Sholat di Masjidil Haram Mekah |
Perjalanan yang belum selesai (122)
(Bagian ke seratus duapuluh dua, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 27 September 2014, 18.57 WIB)
Kini ratusan ribu para jemaah haji dari seluruh dunia
telah berkumpul di kota Mekah dan Madinah, pada puncaknya nanti ada sekitar 2,5
juta jamaah wuquf di padang arafah, Semuanya menuaikan ibadah haji semata
mengharapkan ridho Allah swt. Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam bagi
kaum Muslimin yang mampu, mereka semua mengejar pahala dari Allah SWT, apalagi
Sholat Di Masjid Nabawi, kata Nabi Muhammad lebih baik seribu kali dibandingkan
sholat di Masjid lain, kecuali sholat di Masjidil Haram, Mekah. Nabi Muhammad
juga bersabda sebaik-baik perjalanan bagi kaum Muslimin adalah mengunjungi
Masjidil Haram di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Aqsa di Jerusalem,
Palestina.
Peziarah Saudi mencari layanan yang lebih baik,
ekspatriat harga rendah
Tampaknya warga Arab Saudi dan ekspatriat jamaah haji
memiliki kebutuhan yang sedikit berbeda, dengan warga Arab Saudi yang sebagian
besar mencari tahu tentang layanan yang ditawarkan, sedangkan yang kedua
prihatin tentang biaya atau ongkos naik haji.
Khaled Al-Mughrabi, seorang pekerja di sebuah perusahaan
haji setempat, mengatakan ada pemilih besar tahun ini untuk penerbangan murah
paket haji dari Arab dan Asia ekspatriat, termasuk Pakistan dan India.
Dua-murah paket haji yang ditawarkan tahun ini, satu
mulai dari SR2,500 dan yang lainnya dari SR7,000.
Dia mengatakan paket yang lebih murah yang oversubscribed
dan peziarah harus berbalik. Masih ada beberapa tempat yang tersisa untuk paket
yang lebih mahal, kata Al-Mughrabi.
Hassan Asiri, yang membuat reservasi untuk sebuah
perusahaan haji lokal, mengatakan kepada Arab News bahwa ekspatriat pertama
bertanya tentang harga dan kemungkinan mendapatkan tarif diskon.
Sebaliknya, warga negara Saudi lebih peduli tentang
pelayanan, termasuk informasi di mana kamp terletak dan dekat dengan jamaraat,
dimana rajam ritual setan berlangsung.
"Mereka juga bertanya tentang transportasi dan
kualitas kendaraan, termasuk apakah mereka memiliki pendingin udara yang sesuai
dengan iklim gurun," kata Asiri.
Abdul Hamid Othman, seorang supervisor perusahaan Haj, mengatakan
bahwa banyak dari mereka yang terdaftar untuk paket-murah telah berubah pikiran
karena kurangnya layanan.
"Ini adalah hasil dari orang tidak memiliki
informasi yang memadai tentang paket ini di tempat pertama," katanya.
Majid Al-Idris, seorang tukang cukur Maroko, mengatakan
bahwa perusahaan haji itu menuduhnya lebih banyak uang untuk paket yang sama
temannya telah membeli.
Dia mengatakan perwakilan perusahaan telah mengatakan
kepadanya bahwa harga telah naik karena hanya ada beberapa tempat yang tersisa,
dan bahwa layanan lainnya yang ditawarkan.
Dia memperingatkan bahwa banyak perusahaan yang pengisian
yang berlebihan peziarah.
Mereka sering menawarkan makanan dimasak, tapi kemudian
hanya memproduksi kering, kemasan makanan, katanya.
Abdul Aziz Al-Nabhani, seorang pejabat di sebuah
perusahaan Haj, mengatakan bahwa banyak peziarah memiliki informasi yang cukup
tahun ini pada paket-murah yang ditawarkan.
Kementerian Haji telah memperluas program-murah tahun ini
untuk menyerap para peziarah yang sedang tidur di jalanan Makkah.
Kementerian itu telah membuka program untuk 15.000
peziarah melalui terdaftar perusahaan haji dalam dua tahap.
Tahap pertama meliputi 8.000 peziarah dan yang kedua
7.000.
Al-Nabhani mengatakan bahwa banyak yang datang untuk
memesan tempat mereka di kantor nasional tidak tahu bahwa mereka mampu
melakukannya pada website kementerian.
