!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Sunday, February 8, 2015

Hidup itu singkat , manfaatkanlah

Perjalanan yang belum selesai (203)

(Bagian ke dua ratus tiga, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 8 Februari 2015, 22.00 WIB)

Hidup itu singkat , manfaatkanlah

Manusia hidup di zaman Nabi Muhammad ini sekarang rata-rata tidak akan lebih dari 100 tahun, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri berusia hanya 63 tahun.
Berbeda dengan manusia zaman purba, bisa mencapai ribuan tahun, Nabi Nuh sendiri berdakwah sampai 950 tahun.
Jadi dibandingkan manusia awal (Purba) manusia kini hidup lebih singkat, bahkan bila dibandingkan masa (waktu) di akherat, waktu kita hidup dunia terasa singkat sekali.
Oleh sebab itu ALLAH dalam firmannya di surah wal ashr (demi masa), bahwa manusia itu hidup dalam kerugian, karena kurang berhargai waktu, bahkan cenderung banyak membuang waktu percuma.
Bagi kita hidup di kota Jakarta misalnya, tanpa sadar kita telah tua di jalan (artinya banyak waktu tersita di jalan).
Bayangkan saja, kantor di pusat Jakarta, bila rumah kita di kota Depok, Bekasi atau Tangrang saja, akibat jalan macet untuk sampai ke kantor dari rumah bisa tiga jam , begitu juga sebaliknya , jadi pulang balik rata-rata enam jam. Jadi delapan jam di kantor (pabrik) , enam jam di jalan, sisa 10 jam di rumah, kalau persiapan berangkat ke kantor 1 jam, dan persiapan pulang dari kantor ke rumah satu jam, berarti sisa 8 jam di rumah, lalu usai mandi sholat, makan malam sisa waktu ini kita gunakan untuk berbagai kesempatan, baik membaca buku, maupun bercengkerama dengan keluarga, lalu tidur.
Begitulah rutin kita lakukan bertahun-tahun sampai usia pensiun (58 tahun). Ini belum termasuk pekerja journalist (wartawan) berangkat pagi hari sampai rumah kadang jam 3 (pagi) subuh, setelah istirahat sebentar.
Nah, kalau kita tidak memanfaatkan waktu kita selama dijalan itu, dengan berzikir, mendengarkan bacaan al quran melalui Radio, atau istirahat (tidur), bagi mereka yang naik kendaraan umum, baik bis, kereta, atau memiliki supir, maka kita akan terjebak seperti Firman Allah di surah Wal Ashr (Demi masa).
Apalagi mengejar dunia (rezeki) harta, kadang kita lalai dalam Sholat dan zikir, ini yang menyebabkan kita menghalalkan segala cara dalam memperoleh rezeki, seperti menambah berat timbangan dengan solder timah , ini banyak saya temui di masa lalu, ketika saya membeli buah-buahan ketika ditimbang ditempat misalnya beratnya 1 kg, sampai di rumah kalau kita timbang lagi hanya sekitar ¾ kg.
Saya pernah ikut seorang konsultan yang ke sana kemari melakukan presentasi menawarkan jasanya kepada calon Gubernur, Bupati, Walikota. Dalam presentasi dia selalu mengaku telah berhasil membuat calon gunernur, Bupati dan Walikota terpilih dan memenangkan Pemilihan Daerah (Pilkada), dia bahkan berani memberikan contoh Gubernur yang telah sukses dibantu oleh perusahaan konsultannya, Padahal perusahaan konsultannya sama sekali tidak memiliki rekor pernah kontrak melakukan jasa konsultan untuk salah satu calon.
Namun karena kelihaian berbicara (tipuannya) dia berhasil memikat salah satu calon bupati.
Karena calon Bupati ini tidak cerdas, karena lulus SMP dan SMA menggunakan ujian kesetaraan (ini pun banyak diragukan, bekas teman kecilnya yang menyatakan calon Bupati ini tidak pernah sekolah, maka asal pilih jasa konsultan ini, karena dengan tarif paling murah dibandingkan jasa konsultan lain yang lebih professional.
Calon Bupati ini ingin jadi calon Bupati karena merasa punya sumberdaya harta (punya ijin) puluhan tambang batubara, satu diantaranya sudah beroperasi.
Pada bulan pertama , konsultan ini bekerja seperti professional menggunakan enam tenaga peneliti untuk menyebarkan kuesioner, untuk mengetahui pemetaan profil sang calon Bupati dibandingkan para pesaingnya.
Namun saya lihat objek sumber orang dilakukan interview, terlalu serampangan kurang menggunakan metode penelitian yang ilmiah, akhirnya hail kuesioner yang ada agak sia-sia, karena sang konsultan dalam laporan ke calon Bupati hanya yang positif saja.
Padahal sebagian besar masyarakat yang saya temui menganggap calon bupati yang saya usung memiliki citra negatif, maklum yang bersangkutan pernah dipenjara 1 tahun akibat keterlibatannya dalam illegal loging (kayu curian di hutan/ tanpa ijin), hasil illegal lodging inilah menjadi modal awal sang calon Bupati hingga kini memiliki puluhan ijin kontrak karya tambang batubara.
Selain itu ambisi sang calon Bupati juga terasa janggal. ‘’saya ingin merampas harta kekayaan yang dimiliki Bupati ini (Bupati yang sudah 10 tahun menjabat) yang tidak boleh lagi mencalonkan diri jadi Bupati lagi. Bupati ini sangat kaya, punya banyak mobil mewah, dan lebih banyak waktunya (berkerja) di luar kota (bukan di kota tempat dia memimpin.
Jabatan Bupati memang banyak menjadi banyak incaran banyak orang, walaupun dia mengeluarkan banyak uang (smpai Rp25 milia) untuk petinggi partai, agar dia dapat dicalonkan jadi Bupati olah Partai pengusung,
Salah satu cara Bupati memperoleh kekayaan, konon untuk satu ijin usaha kontak pertambangan dia memperolah minimal Rp 1 miliar, Kalu 50 ijin usaha tambang yang dia keluarkan dia bisa memperoleh uang ke kantong pribadi Rp 50 miliar.
Jadi cara-cara konsultan mencari rezeki tidak halal (menipu), calon Bupati juga berniat bahkan mencarikekayaan yang tidak halal. Hasilnya kita kasih makan anak isteri di rumah dari hasil tidak halal. Hasilnya kita telah berbuat maksiat yang berkepanjangan, yang kadang tidak kita sadari, Padahal kalau kita mencari nafkah yang halal, dan berniat ibadah karena Allah, ini sama saja Jihad Fisabililah.
Ada empat (4) sifat yang dilakukan para Salaf terdahulu (ahli sunnah waljamaah).
Kalau kita temui mereka, kalau tidak sedang membaca al-qur’an, mereka tengah berzikir, atau temgah berdiskusi atau mengajari tentang Ilmu (diskusi ilmiah tentang agama), dan atau mereka tengah membahas apa tang diperlukan oleh kita tentang hidup (mencari nafkah), apakah itu tentang cara berdagang, bercocok tanam, atau mencari ikan atau menuntut ilmu untuk kehidupan yang lebih baik.

Dalam mengisi kekosongan waktu dengan membaca berita, baik di telivisi , radio, Koran, kita juga sulit menemui berita yang objektif terhadap seputar Islam, yang ada berita Islam dipandang keji (kejam) pembunuh , pelanggar Hak Asasi Manusia. Ini memang dimaklumi, mengingat media massa dunia dikuasai non-Islam, baik Kristen maupun Yahudi atau Komunis (Xinhua , china)
Lihat saja televisi internasional CNN ABC, BBC, atau kantor berita multi nasional, Associted Press (AP) Amerika Serikat, Reuters (Inggris), Agence French Press (Prancis), DPA (Jerman).
Ada televisi dan media on line (Bahasa Inggris) multi nasional milik Negara Islam (Abu Dhabi/Qatar) yaitu Alzazira. Seangkan lainnya kecil-kecil, kantor berita dan televisi , lokal seperti Kantor Berita Nasional Antara, dan televisi Nasional Republik Indonesia (TVRI) ini pun keduanya merelai atau menerjemahkan berita dari CNN atau empat kantor berita Multinasional itu.
Karena arus informasi dikuasai Negara Non Muslim, berita yang datang kadang tidak objektif, dan demi kepentingan politik Negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Negara di Eropa. Jadi arus yang timpang ini membuat citra islam buruk, sepertinya tidak ada satu pun yang positif yang bis diperbuat orang Islam.


Salafiyyun Dan Daulah Islam


Oleh
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali hafizhahullahu



Pertanyaan.
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali ditanya : Bagaimana sikap kita dalam menghadapi syubhat yang dilontarkan kepadaa as-Salafiyyun, bahwa as-Salafiyyun tidak peduli dengan masalah Iqamatud Daulah atau Khilafah Al-Islamiyah (Mendirikan atau membangun negara dan kekuasaan Islam)?

