Perjalanan yang belum selesai (178)
(Bagian ke seratus tujuh puluh delapan, Depok, Jawa Barat,
Indonesia, 7 Januari 2015, 05.56 WIB)
Eutanasia : Bunuh diri, hukumnya menurut Islam
Van den Bleeken seorang narapidana di Belgia meminta
pemerintah Belgia mengijinkan proses Eutanasia yang dilakukan seorang dokter,
artinya mengijinkan seorang dokter menyuntik obat-obatan tertentu, agar Van den
Bleeken mati, tanpa rasa sakit.
Walauun pemerintah Belgis tidak mengijinkan permintaan
itu. Lalu apakah Eutanasia ini dibenarkan menurut hukum Islam. Jelas Eutanasia
ini masuk kategori bunuh diri, seperti yang dilakukan seorang pria yang bunuh
diri minum cairan anti serangga, atau seseorang yang bunuh diri dengan terjun dari
lantai 20 sebuah apartemen, atau perbuatan yang sudah masuk kategori bunuh diri
seperti merokok, yang menurut fatwa Muhammadiyah dan Salafi dikategorikan
hukumnya haram, karena dianggap banyak mudharatnya karena diannggap bunuh diri
secara perlahan melalui kanker paru, jantung dan berbagai penyakit yang
ditimbulkannya.
Van den Bleeken dilarang menjalani eutanasia
Frank Van Den Bleeken sempat mendapat izin untuk bunuh
diri dengan bantuan dokter.
Seorang narapidana pria di Belgia yang menjalani hukuman
seumur hidup karena pemerkosaan dan pembunuhan tidak diizinkan untuk bunuh diri
dengan bantuan dokter.
Menteri Kehakiman Koen Geens mengatakan dia menghormati
saran dari para dokter yang menangani Frank Van den Bleeken, yang tidak mampu
mengendalikan kebutuhan kekerasan seksualnya.
Namun Geens memutuskan Van den Bleeken akan dipindahkan
ke sebuah pusat penanganan psikiatris yang baru.
Permintaan Van den Bleeken untuk eutanasia -atau bunuh
diri dengan bantuan orang lain- dikabulkan oleh Komisi Eutanasia Federal Belgia
pada September tahun lalu setelah diajukan Van den Bleeken selama beberapa
tahun.
Belgia merupakan satu dari tiga negara yang mengizinkan
eutanasia untuk orang-orang yang menderita penyakit yang mematikan. Tahun lalu
Belgia bahkan mengizinkan eutanasia untuk anak-anak.
Penjara di Brugge, Belgia
Penjara di Brugge, tempat Van den Bleeken mengaku duduk
di selnya selama 24 jam sehari.
Namun kasus Van den Bleeken merupakan yang pertama yang
melibatkan tahanan sejak undang-undang membantu kematian disahkan 12 tahun
lalu.
Seorang juru bicara Kementerian Kehakiman mengatakan
kepada BBC bahwa dokter yang rencananya akan melakukan eutanasia pada Van den
Bleeken pada 11 Januari, sudah mengundurkan diri tak tidak ingin terlibat lagi
dalam kasus itu.
Van den Bleeken, 52 tahun, dinyatakan bersalah pada tahun
1980an karena serangkaian serangan seksual dan pembunuhan.
Dia mengatakan lebih suka mati daripada menghabiskan
seluruh hidupnya di dalam penjara.
"Saya berada di dalam sel selama 24 jam sehari.
Itulah hidup saya. Saya tidak merasa manusia di sini. Apa yang harus saya
lakukan? Apakah saya harus duduk di sini dan membuang waktu? Apa gunanya,"
tutur Van den Bleeken dalam wawancara TV pada tahun 2013. (BBC)
Dosa Besar Bunuh Diri
JUL 2010 NURSHAM-NURFATEH
Satu berita gempar semasa aku di dalam lif. Seorang
lelaki Cina telah terjun dari tingkat 12 kat flat tempat aku sekeluarga duduki
sekarang ni. Tak berapa pasti mengapa dia bertindak sedemikian.
Kita tinggalkan kisah ngeri tersebut. Dalam hal ini,
Islam sangat menghargai jiwa manusia.
“Dan sesiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya ialah neraka jahanam, kekal di dalamnya, dan Allah SWT murka
kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab seksa yang besar.”
(An Nisa' 93)
Sehubungan itu, dosa membunuh jiwa termasuk membunuh diri
adalah dosa besar yang bakal menerima azab.
“Janganlah kamu sekalian membunuh jiwa-jiwamu.
Sesungguhnya Allah SWT sentiasa mengasihani kamu.”
(An-Nisa' 29)
Apa pun alasan dan cara membunuh diri seperti meminum
racun, gantung diri, terjun tempat tinggi, melukai diri dan seumpamanya
hukumnya tetap haram dan pelakunya akan kekal di dalam neraka.
Sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim daripada Abu
Hurairah, daripada Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka
tangannya akan menusuk besi itu ke perutnya di neraka jahanam dan kekal di
dalamnya. Barang siapa yang meminum racun untuk membunuh dirinya, maka dia
meneguk racun itu di neraka jahanam dan kekal di dalamnya. Dan barang siapa
yang menjatuhkan dirinya dari gunung untuk membunuh dirinya di neraka jahanam
dan kekal di dalamnya.”
Biasanya orang yang melakukan perkara terkutuk itu
disebabkan kecewa atau tidak sanggup menempuh ujian hidup atau seumpamanya.
Walau bagaimana berat ujian yang ditimpa, sebagai seorang yang beriman
hendaklah menghadapinya dengan sabar. Allah SWT berfirman dalam surah
Al-Baqarah ayat 45 yang bermaksud:
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah SWT) dengan jalan
sabar dan mengerjakan solat…”
Begitu juga surah yang sama ayat 214 bermaksud:
“Adakah kamu patut menyangka bahawa kamu akan masuk
syurga, padahal belum sampai kepada kamu (ujian dan cubaan) seperti yang sudah
berlaku kepada orang yang terdahulu daripada kamu? Mereka sudah ditimpa
kepapaan (kemusnahan harta benda), dan serangan penyakit, serta digoncang (oleh
ancaman bahaya musuh) sehinggalah berkatalah Rasul dan orang yang beriman yang
ada berserta: “Bilakah (datangnya) pertolongan Allah SWT?” Ketahuilah,
sesungguhnya pertolongan Allah SWT itu dekat (asalkan kamu berpegang teguh
kepada agama Allah SWT).”
SAKIT DAN MUSIBAH ADALAH PENGHAPUS DOSA BAGI SEORANG
MUSLIM
ap_switzerland_070628_ssh
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahmati kita
semua- telah menjadi ketetapan dari Allah Azza wa Jalla bahwa setiap manusia
pasti pernah mengalami sakit dan musibah selama hidupnya. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi
roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS.
Al-Baqaroh : 155-157).
Sakit dan musibah yang menimpa seorang mukmin mengandung
hikmah yang merupakan rahmat dari Allah Ta’ala. Imam Ibnul Qayyim berkata :
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan
urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat
terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia
jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia
dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih
dari sekedar gambaran ini”. (Syifa-ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah
wa Ta’lil hal 452).
Dalam menyikapi sakit dan musibah tersebut, berikut ini
ada beberapa prinsip yang harus menjadi pegangan seorang muslim :
1. Sakit dan Musibah adalah Takdir Allah Azza wa Jalla
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang
melainkan dengan izin Allah” (QS. At-Taghaabun : 11).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima
puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no.
2653).
2. Sakit dan Musibah Adalah Penghapus Dosa
Ini adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit
dan musibah. Dan hikmah ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh
saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Acapkali kita mendengar manusia
ketika ditimpa sakit dan musibah malah mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan
yang lebih parah meratapi nasib dan berburuk sangka dengan takdir Allah.
Nauzubillah, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal
apabila mereka mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka -insya Allah- sakit
dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat dan kasih sayang dari
Allah Ta’ala.
Hikmah dibalik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan
sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti
pohon yang mengugurkan daun-daunnya”.
(HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).
“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit,
kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya,
melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR.
Bukhari no. 5641).
“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus
menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang
menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no.
2573).
“Bencana senantiasa menimpa orang mukmin dan mukminah
pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam
keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya”.
(HR. Tirmidzi no. 2399, Ahmad II/450, Al-Hakim I/346 dan
IV/314, Ibnu Hibban no. 697, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh
Zham-aan no. 576).
“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya
dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”.
(HR. Al-Hakim I/348, dishohihkan Syeikh Albani dalam
kitab Shohih Jami’is Shoghir no.1870).
“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih
dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan
dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim no. 2572).
“Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api
neraka”. (HR. Al-Bazzar, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al
Hadiits ash Shohihah no. 1821).
“Janganlah kamu mencaci-maki penyakit demam, karena
sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam
sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi”. (HR. Muslim no.
2575).
Walaupun demikian, apabila seorang mukmin ditimpa suatu
penyakit tidaklah meniadakan usaha (ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah
shallalllahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah tidak menurunkan penyakit
melainkan pasti menurunkan obatnya”. (HR. Bukhari no. 5678). Dan yang perlu
diperhatikan dalam berobat ini adalah menghindarkan dari cara-cara yang
dilarang agama seperti mendatangi dukun, paranormal, ‘orang pintar’, dan
sebangsanya yang acapkali dikemas dengan label ‘pengobatan alternatif’. Selain
itu dalam berobat juga tidak diperbolehkan memakai benda-benda yang haram
seperti darah, khamr, bangkai dan sebagainya karena telah ada larangannya dari
Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam yang bersabda :
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka
berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR. Ad Daulabi dalam
al-Kuna, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash-
Shohihah no. 1633).
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian
pada apa-apa yang haram”.
(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban no. 1397. Dihasankan oleh
Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 1172).
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan penyakit
kalian pada apa-apa yang diharamkan atas kalian”. (HR. Bukhari, di-maushulkan
ath-Thabrani dalam Mu’jam al Kabiir, berkata Ibnu Hajar : ‘sanadnya shohih’,
Fathul Baari : X/78-79).
3. Wajib Bersabar dan Ridho Apabila Ditimpa Sakit dan
Musibah
Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang
mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, dan
harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari
musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan
‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).
Dalam beberapa hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman
:
“Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari keridhoan
pada saat musibah yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu melainkan
surga”.
(HR. Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani
dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).
Maksud hadis diatas yakni apabila seorang hamba ridho
dengan musibah yang menimpanya maka Allah ridho memberikan pahala kepadanya
dengan surga.
“Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah akan
berkata kepada malaikat-Nya : ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa anak
hamba-Ku?. Para Malaikat menjawab : ‘Ya, benar’. Lalu Dia bertanya lagi :
‘Apakah kalian mengambil buah hatinya?’. Malaikat menjawab : ‘Ya’. Kemudian Dia
berkata : ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu?’. Malaikat menjawab ‘Ia
memanjatkan pujian kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa
innaa ilaihi roji’un). Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘Bangunkan untuk
hamba-Ku sebuah rumah di surga dan namai dengan (nama) Baitul Hamd (rumah
pujian)’.” (HR Tirmidzi no.1021, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan
Tirmidzi no. 814)
“Tidaklah ada suatu balasan (yang lebih pantas) di
sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya
dari penduduk dunia kemudian ia bersabar atas kehilangan orang kesayangannya
itu melainkan surga”. (HR. Bukhari).
“Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : ‘Jika
Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya (yakni menjadikan seorang
hamba kehilangan dua penglihatannya/buta) lalu ia bersabar maka Aku akan
menggantikan keduanya dengan surga”. (HR. Bukhari).
Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya
jika Allah menyukai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang
ridho maka baginya keridhoan, dan barangsiapa yang murka maka baginya
kemurkaan”. (HR. Tirmidzi no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, dihasankan Syeikh
Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi II/286).
Hikmah lainnya dari sakit dan musibah adalah menyadarkan
seorang hamba yang tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah -karena tertipu
oleh kesehatan badan dan sibuk mengurus harta- untuk kembali mengingat
Robb-nya. Karena jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah
barulah ia merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan
ketidakmampuannya di hadapan Allah Ta’ala, sehingga ia kembali kepada Allah
dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan berdoa kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami
siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka
bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri”. (QS. Al-An’aam : 42).
Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan
kesadaran seorang hamba bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza wa Jalla.
Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga ia akan selalu
tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa mengikhlaskan
dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya, hanyalah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Hakikat Sabar (1)
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan
kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten
menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi
seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di
dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah,
menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan
dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal.
24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan
Allah
Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang
dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di
luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul
Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di
rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang
tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua
adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian
dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk
bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini
sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan
dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal
sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi
sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman
kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS.
Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang
dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran
mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai
sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka
(Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena
mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
(Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang
harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus
bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan
tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara
menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta
mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah
mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan
badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang
harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang
lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu.
Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah
ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal
dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di
hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang
diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi
di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali
ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan
terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan
kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan
agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah
sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal.
13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang
berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang
timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi
sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan
membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para
da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan
orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila
dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah
dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai
kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa
besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya
karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan
yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan
para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap
mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al
An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin
dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu
terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa
menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu
terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan
hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh
dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i
ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam
melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia
bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga
hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi
dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka
juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah,
tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka
(kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz
Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan
demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari
kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para
da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul,
hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu
‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan
ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat
Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak
berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya
Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah
pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal.
122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu
‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya
bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai
mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi
Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar,
sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan
Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan
dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa
kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari
saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan,
itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih
dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang
bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan
harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama
sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali
‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah
akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath
Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu
bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar.
Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam
Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam
Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan,
“Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha
menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap
menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa
kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan
oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke
dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang
dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang
dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang
di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh
memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami
siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan
di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja
yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk
ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan
kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta
mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam
kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada
Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di
dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan
hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan.
Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan
akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga
sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah
kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR.
Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul
wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan,
“Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi
takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya.
Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu
kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar
itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang
terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir
yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal.
15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau
yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab
Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu
ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini,
“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia
termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung
hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat
penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at
(untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak
mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang
ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah
syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi
musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa
‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui
sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah
sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari
‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam
rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was
salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap
sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul
ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja
dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan
bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang
menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian
ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat,
sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah
yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup
bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab
tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka
menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar
termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar
menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak
muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa
ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk
menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir
yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan
bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya
juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab
mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan
“shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu
dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna
kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung
penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa
marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam
bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut
istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari
marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara
merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata
sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana
kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam
menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak
sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak
sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala
aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah
bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai
cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau
ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan.
Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah
satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi
dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia
harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir
Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment