!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Thursday, September 4, 2014

Perjalanan yang belum Selesai (38)


Antri Lowongan Kerja
Perjalanan yang belum Selesai (38)

(Bagian ketigapuluh Delapan, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 4 September 2014, 17.31 WIB)

Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 banyak memukul sector industry Indonesia, karena tidak lepas dari dampak ekonomi global, terutama di Asia, sehingga banyak industry yang berorientasi ekspor banyak yang tutup.
Sampai-sampai tetangga saya yang suami istri yang sama-sama kerja di pabrik garmen di Gang,Namgka harus diputus hubungan kerjanya, sang suami kini banting setir Jadi penjual pulsa telpon, sedangkan istrinya membuat bakpao yang di jual ke warung-warung sekitar.

Di depan rumah saya juga suami istri kerja di pabrik tekstil di satu perusahaan, karena pabrik tutup si Istri kini menjual sembako di rumahnya, sang suami jadi distributor sembako (beras dan kebutuhan rumah tangga lainnya), setelah uang pesangon dia beli truk mini.

Pada saat krisis pernah terjadi nilai mata dolar AS meningkat hingga Rp 20.000,- per satu dolar AS. Harga emas pun sempat meroket harganya sehingga emas 14 karat yang saya miliki yang sebelumnya tidak laku dijual, bisa saya jual Rp 3 juta di toko emas di Pasar Rebo.

Sukurlah pada akhirnya Indonesia termasuk diantara tujuh Negara di dunia yang lolos dan terhindar dari krisis ekonomi dunia yang berkepanjangan.



LINGKARAN KRISIS EKONOMI INDONESIA
PDF
Print
E-mail

Ditulis oleh  Lilik Salamah   
Wednesday, 17 November 2010 15:35
JURNAL MASYARAKAT KEBUDAYAAN DAN POLITIK
Volume 14, Nomor 2:65-76

Lingkaran Krisis Ekonomi Indonesia

Lilik Salamah1
Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Uiversitas Airlangga 

Krisis ekonomi Indonesia sejak per-tengahan tahun 1997 terus bergulir sampai sekarang. Berbeda dengan negara-negara ASEAN misalnya Thailand, Malaysia dan Filipina yang juga kena badai krisis, me-reka relatif telah bisa mengatasinya, sementara Indonesia sampai semes-ter pertama tahun 2001 masih “ber-jalan di tempat” dalam arti belum bisa keluar dari krisis ekonomi yang dihadapimya. Indikasi ini terlihat dari pertumbuhan riel GDP per-tengahan tahun 1990-an sampai sebelum terjadinya krisis menun-jukkan rata-rata di atas 7%, setelah krisis turun drastis yaitu –13,7% (1998), -3%(1999), dan 1% (2000); sementara laju inflasi membengkak dari 6,47% (1996) sebelum krisis menjadi 11,05% (1977), 77,6% (1998), 25% (1999), dan 15% (2000) (Tim FISIP Unair, 2000:68). Indikasi lain terlihat dari nilai kurs rupiah terhadap dolar. Sebelum krisis terjadi nilainya Rp 2.682/per dollar AS, terus berfluktuasi dan awal semester 2001 menembus batas psikologis Rp. 11.000 (padahal APBN mematoknya Rp 7000) yang berarti nilai rupiah terdepresiasi lebih dari 300%.
          Mengapa terjadi krisis ekono-mi di Indonesia? Dan mengapa pemerintah Indonesia sangat sulit keluar dari krisis tersebut? Per-tanyaan ini menarik karena sebe-lumnya para pengamat bahkan Bank Dunia sangat optimis bahwa Indonesia tidak akan terkena badai krisis sebagaimana yang terjadi di negara-negara Asia.


Faktor –faktor Penyebab Krisis

Pada awal 1997 tidak banyak pihak (termasuk di Indonesia) yang mem-perkirakan Indonesia termasuk sa-lah satu negara Asia yang secara ekonomik rentan terhadap serangan para spekulan mata uang. Mening-katnya angka pertumbuhan ekono-mi Indonesia dan menurunnya ang-ka kemiskinan rata-rata sejak pe-riode 1970-an memperkuat optimis-me bahwa Indonesia bakal kuat menghadapi ancaman krisis mone-ter yang melanda kawasan Asia tersebut. Dengan menunjuk pada indikator-indikator makro ekonomi Indonesia, Bank Dunia (1997) bahkan mengatakan bahwa perekonomian Indonesia berada di dalam kondisi siap menghadapi krisis moneter. Optimisme serupa masih diperlihatkan pemerintah Indonesia ketika pada minggu kedua Mei 1997 mata uang Thailand Baht mulai menjadi sasaran para spekulan. Optimisme menjadi berbalik ketika Juli 1997 efek menular cepat dirasakan bebe-rapa negara di kawasan Asia Teng-gara. Kuatnya tekanan yang diduga dilakukan oleh para spekulan mata uang asing memaksa Bank Sentral Thailand pada 2 Juli 1997 mengam-bangkan nilai tukar Baht. Krisis negara-negara ASEAN berlanjut dengan turunnya nilai mata uang Filipina (Peso), Malaysia (Ringgit), dan Indonesia (Rupiah). Krisis moneter di Indonesia kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi.
Pandangan tentang penyebab krisis ekonomi di Indonesia sangat beragam. Ekonom klasik seperti Krugman melihat krisis ekonomi yang melanda Asia khususnya Indo-nesia disebabkan karena faktor domestik, antara lain praktek crony capitalism dan lemahnya struktur fi-nansial yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro. Sebalik-nya, ekonom Keynesian seperti Prof Kindlebeger melihat krisis itu terjadi karena sentimen pasar finansial yang menyebabkan kepanikan dan menimbulkan proses penularan pa-da sistem ekonomi nasional. Se-mentara itu J. Soedradjat Djiwan-dono (1999: ) melihat bahwa krisis yang melanda Asia khususnya Indonesia karena kombinasi kekuatan dari luar serta lemahnya struktur finansial dan ekonomi domestik.
Secara eksternal, ada tiga fak-tor yang berpengaruh. Pertama, glo-balilasi ekonomi kapitalis. Dalam konteks ini, perdagangan pada da-sarnya menjelaskan berlangsung-nya proses internasionalisasi mata uang sejumlah negara besar dalam skala yang amat luas yang tidak hanya menjalankan kedaulatan ekonomi nasional dan regional, melainkan menjalankan persaingan yang sangat kompetitif, di mana imperialisasi dan supremasi kekuat-an ekonomi industri negara-negara besar terhadap negara kecil sangat berpengaruh. Fenomenanya, mata-uang negara pemegang kendali globalisasi ekonomi dan industri dengan sendirinya menjadi alat transaksi internasional yang sangat dominan, dan dinamikanya sangat berpengaruh pada perekonomian dunia. Kedua, fluktuasi pasar. Seiring dengan globalisasi kapitalis, uang bukan lagi sekadar instrumen transaksi melainkan sudah menjadi barang fisik seperti halnya sektor riil yang setiap saat bisa dijual-belikan seperti halnya barang dan jasa. Dalam konstelasi semacam ini yang menentukan nasib nilai tukar mata uang nasional terhadap valas bukan masalah internal (kebijakan pemerintah) melainkan ditentukan oleh pasar (Jawa Pos, 1997). Ketiga, peran spekulan. Sesuai hukum ekonomi, semakin banyak permintaan akan menaikkan nila harga jual. Sebelum terjadinya krisis moneter di Asia, para sperkulan mengetahui bahwa ba-nyak negara di Asia punya hutang luar negeri jangka pendek yang akan jatuh tempo. Para spekulan berusaha mengambil untung deng-an nilai jual tinggi atas kurs dolar yang sedang dibutuhkan mereka. Spekulan memborongnya sehingga dollar AS menjadi langka dan nilai uang domestik menjadi terjungkal. Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad (1998:2) mengatakan kebangkrutan negara-negara Asia secara tiba-tiba dan bersama-sama bukanlah karena pemerintah yang buruk, korupsi, crony capitalism, dan nepotisme, tetapi karena ulah spekulan yang mencari untung sehingga terjadi devaluasi mata uang dan negara-negara Asia itu tidak dapat membayar utang.
Kejatuhan nilai rupiah sebe-narnya tidak lepas dari faktor psi-kologis, yaitu krisis kepercayaan pa-sar. Ketika nilai Rupiah jatuh, pemerintah melalui Bank Indonesia telah melakukan intervensi pasar antara lain menjual dollar yang ke-mudian diikuti spot pasar. Kebijak-an ini sampai minggu ketiga Juli telah menghabiskan dana 1,5 miliar dollar AS. Tetapi rupiah tidak bisa stabil, akhirnya pemerintah tanggal 14 Agustus 1997 melepaskan kurs rupiah. Pelepasan kurs ini didu-kung  kebijakan pengetatan mone-ter melalui peningkatan suku bunga dan sterilisasi, tetapi kebijakan ini juga tidak berhasil. Berbagai usaha perbaikan finansial menunjukkan kegagalan.
Karena situasi ini, pemerintah Indonesia berkali-kali melakukan intervensi pasar uang agar nilai rupiah tidak jatuh drastis, tetapi upaya itu tidak berhasil. Pada 11 Juli 1997 pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi dari 8% menjadi 12%. Tetapi langkah ini nampaknya tidak berhasil karena pada minggu pertama Agustus 1997, nilai rupiah mencapai Rp 2.682 per dollar AS sementara minggu kedua Agustus 1997, nilai rupiah turun menjadi Rp 2.755, atau menurun 25,7%. Keadaan ini memaksa pemerintah Indonesia mencabut rentang (band) intervensi rupiah pada tanggal 14 Agustus 1997. Upaya ini pun belum berhasil mencegah semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Memasuki bulan September 1997, penurunan nilai tukar rupiah telah mencapai 39,8%.
Menghadapi realita tersebut pada 16 September 1997 pemerin-tah menunda proyek-proyek besar senilai Rp 39 triliun. Namun lang-kah ini belum juga tidak menyehat-kan moneter Indonesia. Nilai tukar rupiah justru terus menurun, se-hingga makin mempersulit pemba-yaran utang luar negeri yang ketika itu mencapai 130 miliar dollar AS (terdiri atas 60% utang swasta dan 40% utang pemerintah). November 1997, nilai rupiah jatuh menjadi Rp 4.000 per dollar. Desember 1997 jatuh lagi menjadi Rp 7.750 per dollar. Januari 1998, rupiah anjlog menjadi Rp 10.000 dan bahkan per-nah Rp 17.000 (sehubungan dengan berita sakitnya Soeharto). Februari 1998 rupiah menjadi antara Rp 9.100-9.800. Maret 1998 antara Rp 11.000 dan 8.600. April 1998 antara Rp 7.575 dan 8.600. Mei 1998 antara Rp 7.960 dan 8.100. Juni 1998 antara Rp 11.600 dan 15.000. Juli 1998 antara 14.800 dan 13.225. Pada Oktober 1998 an-tara Rp 14.800 dan 7.800. Setelah itu nilai rupiah naik turun terus.
Kegagalan di atas tidak lepas dari kondisi internal fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah, yaitu adanya kesalahan strategi da-lam aplikasi pembangunan nasion-al. Pertama, pembangunan lebih mengedepankan strategi pertum-buhan. Sejak dicanangkan Pelita I, pemerintah menetapkan strategi pertumbuhan nasional yang meni-tikberatkan pada pembangunan in-dustri yang menopang pertanian. Prioritas strategi pertumbuhan me-ngakibatkan pembangunan, demi efisiensi proses produksi, difokus-kan pada sentra wilayah tertentu, yakni wilayah Pulau Jawa dan pu-sat-pusat kota besar. Hasilnya me-mang cukup membanggakan, rata-rata pertumbuhan sejak dasawarsa 1980-an mencapai 7%, tetapi secara riil pemerataan timpang, standar hidup penduduk di Pulau Jawa, khususnya di kota-kota besar, jauh lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau lain.
 Kedua, strategi pembangun-an “menganak-emaskan” pengusa-ha. Dengan mengutamakan pemba-ngunan industri dan target untuk memperbesar ekspor, pemerintah butuh pengusaha sebagai mitranya, padahal pada saat itu posisi peng-usaha domestik masih dalam ke-adaan lemah. Sebagai penggerak in-vestasi, pemerintah tidak hanya me-nyediakan kontrak, proyek serta li-sensi sebagai agen tunggal, melain-kan juga pemberi kredit besar kepada pengusaha dan pemberi subsidi kepada pelbagai sektor eko-nomi. Akibatnya, pengusaha tergan-tung pada pemerintah di mana pe-merintah menjadi mesin pertum-buhan ekonomi sekaligus sebagai penggerak investasi dan pengaloka-sian kekayaan negara. Sementara itu untuk meningkatkan ekpor dan perluasan usaha, pemerintah mem-beri kemudahan dan pinjaman lu-nak, serta memberi ijin swasta untuk mencari pinjaman luar ne-geri. Realitanya, kemudahan-kemu-dahan itu sering disalah gunakan oleh pengusaha misal fasilitas kridit ekspor tidak digunakan sebagaima-na mestinya. Sementara itu pinjam-an luar negeri komersial berjangka pendek, oleh pengusaha swasta di-gunakan untuk proyek-proyek jang-ka panjang seperti properti. Ketika jatuh tempo, para pengusaha ini kesulitan likuiditas untuk memba-yar cicilan pokok dan cicilan bunga.

                        Tabel : Posisi Utang Luar Negeri RI

Periode

Pinjaman Komersial
Pinjaman
Non-komersial

Sub jumlah
ODA       
Non ODA
1993
     2,169
37,818
12,474
    52,461
1994
     1,727
41,761
15,130
    58,618
1995
     1,085
43,335
15,169
    59,588
1996
     1,048
38,888
15,367
    55,303
1997
       890
38,163
14,812
    53,865
Sumber: Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia (Jakarta: Bank Indonesia, Mei 2000).


Ketiga, pembangunan terlalu mengandalkan utang luar negeri. Sejak awal kekuasaan pemerintah Orde Baru, rezim Soeharto telah menetapkan pentingnya penanaman modal asing dan utang luar negeri. Melalui UU No 1/1967 pemerintah membuka lebar-lebar investor asing. Bersamaan dengan itu pemerintah juga mendapatkan utang dari luar negeri, baik secara bilateral mau-pun multilateral. Asumsinya, per-tumbuhan yang cepat pasti memer-lukan pinjaman besar terutama dari luar negeri. Cash-flow untuk dana pembangunan sangatlah penting (Mohammad, 1998:3). Akibatnya, utang pemerintah terus mem-bengkak. Tercatat pinjaman luar negeri pemerintah dan badan usaha milik negara tahun 1993 berjumlah 52,461 juta dollar AS, meningkat menjadi 58,618 juta pada tahun 1994, dan berturut-turut seterus-nya menjadi 59,588 juta, 55,303 juta, 53,865 juta pada 1995, 1996, dan 1997. Tabel di bawah menun-jukkan posisi utang luar negeri RI.
Meskipun menunjukkan sedikit penurunan jumlah utang luar negeri pada dua tahun terakhir, tetapi penurunan tersebut tidak sangat signifikan dibanding GDP dengan pembayaran cicilan hutang yang harus dikeluarkan tiap tahun. Ketika rejim Soeharto tum-bang ia meninggalkan warisan hutang yang sangat parah. Sampai Juli 1999, jumlah utang luar negeri Indoensia telah mencapai 150 miliar dollar AS, suatu jumlah yang me-nempatkan Indonesia sebagai salah satu dari kelompk pengutang ter-besar di antara semua negara peng-utang Dunia Ketiga. Jika data Bank Dunia digunakan, di mana hutang per kapita rata-rata 377 dollar AS, sementara pendapatan per kapita per tahun dalam nilai aktualnya ha-nya 425 dollar AS, maka Indonesia sebenarnya sudah bisa dimasukkan ke dalam kelompok negara miskin "pengutang berat" di mana rasio pembayaran utang (debt 
service
 ratio) Indonesia sudah mencapai 54% bahkan sejak 1985 sudah di atas 30% (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif,  1999: 6).
Keempat, strategi pembang-unan didasari sistem otoritarianis-me. Untuk melakukan pola bisnis untuk tercapainya strategi pertum-buhan, pemerintah di dalam meng-gerakkan arus investasi memerlu-kan sebuah rejim politik yang mampu mengendalikan persaingan pasar dan stabilitas nasional. Demi stabilitas nasional, pemerintah me-lakukan serangkaian kebijakan mu-lai dari depolitisasi massa, pengen-dalian elit politik maupun birokrasi melalui langkah-langkah halus ins-titusional struktural, seperti pene-tapan undang-undang sampai lang-kah-langkah destruktif melalui teror politik. Pendekatan keamanan (se-curity approach) ini menghasilkan pembangunan ekonomi secara sta-bil, tetapi sifatnya sangat semu. Ke-patuhan dan partisipasi rakyat da-lam pembangunan bukan karena kesadaran moral, melainkan karena keterpaksanaan dan ketakutan yang terpendam. Akibatnya, begitu rezim Orde Baru runtuh rakyat berani memberontak. Demonstrasi, pemogokan serta bermunculannya puluhan partai politik baru, meru-pakan wujud dari ketidakpuasan yang lama terpendam itu.
Dengan berbagai strategi di atas, pembangunan di Indonesia melahirkan dua lapisan atas ekono-mi politik utama, yaitu birokrat politik yang melibatkan keluarganya di dalam bisnis, serta pengusaha yang mengembangkan dirinya ber-kat sokongan pemerintah. Kedua la-pisan ini mendominasi perekonomi-an dan perpolitikan di masa Orba. Buah dari strategi di atas, pem-bangunan ekonomi secara makro menunjukkan keberhasilan yang cukup gemilang tetapi secara sub-stansial terjadi gelembung ekonomi (bubble economy) yang hanya meng-ena kepada lapisan atas, sementara lapisan bawah, lapisan mayoritas hanya menikmati sebagian kecil dari tetesan kue pembangunan. Fondasi ekonomi yang secara pro-forma sangat kuat, dengan indikasi besarnya GNP, GDP dan besarnya ekspor, sebenarnya sangat rapuh. Bersamaan dengan itu, praktik oto-ritarianisme yang sangat membe-lenggu asas demokrasi telah meye-babkan ketidakpastian massa. Aki-batnya, krisis yang semula berawal dari aspek finansial meluas menjadi krisis ekonomi dan politik karena letupan tekanan-tekanan politik yang sejak lama tertindas.


Upaya-upaya Pemulihan

Sebagaimana dijelaskan diatas, kri-sis ekonomi Indonesia bermula dari krisis finansial. Agar krisis finansial tidak berlanjut, berbagai upaya pe-mulihan untuk mencegah banyak-nya pelarian modal serta menurun-nya kepercayaan internasional, dila-kukan langkah-langkah antara lain:
1.   Bulan Desember 1997 menteri keuangan melakukan road show ke luar negeri untuk meyakinkan para kreditur;
2.   Untuk mengatasi masalah hu-tang luar negeri dibentuk Tim Negosiasi Utang Luar Negeri Swasta di bawah pimpinan Radius Prawiro dengan melibat-kan berbagai pemimpin Bank bertaraf internasional, seperti Bank of England, Standard Chartered Bank, dan Bank of Switzerland East Asia;
3.   Menjamin penuh pada semua deposan dan kreditur dari semua bank umum yang berbadan hukum indonesia, baik swasta nasional, patungan mau pun pemerintah;
4.   Intervensi BI pada pasar valuta asing dan kebijakan suku bunga SBI;
5.   Dibentuknya Front Persatuan terdiri Wakil Menteri Keuangan Jepang, Eisuke Sakakigara ber-sama Menteri Keuangan Singa-pura, Malaysia, Australia, dan AS guna secepatnya mengambil langkah-langkah kongkrit mem-bantu krisis dan menyelamatkan perekonomian Indonesia.
6.   Dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Ke-uangan (DPKEK).
7.   Dalam rangka restrukturisasi sektor perbankan, dibentuk lem-baga baru, yaitu Badan  Penye-hatan Perbankan Nasional (BPPN). Langkah ini diambil un-tuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sehingga bisa meng-hentikan rush sekaligus menarik kembali dana-dana yang lari maupun diparkir di luar negeri .





Rumah kumuh di Jakarta

8.   Karena kepercayaan masyarakat ekonomi internasional sangat berkurang, pada bulan Oktober 1997 secara resmi meminta bantuan IMF (Djiwandono, 1999: 52). Ide ini didasari pemikiran bahwa India dan Korea Selatan saat mengalami krisis serupa ternyata berhasil berkat bantuan IMF melalui precautionary arrangement. Pertengahan Sep-tember 1997, Stanley Fisher da-tang ke Indonesia atas undangan Menteri Keuangan, Mar’ie Mu-hamad, kemudian di dalam dis-kusinya dengan tim IMF pim-pinan Herbert Neiss, Fund Director for the Asia Pacific, dengan Tim Indonesia menye-pakati Memorandum on Econo-mic and Financial Policies serta Letter of Intent (31 Oktober 1997), suatu program paket kebijakan reformasi ekonomi untuk menstabilkan nilai tukar dan variabel-variabel moneter lainnya.
Realisasinya antara lain, selama kurun waktu 1998 peme-rintah telah mengeluarkan serang-kaian kebijakan ekonomi makro. Realisasinya antara lain pemerintah melakukan serangkaian kebijakan makro berupa reformasi ekonomi seperti beberapa keputusan presi-den, peraturan pemerintah, dan instruksi presiden.
Sesuai dengan rekomendasi IMF, pemerintah melakukan penye-suaian struktural untuk mening-katkan efisiensi dan daya saing. Langkah-langkah yang direkomen-dasi IMF adalah (Ismawan, 1997):
a.    Mempercepat skenario penurun-an secara bertahap tarif bea masuk. Bea masuk untuk pro-duk kimia, besi/baja dan pro-duk-produk perikanan harus diturunkan sehingga menjadi 5-10% pada tahun 2003. Mulai 1 Januari 1998, sebagian besar tarif produk kimia dikurangi dari 10-20% menjadi 5%. Sementara itu sebagian besar tarif besi/baja diturunkan mulai 1 Januari 1999. Penurunan bea masuk produk kimia dan besi/baja memiliki makna strategis dalam konteks penghapusan struktur pasar monopolistik. Hal yang sama tampak pada rekomendasi IMF agar penetapan harga pedoman setempat (HPS) komo-ditas semen dihapus dalam waktu dekat.
b.   Melonggarkan tata niaga ber-bagai komoditas pokok seperti gandum, tepung terigu, kedelai dan bawang putih. Mulai 1 Januari 1998, barang-barang tersebut dapat diimpor dengan bebas. Impor bawang putih dikenai bea masuk 20%, tepung terigu 10%. Tarif bea masuk itu diturunkan menjadi 5-10% se-belum 2003. Sedangkan untuk melindungi kosumen, pemerin-tah tetap memberikan subsidi tepung terigu. Apa yang direko-mendasi IMF itu linear dengan kritikan pengamat domestik me-ngenai deregulasi yang belum tuntas. Selama ini komoditas pokok memang dianjurkan un-tuk dilepaskan ke mekanisme pasar, namun pemerintah masih berkeberatan dengan alasan untuk menjaga stabilitas suplai dan harga.
c.    Mengurangi secara bertahap hambatan-hambatan dan pajak ekspor. Pencapaian pertumbuh-an ekspor dari bulan Januari hingga Juli 1997 belum menun-jukkan tanda-tanda membaik. Ekspor hanya tumbuh 9,44%. Akan tetapi ekspor nonmigas lebih baik dibandingkan migas.

