!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Monday, June 29, 2015

Eksekusi mati terpidana nakoba menunggu Ramadan usai

Eksekusi mati terpidana nakoba menunggu Ramadan usai

Serge Atlaoui ditangkap di sebuah tempat pembuatan ekstasi di Tangerang pada 2005 lalu.
Kejaksaan Agung menyatakan eksekusi terpidana mati kasus narkoba asal Prancis, Serge Atlaoui, akan menunggu bulan Ramadan usai.
Rencana itu dikemukakan setelah Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta menolak gugatan Serge, pada Senin (22/06).
Pembacaan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang diketuai Ujang Abdullah menandai penolakan gugatan terpidana mati kasus narkoba asal Prancis, Serge Atlaoui.
Sebelumnya Serge menggugat Surat Keputusan Presiden Joko Widodo No 71/G/2015 yang menolak pengajuan grasinya.
Setelah langkah hukum Serge dipastikan menemui jalan buntu, juru bicara Kejaksaan Agung, Tony Spontana, mengatakan pria yang ditangkap di pabrik ekstasi di Tangerang pada 2005 tersebut bakal dieksekusi. Hanya saja pelaksanaannya menunggu bulan Ramadan usai.
"Untuk pelaksanaan eksekusinya, kami bisa pastikan tidak dalam waktu dekat, tidak dalam bulan Ramadan ini. Menurut Anda, wise [bijak] tidak mengeksekusi di bulan Ramadan? Nggak kan? Ya kita tunggulah setelah bulan puasa ini ya," kata Tony kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Soal apakah Serge Atlaoui dieksekusi bersama kelompok terpidana mati selanjutnya, Tony tidak menutup kemungkinan.
"Kami sekarang mengumpulkan dan menginventarisir terpidana mati lainnya yang proses hukumnya sudah selesai, kemudian hak-haknya sudah diberikan, Peninjauan Kembali sudah, penolakan grasi sudah. Mungkin kita jadikan satu pelaksanaan eksekusinya," ujarnya.
null
Serge Atlaoui dan Mary Jane Veloso semula akan dieksekusi di Nusakambangan bersama terpidana mati lainnya pada April lalu.
Ambiguitas
Sikap tersebut, menurut Poengky Indarti dari lembaga Imparsial yang memperjuangkan penghapusan hukuman mati, mencerminkan ambiguitas.
Poengky merujuk kenyataan bahwa pada satu sisi pemerintah menggunakan kaidah agama saat memutuskan tidak mengeksekusi demi menjaga kesucian bulan Ramadan. Namun pada sisi lain tindakan pemerintah dalam menghilangkan nyawa orang bertentangan dengan ajaran agama.
"Bila menggunakan dalih agama, seharusnya pemerintah tidak melakukan eksekusi," kata Poengky.
Poengky menambahkan, kasus Mary Jane Veloso seharusnya menjadi pelajaran bagi aparat hukum Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo, untuk tidak gegabah menjalankan hukuman mati dan menolak memberikan grasi.
"Makanya kami mempermasalahkan penolakan grasi. Sebab, presiden tidak ada alasan, tidak ada pertimbangan apapun, langsung tanda tangan. Seolah-olah ini masalah administrasi saja. Padahal, ada begitu banyak permasalahan seputar kasus-kasus itu," kata Poengky.
null
Eksekusi Mary Jane Veloso ditunda setelah seorang perempuan di Filipina bahwa ia menjebak Mary Jane untuk menjadi kurir narkoba.
Merujuk kasus Mary Jane Veloso, dia mengingatkan jangan sampai orang tidak bersalah atau orang yang kesalahannya tidak harus dihukum dengan eksekusi mati, harus kehilangan nyawanya.
"Padahal, yang bersalah tidak diapa-apain. Coba lihat kasus Serge Atlaoui, bandarnya sendiri atau pemilik pabrik narkobanya sendiri justru belum dieksekusi kan?"
Serge ditangkap di Cikande, Tangerang, pada 2005 lalu dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Tetapi di tingkat kasasi, hakim MA justru menjatuhkan hukuman mati sementara grasinya pun telah ditolak Presiden Joko Widodo, Januari lalu.
Bersama dengan Mary Jane Veloso, Serge Atlaoui ialah salah satu terpidana mati yang pelaksanaan eksekusinya ditunda.
Namun, penundaan eksekusi Mary Jane Veloso bukan karena dia masih menjalani proses hukum melainkan munculnya bukti baru. S eorang perempuan di Filipina menyerahkan diri dan mengaku menjebak Mary Jane untuk menjadi kurir narkoba.

PTUN tolak gugatan perlawanan napi narkoba Prancis

Serge melayangkan gugatan ke PTUN terhadap Surat Keputusan (SK) Presiden Joko Widodo yang menolak pengajuan grasinya.
Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Senin (22/06), menolak gugatan terpidana mati kasus narkoba asal Prancis, Serge Atlaoui.
Serge melayangkan gugatan perlawanan ke PTUN terhadap Surat Keputusan (SK) Presiden Joko Widodo yang menolak pengajuan grasinya.
"Menolak gugatan perlawanan dari pelawan," kata majelis hakim PTUN yang diketuai Ujang Abdullah, membacakan putusannya, Senin (22/06) siang di PTUN Jakarta.
Dalam putusannya, majelis hakim sepakat mempertahankan SK Presiden No 71/G/2015 yang berisi penolakan permohonan grasi Serge.
Sebelumnya, Serge Atlaoui telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi.
'Pabrik narkoba' Cikande
Pria Prancis ini ditangkap oleh aparat kepolisian di ‘pabrik narkoba’ Cikande, Tangerang, pada 2005 lalu.
Upaya kasasinya ke Mahkamah Agung ditolak dan dia malah dijatuhi hukuman mati. Grasinya pun telah ditolak Presiden Joko Widodo pada Desember 2014 lalu.
null
Dalam sidang Peninjauan Kembali pada Maret lalu, Serge membantah terlibat dalam peracikan narkoba di Cikande, Tangerang.
Eksekuti mati terhadap dirinya ditunda pada akhir April lalu, setelah Serge menggugat SK Presiden Joko Widodo yang menolak grasinya.
Dalam sidang Peninjauan Kembali pada Maret lalu, Serge membantah terlibat dalam peracikan narkoba di Cikande, Tangerang.
Rencana pelaksanaan hukuman mati Indonesia terhadap Serge dan sejumlah warga asing lainnya sempat menjadi polemik di dunia internasional yang menuntut agar Indonesia membatalkannya.

Pelajaran Mary Jane Veloso untuk pembenahan hukum RI

Nada kesedihan koran-koran FIlipina di hari jelang jadwal eksekusi, dengan foto Mary Jean Veloso.
Kasus Mary Jane Veloso membuktikan banyaknya kelemahan dalam hukum Indonesia sehingga hukuman mati tak patut diterapkan. Presiden Jokowi pun perlu meninjau lagi penolakan permohonan grasi yang dilakoni tanpa memeriksa secara cermat, kata pengamat.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan bahwa memang benar "ternyata ada fakta-fakta dan indikasi bahwa Mary Jane Veloso adalah korban dari perdagangan manusia".
"Kemarin, ada orang yang menyerahkan diri kepada polisi Filipina, mengaku bahwa dialah sebenarnya yang merekrut Mary Jane dengan dalih untuk dipekerjakan di Malaysia, namun tiba-tiba dialihkan ke Indonesia, mendarat di Yogya," papar Prasetyo kepada para wartawan.
Ditunda, bukan dibatalkan
Namun Prasetyo menegaskan, bahwa statusnya sekarang ini adalah penundaan eksekusi, bukan pembatalan hukuman. Hal ini ditandaskan pula oleh Presiden Jokowi sendiri dalam kesempatan lain.
Direktur Eksekutif LSM Imparsial, Poengky Indarti, mengatakan paparan Prasetyo "menggambarkan buruknya hukum di Indonesia, yang tidak ada prinsip kehati-hatian, tidak ada prinsip fair trial".
"Dan kasus Mary Jane menunjukkan jelas, kebiasaan kebanyakan hakim di Indonesia, juga jaksa, yang tidak menggali permasalah dan fakta-fakta. Mereka lebih suka mendasarkan proses pengadilan pada apa yang ada di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun polisi. Mereka tidak teliti, tidak cermat dalam memeriksa BAP itu," kata Poengky.
null
Rohaniwan Franz Magnis Suseno, dalam doa di depan Istana, beberapa jam sebelum eksekusi.
Yang mengerikan, tambah Poengky, proses hukum yang jauh dari prinsip kehati-hatian itu juga terjadi untuk kasus-kasus yang ancamannya hukuman mati.
Sehingga membuka kemungkinan yang sangat besar, bahwa terdakwa dihukum mati, dan akhirnya dieksekusi, padahal tidak bersalah atau perbuatan pidananya tidak cukup berat untuk divonis dengan hukum mati.
Sebagaimana terjadi pada Mary Jane Veloso. Juga sebagaimana terjadi pada Zainal Abidin, warga Indonesia yang dieksekusi Rabu dini hari lalu bersama tujuh orang lain.
null
Ledakan kegembiraan di Filipina, setelah muncul kabar penundaan eksekusi Mary Jane Veloso.
Menurut Poengky, hakim di berbagai tingkat tidak mempedulikan fakta bahwa Zainal Abidin disiksa dalam pemeriksaan agar mengaku, padahal ia hanya dijebak temannya sendiri.
Mary Jane Veloso sedikit lebih beruntung, karena di saat-saat akhir Presiden Jokowi berhasil diyakinkan tentang fakta-fakta di luar putusan pengadilan, khususnya setelah ada pengakuan orang yang menjebak "perempuan miskin" beranak dua itu.
Ledakan kegembiraan
Di Filipina, penundaan eksekusi Mary Jane Veloso disambut luar biasa gembira oleh ratusan orang yang berkumpul di depan Kedubes RI di Manila, dan di berbagai tempat di seluruh negeri.
Ivanka Custodio di Quezon City menjelaskan kepada BBC, "Orang-orang Filipina sangat senang dengan penundaan eksekusi ini. Kami menganggapnya sebagai semacam kemenangan, karena hampir semua yakin bahwa Mary Jane Veloso adalah korban dari perdagangan manusia, dan ia semestinya diperlakukan seperti itu."
null
Polisi membubarkan doa bersama kelompok perempuan dan buruh migran depan Istana Negara
Ia melanjutkan, apa yang terjadi pada Mary Jane Veloso seharusnya membuat berbagai pihak di Indonesia mendiskusikan lagi berbagai persoalan, baik tentang hukuman mati, pemberantasan obat bius, penegakkan hukum dan sistem pemerintahan yang bersih.
Senada dengan itu, Poengky Indarti mengingatkan begitu banyak orang tak berdaya dan naif seperti Mary Jane Veloso yang bisa diperalat sindikat obat bius dan kejahatan terorganisasi lain untuk iming-iming uang tak seberapa, karena kemiskinan.
null
Berbagai kalangan di Jakarta mendoakan para terpidana mati dan mengharapkan pembatalan eksekusi.
Menjadi malapetaka besar jika orang-orang seperti itu jadi korban, dieksekusi mati atas nama ketegasan dan kedaulatan hukum sementara hukum tak bisa menjamah gembong besar yang biasanya dilindungi oleh aparat dan pejabat penting dan melibatkan orang-orang penting.
Poengky menegaskan yang tak bisa ditawar-tawar adalah menghapuskan hukuman mati, atau setidak-tidaknya menghentikan penerapannya, karena selalu bisa salah sasaran.
Poengky pun mengingatkan, Presiden Joko Widodo perlu mengubah pendekatannya dalam menolak permohonan grasi.
null
Kelegaan di Manila. Kendati eksekusi Mary Jean Veloso hanya ditunda, bukan dibatalkan.
"Grasi itu hak istimewa presiden yang harus dijalankan dengan sangat cermat dan hati-hati. Setiap keputusan menolak harus didasari pertimbangan yang cermat, bukan dengan prasangka sejak awal," kata Poengky.
Namun ia menegaskan, Presiden Jokowi mengambil langkah yang benar dengan memerintahkan penundaan eksekusi terhadap Mary Jane.

Ini, kata Poengky, bisa menjadi pintu bagi presiden Jokowi untuk menempuh pendekatan berbeda dalam mengambil kebijakan dan keputusan di kemudian hari

No comments:

Post a Comment