!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Thursday, January 9, 2014

Kewajiban Membangun Smelter, Antara Nilai Tambah, Tingkat Keekonomian, dan PHK




Kewajiban Membangun Smelter, Antara Nilai Tambah,  Tingkat Keekonomian, dan PHK


 Sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia, baik berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mereka diwajibkan untuk membangun smelter (pengolahan bahan mentah tambang menjadi bahan jadi.

Perusahaan tambang kecil maupun besar seperti PT Freeport Indonesia tidak dibenarkan lagi mengolah bijih tembaga maupun emas yang mereka ambil dari Gunung Grasberg di Tembagapura, Papua ke perusahaan pengolah di luar Indonesia

Kebijakan ini sebagai Implementasi UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang disertai larangan ekspor bijih mineral tambang (ore) pada 12 Januari 2014 mendatang bakal menjadi tantangan tersendiri bagi sektor ketenagakerjaan.

Betapa tidak, diperkirakan aka nada sekitar 800.000 pekerja dari sektor pertambangan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat penerapan UU itu. Kendati UU tersebut sudah diterbitkan 5 tahun lalu, aturan teknis tentang penerapan UU itu baru keluar pada 2012 atau kurang dari setahun UU tersebut harus dijalankan secara konsisten dan utuh.
Sementara itu, untuk membangun smelter yang memungkinkan pengolahan dan pemurnian bijih mineral tambang itu hingga tahap 99,9% sesuai amanat UU Minerba, perusahaan mineral tambang membutuhkan 3 sampai 5 tahun. Kondisi ini dengan persyaratan, segala perizinan, pembebasan lahan, infrastruktur pendukung seperti pasokan listrik, dan pendanaan sudah tersedia.

Pada kenyataannya, hingga kini belum ada satupun smelter yang dibangun kecuali smelter yang sudah existing. Kapasitasnya pun terbatas, sehingga tidak mampu menyerap seluruh produksi mineral di dalam negeri.

PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan PT Freeport Indonesia (Freeport) misalnya dua perusahaan yang memproduksi mineral tembaga hanya bisa memasok masing-masing 20% dan 40% produksi mineral tembaga untuk diolah di dalam negeri. Dengan adanya larangan ekspor bijih mineral, sekitar 80% konsentrat tembaga milik NNT dan 60% konsentrat tembaga Freeport tidak bisa diekspor.

Jika larangan ekspor tetap dijalankan, yang paling mungkin dilakukan kedua perusahaan tersebut adalah menjalankan operasional perusahaan dengan bertopang pada masing-masing 20% dan 40% produksi konsentrat tembaga yang bisa diserap di dalam negeri.

Namun, kondisi ini tentu saja mengimplikasikan adanya perampingan bahkan tutup operasi dengan konsekuensi adanya PHK sejumlah karyawan dan kontraktor.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan pembangunan smelter sudah tidak visible lagi. Alasannya, harga hasil tambang tidak bagus seperti 2009.

"Makanya banyak pengusaha mengurungkan niat pembangunan proyek smelter tersebut," katanya Sofjan Wanandi.
Tak pelak, kalangan pengusaha meminta pemerintah untuk mengkaji ulang larangan ekspor bahan mineral tersebut. Sofjan mengatakan pemerintah dan parlemen harus menghitung dampak dari penerapan UU No. 4/2009 yang berisiko menambah jumlah pengangguran.

Berdasarkan informasi dari asosiasi perusahaan tambang yang diperoleh Apindo, ada sekitar 800.000 pekeria yang terancam di-PHK. "Namun pekerja yang bakal terdampak langsung sebanyak 300.000 orang," kata Sofjan.

Sisanya, sekitar 500.000 pekerja tambang masih bisa melakukan kegiatan lain atau mencari pekerjaan lain karena bukan merupakan pegawai tetap dari perusahaan tambang.

"Mereka merupakan pekerja alih daya yang dipekerjakan di kawasan tambang."

Dari 300.000 jumlah pegawai tetap yang terancam diberhentikan, perusahan tambang jelas kesulitan untuk membayar pesangon yang dinilai cukup tinggi.

"Bayangkan saja jika gaji mereka rata-rata Rp20 juta. Berapa total pesangon yang harus dibayar oleh perusahaan tambang untuk tenaga kerja yang terhitung ahli dan profesional tersebut?"

Daisy Primasari, Juru bicara Freeport Indonesia, sudah dengan tegas mengungkapkan dengan berjalannya undang-undang tersebut, Freeport jelas hanya mampu mengoperasikan 40% dari sistem produksi.

"Freeport akan sangat sulit menjalankan rencana optimistis perusahaan jika pemerintah menjalankan pelarangan ekspor bahan mineral, termasuk konsentrat. Itu bukan preferensi kami," katanya, baru-baru ini.

Ketua Persatuan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Tambang Samawa (SPATS) PT NNT Iwan Setiawan mengakui Newmont tentu sanggup membayar pesangon karyawan. Namun, yang patut dicemaskan adalah kesinambungan perekonomian di daerah.

Kabupaten Sumbawa Barat sangat bergantung pada keberadaan NNT. Dengan adanya larangan ekspor bijih mineral, NNT akan tutup dan nilai tambah untuk masyarakat Kabupaten Sumbawa seketika terhenti.

"Dampaknya bukan saja soal PHK, tetapi secara keseluruhan untuk perekonomian di daerah. Karyawan di PHK, sejumlah keluarga bakal kehilangan pendapatan, ekonomi masyarakat mati dan gejolak sosial bakal muncul," katanya.

.
UU Minerba sebenarnya merupakan upaya pemerintah untuk mewarisi nilai luhur dari UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3 yang mengamanatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk rakyat.

Melalui peningkatan nilai tambah di dalam negeri, pengolahan dan pemurnian mineral itu bakal memicu industrialisasi yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan perekonomian bangsa dan masyarakat Indonesia.

Namun, penerapan aturan yang terburu-buru dan tidak matang bakal memakan banyak korban. Tentu saja bertentangan dengan semangat mulia meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Presiden Direktur NTT Martiono Hadianto dalam siaran persnya beberapa waktu lalu mengatakan, pihaknya sudah melakukan proses pengolahan dan pemurnian mineral tembaga menjadi konsentrat hingga ke tahap 95%.

Peningkatan mutu mineral itu sudah setaraf dengan harga produk akhir logam tembaga di pasaran internasional. Secara teknis dan ekonomis, pihaknya tidak mungkin membangun smelter. Karena itu, pihaknya bekerja sama dengan perusahaan lain dalam hal membangun smelter.

Pengamat Pertambangan MS Marpaung mengatakan, bijih mineral (ore) merupakan batuan yang baru diangkat dari hasil tambang kemudian dilakukan proses pengolahan dan peleburan sehingga menjadi konsentrat.

Di sisi lain, pemerintah menilai proses ore menjadi konsentrat belum merupakan bagian pengolahan. Padahal, proses mengubah batuan yang digali itu sebenarnya merupakan proses pengolahan dan pemurnian.

"Isu-isu seperti ini yang menimbulkan polemik dan bikin bingung. Sebaiknya pemerintah menunda pelarangan ekspor mineral mentah yang akan diberlakukan 12 Januari 2014. Apalagi larangan itu bisa menimbulkan dampak yang besar karena berhubungan langsung dengan para pekerja tambang," katanya.

Di samping itu, pemerintah menilai pengelolaan usaha pertambangan di Indonesia memang sangat perlu untuk dibenahi, terutama sistem pengolahan tambang yang melibatkan tenaga kerja/buruh.

Menurut kajian Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, banyak perusahaan pertambangan temyata mengalihdayakan bisnisnya kepada perusahaan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Freeport misalnya, dalam catatan Kemenakertrans, mengalihdayakan sedikitnya delapan jenis usaha yang seharusnya menjadi core business dari perusahaan. Selain Freeport, masih banyak perusahaan tambang lain yang melakukan hal serupa.

Sistem alih daya tersebut, memicu kontrak kerja yang tidak terikat yang mengakibatkan lemahnya posisi tawar buruh. "Namun, kami masih mempelajari risiko penerapan undang-undang tersebut dari segi ketenagakerjaan," kata Sahat Sinurat, Direktur Penyelesaian Perselisihan Dari Kemenakertrans.

Melalui UU No.4/2009 tersebut, pemerintah sebagai regulator mulai mengatur satu dari sekian banyak masalah di dunia tambang Tanah Air. Meski berisiko menambah angka pengangguran, pemerintah jelas sedang diuji untuk menjalankan undang-undang tersebut secara konsisten. Mampukah pemerintah menemukan solusi terbaik?.

Aturan larangan ekspor mineral mentah yang diatur dalam UU minerba No. 4 tahun 2009 sejatinya akan dilaksanakan pada 12 Januari 2013 nanti. Maka dari itu, Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) Natsir Mansyur berharap agar pemerintah dan DPR bisa tetap konsisten dalam menerapkan aturan tersebut sehingga tidak mudah dipermainkan.

Menurut dia, program hilirisasi minerba dinilai merupakan wujud adanya konsistensi pemerintah yang dampaknya dinilai positif bagi pertumbuhan ekonomi di masa-masa mendatang. "Ke depannya akan berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, khususnya bagi pertumbuhan industri nasional. Selama ini industri hulu masih terbatas, hilirnya pun tidak sehat dengan bahan baku impor yang selalu menimbulkan persoalan," kata Natsir.

Dengan program hilirisasi itu, Natsir juga berharap agar impact sosial, politik, dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, tak kurang dari 800.000 orang tenaga kerja langsung yang terlibat di bisnis mineral, serta mempertimbangkan Kontrak Karya(KK) Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Menurut Natsir, tenaga kerja di sektor pertambangan yang tidak terlibat langsung sebanyak 3,2 juta orang, yang terlebar di bidang hotel, transportasi, bank /leasing kredit mobil, motor, alat berat "Kerusakan infrastruktur yang sudah dibangun pengusaha, selama empat tahun dan membangunnya kembali juga sangat berat," kata dia.


Sebelum aturan tersebut berlaku, beberapa pelaku usaha minerba merasa keberatan dengan aturan tersebut. Bahkan para pelaku usaha tersebut mengancam akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang jumlahnya mencapai ratusan ribu tenaga kerja. Menyikapi gertakan tersebut, Menteri Perindustrian MS Hidayat sempat menyatakan masih akan mengkajinya. "Tanggal 12 Januari (2014) nanti akan ada terjadi implementasi UU, lalu terjadi pro kontra, kemudian ancaman PHK dan sebagainya, pemerintah ingin menelaah itu satu per satu sampai di mana kebenarannya," ujar Hidayat

Hidayat mengatakan, pengkajian mengenai dampak penerapan UU Minerba akah dilakukan pada pertemuan dengan wakil presiden. Tetapi, dia menerangkan, pertemuan itu nanti tidak akan berujung pada kesimpulan apakah akan menunda pelaksanaan hilirisasi atau tidak. "Belum berarti menyetujui atau tidak, tapi kita akan menelaah secara mendalam, dan menteri-menteri ekonomi diminta untuk menelaah secara mendalam," ungkap dia.

Lebih lanjut, Hidayat menegaskan solusi yang hendak dicari dari pertemuan para menteri adalah meminimalisir beberapa dampak negatif pelaksanaan UU Minerba ini. Misalnya seperti ancaman PHK, pemerintah akan melakukan penilaian secara cermat Hidayat yakin, kepentingan tidak akan diabaikan, meski kali ini pemerintah membahas kemungkinan kelonggaran . bagi perusahaan terhadap aturan hilirisasi.
"Tentu mengutamakan kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional," ucapnya.

Sementara itu, Menteri ESDM, Jero Wacik mengatakan bahwa pemerintah tidak gentar dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja penambangan oleh perusahaan tambang lantaran pemberlakuan UU) Minerba No 4/2009. "Kami sangat serius membahas UU Minerba ini karena menyangkut pertambangan dan nilai tambah Indonesia termasuk lingkungan hidup Indonesia kini dan nanti," kata Jero.