Dia meminta pemerintah untuk memberikan lebih banyak
publisitas untuk program pake haji ini tahun depan. (arabnews)
MENZIARAHI KOTA MADINAH AL-MUNAWARAH*
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Keutamaan Kota Madinah
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku
mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ سَمَّى الْمَدِينَةَ طَابَةَ.
“Sesungguhnya Allah Subahnahu wa Ta'ala menamakan Madinah
dengan Thabah.” [1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمَدِيْنَةَ كَالْكِيْرِ، تُخْرِجُ الْخَبِيْثَ، لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَنْفِيَ الْمَدِيْنَةُ شِرَارَهَا، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ
خَبَثَ الْحَدِيْدِ.
“Sesungguhnya Madinah itu seperti alat peniup api yang
mengeluarkan hal yang kotor. Tidak akan terjadi Kiamat itu sampai Madinah menghilangkan
keburukan-keburukan yang ada di dalamnya sebagaimana alat peniup api
mengilangkan kotoran besi.” [2]
Keutamaan Masjid Nabawi Dan Shalat Di Dalamnya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menyatakan bahwa
hadits ini bersambung kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ
الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.
“Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga
masjid; Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjidil Aqsa.” [3]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هٰذَا، خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي
غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
"Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu
kali shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.’” [4]
Dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ.
“Di antara rumahku dan mimbarku terdapat taman dari
taman-taman Surga.” [5]
Adab-Adab Mengunjungi Masjid Nabawi Yang Mulia Dan
Kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Yang Mulia
Keutamaan yang khusus dimiliki oleh Masjid Nabawi yang
mulia, Masjidil Haram dan Masjid Aqsha adalah kemuliaan dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala untuk tiga masjid ini dan kelebihan shalat di dalamnya daripada shalat
di tempat lain. Barangsiapa yang datang mengunjungi Masjid Nabawi hendaknya
datang untuk mendapatkan pahala dan memenuhi panggilan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang menganjurkan untuk mengunjungi dan menziarahi Masjid Nabawi.
Tidak ada adab-adab yang dikhususkan untuk tiga masjid
ini dari masjid-masjid yang lain, kecuali kerancuan yang bisa saja terjadi pada
sebagian manusia, akhirnya mereka menetapkan adab-adab khusus untuk Masjid
Nabawi. Kerancuan ini tidak akan pernah terjadi seandainya kubur Rasulullah
yang mulia tidak di dalam masjid.
Agar urusan ini menjadi jelas bagi kaum muslimin apabila
ia datang ke Madinah dan ingin mengunjungi Masjid Nabawi, kami akan membawakan
adab-adab menziarahi masjid ini:
1. Apabila ia masuk hendaknya ia masuk dengan kaki kanan
kemudian membaca:
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللّهُمَّ افْتَحْ
لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
“Ya Allah, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Muhammad. Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku,” [6]
Atau membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ
الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan
wajah-Nya Yang Mahamulia dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang
terkutuk.” [7]
2. Shalat Tahiyatul Masjid dua raka’at sebelum duduk.
3. Hendaknya menghindari shalat ke arah kuburan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia dan menghadap ke kuburan
tersebut ketika berdo’a.
4. Kemudian menuju kuburan Nabi yang mulia untuk memberi
salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hendaknya ia menghindari meletakkan tangan di atas dada,
menganggukkan (menundukkan) kepala, merendahkan diri yang tidak pantas
dilakukan kecuali kepada Allah saja dan beristigatsah kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Hendaknya ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan kalimat dan lafazh yang ia pakai untuk memberi salam kepada
orang yang dikuburkan di Baqi’. Ada beberapa bacaan yang shahih dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya:
اَلسَّلاَمُ عَلَىٰ أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ،
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ، بِكُمْ لَلاَحِقُونَ.
“Semoga kesejahteraan untukmu, wahai penduduk kampung
(barzakh) dari orang-orang mukmin dan muslim. Semoga Allah merahmati
orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir di antara kita.
Sesungguhnya kami -insya Allah- akan menyusul kalian.” [8]
Kemudian memberi salam kepada dua Sahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ; Abu Bakar dan ‘Umar dengan salam yang sama.
