!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Saturday, October 3, 2015

Manusia telah kehilangan harmonisasinya dengan alam.

Perjalanan yang belum selesai (378)

(Bagian ke tiga ratus tujuh puluh delapan), Depok, Jawa Barat, Indonesia, 30 September  2015, 03.18 WIB).

Manusia telah kehilangan harmonisasinya dengan alam.

Antara tahun 1960 sampai tahun 1970’an desa somber, dan desa di hulu sungai Wayn dan sungai Somber masih hutan belantara.
Belum banyak dihuni penduduk, baik orang lokal (dayak paser) bugis maupun para transmigran asal pulau Jawa.
Untuk mencapai desa di hulu sungai keduanya dari kampung Baru ulu, Balikpapan biasanya penduduk menggunakan sampan kecil (dengan dayung), dan bila sungai lagi deras arusnya (akibat hujan) maka diperlukan berhari-hari baru sampai di desa Hulu sungai, kini kedua desa itu sudah menyatu dengan kota Balikpapan, dan akses jalan pun sudah mudah, baik dengan kendaraan roda empat maupun dengan sepeda motor.
Penduduk lokal yang didominasi suku dayak paser sudah turun menurun tinggal di kedua desa hulu sungai Wayn dan hulu sungai Somber.
Penduduknya hidup dari bertani ladang, namun karena kondisi tanah yang ada para petani biasanya berladang padi yang hanya bisa di panen setahun sekali.
Namun biasanya selain menanam padi, petani biasanya tumpang sari ladangnya dengan sayuran, seperti buah timun, pepaya, jagung dan pohon singkong.
Jadi, bila persediaan stok pangan padi habis, petani memiliki persediaan pangan yang cukup dari singkong, jagung atau sekali-kali memanen sagu yang diperoleh dari hutan,
Selain buah-buahan yang ditanam seperti pepaya dan tomat, di hutan masih banyak terdapat durian dan rambutan dan langsat (buah duku hutan).
Sedangkan ikan dan lauk pauk lain biasanya yang Muslim berburu kijang (kancil) orang dayak menyebutnya payau, sedangkan bagi penduduk lokal yang beragama hindu kaharingan, animsme dan kristen mereka berburu kijang dan babi.
Penduduk biasanya tidak berburu ular phyton yang jumlahnya sangat banyak dan bergelantungan di atas dahan pohon di sepanjang sungai.
Itu sebabnya ketika itu walaupun disepanjang sungai itu banyak terdapat ular phyton, penduduk dengan tenang mendayung perahunya dari hilir sampai hulu sungai tanpa diganggu, konon kabarnya banyak yang tewas di lilit atau diterkam ular phyton adalah para pemburu (tentara) yang kerap menembak mati kepala ular itu.
Sedangkan ikan air tawar sangat banyak hidup di dalam sungai bahkan bisa dilihat mata, karena sungainya jernih.
Penduduk biasanya kerap memancing ikannya, atau dengan cara memasang perangkap ikan dari bambu (kita sebut Bumbu).
Para petani ketika itu sebelum menanam padi, biasanya membuka lahan perladangan dengan cara membakar hutan.
Karena kalau petani membuka lahan dengan cara tebang pilih (pakai golok/parang) untuk dua hektar tanah ladang memerlukan waktu berbulan-bulan baru tercipta dua hektar tanah ladang, sedangkan bila dibakar, hanya dalam waktu paling lama seminggu.
Namun, para peladang lokal karena sudah berpengalaman, mereka bisa membakar hutan dengan luas yang terukur, bila yang ingin digunakan dua hektar, maka yang dibakar hanya dua hektar itu, mereka punya cara agar kebakaran hutan tidak meluas dan menjalar kemana-mana.
Jadi, praktis kehidupan rumah tangga para petani, bahkan satu rumah panjang suku dayak paser ini dihuni antara 3 sampai 5 kepala rumah tangga dalam satu rumah.
Mereka makan sehari-hari dengan nasi (beras/padi) ditambah lauk ikan, daging (dendeng) kijang, dan berbagai sayuran, seperti daun singkong dan timun. Yang mereka panen sendiri, dan tumbuh sepanjang tahun, bergantian antara panen padi, jagung, singkong dan sagu, hanya saja lauknya sama sepnjang tahun ikan air tawar atau dendeng daging kijang (kancil) atau babi (dayak kristen/hindu kaharingan)