Jawaban
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa ash habihi wa man walah.

Sebagaimana yang tadi telah disebutkan oleh Syaikh Ali Hafizhahullah bahwa syubhat-syubhat itu banyak sekali [1]. Sehingga menjawabnya pun membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu beliau meringkasnya. Dan apa yang telah beliau sampaikan sebenarnya sudah cukup.

Namun, tatkala permasalahan yang ditanyakan berkaitan dengan masalah kenegaraan dan pemerintahan, maka permasalahan ini merupakan permasalahan paling besar, dan merupakan sebab terbesar yang telah membangkitkan dan mengobarkan para pemuda untuk sangat mudah melakukan takfir (pengkafiran) dan pemberontakan atau demo-demo, dan bahkan perbuatan anarkis. Sebagian permasalahan ini telah dijelaskan oleh Syaikh Ali Hafizhahullah dan saya akan menjelaskan dari sisi lain, yang kaitannya lebih erat dengan permasalahan politik atau kenegaraan secara ringkas pula, insya Allah.

Pertama kali yang semestinya kita pahami adalah, bahwa negara yang penduduknya kaum Muslimin, di dalamnya dikumandangkan adzan, ditegakkan shalat, mayoritas keadaan kaum muslimin berhukum dengan syari’at Islam, maka negara ini adalah negara Islam. Karena perbedaan antara negara Islam dengan negara kafir, sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Muzani dalam kitab Ushulus Sunnah, adalah dikumandangkan adzan dan ditegakkan shalat di dalamnya.

Oleh karena itu, terhadap orang-orang yang mengatakan “kalian tidak peduli dengan iqamatud Daulatil Islamiyah (mendirikan negara Islam)”, maka kita katakan kepada mereka sesungguhnya negara-negara Islam sudah ada dan berdiri! Namun yang menjadi permasalahan, mayoritas hukum-hukum yang kini diterapkan di sebagian negara-negara Islam, baik dalam bidang perekonomian, politik, pendidikan, kebudayaan dan lain-lainnya, hampir secara keseluruhan merupakan hukum-hukum buatan manusia, hukum-hukum import (yang di datangkan dari negara-negara kafir,-red).

Para ulama telah menjelaskan secara terperinci tentang permasalahan ini [2]. Yakni, tentang berhukum dengan hukum-hukum atau undang-undang buatan manusia. Para ulama menerangkan, bahwa seseorang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, berarti ia telah melakukan sebuah kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Akan tetapi, mungkin saja kekafiran kecil yang kecil ini mengeluarkannya kepada kekafiran yang besar seperti yang telah saya terangkan secara rinci di Masjid Istiqlal kemarin [3].Yaitu apabila ia menganggap dan berkeyakinan halal atau bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah ; atau ia berkata, saya tidak merasa wajib atau harus berhukum dengan hukum Allah ; atau berkata berhukum dengan selain hukum Allah lebih baik daripada berhukum dengan hukum Allah ; atau berkata, hukum-hukum dan undang-undang lainnya sama saja dengan hukum Allah ; atau berkata, saya bebas (terserah saya mau berhukum dengan hukum Allah atau selainnya, sama saja) ; dan perkataan lainnya yang senada dengannya. Maka, berarti ia –dengan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah- telah melakukan kekafiran yang besar (keluar dari Islam, red). Wal ‘iyadzu billahi tabaraka wa ta’ala.

Berarti, selama negara-negara Islam kini sudah ada dan tegak, yang dituntut untuk kita lakukan adalah memperbaiki keadaan negara-negara Islam ini, dengan metode yang telah diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik dalam cara berdakwah, pembinaan umat berdasarkan metode at-Tasfiyah wat-Tarbiyah (memurnikan umat dari kesyirikan, bid’ah dan maksiat, kemudian membina membimbing mereka memahami Islam dengan baik dan benar), bukan dengan cara-cara yang saat ini gencar dilakukan oleh sebagian golongan-golongan atau partai-partai. Seperti melakukan kudeta-kudeta militer, pemberontakan-pemberontakan, aksi-aksi mogok, atau bahkan lebih ironis lagi mengadakan aliansi dengan negara-negara kafir, demi mnggulingkan pemerintah negara Islam, atau usaha-usaha lainnya.

Ketahuilah ! Justru semua ini semakin menambah perpecahan dan kelemahan kaum muslimin di banyak negara-negara Islam!