Sholat di Masjid Nabawi Mediah |
5. Bukan adab yang baik mengangkat suara di masjid atau
di dekat kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hendaknya ia
bersuara dengan suara yang rendah, karena sopan santun terhadap Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat sama dengan sopan santun ketika
beliau hidup.
6. Hendaknya ia selalu menjaga shalat berjama’ah di shaf
yang pertama, karena keutamaannya yang banyak dan pahalanya yang besar.
7. Hendaknya semangat untuk shalat di Raudhah tidak
membuatnya terlambat mendapatkan shaf pertama. Tidak ada keutamaan yang
membedakan antara shalat di Raudhah dengan shalat di seluruh bagian masjid.
8. Tidak termasuk Sunnah, menjaga (melaksanakan) shalat
empat puluh raka’at (shalat arba’in) berturut-turut di masjid Nabawi dengan
dasar hadits yang masyhur diucapkan orang dari mulut ke mulut:
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَ يَفُوْتُهُ
صَلاَةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَا مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِىءَ
مِنَ النِّفَاقِ.
“Barangsiapa yang shalat di masjidku empat puluh shalat,
ia tidak pernah ketinggalan satu shalat pun, maka ia akan dicatat jauh dari api
Neraka, selamat dari adzab dan jauh dari kemunafikan.” [9]
Hadits ini dha’if, tidak shahih!!
9. Tidak disyari’atkan memperbanyak kunjungan ke makam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun salam akan disampaikan kepada
beliau dimanapun orang yang menyalami itu berada. Walaupun ia berada di ujung
dunia, ia dan orang yang di depan kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
sama-sama mendapat pahala memberi salam dan shalawat kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
10. Jika ia keluar dari masjid, tidak perlu berjalan
mundur, hendaknya ia keluar dengan kaki kiri dan membaca:
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ.
“Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada
Muhammad. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu berupa karunia-Mu” [10]
Masjid Quba
Disunnahkan bagi orang yang datang ke Madinah untuk pergi
menuju masjid Quba, lalu shalat di sana, mencontoh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang selalu mengunjungi masjid Quba dengan berjalan kaki,
beliau datang ke masjid Quba pada hari Sabtu dan shalat dua raka’at di sana.
[11]
Beliau bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ، ثُمَّ أَتَىٰ مَسْجِدَ قُبَاءٍ،
فَصَلَّى فِيْهِ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ.
“Barangsiapa yang bersuci di rumahnya kemudian mendatangi
masjid Quba dan shalat di sana, ia akan mendapat pahala seperti pahala umrah.”
[12]
Baqi’ Dan Uhud
Baqi’ adalah kuburan kaum muslimin di Madinah, di sana
ada banyak kuburan para Sahabat. Sampai sekarang kuburan itu masih dipakai
untuk menguburkan kaum muslimin, kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
yang mendatangi Madinah dengan keinginan agar mati di Madinah hingga dapat
dikubur di Baqi’.
Dan,
أُحُدٌ جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ.
“Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami
mencintainya.”
Di gunung ini dikubur tujuh puluh lebih syuhada, yaitu
orang-orang yang ikut berperang dalam peperangan yang terjadi di situ, sehingga
perang itu dinisbatkan ke gunung itu dan diberi nama ‘Perang Uhud.’
Tidak ada larangan jika ada seseorang datang ke Madinah
kemudian hendak mengunjungi Baqi’ dan para syuhada uhud. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dulu telah melarang ziarah kubur, kemudian membolehkannya
agar mengingatkan kita pada kematian dan mengambil pelajaran dari tempat
kembali orang-orang yang dikubur tersebut. Namun kita wajib berhati-hati agar
tidak bertabarruk (mencari berkah) dengan kuburan, meminta tolong kepada
penghuni kubur, meminta syafa’at kepada mereka bagi orang-orang yang hidup dan
bertawassul (beribadah melalui perantara) dengan mereka kepada Rabb alam
semesta.
Tidak disyari’atkan bagi seseorang untuk datang ke Uhud
menuju tempat yang dikatakan tempat shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
di lereng gunung untuk shalat di sana atau memanjat gunung Uhud guna mencari
berkah atau memanjat gunung para pemanah guna meniti jejak para Sahabat. Hal
itu dan apa saja selain salam dan do’a untuk para syuhada tidak disyari’atkan
dan bukan hal yang disukai dalam syari’at, bahkan ini termasuk perkara yang
diada-adakan yang di-larang. Mengenai hal ini ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata,
“Sesungguhnya yang membuat umat sebelummu celaka adalah mencari-cari jejak para
Nabi mereka (yang tidak disyari’atkan untuk diikuti).” Hendaknya perkataan
‘Umar ini dapat membuat kita puas dan menghentikan perbuatan-perbuatan seperti
itu.
