d
demokratisasi di mesir dikuatirkan merembet ke Arab Saudi, Kuwait dan Persatuan Emirat Arab. itulah sebabnya ketiga negara itu menjanjikan bantuan hibah US$ 12 miliar kepada pemerintahan dukungan militer di Mesir, bantuan tidak diberikan ketika Mursi berkuasa.
Massa pendukung presiden terguling Muhammad Mursi pada Sabtu (13/7) dini hari mulai mendekati Istana Presiden Al Ettihadiyah dan Kementerian Pertahanan.
Pada Jumat (12/7) malam sekitar pukul 23.00 waktu setempat, taklimat lewat pengeras suara dari panggung Bundaran Rabiah Adawiyah, tempat pendukung Mursi terpusat, menyatakan sebagian massa akan bergelombang menuju Kementerian Pertahanan.
Massa semula melewati Jalan Yusuf Abbas ke Jalan Salah Salim, namun massa terpaksa kembali karena jalan tersebut telah diblokade tentara dengan kawat berduri dan tank tempur. Tentara juga memblokir Thairan menuju Istana Ettihadiyah dengan tank tempur.
Akhirnya, massa bergerak menuju Bundaran Abbasea, kawasan yang dekat dengan Kementerian Pertahanan dan dari situ cukup dekat dengan Istana Ettihadiyah.
Adapun Jalan Abbasea ke arah Kementerian Pertahanan juga telah ditutup dengan kawat berduri, begitu pula Jalan Khalifah Makmoun ke arah Kementerian Pertahanan.
Pendukung Mursi sudah 15 hari menduduki Bundaran Rabiah Adawiyah, Kairo Timur, menjelang Mursi dilengserkan pekan lalu.
Dalam demonstrasi sejuta orang pada Jumat, pendukung Moursi mewarnai seantero kota Kairo dengan menguasai selain Bundaran Rabiah Adawiyah, juga Bundaran An Nahdhah di Giza, Kairo Barat, Bundaran Ramses, pusat kota Kairo yang dekat Bundaran Tahrir, Stasiun Radio dan Televisi Nasional, dan Istana Ettihadiyah.
Selain kota Kairo, pendukung Mursi juga dilaporkan turun ke jalan di berbagai kota provinsi. Pendukung Mursi tetap mempertahankan tuntutan mereka, yakni mengembalikan keabsahan Presiden Mursi.
Perdana Menteri Turki Jumat (5/7) mengecam intervensi militer di Mesir yang menggulingkan Presiden dari kelompok Islamis Mohamed Morsi sebagai musuh demokrasi, dan mengecam Barat karena tidak menyebut penggulingan itu sebagai kudeta.
Merujuk pada sejarah kudeta negaranya, Recep Tayyip Erdogan memperingatkan bahwa tindakan militer semacam itu membawa akibat berat. "Kudeta itu jahat. Kudeta mengorbankan rakyat, masa depan, dan demokrasi. Saya ingin ini diungkapkan oleh semua orang dengan keberanian. Saya terkejut dengan sikap Barat. Parlemen Eropa mengabaikan nilai-nilainya sendiri dengan tidak menyebut intervensi militer di Mesir sebagai kudeta. Ini adalah tes ketulusan dan Barat telah gagal,” ujarnya.
Baik pemerintahan Uni Eropa di Brussels dan Washington sejauh ini menahan diri dan tidak menyebut penggulingan Morsi sebagai kudeta.
Tapi sekutu-sekutu regional penting Ankara tampaknya juga mengambil pendekatan yang hati-hati. Arab Saudi dan Qatar mengucapkan selamat kepada Presiden Mesir sementara yang baru diangkat Adly Mansour.
Para pengamat mengatakan ada implikasi diplomatik yang signifikan bagi Turki dengan tergulingnya Presiden Mesir. Menurut kolumnis diplomatik Kadri Gursel dari harian Turki Milliyet, Erdogan melihat akar Islamis Morsi yang kuat sebagai investasi yang baik secara politik, memberi kedua negara pengaruh diplomatik yang lebih luas di seluruh kawasan.
"Tergulingnya Morsi akan memberi dampak psikologis yang berat pada pemerintah Turki. Apa yang disebut kebijaksanaan besar dalam membangun tatanan regional baru dengan rezim-rezim Islam pasca pergolakan Arab, terutama Mesir, Tunisia, Libya, dan dalam hal ini masa depan Suriah, juga dilihat sebagai faktor penentu. Jadi tatanan baru regional, kecuali pelaku asing di kawasan, semua ini, sudah hilang,” ujarnya.
Rencana Perdana Menteri Erdogan melakukan perjalanan kontroversial ke Jalur Gaza yang dikuasai Islamis juga mungkin terancam. Kunjungan ini telah berulang kali tertunda karena kekhawatiran Washington, Tel Aviv dan Palestina.
Gursel mengatakan dengan tersingkirnya Presiden Morsi sama saja menghancurkan harapan bagi kunjungan Erdogan ke Gaza. "Erdogan tidak akan pergi ke Gaza dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Karena dengan kondisi ini ia tidak bisa pergi ke Gaza melalui Gerbang Rafa. Tidak akan ada sambutan baginya di Mesir. Dia tidak bisa pergi ke Mesir yang dikuasai militer. Itu mustahil,” ujarnya.
Banyak kalangan tokoh masyarakat Mesir menyerukan agar keabsahan Presiden Muhammad Mursi dikembalikan untuk menghindari tragedi kemanusiaan yang sedang mengancam negara itu.
"Jalan keluar terbaik adalah mengembalikan keabsahan Presiden Mursi, baru kemudian dialog untuk pemilihan dini," kata Prof Dr Sahar Khamis, pakar komunikasi dari University of Meryland, AS, dalam diskusi interaktif di jaringan televisi Al Jazzera, Ahad (7/7).
Wanita berkerudung asal Mesir yang tidak berafiliasi dengan partai politik itu merujuk pada kudeta militer pada Rabu (3/7) lalu yang melengserkan Mursi, presiden terpilih dalam pemilu paling demokratis pertama Negeri Piramida itu. Prof Sahar mengecam keras campur tangan militer dalam politik yang menimbulkan prahara politik dan konflik berdarah-darah berkepanjangan.
"Dengan alasan apapun, militer tidak boleh campur tangan dalam masalah politik. Militer itu digaji rakyat dan diberi alat perang untuk mempertahankan kedaulatan negara, bukan untuk bermain politik," ujarnya menegaskan.
Penilaian senada diutarakan analis politik Fahmy Howeidi. Menurut dia, kudeta militer adalah preseden buruk bagi masa depan demokrasi. "Militer harusnya sadar bahwa Mursi memenangkan suara rakyat lewat pemungutan suara, dan itu berarti dia (Mursi) mengemban amanah konstitusi sebagai presiden untuk seluruh rakyat Mesir," kata kolomnis dan penulis produktif itu.
Prof Dr Syeikh Yusuf Qardhawy, ulama kharismatik yang sangat berpengaruh di Mesir dan dunia Islam, juga mengutuk sikap militer yang melengserkan Mursi. "Keabsahan Presiden Mursi wajib dikembalikan, dan tentara wajib menghormati putusan rakyat yang memberi kepercayaan kepadanya (Mursi)," papar ulama Mesir yang bermukim di Qatar itu.
Cendekiawan berpengaruh yang kini memimpin Persatuan Ulama Islam Se-Dunia, tersebut mendesak agar militer secara legowo meminta maaf kepada rakyat. "Angkatan bersenjata harus minta maaf kepada rakyat dan membatalkan peta jalan militeristik serta memulihkan posisi Presiden Mursi," kata Ketua Majelis Eropa untuk Fatwa dan Penelitian itu.
Syeikh Qardhawi merujuk pada peta jalan yang membatalkan konstitusi dan mengangkat Ketua Mahkamah Konstitusi Adly Mansour untuk menjabat presiden sementara pengganti Moursi.
Sementara itu, Adly Monsour mulai menjalankan tugas di Istana Presiden Al Ettihadiyah.
Pada Sabtu (6/7), Mansour bertemu dengan tokoh oposisi Mohamed Elbaradei, yang kemudian diisukan telah ditunjuk sebagai perdana menteri. Namun, pada Sabtu (6/7) larut malam, istana membantah penunjukan Elbaradei sebagai perdana menteri, dan disebutkan masih dalam pembahasan dengan berbagai pihak untuk pembentukan kabinet transisi.
Ikhwanul Muslimin menyerukan pendukung Mursi di seantero negara untuk kembali turun ke jalan pada hari ini, Ahad (7/7) dengan tema tuntutan 'Pengembalian Keabsahan Presiden Mursi'.
Sebaliknya oposisi juga menyerukan pendukungnya agar berhimpun di Bundaran Tahrir pada hari yang sama.
Partai Annur, sayap politik Gerakan Islam Salafi yang mendukung kudeta militer pelengseran Presiden Muhammad Mursi, memperingatkan perang saudara menyusul pembantaian di tempat Mursi ditahan.
"Penembakan itu sangat berbahaya dan bisa memicu perang saudara," kata Sekretaris Jenderal Partai Annur, Shaban Abdul Alim, merujuk pada penembakan di Kantor Garda Republik, tempat Mursi ditahan, pada Senin.
Partai Annur mengutuk keras atas penembakan itu dan menjulukinya sebagai pembantaian manusia. Mereka menyatakan menarik diri dari dukungan terhadap presiden transisi Adly Mansour.
Annur adalah kubu Islam yang berada di urutan kedua meraih suara terbanyak dalam pemilihan parlemen tahun lalu.
Kementerian Kesehatan secara resmi mengumumkan 34 orang tewas. Namun, Satuan Media Lapangan di Rumah Rabiah Adawiyah memastikan jumlah korban meningkat jadi 52 orang dan ratusan orang lagi cedera.
Militer mengatakan seorang perwira tentara gugur dalam bentrokan tersebut.
Militer mengatakan mereka diserang oleh pengunjuk rasa sehingga terpaksa melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan masa. Sumber medis mengatakan kebanyakan korban akibat tembakan senjata api.