Jadi, yang kita lakukan ialah mengadakan perbaikan-perbaikan pada pemerintah negara-negara Islam saat ini. Kita pun berusaha menyatukan seluruh negara-negara Islam, agar mereka saling bekerjasama, bersatu, menolong antara yang satu dengan yang lainnya ; dan akhirnya mereka seperti firman Allah Azza wa Jalla berikut.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” [at-Taubah/9: 71]

Hendaknya kita selalu ingat dan tidak lupa bahwa orang-orang kafir, walaupun kekafiran mereka berbeda-beda, negara mereka pun berbeda-beda, namun hendaknya kita tetap waspada dan siaga bahwasanya mereka senantiasa melakukan penyatuan-penyatuan yang terorganisir sesama mereka, baik dalam masalah politik, perekonomian, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Karena (merekapun tahu) bahwa bersatu merupakan kekuatan.

Oleh karena itu, di antara tujuan kita (dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang kehidupan) adalah seperti Syaikh kami (Al-Albani rahimahullah) selalu menuliskan di dalam buku-buku beliau, berupaya menuju kehidupan yang Islami.

Tentu saja, beliau tidak bermaksud bahwa kehidupan Islami saat ini tidak ada sama sekali! Akan tetapi yang beliau maksud, bahwa kehidupan Islami yang ada saat ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari agama Allah Azza wa Jalla. Maka dari itu, kita harus berdakwah kepada manusia dan kaum muslimin seluruhnya, menuju penegakkan syari’at Allah Azza wa Jalla dalam seluruh bidang kehidupan mereka ; baik dalam bidang politik, perekonmian, ataupun ilmu pengetahuan. Demikian pula dalam hubungan nasional maupun internasional, baik bersama kawan atau pun lawan.

Inilah sekilas dan pandangan kita (tentang bernegara) secara umum dan singkat. Metode kita ialah melakukan perbaikan-perbaikan dengan cara berdakwah mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla, memurnikan mereka dari polusi kesyirikan, bid’ah, dan maksiat, lalu membimbing dan membina mereka kepada pemahaman dan praktek Islam yang baik dan benar. Seperti firman Allah Azza wa Jalla.

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….” [an-Nahl/16: 125]

Kita juga jangan sampai melupakan, wahai saudara-saudaraku, bahwa tegaknya daulah Islamiyah merupakan pemberian dan karunia Allah semata bagi hamba-hambaNya yang shalih dan bertakwa. Jika kita beramal, juga orang-orang shalih beramal, maka sesungguhnya kekuatan, kekuasaan dan kejayaan Islam merupakan janji Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridahiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun denganKu…”[an-Nur/24: 55]

Dan kami berikan kabar gembira kepada anda semua, bahwa masa depan adalah milik Islam yang benar dan lurus, yang berada di atas manhaj as-Salafush Shalih. Manhaj yang diberkahi Allah, yang mengikat menusia agar senantiasa berhubungan dengan Allah dan melaksanakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang akan membawa mereka semua kepada keimanan, keamanan dan kedamaian.

Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan taufiqNya selalu kepada setiap muslim.

(Diangkat dari ceramah Syaikh Salim bin Id Al-Hilali di Jakarta Islamic Center, Ahad 23 Muharram 1428H/11 Februari 2007M)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
______
Footnote
[1]. Lihat majalah As-Sunah, liputan edisi 01/XI/1428H/1427M, rubrik Manhaj, Salafiyyun Menepis Tuduhan Dusta, ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari –haizhahumullahu, di masjid Islamic center Jakarta, hari ahad 23 Muharam 1428H/11 Februari 2007M
[2]. Lihat risalah ilmiah Syaikh Salim bin Id Al-Hilali yang menjelaskan masalah ini secara gamblang dan terperinci, Qurratu Uyun fi Tash-hihi Tafsiri Abdillah Ibni Abbas Li Qaulihi Ta’ala : Wa Man lamYahkum bi Ma Anzalalluhu fa Ula-ika Hummul Kafirun.
[3]. Ceramah di masjid Al-Istiqlal Jakarta, hari Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007. Pembahasan yang dimaksud kami angkat pada edisi ini dalam satu rangkaian rubrik Manhaj. Lihat jawaban Fadhilatusy Syaikh Salim bin Id Al-Hilali hafizhahullahu tentang Kufrun Duna kufrin.

SIFAT AMANAH MENURUT AL-QURAN

A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad saw. untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. al-Qur’an berisi ayat-ayat yang arti etimologisnya “tanda-tanda” dalam bentuk bahasa Arab[1]mengandung berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada aspek keagamaan semata.
Sebagai intelektual muslim dan pewaris para nabi,[2][2]ulama berkewajiban memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut, ulama menempuh beberapa metode, baik metode penulisan maupun metode pembahasan. Salah satu metode pembahasan yang paling populer digunakan ulama atau cendekiawan saat ini adalah metode maudhu’i (tematik) yaitu upaya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan satu topik dan menyusunnya sebagai sebuah kajian yang lengkap dari berbagai sisi permasalahannya.[3][3]
Kendatipun al-Qur’an mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu menggunakan metode tematik tersebut. Salah satu topik yang paling sering menjadi bahan pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam al-Qur’an adalah amanah. Amanah merupakan aspek muamalah yang sangat penting karena terkait dengan kewajiban. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa beratnya sebuah amanah. Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
Allah memberikan amanah kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanah tersebut. Namun, hanya manusia yang berani menerima amanah itu.  Amanah pada kenyataannya tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanah berarti ada pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan. Kajian dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanah dan hal-hal yang terkait dengan amanah meliputi objek amanah, bentuk-bentuk serta pandangan atau sikap al-Qur’an terhadap amanah.
Berbagai metode digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik dalam bentuk fi’il atau isim . Dari situlah akan muncul sebuah pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwaلاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه.[4][4]Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan amanah”. Oleh karena itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya dalam al-Qur’an sangatlah penting. Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk pengembangan kajian akademis.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an ?
2.      Apa saja sifat amanah dalam al-Qur’an ?
3.   Bagaimana Sikap al-Qur’an terhadap Amanah ?
4.     Bagaimana konsep Amanah dalam Al-Qur’an ?


BAB II
A.  Pengertian Amanah
Amanah salah satu bahasa Indonesia yang telah disadur dari bahasa Arab. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua kata, yaitu amanah atau amanat. Amanah memiliki beberapa arti, antara lain 1) pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan. 2) keamanan: ketenteraman. 3) kepercayaan.[5][5]Sedangkan amanat diartikan sebagai 1) sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain. 2) pesan. 3) nasihat yang baik dan berguna dari orang tua-tua; petuah. 4) perintah (dari atas). 5) wejangan (dari seorang pemimpin).[6][6] Sedangkan dalam bahasa Arab, kata amanah diambil dari akar kata alif, mim dan nun yang memiliki dua makna: 1) lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman hati, 2) al-tas}diq yaitu pembenaran.[7][7]I brahim dkk., mengatakan bahwa amanah dapat diartikan sebagai penetapan janji dan titipan.
Abu al-Baqa’ al-Kafumi mengatakan bahwa amanah adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan segala kewajiban yang lain.[8][8] Muhamamd Rasyid Rida mengatakan bahwa amanah adalah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain sehingga muncul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali. [9][9]Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa amanah adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain.[10][10]
Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga semua syariat Allah adalah amanah.[11][11] Al-Qurtubi berpendapat bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan perbuatan maupun dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan dan pelaksanaannya.[12][12] Dalam al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam bentuk fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2: 283.
Namun untuk mengetahui subtansi amanah, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu: subjek, objek dan predikat atau subtansi.
Subtansi amanah adalah kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga menimbulkan ketenangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
                           Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[13][13]
Jika dilihat dari sisi subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa datang dari Allah swt. sebagaimana yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab: 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا.
                          Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[14][14]
Dan kadang amanah tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang tertera dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ.
                           Terjemahnya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.[15][15]
Sedangkan jika dilihat dari objeknya (orang yang melakasanakan amanah), maka amanah diberikan kepada malaikat, jin, manusia, baik para nabi maupun bukan nabi sebagaimana penjelasan selanjutnya. Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulama tafsir, dapat dipahami bahwa amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt, atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah yang meliputi malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta.
Dengan demikian, amanah yang datang dari Allah swt. terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan yang dibebankan kepada manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta benda, jabatan dan rahasia. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa amanah adalah amal saleh yang paling agung, namun sangat berat dilaksanakan, sehingga wajar kemudian jika langit, bumi dan gunung enggan menerima amanah dari Allah swt.,[16][16]bahkan manusia yang berani menerima amanah dan tidak mampu melaksanakannya dianggap sebagai zalum jahul (penganiaya dan bodoh).
Oleh karena itu, amanah harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar tidak menimbulkan kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.[17][17]
                 Artinya: “Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat bertanya, bagaimana penyia-nyian amanah wahai Rasulullah saw.? Rasulullah menjawab, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih jauh dari itu, Nabi Muh}ammad saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu Zarr al-Gifari ketika meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau terlalu lemah untuk posisi tersebut.
عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).[18][18]
                 Artinya: “Dari Abu> Z|arr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk punggungnya seraya berkata, wahai Abu> Z|arr, sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
B.  Sifat Amanah dalam Alqur’an dan Al hadist
Sifat amanah adalah sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan tanggungjawab dalam menyampaikan risalah-Nya. Selain itu amanah juga adalah sifat-sifat para malaikat yang mengerjakan kebaikan, dan dari kalangan mereka adalah Jibril alaihissalam yang menurunkan Al-Quran ke atas Nabi Muhammad shallahualaihiwasallam.Demikian juga sifat amanah itu adalah dari sifat-sifat para hamba Allah Ta’ala yang beriman daripada kalangan jin dan manusia.

1.    Sifat Amanah Nabi dan Rasul ALLAH S.W.T
Dalam al-Qur’an, makhluk yang paling sering disifati dengan amanah adalah para nabi dan rasul, sehingga dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki empat sifat yang wajib bagi mereka, seperti al-tabli>g/ menyampaikan risalah kepada umatnya, al-fat}a>nah/memiliki kecerdasan atau intelegensia yang tinggi, al-s}idq/memiliki kejujuran dan al-ama>nah/dapat dipercaya atau memiliki integritas yang tinggi.[19][19]Dengan demikian, sering ditemukan dalam beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya sebagai al-ami>n.
Nabi Nu>h} misalnya ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah swt. atas kesyirikan yang mereka lakukan, namun kaum Nu>h} itu tetap mendustakan dia dan rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nu>h} mengatakan kepada kaumnya:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 106-107).[20][20]
Nabi Nu>h} mengatakan hal tersebut di atas, sebagai bentuk keheranannya atas kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk orang yang dikenal terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.[21][21]
Senada dengan Nabi Nu>h}, Nabi Hu>d juga mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan taat kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi Hu>d dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h}.
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara>’: 124-125).[22][22]
Bahkan pada ayat yang lain, Nabi Hu>d disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya, ketika kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan takut kepada-Nya, akan tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya sebagai orang bodoh dan pendusta, lalu Nabi Hu>d menyanggah ejekan itu dengan mengatakan:
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi Aku Ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. al-A‘ra>f: 67-68).[23][23]
Menurut al-Ra>zi>, maksud dari ungkapan na>s}ih} ami>n dalam ayat tersebut sebagai 1) Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الكاذبين, 2) Pokok pembicaraan tentang risalah dan tabli>g adalah amanah, sehingga ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan kenabian, 3) penjelasan tentang integritas Nabi Hu>d sebelum menjadi rasul sebagai seorang yang dikenal amanah oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya kaumnya menganggapnya sebagai pembohong atau orang bodoh.[24][24]
Hal yang sama dilakukan oleh Nabi S}a>lih}, Nabi lu>t} dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nu>h} dan Nabi Hu>d, yaitu:
أَلا تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu”.[25][25]
Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-ami>nadalah Nabi Mu>sa> as., bahkan Nabi Mu>sa> disebutkan dua kali sebagai al-ami>n dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukha>n: 18.
وَلَقَدْ فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
                          Terjemahnya: “Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir’aun dan Telah datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata): “Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu”.[26][26]
Kata rasu>l al-ami>n dalam ayat tersebut sebagai dasar ajakan Nabi Mu>sa> terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah swt. pengakuan Nabi Mu>sa> as. diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-ami>n kedua yang diberikan kepada Nabi Mu>sa> terjadi bukan dalam masalah risalah, akan tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Mu>sa> as. dengan mengatakan:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ.
                          Terjemahnya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya” (QS. al-Qas}as}: 26).[27][27]
Dalam tafsir al-T}abari>dijelaskan bahwa penilaian salah satu putri Nabi Syu’aib terhadap Nabi Mu>sa> bahwa dia sangat kuat dan dapat dipercaya karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi Mu>sa> memberi minum terhadap hewan ternak mereka, sedangkan penilaian amanah terjadi karena keterjagaan pandangan Nabi Mu>sa> terhadap kedua putri Nabi Syu’aib dalam perjalanan ke rumah mereka.[28][28]
2.    Malaikat
Di antara makhluk yang menjadi objek amanah adalah malaikat. Malaikat terkadang disifati sebagai al-ami>n oleh Allah swt., khususnya Jibri>l pembawa wahyu kepada para nabi.
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
                                   Terjemahnya: “Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (QS. al-Syu’ara>’: 192-194).[29][29]
Menurut Ibn ‘A<syu>r, yang dimaksud dengan al-ru>h} al-ami>n dalam ayat tersebut adalah Jibri>l as. Menurutnya, Jibri>l as. dinamakan al-ru>h} karena malaikat berasal dari alam ruhaniyah, sedangkan al-amin diberikan sebagai kepercayaan Allah swt. terhadap Jibri>l untuk menyampaikan wahyu-Nya.[30][30]
Lain halnya dengan al-Sya’ra>wi>, menurutnya Jibri>l as. disebut al-ru>h} karena dengan ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak memiliki jasad. Sedangkan al-ami>n diberikan kepadanya karena dia terpelihara di sisi Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan terpelihara di sisi Nabi saw.[31][31]
Dengan demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud al-ru>h} al-ami>ndalam ayat tersebut adalah Jibri>l as.[32][32]karena hal itu diperkuat oleh ayat lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibri>l as.
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ…
                                   Terjemahnya: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”.[33][33]
Ayat lain yang menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanah adalah QS. al-Takwi>r: 21-22:
مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ.
                                   Terjemahnya: “Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”.[34][34]