Muzaaraat (Tempat-Tempat Yang Diziarahi)
Di Madinah ada tempat lain yang dikenal dengan nama
Muzaaraat, seperti tujuh masjid yang dekat dengan medan perang Khandaq, masjid
Qiblatain, beberapa sumur, masjid Gumamah, beberapa masjid yang dinisbatkan
kepada Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Aisyah -semoga Allah meridhai mereka semua-.
Mengkhususkan kunjungan ke semua masjid ini tidak disyari’atkan. Tidak boleh
sekali-kali bagi para pengunjung masjid-masjid ini menyangka bahwa dengan
menziarahi masjid-masjid itu ia akan mendapat tambahan pahala, karena
sesungguhnya mencari-cari jejak para Nabi dan orang-orang shalih adalah sebab
kehancuran umat sebelum kita. Tidak dibenarkan bagi kaum muslimin menyeselishi
petunjuk Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam dan petunjuk para Sahabat.
Karena kebaikan yang paling baik terdapat dalam petunjuk Nabi dan para
Sahabatnya, dan keburukan yang paling buruk adalah menyelisihi petunjuk Nabi
dan para Sahabatnya.
Peringatan yang Sangat Penting
Pertama, banyak orang berusaha untuk tinggal di Madinah
lebih lama ketimbang tinggal di Makkah sedangkan shalat di Masjidil Haram
setara dengan shalat seratus ribu kali di masjid lain. Adapun shalat di masjid
Nabawi setara dengan shalat seribu kali di masjid lain.
Perbedaan keutamaan shalat di Makkah dengan shalat di
Madinah sangat besar, hendaknya jama’ah haji merasa puas dengan tinggal lebih
lama di Makkah daripada di Madinah
Kedua, banyak jama’ah haji menyangka bahwa ziarah ke
Masjid Nabawi adalah salah satu dari rangkaian manasik haji. Oleh karena itu,
mereka berusaha dengan semangat tinggi untuk menziarahi Masjid Nabawi
sebagaimana usaha mereka untuk mengerjakan manasik haji. Sampai-sampai jika ada
seseorang menunaikan ibadah haji kemudian tidak mengunjungi Masjid Nabawi,
menurut mereka hajinya kurang!!
Mereka membawakan hadits-hadits yang palsu, seperti,
“Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji, kemudian tidak datang mengunjungiku,
maka ia benar-benar telah memutuskan hubungan denganku.”
Perkara ini tidak seperti prasangka mereka. Ziarah Masjid
Nabawi hukumnya sunnah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mensyari’atkan
shalat di sana, namun tidak ada hubungan antara ziarah dengan ibadah haji.
Sahnya haji tidak tergantung pada ziarah Masjid Nabawi, bahkan kesempurnaan
haji pun tidak tergantung pada ziarah. Karena ziarah ke Masjid Nabawi bukan
termasuk manasik haji, namun ziarah ini disyari’atkan karena masjid itu
sendiri.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya',
dan Shubuh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada
malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit)
diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu.
Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai
Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan
sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]
Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia
menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau
menjawab:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.
"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin
menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa
Ramadhan." [3]
A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari
wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih
tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban
hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat
sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang
bermalas-malasan mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ
الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan
dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat.
Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama',
bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak
mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits
tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ
أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ
لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ
فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba.
Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena
menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk
memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak
memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya.
Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]
Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih
di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada
kehendak Allah.
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang
pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah
shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika
tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia
memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah
tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’”
[7]
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap
sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui
apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam
satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah
segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami
dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun
mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha
illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat,
puasa, qurban, dan shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi
pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada
kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah
yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]
Sholat di Masjid Al Aqsa, Jerusalem |
B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah
baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ،
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.
“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari
orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang
gila hingga kembali sadar.” [9]
Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan
shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk
mengerjakan shalat.
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ
سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia
tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh
tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment