!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Wednesday, November 26, 2014

Heboh di Media Sosial, Anak Masuk RS Jiwa Akibat Kebanyakan Les

Heboh di Media Sosial, Anak Masuk RS Jiwa Akibat Kebanyakan Les


VIVAlife – Sebuah berita miris beredar di media sosial belakangan ini, tentang seorang anak perempuan berumur 6 tahun, yang sampai harus dimasukkan ke sebuah rumah sakit jiwa di kawasan Jakarta Timur. Ia harus dirawat di sana, akibat terlalu diforsir oleh orangtuanya mengambil les ini dan itu, di luar aktivitasnya sekolah.

Saking banyaknya belajar, anak ini sampai mengalami gangguan jiwa sehingga harus menemui seorang ahli kejiwaan. Saat sang anak dijenguk oleh teman orangtuanya, gadis kecil itu masih terlihat ceria, meski kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya, berbeda dari anak-anak kebanyakan.
Kepada tamu yang menjenguknya, ia menampilkan kemampuannya yang cepat berhitung, dan bisa berbahasa inggris, meski masih dalam skala kata-kata yang mudah.

Orang-orang yang datang menjenguk, terenyuh menyaksikan kondisi gadis kecil ini. Sementara di ujung ruangan, terlihat sang mama tiada henti menyeka air matanya, ia terus menangis berlinang air mata melihat kondisi kejiwaaan yang dialami putrinya. Melihat bundanya terus bersedih, si kecil kemudian berkata polos dan lirih, “Bunda jangan menangis dong,…aku kan sekarang sudah pintar? Tapi aku nggak mau tidur sama bunda ya. Aku maunya bobo sama dokter yang ganteng dan cantik saja.”

Terlepas dari apakah kisah ini benar terjadi atau hoax di media sosial belaka, namun sebagai orangtua, seharusnya kita dapat memetik pelajaran berharga dari cerita ini. Saat ditanya tentang kasus tersebut, RA Oriza Sativa, SPsi, Psi, CH. CCR, psikolog klinis dari Rumah Sakit Awal Bros mengatakan, ia juga sempat  mendengar berita ini dan menyayangkan jika cerita itu memang benar terjadi.

“Kalau benar, maka ini termasuk kasus yang cukup langka karena saya jarang sekali mendengar ada kasus, di mana ada anak seumur itu harus mendapat perawatan serius di rumah sakit jiwa. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, apabila kita sebagai orangtua, dapat bersikap bijaksana dalam hal mendidik anak,” ujar Oriza, Selasa, 25 November 2014.

Ia terangkan, sekarang ini banyak ayah dan bunda yang tidak sadar, kalau selama ini mereka telah memaksakan kehendaknya kepada anak. Slogan bahwa orangtua adalah figur pelindung dan pengayom, malah menjadi berbalik menjadi figur yang "penyiksa," apabila dalam hal mendidik mereka terlalu banyak memberi beban para putra-putrinya.

Kepada VIVAlife, Oriza menjelaskan dalam dunia psikologi ada istilah burnout pada anak. Ini adalah istilah untuk sebuah kondisi kejiwaan akibat kelelahan sangat, yang disebabkan aktivitas bekerja terlalu banyak. Lalu apa saja alasan yang menyebabkan seorang anak burnout dan hal-hal apa yang dapat Anda lakukan sebagai orangtua, untuk mencegahnya?


Terlalu Banyak Belajar, Bisa Membuat Anak “Terbakar"

VIVAlife – Belakangan ini di media sosial beredar kabar, seorang anak wanita berumur 6 tahun, sampai harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), akibat terlalu diforsir orangtuanya mengikuti terlalu banyak les, disamping aktivitas sekolah.

Sang anak yang terlalu banyak dicekoki pelajaran di usia dini, diduga mengalami burnout (seperti terbakar) atau kondisi kejiwaan yang sangat lelah akibat aktivitas terlalu banyak. Artikel lengkap mengenai berita ini bisa dibaca di sini.