Ayat tersebut di atas dan ayat sebelumnya menjelaskan beberapa sifat mulya malaikat Jibri>l as. di antaranya kari>m/mulya karena diberikan tugas yang paling mulya yaitu menyampaikan wahyu kepada para nabi, z\i> quwwah/memiliki kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan dari kelupaan dan kesalahan, z\i> al-‘arsy maki>n/mempunyai posisi yang tinggi di sisi Allah swt. karena dia diberi apa yang dimintanya, mut}a>’in/yang ditaati di alam malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para malaikat, ami>n/dipercaya membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para nabi-Nya.[35][35]
Dari kedua ayat tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan kepada manusia, akan tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat, khususnya malaikat Jibri<l as. selaku penghubung Allah swt. dengan para nabi-Nya.
3.    Jin
Jin meskipun sering dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam al-Qur’an sebagian jin ada yang beriman kepada Allah swt.[36][36] bahkan ‘Ifri>t dari golongan jin yang hidup pada masa nabi Sulaima>n berkenan membantu nabi Sulaima>n dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqi>s, sebagaimana dalam QS. al-Naml: 39:
قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
                                  Terjemahnya: “Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.[37][37]
Ayat tersebut menegaskan tentang kemampuan ‘Ifri>t memindahkan singgasana ratu Balqi>s pada saat itu dalam waktu singkat. ‘Ifri>t juga menjamin bahwa dia dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Ma>wardi> dalam tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu: 1) dia dapat dipercaya menjaga permata dan berlian yang terdapat dalam istana tersebut, 2) dia dapat dipercaya mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain, 3) dia dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu balqi>s.[38][38]
Namun mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ami>n dalam ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh ‘Ifri>t untuk membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan atau penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
4.    Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari Allah swt. pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
                                    Terjemahnya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.[39][39]
Al-Biqa>’i ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insa>n adalah mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu, manusia yang khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanah, karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan. Oleh sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan z}alu>m jahu>l agar manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan ramah, al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.[40][40]
C.  Sikap Al-Qur’an terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan ayat-ayat amanah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1.    Perintah Menjaga amanah
Banyak dijumpai dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Dalam QS. al-Nisa>’: 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
                          Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.
Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah ‘Us\ma>n ibn T}alh}ah al-H}ujubi> tentang kunci Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abba>s agar dia yang memegangnya, kemudian Allah swt, menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang yang berhak.[41][51] Namun menurut Wahbah al-Zuhaili>, ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak maupun kepada individu tertentu.[42][52]
Pada ayat lain, meskipun tidak menggunakan fi’il amr/perintah secara langsung seperti pada ayat di atas, akan tetapi tetap mengandung perintah untuk melaksanakan amanah karena menggunakan fi’il mud}a>ri’ yang disertai lam amr, seperti dalam QS. al-Baqarah: 283.
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
                          Terjemahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.[43][53]
Dalam ayat yang lain, al-Qur’an datang dengan menggunakan jumlah ismiyah, agar mengandung makna bahwa penjagaan terhadap amanah tidak terikat dengan waktu, akan tetapi amanah merupakan sifat orang-orang yang beriman, seperti dalam QS. al-Mu’minu>n: 8
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
                          Terjemahnya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.[44][54]
Oleh karena itu, dalam beberapa hadis Rasulullah saw. dijelaskan bahwa salah satu karakter orang munafik adalah tidak amanah.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.[45][55]
                 Artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia ingkari dan jika dia dipercaya dia berkhianat”.
Bahkan lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah mengungkapkan bahwa orang yang tidak memegang amanah berarti dia tergolong orang yang tidak beriman.
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.[46][56]
                    Artinya: “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai/ melaksanakan amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan janjinya”.
Dari ketiga ayat di atas dengan berbagai redaksi yang digunakan dalam berbagai bentuk menunjukkan bahwa amanah adalah tanggungjawab yang sangat besar yang harus dilaksanakan oleh siapapun yang diberi amanah.
2.    Larangan Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekwensi dari kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang larangan mengkhianati amanah antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
                                    Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui” (QS. al-Anfa>l: 27).[47][57]
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan khianat kepada Allah dan Rasulullah saw. Dengan demikian, diketahui betapa besar posisi amanah di sisi Allah swt. karena khianat terhadap amanah disejajarkan dengan khianat kepada Allah swt. dan rasul-Nya.

