!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Thursday, September 4, 2014

Perjalanan yang belum selesai (37)

Perjalanan yang belum selesai (37)
Karyati bin Halil

(Bagian ke tigapuluh tujuh, Depok.Jawa Barat,Indonesia, 4 September 2014, 13.56 WIB)

Melihat berita televisi ada seorang nenek pemulung di Mojokerto yang naik haji tahun 2014 ini hati saya campur aduk, antara gembira, karena nenek ini walaupun seorang pemulung diberi Allah maha kuasa rezeki dan kesempatan naik haji, sedihnya , saya walaupun berprofesi sebagai wartawan sekitar 30 tahun belum diberikan Allah Maha Besar kesempatan naik haji, malahan kini terhalang sakit ginjal yang mengharuskan saya cuci darah dua kali seminggu.

Saya kerap bertemu dengan orang kebanyakan, bukan pengusaha atau orang kaya yang justru diberikan Allah kesempatan naik haji, seperti seorang penjual martabak manis dan es sirup yang sehari-harinya mangkal di Pasar Mardika, Ambon, Propinsi Maluku. Sebaliknya banyak sekali teman saya yang kaya punyak uang miliaran dan mobilnya banyak malah mendahulukan pergi belanja ke Luar Negeri dibandingkan naik haji ke Mekah. Bahkan ada rekan saya yang sepulang dari Bangkok dan Singapura keburu meninggal, dengan meningalkan warisan uang miliaran rupiah.

Padahal bekal di Akherat (kalau kita meninggal) adalah amal ibadah kita seperti naik haji atau Umroh, bukan meninggalkan uang sedemikian banyak. Kecuali ahli waris kita mengamalkannya (memberi sedekah) uang yang kita wariskan itu). Wallahu alam.

Pemulung Karyati bin Halil
 Sebesar apa pun kekayan yang kita tumpuk tidak bisa menolong kita di hari Kiamat, kecuali kekayaan yang telah kita amalkan untuk beribadah kepada Allah Maha Kuasa, seperti membantu orang susah (miskin) membangun Masjid, sekolahan, atau sarana umum lainnya. Semoga tulisan ini mengingatkan diri saya dan Umat Islam sedunia khususnya, agar memanfatkan waktu hidup di dunia yang singkat ini untuk beribadah dan selalu bersyukur Pada Allah pencipta langit dan bumi dan seluruh semesta alam. Semoga Allah Maha Besar mengampunai segala dosa-dosa kita dan kelalaian yang kita perbuat selama hidup.




Nenek Pemulung bisa naik haji

TribunNews., Probolinggo -  Tak sia-sia doa dan kerja keras yang dilakukan dari siang hingga malam hari oleh Karyati Binti Halil (69) setiap hari di Masjid Ar-Rahman, mengantarkannya naik haji, 29 September 2013.

"Ya, senang, tidak semua orang bisa berangkat naik haji," kata ibu empat orang anak ini ditemui Surya (grup Tribunnews.com) di rumahnya, RT14/ RW05, Dusun Raas, Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Probolinggo.

Maklum, nenek 11 cucu ini, sehari-hari hanya bekerja sebagai tukang urup-urup atau pengumpul rongsokan (pemulung) kertas bungkus makanan dan botol serta gelas plastik air mineral untuk mendapatkan uang.

Mbok Karyati, panggilan akrabnya, mengatakan, keinginanya untuk naik haji sudah ada sejak Tahun 2008. Pada waktu itu, ia mendaftar menjadi calon jemaah haji dengan membayar 20 juta rupiah. Uang tersebut merupakan hasil tabungan dan penjualan perabotan serta warung kelontong miliknya.

Karyati mengatakan, dia memutuskan untuk berhenti berjualan setelah sempat berselisih paham dengan penjual warung yang berada tak jauh dari warung miliknya.
Karena tidak memiliki pekerjaan lagi, akhirnya dia memutuskan untuk mencari uang dengan mengumpulkan rongsokan di halaman Masjid Ar-Rahman di Jalan Leces, sekitar 1 kilometer dari rumahnya.

Setelah lima tahun, uang tabungannya terkumpul Rp 16 juta, yang kemudian ia bayarkan untuk melunasi pembayaran biaya naik haji.

Jumlah kuota jamaah haji Indonesia tahun 2014 sebanyak sekitar 168.800 jamaah haji yang terdiri dari 155.200 jamaah haji reguler dan 13.600 jamaah haji khusus.

Tanda-Tanda Haji Mabrur

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA



PEMBUKA
Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para Ulama dengan maqâshid syarî'ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(hadits qudsi):

قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيْ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Allah berfirman: “Telah Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbetik di hati manusia." [1]

Untuk ibadah haji, secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Haji yang mabrûr tidak lain pahalanya adalah surga. [2]

Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan Ulama dan keuntungan berdagang.