Dia mengimbau kepada para pelaku usaha pertambangan mineral dan batu bara untuk lebih bijak dalam merespon keputusan ini. Dia juga mengharapkan agar ancaman PHK yang sebelumnya mencuat agar tidak sampai terjadi. "Kita harapkan tidak ada PHK. PHK nanti kita bahas lagi," ujar dia.

Sebelumnya, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT)
mengungkapkan akan ada PHK apabila UU Minerba No 4/2009 diberlakukan. Manajer Corporate Social Responsibilfty Newmont Syarafuddin Jarot mengatakan, dari sekitar 4.100 pegawai Newmont, sudah ada yang dikomunikasikan untuk diistirahatkan dan akan ada perubahan jadwal kerja. "Karena sebagian besar ada di level bawah, maka akan proporsional (dirumahkan) di level bawah," ujarnya.

Bupati Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli sebelumnya mengatakan, penetapan UU Minerba belum-bisa dilaksanakan saat ini karena akan ada multiplier effect. Pasalnya, PHK akan terjadi di wilayah Sumbawa Barat karena larangan ekspor bahan mentan tersebut.

"Walaupun Newmont diganti oleh Antam, itu akan sama saja karena tidak ada satupun smelter di wilayah Sumbawa, Barat," ujar dia.

Selain Newmont, Freeport juga sempat ,mengatakan akan mengurangi sekitar 100.000 pekerjanya lantara tidak diperbolehkan mengekspor bahan mentah. Mereka beralasan hilirisasi akan membuat kapasitas produksi menurun, sehingga jumlah pekerjanya harus dikurangi.

Bagi pemerintah tiak bisa lain bahwa mereka sesuai undang-undang diminta konsisten menerapkan undang –undang ini dengan mewajibkan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri, sesuai Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) kepada seluruh perusahaan tambang. Berdasarkan Pasal 170 UU 4/2009, pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib memurnikan hasil tambangnya paling lambat 12 Januari 2014.

“Itu akan memberikan manfaat yang besar bagi Indonesia. Jadi, tidak ada kata lain, pemerintah harus konsisten dengan UU yang dibuatnya,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto di Jakarta.

Namun, Pri mengakui bahwa sejak awal ada kelemahan dalam ketentuan tersebut. Menurut dia, ketentuan menyangkut kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri secara teknis belum layak dijalankan sesuai tenggat waktu, yakni pada 2014. Kelemahan kedua, yang paling mendasar menurutnya adalah dalam masalah posisi tawar negara kepada perusahaan- perusahaan tambang besar seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Di atas kertas, kata dia, memang terlihat pemerintah seakan memiliki posisi tawar tinggi, berwenang, dan berkuasa. “Tapi pada kenyataannya, suka atau tidak suka, negara kita cukup tergantung dari perusahaan perusahaan besar tersebut di dalam pengelolaan dan pengusahaan tambang,” cetusnya.

Akibatnya, pada praktiknya pemerintah sulit menerapkan sanksi kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Terlebih, terkait Freeport dan Newmont, dalam kontraknya memang tidak memuat kewajiban membangun smelter.

Sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah akan konsisten menjalankan kewajiban smelter sesuai UU Minerba. Pemerintah juga akan mendukung penuh perusahaan yang akan membangun smelter. Perusahaan tambang asal Rusia, Rusia Aluminium (Rusal) misalnya, berkomitmen membangun smelter aluminium dengan nilai investasi sekitar USD6 miliar. Namun, Rusal meminta kepastian pemerintah untuk konsisten melaksanakan UU Minerba.

Sebab, mereka khawatir investasinya akan sia sia karena tidak mendapat bahan baku tambang yang akan diolah. Sesuai Pasal 170 UU 4/2009, pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi diwajibkan memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri mulai tahun depan. Dengan ketentuan tersebut, pemegang kontrak karya berskala besar seperti Freeport dan Newmont wajib memurnikan hasil tambang emas, tembaga, dan peraknya di dalam negeri.