D. KonsepdanImplementasiAmanahdalam Al- Qur’an danHadits

1. Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Alasan penolakan alam (bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.Al-Ahzab: 72) adalah karena mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal untuk menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab. Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia, walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja “benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya oleh Allah. Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggung jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia memiliki beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakumalardh). Sebuah tugas yang mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan manusia dari makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal, sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri. Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2. Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Sosial Manusia kepada Sesama
Dalam pandangan Islam setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja semua itu akan dimintai pertanggung jawaban. Rasulullah SAW bersabda:
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
Artinya:
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
Fenomena yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyak sekali orang yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam akan hancurnya  sebuah bangsa.
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
Amanah menempati posisi ‘strategis’ dalam syariat Islam.Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin (yang bisadipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
Dengan demikian, meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dibuat beberapa poin-poin penting sebagai kesimpulan sebagai berikut:
1.      Amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah, baik dari kalangan malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanah sangat berat dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang profesional di bidang tersebut.
2.      Amanah dilihat dari segi objek yang mendapatkan amanah, dapat diklasifikasi dalam beberapa bagian, yaitu amanah bagi para nabi dan hal tersebut yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an karena amanah merupakan sifat wajib bagi para rasul, amanah bagi malaikat, khususnya pembawa wahyu yaitu Jibri>>l as., amanah bagi jin yang hidup pada masa Nabi Sulaiman, amanah bagi manusia secara umum dalam melaksanakan hal-hal yang terkait dengan kewajiban kepada Allah swt., sesama manusia dan kepada dirinya sendiri, bahkan ada amanah yang diberikan kepada wilayah/kampung yaitu kota Mekah.
3.      Amanah juga dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu amanah dalam bentuk pekerjaan yang mencakup semua bentuk pekerjaan yang dipercayakan kepada seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari sesama manusia. Dan amanah dalam bentuk hukum yang sebenarnya juga merupakan pekerjaan, akan tetapi khusus disebutkan karena menjadi asas pemerintahan yang Islami.
4.      Sikap al-Qur’an terhadap amanah terlihat dari perintah Allah swt. kepada manusia untuk menunaikan amanah tersebut. Perintah tersebut menggunakan fi’il amr, fi’il mud}a>ri’ dan isimyang menunjukkan betapa amanah tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an tidak cukup sekedar memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap amanah, bahkan khianat terhadap amanah sejajar dengan khianat terhadap Allah dan rasul-Nya.


B.   Implikasi

Amanah sangat penting posisinya dalam kehidupan dunia, karena tanpa amanah berbagai macam aturan, undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk ketaatan. Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti jabatan dan kekuasaan tapi juga terkait dengan aspek ukhrawi seperti ibadah.
Hal ini juga terkait dengan kondisi masa sekarang, yang mana sebagian besar orang mengabaikan amanah. Mereka tidak menyadari apa makna dan hakekat amanah serta posisi amanah yang begitu urgen dalam mengemban tugas sebagai khalifah fi al-ard}.




No comments:

Post a Comment