Paket reformasi ekonomi pada dasarnya mencakup empat aspek penting, antara lain (a) penyehatan sektor keuangan, (b) pembenahan bidang fiskal; (c) pembenahan bi-dang moneter; dan (d) penyesuaian-penyesuaian struktural yang men-cakup penurunan tarif beberapa sektor industri dan pertanian. Lem-baga-lembaga keuangan yang perlu mendapat penyehatan mencakup perbankan swasta, Bank Pemerin-tah Daerah, bank pemerintah, lem-baga pembiayaan, dana pensiun, asuransi, reksa dana, dan perusa-haan efek (Suara Pembaharuan, 1997).
Program utama adalah paket kebijakan yang berkaitan dengan pembenahan perbankan dan usaha memperkuat infrastrutkur finansial serta pembenahan sektor riil dari ekonomi nasional. Yang intinya berupa kebijakan komprehensif untuk memulihkan kembali keopercayaan pasar dan menahan laju kejatuhan rupiah. Program ini berkaitan dengan tiga bidang:

a.    Penguatan kerangka makro eko-nomi
b.   Strategi komprehensif untuk re-strukturisasi sektor keuangan termasuk penutupan institusi-institusi bermasalah
c.    Langkah-langkah struktural di segala bidang untuk memper-baiki kinerja pemerintah dan sektor swasta.

Realisasinya tercermin dalam se-rangkaian kebijakan menteri antara lain:

1.   SK Menteri Keuangan No. 15/KMK.017/1998 tentang pen-cabutan pembatasan pembukaan cabang bank campuran dan ca-bang pembantu bank asing.
2.   SK Menteri Keuangan No. 16/KMK/01/1998 tentang penu-runan bea masuk beberapa pro-duk pertanian, menurunkan tarif seluruh produk makanan mak-simal lima persen, dengan tujuan agar harga yang terjangkau dan wajar.
3.   SK No. 17/KMK/01/1998 ten-tang penurunan bea masuk atas impor produk tertentu.
4.   SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 21/MPP/Kep/ 1/1998 tentang pembebasan Bu-log dari kewajiban mendistri-busikan tepung terigu.
5.   SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 48/MPP/1/ 1998 tentang pencabutan setiap hambatan distribusi semen.

Dalam melakukan program-nya IMF tidak bekerja sendiri tetapi bekerja sama dengan World Bank dan ADB. Dalam hal krisis di Asia, IMF telah mengucurkan danannya. Thailand menerima stand by loan 4 miliar dollar AS atau 505% dari kuotanya. Korea menerima 21 miliar atau 1.939% dari kuota. Indonesia telah menerima 10 miliar atau 490% dari kuotanya, kemudi-an pada Juli 1998 mendapat tam-bahan 1,5 juta yang berarti jumlah keseluruha 0% kuota.