Di samping itu, Allah Azza wa Jalla juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga Allah Azza wa Jalla bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.

TIDAK SEMUA ORANG MERAIH HAI MABRUR
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrûr. Haji mabrûr bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrûr artinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla , dan sah artinya menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla .

Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrûr. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan: "Yang hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin Allah Azza wa Jalla memberikan karunia kepada jama`ah haji yang tidak baik dikarenakan jama’ah haji yang baik."[3]

TANDA-TANDA HAJI MABRUR
Bagaimanakah mengetahui mabrûrnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrûr dengan yang tidak mabrûr? Tentunya yang menilai mabrûr tidaknya haji seseorang adalah Allah Azza wa Jalla semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrûr atau tidak. Para Ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrûrnya haji, berdasarkan keterangan al-Qur`ân dan Hadits. Namun, itu tidak bisa memberikan kepastian mabrûr tidaknya haji seserang.

Sebagian dari tanda-tanda ini barangkali berhubungan dengan pembahasan cara meraih haji mabrûr, karena cara kita menjalankan ibadah haji juga bisa dijadikan cermin dalam hal ini.

Di antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:

Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.[4]

Orang yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam sebuah syair[5] :
Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya.

Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qâdhi: "Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla ."[6]

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat meyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah.[7]

Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[8]

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ

Memberi makan dan berkata-kata baik.[9]

Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.[10]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya."[11]

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.

Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.

Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.

Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid'ah maupun maksiyat.

Kelima: Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik.
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.[12]

Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jama`ah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla . Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para Ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.

Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya. Karena itu, bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqâmah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrûr.

Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah Azza wa Jalla ; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan: "Haji mabrûr adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat."[13] Ia juga mengatakan: "Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji."[14]

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengatakan: "Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran."

PENUTUP
Sekali lagi, yang menilai mabrûr tidaknya haji seseorang hanya Allah Azza wa Jalla. Para Ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah Azza wa Jalla . Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah Azza wa Jalla , dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfâr dan memperbaiki amalan anda. Wallâhu a'lam.


Referensi:
1. Al-Qur`ân al-Karîm.
2. Shahîh al-Bukhâri, Tahqîq Musthafa al-Bugha, Dâr Ibn Katsîr.
3. Shahîh Muslim, Tahqîq Muhammad Fuâd `Abdul Bâqi, Dâr Ihyâ' Turâts.
4. Musnad Imam Ahmad, Tahqîq Syu'aib al-Arnauth, Muassasah Qurthûbah.
5. Sunan al-Baihâqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
6. Silsilah al-Ahadîts ash-Shahîhah, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma'ârif.
7. At-Târîkh al-Kabîr, al-Bukhâri, Tahqîq Sayyid Hâsyim an-Nadawi, Dârul Fikr.
8. Lathaiful Ma'ârif fîma li Mawâsil 'Am minal Wazhâif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syâmilah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Syariat Ibadah Haji

Oleh
Syaikh Khalil Harras







Kabah, Mekah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak berbuat keji dan melakukan kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia dilahirkan ibunya. [HR al-Bukhâri no. 1424]

Kaum Muslimin keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan telah memiliki bekal berupa kekuatan yang besar dalam kehidupan rohani yang suci; jiwa-jiwa mereka menjadi kuat dan tidak bergantung kepada kebendaan; keinginan-kenginan mereka telah terlatih untuk mengalahkan hawa nafsu syahwat; serta mampu menanggung kepayahan-kepayahan dan melawan hal-hal yang dibenci. Karenanya, mereka memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan telah siap sempurna rohani dan jasmaninya. Mereka telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan beban-beban yang terdapat pada kewajiban yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun kelima dari rukun-rukun Islam.

Haji itu seperti puasa, hukumnya wajib sejak dahulu; Allah Azza wa Jalla telah mewajibkannya kepada para hamba-Nya semenjak Dia memerintahkan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar membangun Baitul Harâm di Mekah, kemudian menyuruhnya supaya memaklumkan haji kepada manusia agar mendatanginya.

يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa binatang ternak…” [al-Hajj/22:27-28]

Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa.

Hanya saja anak keturunan mereka telah mengadakan bid’ah-bid’ah di dalamnya lantaran lamanya masa, dikuasai hawa nafsu, dan setan menghiasi penyimpangan mereka.

Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu menaruhnya di sekitar Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah untuk berhala dan menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya, dan dahulu mereka mengucapkan dalam talbiahnya;

اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ لَكَ, تَمْلِكُهُ مِمَّا مَلَكَ

“Wahai Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu yang Engkau punya, Engkau memiliki apa yang dia punya”

Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah dengan bertelanjang, karena merasa tidak nyaman melaksanakan thawâf dengan pakaian-pakaian yang dikenakan pada saat mereka datang, sampai-sampai kaum wanita pun thawâf di Ka’bah dengan tidak berpakaian. Para wanita itu menutupi farjinya dengan sehelai kain, lalu mengatakan:

“Pada hari ini tampaklah sebagian atau seluruhnya (tubuh); namun apa saja yang terlihat, maka aku tidak membolehkan (dijamah) ”

Tatkala Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembaharu agama Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, sudah sewajarnya jika pembaharuan itu mencakup kewajiban haji. Maka, haji diwajibkan pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya dari al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” [al-Baqarah/2:196]

Hingga firman Allah:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [al-Baqarah/2:197]

Juga firman-Nya yang lain :

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrâhîm. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]

Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka hajilah kalian!” [HR. Muslim]

Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu :

(بنُِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ, وَإِيْتاَءُ الزَّكَاةِ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَُّج اْلبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)

“Islam dibangun di atas lima rukun; persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, serta haji ke baitullah bagi siapa yang sanggup mengadakan perjalan kepadanya.” [Muttafaq ‘alaih]

Sungguh, Nabi telah menafsirkan makna as-sabîl dengan bekal dan kendaraan, maka siapa yang memiliki nafkah bagi diri dan keluarganya hingga kembali dari haji serta mendapatkan kendaraan yang menghantarkannya ke Mekah (yakni biaya safar pulang pergi), maka wajib baginya segera berhaji; karena dia tidak akan tahu apa yang akan menghalanginya sesudah itu, sebab sakit atau berkurang hartanya.

Haji termasuk ibadah yang mempunyai pengaruh besar dalam mendidik jiwa, berupa lepas diri dari gemerlap dunia, kembali kepada fitrah aslinya, mengatasi kesulitan-kesulitan dan kepayahan-kepayahan, mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah Azza wa Jalla dengan menahan diri dari setiap gangguan dan tindakan bermusuhan. Oleh karenanya, seorang yang berihrâm tidak boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh mencukur rambut, bahkan semua kegiatan ibadah haji itu adalah keselamatan untuk diri dan orang lain.

Pelaksanaan ibadah haji adalah bentuk pemenuhan terhadap panggilan Allah Azza wa Jalla melalui lisan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar berkunjung ke Baitul Harâm. Oleh karenanya, orang yang berhaji mengucapkan niatnya berhaji atau ‘umrah;

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Ku penuhi panggilan-Mu wahai Allah, ku penuhi seruan-Mu. Ku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, ku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian dan nikmat hanya untuk-Mu, juga kerajaan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.

Makna لَبَّيْكَ : Bersegera menuju ketaatan kepada-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu tanpa lama-lama dan lambat.

Selain itu, ibadah haji merupakan ajang perkumpulan kaum Muslimin yang berulang setiap tahunnya, di mana mereka datang dari berbagai belahan bumi, hingga mereka dapat mengingat persatuan agama yang menaungi mereka semua. Meski mereka berbeda jenis dan warna kulit, serta berlainan lisan dan dialek, maka dikenalkan persaudaraan, saling berganti memberikan manfaat di antara mereka, serta saling memahami keadaan masing-masing. Di dalamnya ada perbaikan terhadap keadaan dan kemuliaan mereka; juga memperkuat tali persaudaraan sesama mereka. Sungguh al-Qur’ân telah mengisyaratkan akan hal itu dalam firman-Nya:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” [al-Hajj/22:28]

Dalam hadits di atas (HR al-Bukhâri 1424) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa barangsiapa melaksanakan kewajiban haji dengan cara yang benar, yakni; mengikhlaskan niat kepada Allah Azza wa Jalla di dalamnya, dia tidak keluar karena riyâ` atau sum’ah, bahkan karena iman kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala dari sisi-Nya, patuh atas perintah-Nya; dia menunaikan kewajiban menjauhi perkara yang tidak pantas dilakukan orang yang berihrâm berupa rafats, yakni jima` dan pendahulu-pendahulunya dan setiap yang terkait dengannya; juga tidak berbuat fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, yakni bermaksiat terhadap-Nya; maka sungguh dia pulang dari ibadah haji dalam keadaan bersih dari dosa seperti saat dia dilahirkan. Kecuali jika dosa itu menyangkut hak-hak orang lain, maka sungguh dosa ini tidak terhapus dengan ibadah haji dan yang selainnya, bahkan harus mengembalikannya kepada yang berhak, atau meminta kepada mereka agar menghalalkannya.