"Tindakan operasi sedang dilakukan untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di kepala dan dada beberapa korban," kata sumber itu.
Mohamed Beltaghi, seorang petinggi Ikhwanul Muslimin yang mengaku berada di tempat kejadian, mengatakan penembakan itu terjadi usai shalat subuh. "Kami diserang mula-mula dengan tembakkan gas air mata yang sangat tebal dan kemudian disusul rentetan tembakan senjata api," katanya.
Ketua Partai Masr Al Qawi, Abdel Monem Abul Fatuh, mengutuk keras dan menyebut penembakan itu sebagai tragedi kemanusiaan.
Amerika Serikat akan tetap meneruskan rencananya mengirimkan empat pesawat jet tempur F-16 ke Mesir dalam beberapa minggu mendatang, kata para pejabat AS. Rencana itu tetap dijalankan di saat Washington secara hati-hati mempertimbangkan apakah akan menyebut penggulingan pemimpin Mesir baru-baru ini sebagai kudeta militer.
Keputusan untuk menyatakan penggulingan Presiden Mesir Mohamed Mursi pekan lalu sebagai kudeta akan, menurut hukum, mewajibkan pemerintahan Presiden AS Barack Obama untuk menahan bantuan bagi tentara Mesir. Mesir merupakan penerima bantuan terbesar kedua dari AS setelah Israel. Mesir menerima 1,5 miliar dolar AS (Rp 14,9 triliun) setiap tahun.
Pesawat-pesawat jet itu merupakan bagian dari paket bantuan, kata seorang pejabat departemen pertahanan AS. Pejabat departemen pertahanan mengatakan pengiriman empat jet F-16 tersebut kemungkinan akan dilakukan bulan Agustus mendatang. "Saat ini tidak ada perubahan menyangkut rencana pengiriman pesawat-pesawat F-16 kepada militer Mesir," kata pejabat kedua AS tanpa ingin disebutkan namanya.
Kalangan-kalangan Islamis yang mendukung Mursi --presiden Mesir pertama kalinya yang terpilih melalui pemilihan bebas, menyalahkan Amerika Serikat karena membiarkan terjadinya apa yang mereka sebut sebagai kudeta militer.
Korban tewas terus bertambah akibat serangan militer Mesir kepada pendukung pro-Mursi. Menurut seorang narasumber dari tim medis, setidaknya 42 orang tewas pada peristiwa yang disebut Pembantaian di Garda Republik, beberapa di antaranya perempuan dan anak-anak.
Juru Bicara kelompok Ikhwanul Muslimin, Gehad el Haddad, dikutip dari Reuters, mengaku sedang berada di masjid yang terletak di dekat lokasi penembakan. Ketika itu pendukung Mursi sedang menggelar shalat shubuh berjamaah sebelum ditembaki gas air mata dan diberondong senapan mesin. Sedangkan sebagian lainnya sedang berorasi di depan Garda Republik.
Para korban menurut dia, kebanyakan mengalami luka tembak di kepala. Korban pun dibawa ke rumah sakit di Nasr City.
Seorang demonstran al Shaimaa Younes mengatakan tentara dan polisi menembaki demonstran yang sedang shalat shubuh. Akibatnya, terjadi kepanikan sehingga pengunjuk rasa berlarian ke berbagai arah. Padahal di lokasi, ada perempuan dan anak-anak yang ikut dalam demonstrasi.
''Aku melihat orang-orang mulai berjatuhan,'' katanya Senin (8/7).
Sebelumnya, seperti dikutip Al Jazeera, juru bicara Kementerian Kesehatan, Khaled el Khatib mengatakan 34 orang pendukung Mursi yang berdemonstrasi di depan Markas Besar Militer Mesir tewas. Sementara itu 322 orang lainnya mengalami luka-luka.
Pendukung Mursi telah menggelar unjuk rasa di luar gedung Garda Republik semenjak Mursi digulingkan oleh militer. Mereka meminta militer membebaskan dan mengembalikan kursi Presiden Mesir kepada Mursi.
Juru bicara Ikhwanul Muslimin, Gehad al-Haddad, mengatakan kepada VOA, aksi demo yang rencananya akan dilaksanakan seusai ibadah shalat Jumat itu merupakan aksi protes damai untuk mempertanyakan apa yang dianggap kelompok itu kudeta militer terhadap pemimpin mereka yang terpilih secara bebas untuk pertama kalinya di Mesir.
Ikhwanul Muslimin telah menolak berpartisipasi dalam rencana pembentukan pemerintah transisi, dan mengatakan kelompok itu akan terus melangsungkan protes hingga Mursi dipulihkan jabatannya.
Sementara itu, para penentang Mursi berencana untuk berkumpul di Kairo untuk merayakan pergolakan massa yang mendorong militer menggulingkan Mursi, yang hingga saat ini dalam tahanan militer.
Sejak penggulingan Mursi pekan lalu, bentrokan maut antara kedua faksi mengancam negara terbesar di dunia Arab itu terjerumus ke dalam krisis sektarian skala besar.
emokratisasi di mesir dikuatirkan merembet ke Arab Saudi, Kuwait dan Persatuan Emirat Arab.
No comments:
Post a Comment