 triliun. Utamanya, untuk pembiayaan perbaikan berbagai infrastruktur yang rusak akibat banjir tersebut. Termasuk untuk pembangunan berbagai sarana pendukung untuk mencegah meluas banjir. Misalnya, pembangunan waduk di berbagai lokasi.

Saat ini, papar Harry, terdapat sekitar ratusan daerah yang mengalami musibah banjir, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta. Dan diasumsikan, setiap daerah memerlukan dana perbaikan dan pemulihan pasca banjir mencapai Rp 50-100 miliar.

Kerugian itu, lanjut dia, telah memperhitungkan beberapa sarana infrastruktur lainnya. Diantaranya, perbaikan dan pembenahan infrastruktur untuk pengairan serta irigasi.

Harry menambahkan, asumsi kerugian akibat banjir di seluruh Indonesia mencapai Rp 50 triliun itu, juga memperhitungkan multiplier effects dari banjir, seperti dampak sosial, kerugian yang dialami sektor industri dan dunia usaha, serta terhentinya pelayanan sosial bagi masyarakat.

 Bahkan lebih jauh, kata Harry, adanya korban jiwa akibat banjir yang terjadi akibat buruknya kualitas infrastruktur.

“Intinya, kami mendesak pemerintah untuk meningkatkan kualitas infrastruktur di seluruh Indonesia, sesuai peruntukkannya. Biaya sudah negara keluarkan, maka harus diawasi secara serius. Sehingga tidak ada ruang apapun untuk praktik-praktik “nakal” yang mengurangi kualitas bahan. Karena akibatnya, pasti negara akan mengalami kerugian lebih besar lagi,” tegas Harry.

Karena itu, dia juga minta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mulai fokus untuk mengawasi kualitas proyek-proyek infrastruktur apakah sesuai dengan spesifikasinya dan harga yang wajar atau harga tidak dimark-up yang menyebabkan kerugian uang negara tersebut.

Pengusaha mengklaim menderita kerugian hingga triliunan rupiah akibat banjir besar terakhir di Jakarta dan sekitarnya dalam empat hari terakhir sejak Kamis (17/1) lalu.

Kerugian antara lain disebut berasal dari rantai distribusi barang yang terhambat, stok produk yang musnah atau rusak akibat terendam air, gerai usaha yang tutup, produksi berhenti akibat tidak adanya pasokan listrik, pembayaran gaji tambahan untuk pekerja yang terpaksa libur saat banjir, hingga kerusakan gedung dan kendaraan.

"Memang akan ada asuransi, tetapi tidak semuanya. Kerugian tetap sangat besar dan saya perkirakan lebih besar karena kali ini justru terjadi di tengah kota pusat perkantoran, perdagangan dan transaksi bisnis," kata Ketua Asosisasi Pengusaha Indonesia, Apindo, Sofyan Wanandi.

Menurut Sofyan, asosiasi yang dipimpinnya menaksir angka kerugian akibat banjir kali ini mencapai lebih dari Rp1 triliun.

"Paling utama pusat perdagangan, 60% di Indonesia ada di Jakarta. Lalu kerugian akibat kerusakan material akibat tergenang air, produksi tidak jalan karena listrik padam, kemudian harus bayar karyawan padahal mereka libur terus untuk kejar target produksi nanti harus kasih biaya lembur," kata Sofyan.

Hitungan lain kerugian datang dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPPMI) yang mengklaim pengusaha rugi sampai Rp300 miliar per hari untuk industri makanan dan minuman.

Menurut Ketua GAPPMI Franky Sibarani, kerugian sebesar itu berasal dari hitungan kerugian skala kecil hingga besar.

"Kami juga belum tahu tahun ini seperti apa, tapi rasanya akan lebih banyak mengingat pusatnya justru di wilayah perkotaan."

"Pedagang makanan-minuman itu di Jakarta sekitar 15% dari keseluruhan pedagang pasar jumlah sekitar 100 ribu orang. Anggap saja sehari 60% dari mereka kena dampak banjir dan harus kehilangan Rp1 juta akibat bencana ini. Itu saja sudah Rp150 miliar kan, belum dari sektor lain," kata Franky.
Di tambah dengan komponen pengusaha retail nontradisional dan produsen makanan-minuman, Franky menilai kerugian justru bisa lebih banyak.
.
Kerugian akibat banjir bukan hal baru bagi pengusaha, namun menurut Franky Sibarani, pukulan sangat terasa untuk pengusaha makanan-minuman.

"Industri makanan-minuman itu rigid sekali, barang harus dikirim ke depo kemudian distribusi lanjut dengan mobil atau motor. Kalau sampai terjadi kemacetan satu-dua jam, itu dampaknya bisa panjang sekali. Apalagi kalau sampai ada kabar menyebut situasi banjir lebih parah tanggal 26 (Januari)," keluhnya.

Taksiran yang lebih moderat diberikan oleh Tutum Ruhanta dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) yang menyebut kerugian akibat banjir mencapai puluhan miliar saja.

Anggota Aprindo dari kelas mini sampai hyper market di kawasan Jakarta, menurut Tutum, umumnya mengalami dua jenis kerugian: akibat barang rusak terendam banjir serta toko (baik milik sendiri maupun di pusat belanja) yang harus tutup.
"Kami masih coba himpun datanya, tapi sepintas kami dapat informasi itu tidak banyak. Tapi yang justru jadi korban itu kan konsumen saja, sudah kebanjiran cari barang susah pula, itu lebih penting," kata Tutum.

Namun sulit untuk mengecek kebenaran berbagai klaim ini karena tak ada data pembanding tersedia. Pejabat pemerintah sejauh ini menyebut mereka juga masih menghitung data kerugian banjir kali ini.
Hitungan kerugian paling nyata akibat banjir barangkali akan paling mudah dilihat dari klaim asuransi yang diajukan konsumen.

Pada peristiwa banjir besar di Jakarta tahun 2002 klaim banjir total untuk rumah, kendaraan, perkantoran sampai pabrik, menurut Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, mencapai Rp 1,5 triliun.

Lima tahun kemudian banjir besar kembali menggempur Jakarta dan klaim naik menjadi Rp 2,1 triliun.

"Kami juga belum tahu tahun ini seperti apa, tapi rasanya akan lebih banyak mengingat pusatnya justru di wilayah perkotaan," kata Iwan Pranoto dari Asuransi Astra.
Astra yang menyediakan asuransi kendaraan bermotor dalam empat hari terakhir sampai siang tadi sudah menerima hampir 150 klaim permintaan bantuan darurat akibat mogok, terendam maupun masalah lain. "Ini kira-kira 10 kali lipat klaim kondisi normal," tambah Iwan.

Banjir Jakarta yang menerjang perumahan serta pusat bisnis, termasuk ikon Ibu Kota di Bundaran HI, mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Setidaknya Rp 20 triliun melayang akibat musibah langganan ini.

"Kerugian akibat banjir tidak sedikit. Kalau dihitung-hitung, total kerugian banjir pada tahun ini kira-kira mencapai Rp 20 triliun," kata Jokowi dalam acara silaturahmi antara DPRD Jakarta dengan Pemprov DKI di Balai Agung, Balaikota DKI, Jakarta (22/1/2013). Silaturahmi ini membahas mengenai penanganan banjir di Jakarta.

Terkait kerugian itu, Jokowi memiliki pendapat agar anggaran pemerintah yang digunakan untuk membayar kerugian akibat bencana banjir lebih baik dialokasikan untuk pembangunan deep tunnel.

Menurut Jokowi, pembangunan deep tunnel penting untuk dilaksanakan karena dianggap sebagai suatu skenario paling ampuh untuk mengantisipasi banjir di Ibu Kota.

"Deep tunnel ini merupakan solusi banjir jangka panjang. Jadi, daripada terus mengeluarkan uang untuk membayar kerugian, lebih baik kita membangun deep tunnel," ujar Jokowi.

Banjir Jakarta pada Kamis pekan lalu, bisa dibilang yang terbesar dalam 6 tahun terakhir. Kawasan Sudirman-Thamrin, tergenang. Tak hanya itu saja, air bahkan sampai merambah ke kawasan ring satu yakni ke Istana Negara.

Lebih 20 korban jiwa melayang akibat banjir ini. Bahkan dalam hitungan BNPB, jumlah pengungsi akibat banjir ini sempat mencapai 50.000 pengungsi.

Deep tunnel merupakan terowongan raksasa multifungsi, yang rencananya dibangun di bawah tanah ruas Jl MT Haryono hingga Pluit. Untuk pembangunan deep tunnel, Pemprov DKI menyediakan Rp 16 triliun secara multiyears selama 4-5 tahun. Terowongan ini diharapkan turut mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas.
Banjir besar yang melanda Jakarta di awal 2013, melumpuhkan mayoritas sendi kehidupan dan dunia usaha. Kerugian materi yang besar, tidak terhindarkan. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memperkirakan, kerugian mencapai Rp 20 triliun. Nominal itu mencakup seluruh sektor.

"Kerugian akibat banjir ini tidak sedikit. Kalau dihitung-hitung, total kerugian banjir pada tahun ini kira-kira mencapai Rp 20 triliun," kata Jokowi di Balai Kota, Jakarta

Namun, kerugian besar tidak hanya terjadi banjir tahun ini saja. Pada banjir besar yang melanda Jakarta 2007 silam, kerugian juga mencapai angka triliunan.

Berdasarkan data dari 'Laporan Perkiraan Kerusakan dan Kerugian Pasca Bencana Banjir Awal Februari 2007 di Wilayah Jabodetabek', yang dikeluarkan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 16 Februari 2007, diperkirakan kerugian mencapai Rp 5,16 triliun.

Bila dirinci, banjir yang melanda dari 31 Januari hingga 8 Februari 2007 itu, perkiraan merugikan sektor UKM dan koperasi sekitar Rp 781 juta per hari.

Sementara kerugian pada BUMD senilai Rp 14,4 miliar. Sektor kerugian BUMN, seperti PLN merugi Rp 17 miliar per hari, PT Telkom merugi Rp 18 miliar, dan PT Pertamina Rp 100 miliar.

Kerusakan infrastruktur sungai diperkirakan senilai Rp 383,87 miliar. Karena rusaknya tanggul pada 13 sungai, dan Kanal Banjir Timur dan Barat, serta tebing kali Ciliwung dan pintu air.

Perkiraan kerugian jalan raya dan kereta api Rp 601,39 miliar. Berdasarkan informasi selama satu minggu, diperkirakan PT KAI mengalami opportunity loss dari pendapatan penjualan karcis senilai Rp 1 sampai 1,5 miliar per hari.

Perkiraan terhadap kerugian perbaikan sarana dan prasarana kegiatan belajar, senilai Rp 14,17 miliar. Kerugian akibat kerusakan rumah tinggal, yang diperkirakan sebanyak 89,770 rumah terendam mencapai Rp 695,7 juta lebih.

Bappenas mengasumsikan kerugian Rp 10 juta per unit, untuk rumah non permanen yang hilang tersapu banjir. Sedangkan Rp 20 juta per unit, untuk memperbaiki rumah dan kerusakan terhadap furniture serta peralatan rumah permanen, dan Rp 5 juta untuk kalkulasi kerusakan ringan.

Kerugian besar akibat banjir, juga harus ditelan warga Jakarta pada 2002 lalu. Berdasarkan data dari buku 'Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai' karya omo Rusdiana dan kawan-kawan, Jakarta harus merugi sedikitnya Rp 9,8 triliun.

Dengan rincian kerugian sektor ekonomi Rp 2,5 triliun, transportasi dan telekomunikasi sebesar Rp 78,5 miliar, kerusakan langsung Rp 5,3 triliun, dan kerusakan tidak langsung Rp 2,8 triliun.

Pada banjir 2002, sedikitnya 3,7 juta dari 8,3 juta penduduk Jakarta kebanjiran. Sedangkan, luasan daerah yang kebanjiran mencapai 65 hektar, dan luas genangan banjir 8,7 hektar

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 137 orang tewas dan 1,1 juta lainnya mengungsi akibat bencana yang terjadi di Indonesia sejak awal Januari 2014.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Selasa (28/1) mengatakan, selain korban tewas dan mengungsi, tercatat pula ribuan rumah rusak termasuk fasilitas umum seperti saluran irigasi dan sebagainya.

“Jumlah korban akibat bencana di Indonesia khususnya bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan puting beliung sejak 1 Januari sampai dengan hari ini tercatat 137 orang tewas dan 1,1 juta jiwa mengungsi dan menderita. Juga menimbulkan kerusakan tercatat 1.234 rumah rusak berat, 273 rumah rusak sedang, dan 2.586 rumah rusak ringan serta kerusakan infrastruktur yang lainnya, seperti jalan, saluran irigasi  lahan pertanian, dan lainnya,” ujarnya.

Sutopo menambahkan, kerugian akibat bencana banjir juga mencapai puluhan triliun rupiah mengingat daerah-daerah yang menjadi sentra perekonomian seperti Jakarta, Bekasi dan Karawang terus dilanda banjir. Selain itu banjir juga terjadi di sepanjang Pantai Utara Jawa.

“...seperti, Indramayu, Subang, Pekalongan, Batang,  Semarang, Jepara, Kudus dan Pati yang merupakan daerah-daerah yang strategis di dalam penyampaian pasokan pangan maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya, dalam hal ini menimbulkan dampak yang cukup besar,” ujarnya.

Jumlah korban jiwa serta kerugian materil akibat banjir dan longsor selama Januari 2014 ini, menurut Sutopo, lebih besar dibandingkan pada Januari 2013. Ancaman banjir dan longsor ini, tambahnya, akan terus berlanjut hingga Maret 2014 di sebagian besar wilayah Indonesia.

Hal itu, katanya, sesuai dengan pola curah hujan di Indonesia yang puncaknya berlangsung sejak Januari hingga Maret, kecuali di wilayah Maluku dan Halmahera yang puncaknya pada periode Juni--Juli 2014. Kondisi demikian akan menambah statistik data bencana di Indonesia, ujarnya.

Tren bencana hidrometeorologi di Indonesia, menurut Sutopo, terus meningkat. Faktor antropogenik atau akibat ulah manusia dan degradasi lingkungan, menurutnya, lebih dominan daripada faktor alam yang menyebabkan banjir dan tanah longsor.

“Banjir dan longsor itu sebenarnya adalah dampak dari apa yang terjadi dengan kondisi lingkungan yang ada. Seperti banjir itu adalah produk dari penggunaan dan pemanfaatan lahan atau kawasan budidaya yang tidak diikuti dengan asas konservasi tanah dan air. Kemudian juga praktik dari pengelolaan banjir yang belum baik. Penanganannya tidak semua ditangani BNPB tetapi juga kementrian lembaga yang memiliki portofolio sesuai dengan tugas pokoknya,” ujarnya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memperkirakan ada penambahan angka untuk jumlah korban tewas. Manager Penanganan Bencana Walhi Mukri Friatna kepada VOA mengatakan untuk wilayah Sulawesi Utara dan Jombang Jawa Timur dari data Walhi masih ada 30 orang yang masih hilang akibat banjir longsor.

Mukri berharap untuk ke depannya jumlah korban tewas akibat bencana dapat diminimalisir. Salah satunya yang dapat dilakukan, menurut Mukri, adalah BNPB lebih intensif melakukan pelatihan tanggap bencana. Selain itu, lanjutnya, BNPB dapat menggunakan kewenangannya untuk menuntut secara hukum pihak-pihak yang berkontribusi menyebabkan bencana.

“Ada baiknya BNPB itu menggunakan kewenangannya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Contohnya adalah setiap pelaku kegiatan baik perorangan, korporasi atau siapapun yang menyebabkan terjadinya bencana itu bisa dituntut secara pidana,” ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 137 orang tewas dan 1,1 juta lainnya mengungsi akibat bencana yang terjadi di Indonesia sejak awal Januari 2014.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Selasa (28/1) mengatakan, selain korban tewas dan mengungsi, tercatat pula ribuan rumah rusak termasuk fasilitas umum seperti saluran irigasi dan sebagainya.

“Jumlah korban akibat bencana di Indonesia khususnya bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan puting beliung sejak 1 Januari sampai dengan hari ini tercatat 137 orang tewas dan 1,1 juta jiwa mengungsi dan menderita. Juga menimbulkan kerusakan tercatat 1.234 rumah rusak berat, 273 rumah rusak sedang, dan 2.586 rumah rusak ringan serta kerusakan infrastruktur yang lainnya, seperti jalan, saluran irigasi  lahan pertanian, dan lainnya,” ujarnya.

Sutopo menambahkan, kerugian akibat bencana banjir juga mencapai puluhan triliun rupiah mengingat daerah-daerah yang menjadi sentra perekonomian seperti Jakarta, Bekasi dan Karawang terus dilanda banjir. Selain itu banjir juga terjadi di sepanjang Pantai Utara Jawa.

“...seperti, Indramayu, Subang, Pekalongan, Batang,  Semarang, Jepara, Kudus dan Pati yang merupakan daerah-daerah yang strategis di dalam penyampaian pasokan pangan maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya, dalam hal ini menimbulkan dampak yang cukup besar,” ujarnya.

Jumlah korban jiwa serta kerugian materil akibat banjir dan longsor selama Januari 2014 ini, menurut Sutopo, lebih besar dibandingkan pada Januari 2013. Ancaman banjir dan longsor ini, tambahnya, akan terus berlanjut hingga Maret 2014 di sebagian besar wilayah Indonesia.

Hal itu, katanya, sesuai dengan pola curah hujan di Indonesia yang puncaknya berlangsung sejak Januari hingga Maret, kecuali di wilayah Maluku dan Halmahera yang puncaknya pada periode Juni--Juli 2014. Kondisi demikian akan menambah statistik data bencana di Indonesia, ujarnya.

Tren bencana hidrometeorologi di Indonesia, menurut Sutopo, terus meningkat. Faktor antropogenik atau akibat ulah manusia dan degradasi lingkungan, menurutnya, lebih dominan daripada faktor alam yang menyebabkan banjir dan tanah longsor.

“Banjir dan longsor itu sebenarnya adalah dampak dari apa yang terjadi dengan kondisi lingkungan yang ada. Seperti banjir itu adalah produk dari penggunaan dan pemanfaatan lahan atau kawasan budidaya yang tidak diikuti dengan asas konservasi tanah dan air. Kemudian juga praktik dari pengelolaan banjir yang belum baik. Penanganannya tidak semua ditangani BNPB tetapi juga kementrian lembaga yang memiliki portofolio sesuai dengan tugas pokoknya,” ujarnya.

No comments:

Post a Comment