mayoritas suku dayak beragama kristen atau hindu Kaharingan, namun khusus dayak paser, karena mayoritas tinggal di pesisir pantai Kabupaten paser, biasanya di pesisir ini banyak berhubungan dengan perantau asal bugis/bajau (Sulawesi) yang Muslim, sehingga banyak dayak paser mengikuti ajaran agama orang bugis/bajau ini.
Karena sembako (kebutuhan pokok) penduduk diperoleh dari berladang dan diperoleh dari hutan (sagu), maka penduduk tidak dipusingkan dengan inflasi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dengan para penduduk kota. Radio apalagi televisi, ketika itu belum ada, sehingga sama sekali minim informasi dari dunia luar/
Waktu itu belum ada ribut-ribut kampanye pemilihan Presiden, Gunernur, Walikota dan Bupati, juga belum ada pemilihan kepala desa, dan juga belum ada ditunjuk Kepala desa, yang ada hanya penghulu sebutan untuk kepala desa/kampung.
Tidak heran ketika itu belum semua penduduk punya kartu tanda penduduk (KTP).
Banyaknya suku dayak menjadi penganut kristen, karena ketika itu banyak pastor/pendeta asal Belanda yang banyak masuk sampai ke hutan bahkan banyak mendirikan gereja di tengah hutan.
Kehidupan penduduk desa sangat harmonis dengan alam, karena dengan alam yang lestari mereka bisa memetik hasilnya.
Pada tahun 1970;an, walaupun ayah saya seorang tentara, namun memutuskan pindah rumah dari asrama tentara sentosa II Balikpapan, dengan membangun rumah sendiri di pinggir pantai di Kampung Baru Tengah, Balikpapan, Maklum kami sekelurga sudah memiliki saudara kandung enam orang (ampai pensiun, ayah saya memiliki anak laki-laki lima, anak perempuan lima) kalau dihitung dengan keguguran tiga kali , maka Ibu saya melahirkan (memiliki anak 13 orang).
Sehingga ayah saya membangun rumah panggung besar, yang dibawah kolong rumah adalah air laut kalau air pasang).
Jadi wc/toilet/jamban langsung nyemplung ke air laut. Maklum ketika itu belum ada program keluarga berencana (KB), jadi seluruh anak dapat ransum beras penuh dari kantor.
Pada masa ini kami bersama penduduk lokal masa kecil menghabiskan waktu luang dengan berenamg dan mendayung perahu kecil di pinggir pantai tepat di belakang rumah. Kdang kami memancing ikan, dan menjaring kepiting yang banyak terdapat di belakang rumah.
Sekali-kali kami bersama teman-teman mengayuh perahu ke sekitar muara sungai Wayne dan sungai Somber di kampung baru ujung, di sana kami menjaing kepiting dan berbagai jenis udang termasuk Lobster dan siput bakau (keong bakau)  yang banyak terdapat di pinggiran hutan bakau yang ketika itu masih menghiasi sepanjang pesisir pantai Teluk Balikpapan.
Pada tahun 1990 ketika kami kembali ketempat ini (setelah kami sekeluarga pindah ke Jakarta pada awal tahun 1973) sekadar untuk berkunjung ke keluarga kerabat yang masih tinggal di Balikpapan, kami menemukan pesisir pantai Balikpapan banyak dijumpai sampah plastik dan berbagai sampah lain selain tumpahan minyak mentah.
Kata nelayan lokal akan suli ditemui lagi berbagai jenis ikan, kepiting, udang (Lobster) dan siput bakau di pesisir pantai Balikpapan, selain bakaunya musnah, pesisir pantainya pun tercenar berbagai sampah.
Kita juga tidak bisa temukan lagi orang utan yang daulu banyak bergelantungan di atas pohon di sepanjang dari hilir sungai sampai hulu, termasuk ular phyton sudah sulit ditemui.
Orang utan kita bisa masih ditemui di tempat penangkaran orang utan di sungai Wayn yang dipelihara Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengurus Orang Utan.
Kini pulau Kalimantan tidak lagi didonimasi hutan belantara, kini htannya banyak dibakar untuk digantikan fungsinya dengan perkebunan kelapa sawit, dan arus air sungai pun menyusut, karena fungsi pohon untuk menyerap air hujan sebelum mengalir ke sungai mulai menghilang, Keserakahan ekonomi manusia yang membuka lahan pertanian sawit dengan cara membakar hutan, mengakibatkan Indonesia kini masuk pada kondisi darurat asap

Kebakaran hutan dan lahan Indonesia bisa samai insiden 1997

(BBC) Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 1997 mencapai jutaan hektare.
Luas dan dampak ekonomi kebakaran hutan dan lahan di sejumlah provinsi di Indonesia amat mungkin menyamai skala insiden serupa pada 1997, menurut peneliti.
Melalui pemantauannya, Robert Field menilai kebakaran lahan dan hutan yang melanda Indonesia tahun ini sangat parah.
Field, seorang peneliti Universitas Columbia yang melakukan kajian di Goddard Institute for Space Studies milik Badan Antariksa Amerika Serikat, bahkan yakin bahwa situasi di Indonesia bisa bertambah sulit apabila musim kemarau terus berlanjut akibat fenomena El Nino.
“Kondisi di Singapura dan Sumatra bagian tenggara berada jalur mendekati 1997. Jika perkiraan cuaca musim kemarau berlangsung lebih lama, bisa dianggap bahwa 2015 akan tercatat sebagai kejadian terparah dalam rekor,” kata Field sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Dalam kurun 1997-1998, pemerintah Indonesia memperkirakan jumlah lahan yang terpapar kebakaran mencapai 750.000 hektare.
Namun, berbagai lembaga lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengestimasi jumlahnya mencapai 13 juta hektare. Kemudian kajian yang dilakoni Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah lahan yang terdampak akibat kebakaran mencapai 9,75 juta hektare.
Soal dampak ekonomi, jumlah estimasinya beragam. Economy and Environment Programme for Southeast Asia memprediksi Indonesia dirugikan US$5 miliar hingga US$6 miliar akibat kebakaran hutan dan lahan pada 1997-1998.
Lalu, studi Bappenas dan ADB mencatat kerugian mencapai US$4,861 atau setara dengan Rp711 triliun.

Kerugian ekonomi Indonesia akibat kebakaran dan asap pada 1997 berkisar antara US$4 miliar hingga US$9 miliar.
Ketahanan ekosistem
Herry Purnomo, peneliti lembaga Center for International Forestry Research (CIFOR), juga berpendapat kebakaran lahan dan hutan tahun ini dapat menyamai rekor pada 1997.
“Fenomena El Nino tahun ini sedikit lebih kecil dibandingkan dengan 1997. Namun, ketahanan ekosistem kita lebih rentan terhadap kebakaran karena hutan kita sudah didegradasi oleh hutan tanaman industri dan sawit,” kata Herry kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Herry tidak menutup kemungkinan bahwa dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan tahun ini bisa menyamai catatan 1997.
“Satu provinsi saja bisa kehilangan Rp20 triliun akibat kebakaran. Nah, sekarang sudah ada sedikitnya lima provinsi yang terkena imbas parah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah,” ujar Herry.
Menurutnya, nilai kerugian tidak hanya dihitung semata-mata oleh kayu yang hilang dilalap api. “Ada aktivitas ekonomi yang terganggu, kesehatan masyarakat yang terdampak, air yang rusak, transportasi, dan lain-lain,” kata Herry.
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan dampak ekonomi akibat bencana kabut asap yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia pada 2015 bisa melebihi Rp20 triliun.
Angka itu, menurutnya, didasarkan pada data tahun lalu.
Terungkap bahwa kerugian akibat kabut asap 2014 yang dihitung selama tiga bulan dari Februari sampai April hanya dari Provinsi Riau mencapai Rp20 triliun.

Tiga provinsi tetapkan tanggap darurat asap
Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap sudah menjadi peristiwa rutin tahunan.
Pemerintah Indonesia berkeras tidak mau menerima bantuan yang ditawarkan dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia, yang selama bertahun-tahun juga terkena bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Dalam wawancara dengan BBC, Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia sudah melakukan upaya yang serius, dengan mengerahkan ribuan anggota TNI dan Polisi serta belasan helikopter untuk mengatasinya.
Presiden Joko Widodo mengatakan perlu tiga tahun untuk menyelesaikan pekerjaan fisik demi menghentikan kabut asap.
“Artinya kita sudah kerahkan semuanya untuk menangani, tapi ini perlu waktu. Perkiraan saya tiga tahun mengerjakan pekerjaan fisik ini,” ujar Jokowi kepada wartawan BBC, Karishma Vaswani.
Sementara Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, menjelaskan jenis bantuan tersebut yang ditawarkan Singapura sama dengan yang dimiliki Indonesia, yaitu helikopter jenis Chinook, untuk membantu pemadaman.
Namun jumlahnya hanya satu unit.
Karena kunjungan warga ke Puskesmas yang cukup tinggi berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan atas dan usia yang berisiko tinggi adalah balita, kami mengambil aula pemerintah kota untuk evakuasi.
Helda Suryani
“Dia (Singapura) cuma ngasih satu pesawat, kecuali ngasihnya 20 gitu loh atau 30,” kata Siti.
Status darurat
Sebanyak tiga provinsi, yaitu Riau, Jambi, dan Kalimantan Tengah telah memberlakukan status tanggap darurat setelah selama beberapa pekan indikator pencemaran udara di wilayah tersebut melampaui tahap berbahaya.
Pada Rabu 30 September, indikator polutan di Pekanbaru, Riau -menurut penghitungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika- mencapai 450 atau 100 lebih tinggi dari taraf bahaya.
Kondisi itu disayangkan Desi, ibu seorang bayi berusia satu tahun yang dirawat di sebuah rumah sakit di Pekanbaru, Riau, karena mengidap infeksi paru-paru. Infeksi itu diperparah oleh tebalnya kabut asap selama beberapa bulan terakhir.

 “Anak saya selama ini berada di rumah, tidak ke mana-mana akibat kabut asap. Ternyata masih kena infeksi paru-paru. Mengapa pemerintah tidak melakukan sesuatu? Apa menunggu sampai anak kita mati semua karena asap?” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Pekanbaru, Drg. Helda Suryani, mengatakan pihaknya telah menempuh berbagai langkah, termasuk menyediakan aula di lantai tiga gedung perkantoran Wali Kota Pekanbaru sebagai lokasi evakuasi bagi bayi baru lahir sampai berumur enam bulan.
Aula itu kini ditempati empat anak-anak, seorang ibu hamil, dan tiga orang tua pendamping.
Pada Rabu (30/09), indikator polutan di Pekanbaru, Riau, menurut penghitungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencapai 450 atau 100 lebih tinggi dari taraf bahaya.
“Karena kunjungan warga ke Puskesmas yang cukup tinggi berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan atas dan usia yang berisiko tinggi adalah balita, kami mengambil aula pemerintah kota untuk evakuasi,” kata Helda kepada wartawan di Pekanbaru, Sari Indriati.
Evakuasi warga dari kawasan kabut asap dipandang penting oleh Azisman Saad, dokter ahli paru di Pekanbaru. Namun, menurutnya, apabila evakuasi dilakukan di kawasan yang sama, hal itu tidak akan efektif.
“Kalau evakuasi di Pekanbaru juga, saya rasa kurang efektif. Karena Pekanbaru telah diselimuti kabut asap,” kata Azisman.

Siapa 'aktor' di balik pembakaran hutan dan lahan?
Masing-masing kelompok yang melakukan aktivitas pembukaan lahan akan mendapat persentase pemasukan tersendiri.
Ada sekitar 20 aktor yang terlibat di lapangan dan mendapat keuntungan ekonomi dari pembakaran hutan dan lahan. Sebagian besar dari jaringan kepentingan dan aktor yang mendapat keuntungan ekonomi ini menyulitkan langkah penegakan hukum.
Aksi pemerintah memenjarakan atau menuntut individu serta perusahaan yang diduga membakar lahan tak akan cukup untuk mencegah kabut asap berulang.
Fakta dan kesimpulan ini terungkap dalam penelitian tentang 'Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan' dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo.
Kerumitan di lapangan, menurut Herry, terjadi karena para pelaku pembakar hutan, baik masyarakat maupun kelas-kelas menengah dan perusahaan selalu berhubungan dengan orang-orang kuat, baik di tingkat kabupaten, nasional, bahkan sampai tingkat ASEAN.
Penelitian Herry Purnomo menemukan bahwa harga lahan yang sudah dibersihkan dengan pembakaran justru akan naik karena siap ditanami kelapa sawit.
"Tidak mudah bagi bupati yang akan menuntut (pembakar hutan), bisa jadi yang punya (kebun) kelapa sawit, membakar hutan, berhubungan dengan partai tertentu yang kuat di daerah, sehingga bupati atau gubernur tidak gampang juga (bertindak), harus melihat konstelasi politik," kata Herry pada BBC Indonesia, Rabu (23/9).
Aktor-aktor tersebut, berdasarkan hasil penelitiannya, bekerja seperti bentuk "kejahatan terorganisir".
Ada kelompok-kelompok yang menjalankan tugas berbeda, seperti mengklaim lahan, mengorganisir petani yang melakukan penebasan atau penebangan atau pembakaran, sampai tim pemasaran dan melibatkan aparat desa.
Namun tak hanya di tingkat pusat, pemilik lahan bisa saja kerabat penduduk desa, staf perusahaan, pegawai di kabupaten, pengusaha, atau investor skala menengah dari Jakarta, Bogor, atau Surabaya.
Terorganisir
Masing-masing kelompok yang melakukan aktivitas pembukaan lahan akan mendapat persentase pemasukan sendiri, namun rata-rata, pengurus kelompok tani mendapat porsi pemasukan terbesar, antara 51%-57%, sementara kelompok petani yang menebas, menebang, dan membakar mendapat porsi pemasukan antara 2%-14%.
Dalam penelitiannya, Herry menemukan bahwa harga lahan yang sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang ditawarkan dengan harga Rp8,6 juta per hektar.
Namun, lahan dalam kondisi 'siap tanam' atau sudah dibakar malah akan meningkat harganya, yaitu Rp11,2 juta per hektar.
Lalu tiga tahun kemudian, setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka perkebunan yang sudah jadi itu bisa dijual dengan harga Rp40 juta per hektar.
Image copyrightGETTY IMAGES
Image caption
Pemilik lahan yang terbakar bisa saja dari kota-kota besar atau kerabat penduduk desa, pegawai kabupaten, sampai peneliti.
Kenaikan nilai ekonomi dari lahan inilah yang membuat aktor-aktor yang diuntungkan berupaya agar kebakaran hutan dan lahan terjadi terus-menerus.
Selain itu, dalam pola jual beli lahan, penyiapan lahan menjadi tanggung jawab pembeli, jika akan dibakar atau dibersihkan secara mekanis. Semakin murah biaya pembersihan, untung pembeli akan semakin besar.
Sebagai perbandingannya, menurut Herry, per hektar lahan yang dibakar biayanya $10-20, sementara untuk lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 per hektar.
Penelitian Herry dilakukan di 11 lokasi di empat kabupaten di Riau, yaitu Rokan Hulu, Rokan Hilir, Dumai, dan Bengkalis menggunakan metode pemetaan, survei, dan pendekatan kebijakan.
Di Riau, ada 60 perkebunan kelapa sawit dan 26 hutan tanaman industri.
Patron politik
Perusahaan atau individu di daerah yang menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit di daerah bisa menemukan patron-patron politik di tingkat lokal.
Herry mencontohkan, "Misalkan ada perusahaan-perusahaan skala kecil yang punya patron partai politik sangat kuat di kabupaten itu yang berpengaruh ke proses-proses pengambilan keputusan dan penegakan hukum di daerah tersebut. Bisa jadi mereka pendukung kuat dari petahana."

Pemain di tingkat menengah atau 'cukong', Herry menemukan, bisa siapa saja.
"Dari oknum pegawai pemerintah, polisi, tentara, peneliti, bisa terlibat, bisa punya sawit sampai ratusan hektar dan dalam proses pengembangan sawitnya bisa (melakukan) pembakaran untuk menyambut musim hujan berikutnya," ujarnya.
Aktor-aktor inilah yang tak terbaca atau tertangkap dalam pola penegakan hukum yang terjadi sekarang untuk menangani kabut asap.
Untuk menemukannya, maka penting untuk menelusuri ke mana produk kelapa sawit dari perkebunan-perkebunan tersebut disalurkan.
Bakar lahan
Terhadap temuan ini, juru bicara Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi, mengatakan, ada 2.500 perusahaan kelapa sawit kelas kecil dan menengah, dan total hanya ada 635 perusahaan yang menjadi anggota GAPKI.
Kabut asap di Riau sudah berlangsung selama 18 tahun terakhir.
"Yang jadi anggota kita saya yakin tidak ada (yang membakar lahan), karena kita kontrol sampai bawah. Di luar anggota GAPKI, kami tak punya instrumen atau kepentingan, tapi kita mengimbau, mendukung apa yang disampaikan oleh gubernur Kalsel misalnya agar mereka (perusahaan kelapa sawit kecil dan menengah) untuk jadi anggota GAPKI agar kontrolnya lebih gampang," ujarnya.
Namun, Tofan mengakui bahwa mereka belum memiliki metode yang ketat dalam melakukan pengawasan sampai ke bawah. "Tapi GAPKI punya standar, punya requirement, memenuhi aturan yang sesuai dengan regulasi di pusat, lokal, dan daerah," katanya.
Selain itu, Kepolisian Daerah Riau sudah menetapkan PT Langgam Inti Hibrida yang juga anggota GAPKI sebagai tersangka pembakaran hutan.
Upaya penegakan hukum yang ada selama ini belum menyentuh patron-patron politik yang melindungi perusahaan atau pemilik lahan yang terbakar.
Edi Saputra, petani di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan mengatakan bahwa praktik pembakaran lahan memang sudah berlangsung di komunitasnya selama ratusan tahun.
Namun praktik itu tak setiap tahun dilakukan, biasanya hanya 5-10 tahun sekali bertepatan dengan masa tanam.
"Kita sudah ratusan tahun membakar, tapi kenapa kita ribut sekarang soal asap, artinya, kenapa itu muncul jadi kebakaran yang dahsyat? Karena semua konsesi itu diberikan kepada korporasi, sehingga lahan jadi mudah terbakar. Lahan korporasi itu kan kering sekali, nggak bisa ditanami padi. Sekarang dibanding dulu, jauh memang, asal tergores saja, ada bintik-bintik api, langsung terbakar lahan itu," katanya.

Sanksi kebakaran hutan: Mengapa perusahaan besar 'tidak disentuh'?
23 September 2015
Sebagian perusahaan pembakar hutan sudah diperkarakan, tapi prosesnya tak berujung pangkal
Aktivis lingkungan di Riau menghargai pemberian sanksi kepada perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, tetapi mereka mempertanyakan kenapa sejumlah perusahaan kelas kakap 'tidak disentuh'.
Koalisi pemantau pengrusakan hutan di Riau mengatakan, pemerintah juga dapat memberikan sanksi lebih tegas dengan membawa kasusnya ke pengadilan serta mewajibkan perusahaan-perusahaan tersebut membayar ganti kerugian kepada warga yang terdampak kabut asap.
"Pemberian sanksi itu merupakan langkah cepat, cukup menjanjikan. Tapi, kita lihat nanti, apakah langkah serupa juga akan dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang terdeteksi dan tercatat ada titik api dan mengalami kebakaran tiap tahun di wilayah konsesinya," kata aktivis koalisi pemantau pengrusakan hutan (Eyes on the forest) di Provinsi Riau, Afdhal Mahyuddin, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Rabu (23/09) pagi.
Sebelumnya, empat perusahaan di Sumatera dikenai sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait kebakaran hutan dan lahan.
Perusahaan yang izinnya dibekukan adalah PT LIH (Riau), PT TPR (Sumsel) dan PT WAJ (Sumsel), sementara PT HSL (Riau) dicabut izin usahanya.

Perusahaan-perusahaan harus menyediakan perlengkapan pencegahan kebakaran
Perusahaan-perusahaan itu harus menghentikan semua kegiatan operasional di lapangan dan memenuhi kewajibannya, seperti melengkapi peralatan pencegahan kebakaran.
Sanksi ini didasarkan berita acara Satuan tugas khusus (Satgasus) Kementrian Lingkungan hidup dan Kehutanan. Mereka saat ini telah mengunjungi 286 lokasi bekas terbakar di Sumatra dan Kalimantan.
Bayar ganti rugi
Lebih lanjut Afdhal Mahyuddin mengatakan, dirinya tidak terlalu heran saat mengetahui bahwa pemerintah telah membekukan izin PT LIH.
"Karena, pada 2013 lalu, mereka telah menjadi tersangka dan sampai sekarang belum disidangkan," kata Afdhal.
Demikian pula, Afdhal tidak terlalu terkejut saat pemerintah mencabut izin usaha PT HSL di Riau. "Wajar saja, karena sudah lama tidak aktif," tambahnya.
Namun demikian, lanjutnya, pemerintah seharusnya dapat memberikan sanksi serupa, atau yang lebih tegas, terhadap perusahaan-perusahaan besar lainnya yang selama bertahun-tahun melakukan pelanggaran serupa.
"Catatan kita, ada beberapa perusahaan konsesi yang terindikasi melakukan tindakan pelanggaran. Herannya, mereka tidak dicabut izinnya atau diberi sanksi," kata Afdhal.
Pegiat menganggap, banyak perusahaan besar pembakar hutan yang lolos
"Saya pikir perlu tindakan terhadap perusahaan berskala besar atau kelas kakap," tambahnya.
Dia juga mengusulkan, sanksinya seharusnya lebih dari sekadar pembekuan atau pencabutan izin usahanya, seperti membawa kasusnya ke pengadilan pidana atau perdata.
"Mereka juga harus membayar ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak luas akibat kabut asap," katanya lebih lanjut.
Saat ini, tim KLHK mengunjungi 286 lokasi bekas terbakar di Sumatera dan Kalimantan.
Lebih lanjut dikatakan, KLHK mengatakan, perusahaan yang dibekukan izinnya wajib melengkapi sarana dan prasarana yang belum dipenuhi untuk mengurangi potensi kebakaran.
Pembekuan akan berdampak pencabutan izin jika perusahaan tersebut bersalah di pengadilan, kata pejabat KLHK.
Berbagi berita ini Tentang b

"Apa pemerintah menunggu anak-anak kami mati karena asap?"
Di ruang yang dilengkapi pengatur udara di lantai tiga Balai Kota Pekanbaru, Apriyani memandang bayinya yang berusia empat bulan, tidur nyenyak.
Perempuan berusia 35 tahun ini adalah satu dari empat ibu yang mengungsi di tempat perawatan bayi darurat yang disediakan pemerintah kota Pekanbaru. Ini merupakan upaya melindungi bayi dari asap beracun akibat kebakaran lahan dan hutan yang sudah terjadi sejak berbulan-bulan.
"Di sini bayi saya bebas dari asap. Tidak seperti di rumah," kata Apriyani.
'Sewaktu kami tinggal di rumah, bayi saya ini batuk terus. Kalau di sini, ruangannya tertutup, dan ada pemurni udara.
Pencemaran udara di Pekanbaru tercatat pada angka 1000 Indeks Standar Pencemar (PSI). Padahal 100 PSI saja sudah digolongkan tak sehat, dan kalau lebih dari 300 sudah dianggap berbahaya.
"Bayi lah yang paling menderita. Bayi sama ini tak hentinya batuk-batuk"
Di sana ada tempat-tempat tidur bayi yang disewa, dan tabung oksigen, tapi Afriyani mengaakan ia tak ingin tinggal di sana lama-lama.
"Maunya, pemerintah bekerja lebih keras untuk menghilangkan asap, agar anak-anak kami tidak kesusahan bernafas tiap waktu. Karena kan jelek untuk kesehatan mereka, kan?
Dr Helda Suryani, kepala dinas kesehatan di Pekanbaru mengatakan, tempat penampungan itu diperuntukkan terutama bagi keluarga-keluarga miskin yang rentan.
"Orang kaya memiliki AC sendiri, dan bisa mencari sendiri tempat yang lebih aman. Sedangkan tempat ini bagi mereka yang rumahnya kami lihat setiap harinya dipenuhi asap yang berbahaya.
Ketika ditanya mengapa sesudah begitu lama pemerintah baru menyediakan tempat penampungan ini, ia tertawa kecut.
"Mengapa begitu lama? Kami sudah berdoa meminta hujan, dan waktu tentara datang membantu, udara lebih bersih selama dua hari. Tapi sekarang begini lagi. Jadi akan begini terus."
Adapun bagi Desi, penampungan ini terlalu terlambat. Ibu muda ini duduk bersama anaknya yang berusia satu tahun di Rumah Sakit Santa Maria. Ia didiagnosa terserang infeksi paru-paru.
"Saya menjaga anak saya di dalam ruangan sepanjang waktu. Kami tidak ke mana-mana karena asap ini, tapi tetap saja anak saya kena radang paru-paru."
"Kenapa pemerintah tak berbuat apa-apa?" tanyanya
"Apakah pemerintah menunggu anak-anak kami mati karena asap?" (BBC)





No comments:

Post a Comment