Kewajiban pengolahan bahan baku tambang hingga berbentuk logam tersebut bisa dilakukan bekerja sama dengan perusahaan lain. Namun, mengingat kewajiban pemurnian tersebut hanya tinggal beberapa hari lagi, dikhawatirkan ada kemungkinan perusahaan-perusahaan itu masih boleh mengekspor produknya meski hanya bermodal komitmen.

Padahal, komitmen-komitmen tersebut antara lain baru berupa studi kelayakan atau ground breaking pembangunan pabrik pemurnian. .
DPR menegaskan tidak akan mengubah ketentuan kewajiban pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) yang diamanatkan Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

Apalagi DPR juga meminta pemerintah tegas menjalankan ketentuan kewajiban pembangunan smelter ini. ”Pemerintah harus tegas dan tidak boleh berubah pendapat sedikit pun, baik karena tekanan atau ancaman pengusaha,” ujar anggota Komisi VII DPR Dito Ganindito di Jakarta. Dito menegaskan, UU Minerba yang telah dibuat pemerintah dan juga DPR harus dilaksanakan secara konsisten.

Menurut dia, jika memang ada perusahaan yang tidak mau memenuhi ketentuan tersebut, maka pemerintah harus tegas menyetop ekspor perusahaan yang bersangkutan.

Dia menambahkan, di negara lain pelarangan ekspor bahan mentah tambang berikut kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri sudah lama diterapkan. ”Jadi, kenapa kita tidak seperti itu. Ini menjadi pertanyaan,” cetusnya. Sementara, pengamat energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemerintah sering kali bermasalah dalam menegakkan aturan yang telah dibuatnya sendiri.

Kebijakan yang dibuat sering tidak menyeluruh, tidak dikaji mendalam, dan tidak sungguh-sungguh dijalankan sehingga sering berakibat negatif di kemudian hari.

Terkait dengan kewajiban membangun smelter, pemerintah perlu mengevaluasi secara menyeluruh penolakan perusahaan tambang untuk melaksanakannya. Seperti diketahui, sejumlah perusahaan tambang berskala besar seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara keberatan membangun smelter sendiri. Mereka beralasan, hal itu tidak ekonomis bagi perusahaan.

Di sisi lain, ada sejumlah perusahaan dari luar yang menyatakan minat mengembangkan smelter di Indonesia, dengan catatan ada kepastian pasokan bahan baku untuk diolah. Karena itu, perusahaan- perusahaan itu meminta pemerintah konsisten melaksanakan UU Minerba agar ada kepastian bagi mereka. Selain China, tercatat perusahaan tambang asal Rusia, Rusia Aluminium (Rusal), telah bertemu Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan menyatakan kesiapannya membangun smelter aluminium dengan nilai invnanang wijayantoestasi sekitar USD6 miliar.

Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan tentang kewijiban setiap perusahaan tambang memiliki smelter dinilai tidak efektif oleh Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani. Hal ini disampaikannya usai menghadiri Prospek Ekonomi Indonesia 2014, “Tantangan Ekonomi di Tengah Tahun Politik”, di Jakarta.

“Kalau semua pabrik yang mau bikin tambang harus bikin smelter itu gak bisa. Smelter itu ada skala ekonominya, dimana-mana smelter yang dibangun itu kalau gak ada tiga atau empat perusahaan. Jadi salah, kalau kita mesti bikin smelter di setiap perusahaan. Itu tidak efektif,” tegasnya, seperti dikutip Antaranews.com

Selain kebijakan soal smelter tersebut, Aviliani juga menyampaikan bahwa pemerintah perlu memberikan fasilitas kepada beberapa perusahaan untuk produk-produk tertentu. Misal produk kimia.

“Produk kimia itu kalau banyak persaingan ya pada gak mau dong. Karena gak akan mencapai skala ekonomi. Itu yang kita gak pernah mikir. Semua-semua itu ditender. Jadi harus dipilah-pilah,”katanya.

Sesuai dengan Undang-undang No. 4 tahun 2009, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 7 Tahun 2012 dan No 11 Tahun 2011, Pemerintah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Namun, kebijakan ini dinilai masih tidak efektif bagi oleh beberapa pihak. |Muhammad Jusuf

No comments:

Post a Comment