RA Oriza Sativa, SPsi, Psi, CH. CCR, psikolog klinis dari Rumah Sakit Awal Bros mengatakan, kasus ini termasuk langka karena biasanya gangguan mental pada anak-anak, belum pernah ada yang sampai harus dikirim ke RSJ.

Kepada VIVAlife ia jelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki gangguan kejiwaan. Salah satunya harus dilihat dulu faktor genetiknya, apakah memang ada riwayat di keluarga dan lain-lain. Tetapi yang sering terjadi, faktor anak burnout itu, biasanya dipicu karena si anak dipaksa sekolah di usia yang seharusnya belum pantas sekolah.
"Atau yang seperti terjadi pada kasus ini, selain sibuk sekolah, si anak di rumah juga masih dicekoki banyak les. Padahal di usia tumbuh kembangnya, dia belum mampu menampung semua hal tersebut,” ujar psikolog, yang menjadi langganan acara talkshow di televisi itu.  

Menurutnya, cara orangtua mendidik anak menentukan kondisi kejiwaan buah hatinya. Jika Anda terlalu khawatir si kecil tidak pintar, tidak berprestasi, lalu memberi banyak beban dalam bentuk les ini dan itu, cepat atau lambat hal ini akan menyiksa si anak.
Oriza mengakan, orangtua harusnya percaya bahwa seorang anak dengan sendirinya akan menjadi pintar, sesuai dengan umur dan pelajaran yang ia serap, tanpa mesti harus Anda paksa dalam waktu tergesa.

Sikap salah orangtua yang lain, adalah sering membandingan si kecil dengan anak tetangga, dengan anak sepupu, atau dengan anak teman di kantor. Seolah-olah mereka akan malu, kalau anaknya tidak lebih unggul dari anak orang lain. Padahal mereka harusnya sadar, keunggulan masing-masing anak itu berbeda. Ada yang hebat di pelajaran menghitung, ada yang pintar menggambar, dan ada yang hebat di pelajaran sains.
"Jadi setiap anak unik, dan tidak mungkin dibanding-bandingkan seperti itu,” kata sang psikolog.

Jangan paksa bakat anak

Perlu diketahui, tugas anak-anak itu sebenarnya cuma dua. Yang pertama bermain, yang kedua belajar. Jadi meski sebagai ayah bunda kita mengarahkan mereka untuk rajin belajar, namun jangan lupakan hak anak untuk mendapatkan waktu bermain yang cukup.
Janganlah terus menerus dipaksa belajar, namun hak bermainnya dihapus. Justru hal seperti ini tidak alamiah dan berpotensi membuat otak si anak burnout. Padahal slogan yang selama ini beredar, dunia anak adalah dunia bermain.

Oriza mengatakan, definisi pintar seorang anak itu juga tidak terbatas pada sekadar nilai-nilai ulangan bagus. Pintar itu ada bermacam ragamnya. Jika si kecil nilai ulangannya tak terlalu baik di matematika, namun ia terlihat hebat mengiring bola di lapangan, berarti saat besar berpotensi menjadi pesepakbola. Bukankah itu baik?

Jadi, jangan sama ratakan kemampuan anak Anda dengan anak orang lain. Buat apa anak dipaksa harus pintar matematika, padahal passionnya ada di bidang olahraga? “IQ memadai seorang anak itu ada di range 90 – 110. Jadi kalau hasil test IQ-nya ada di rentang angka itu, berarti ia sudah termasuk pintar. Jangan lagi Anda paksa ia menjadi sesuatu, yang secara alamiah tidak ia kuasai.”

Ditambahkan, memberi les itu boleh asalkan anaknya memang terlihat suka dengan bidang pelajaran itu. Namun ingat, jangan terlalu banyak, karena segala sesuatu yang berlebihan pasti tidak baik.


Psikolog ini menerangkan, bentuk kepintaran anak yang lain adalah dalam pergaulan. Seorang anak yang pandai bergaul juga merupakan skill hidup yang harus dihargai. Menurutnya, seorang anak minimal harus memiliki satu orang kawan. Dengan demikian, ia tetap dapat berinteraksi dengan lingkungan, selain keluarganya di rumah.

No comments:

Post a Comment