Tidak heran jika ibadah haji dengan kedudukan seperti ini bisa mensucikan dari dosa-dosa, karena ia sebenarnya rihlah (pergi) menuju Allah Azza wa Jalla . Saat berhaji, seorang Muslim menanggung banyak kesusahan, terancam berbagai malapetaka dan marabahaya, mengorbankan tenaga dan hartanya, lalu melaksanakan manasik haji. Ia melangkah menuju pintu Rabb-nya, datang kepada-Nya dari tempat yang amat jauh untuk memohon maaf dan ampunan dari-Nya, meluapkan keluhannya kepada-Nya atas dosa-dosanya yang bisa menyebabkan kehancuran dan kebinasaannya, jika dosa –dosa itu masih ada dan tidak diampuni Allah Azza wa Jalla.

Maka apa persangkaanmu terhadap Rabb yang Maha Pemurah, yang hamba-Nya meminta perlindungan kepada-Nya, mencurahkan ke hadapan-Nya keluh kesahnya, mengakui kedzaliman dan kejahilannya di sisi-Nya, juga terhadap sikap melampaui batasnya terhadap hak-Nya; kemudian dia bertaubat, menyesal dan menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung baginya dari Allah Azza wa Jalla kecuali hanya pada-Nya. Juga bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari Allah Azza wa Jalla, serta bahwasanya jikalau dia tidak mendapatkan rahmat dan keutamaan dari Allah Azza wa Jalla , maka akan menjadi orang yang sengsara dengan kesengsaraan seluruhnya.

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla paling pengasih daripada Dia mengembalikan hamba-Nya dengan kondisi kecewa setelah Dia mengetahui kejujuran darinya dalam berlindung kepada-Nya dan ikhlas dalam taubatnya dari dosanya. Dan sungguh telah datang di dalam hadits shahîh:

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Ibadah haji mabrur (maka) tidak ada baginya balasan melainkan surga [HR. Muslim]

Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengkaruniai kami dan saudara-saudara kami dengan kebagusan dalam menjalankan kewajiban tersebut, dan menerimanya dengan anugerah dan kemurahan-Nya.

(Referensi : Majalah al-Ashâlah, hlm 31-34, bulan Safar Th.1424 volume ke-41, tahun ke-6)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


ACARA OPEN HOUSE CALON JEMAAH HAJI

Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA


Pertanyaan
Ustadz, di daerah tempat saya tinggal, jika ada yang mau naik haji, sehari sebelum keberangkatan biasanya yang bersangkutan mengadakan open house seharian dari pagi sampai malam. Tetangga berdatangan, katanya untuk medo’akan yang mau naik haji semoga hajinya mambur. Hal yang sama dilakukan sepulangnya yang bersangkutan dari naik haji, tetangga berdatangan untuk mengucapkan selamat dan menerima oleh-oleh dari tanah suci. Apakah hal ini riya’ bagi yang naik haji? Dan apakah kegiatan seperti ini bid’ah?

Jawaban
Ini merupakan budaya yang sudah merebak. Budaya ini perlu diwaspadai, karena belakangan budaya ini seakan sudah menjadi rangkain ritual ibadah haji. Budaya ini jika dirutinkan secara syari’at bermasalah, karena kalau dirutinkan, maka dapat memunculkan suatu keyakinan bahwa ibadah haji itu harus diawali dan diakhiri dengan open haouse. Namun apakah dengan sebab ini, serta merta budaya itu bisa dihukumi haram? Ini juga tidak bisa. Karena dahulu para ulama mengenal yang namanya walimatus safar (walimah yang di lakukan ketika hendak melakukan perjalan jauh). Walimah safar ini digolongkan kedalam acara-acara yang mubah, juga sedekah dan syukuran.

Misalnya, sepulang dari menunaikan ibadah haji anda ingin bersedekah dengan mengundang tetangga untuk jamuan makan malam, selama tidak meyakininya sebagai rangkaian dari ibadah haji, insya Allah tidak mengapa. Karena disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah rahimahullah ada beberapa macam walimah, diantaranya adalah walimah safar, walimah khitan dan lain sebagainya, tapi itu semua bersifat mubah, terkait dengan tradisi masyarakat setempat. Asalkan tidak dianggap sebagai hal yang diharuskan atau bagian dari ritual ibadah haji. Terutama para tokoh masyarakat dan para ulama, mereka memiliki peran penting untuk mejelaskan kepada masyarakat dengan lisannya atau menjelaskannya dengan prakteknya, misalnya dengan sesekali meninggalkan budaya tersebut agar masyarakat tahu bahwa itu bukan hal yang disunnahkan apalagi diwajibkan. Wallahu a’lam


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/Jumadil Akhir 1434/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] (Bersambung)

No comments:

Post a Comment