Kritik

Selama ini program dan kebijakan pengelolaan krisis dan pemulihan ekonomi dijalankan dengan meng-gunakan pendekatan dan resep tradisional IMF. Meskipun men-dapat kritik dari berbagai pihak, dan IMF sendiri melakukan ber-bagai macam revisi dan modifikasi, esensi dari pendekatan dan obat IMF masih tetap sama, yaitu memfokuskan segala usaha pada upaya peningkatan kemampuan membayar utang. Untuk tujuan ter-sebut IMF memprioritaskan pada upaya pengetatan fiskal dan mo-neter yang terutama ditujukan agar terjadi kontraksi fiskal maupun moneter. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut terdapat beberapa hal positif dan berguna bagi tujuan pemulihan krisis, seperti keharusan menghapuskan segala bentuk dis-torsi dan perlakuan khusus dalam alokasi sumber daya ekonomi. Na-mun, dalam pelaksanaannya ter-dapat beberapa hal yang menim-bulkan resistensi terhadap imple-mentasi program dan kebijakan-kebijakan pemulihan ekonomi.
Berbagai kasus empirik me-nunjukkan bahwa paket kebijak­an yang dilakukan IMF di negara se-dang berkembang, nyaris identik dan bersifat generik. Secara umum IMF memberikan pinjaman untuk memperbaiki posisi neraca pemba­yaran. Namun negara yang men­dapat bantuan tersebut harus melaksanakan kontraksi fiskal dan moneter agar tersedia surplus un­tuk menjamin pengembalian utang-utang lama dan baru. Muncul bebe­rapa kritik, track record IMF dalam memulihkan krisis di negara-nega­ra berkembang relatif tidak terlalu menggembirakan. IMF tidak banyak berperan dalam mendorong pemu­lihan ekonomi yang lebih sustain­able tetapi lebih banyak mencipta­kan ketergantungan berkelanjutan pada sumber-sumber eksternal. Menurut Martin Khor, resep IMF ti­dak berjalan baik bagi Asia karena IMF tidak memahami Asia. IMF telah menerapkan kondisi yang ti­dak tepat bagi Asia karena penga­laman pemulihan krisisnya bercer­min pada pengalamannya memulih­kan krisis di Amerika Latin dan Af­rika, sementara di Asia perekonomi­annya ditandai tingkat inflasi dan defisit anggaran yang tinggi serta utang sektor publik. Pengamat eko­nomi dari Harvard, Jeffrey Sachs, menyatakan IMF justru memperbu­ruk kondisi perekonomian Asia dengan cara menambah kepanikan yang sudah ada yaitu panic with­drawal dana-dana di pasar. Kera­guan atas kemampuan IMF dalam memulihkan krisis ekonomi di Asia khususnya Indonesia telah berkem­bang. Hal ini disebabkan karena ramuan tradisional IMF dianggap terlalu generik, cenderung ber­ori­entasi ke Barat dan tidak adaptif terhadap kondisi negara setempat. Menurut Zhen Bingxi, kepala Divisi Ekonomi Dunia pada Institut Studi Internasional di Cina, kebijakan ketat IMF yang tidak secara spesifik memperhatikan kondisi khusus ne­gara yang bersangkutan, membuat banyak negara lebih menderita aki­bat tidak tepatnya resep IMF (Kompas, 1998). Ber­dasarkan pengamatan empirik ter­sebut, tidak mengherankan bila kinerja per-ekonomian Indonesia sampai saat ini masih belum meng­gembirakan.


Krisis Multi Dimensi

Meski ada berbagai kritik, dalam upaya keluar dari krisis ini pemerintah Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka tetap harus melakukan kerjasama ekonomi --“pasien”-- IMF. Sebagai lembaga ekonomi internasional, IMF adalah simbol sekaligus motor penggerak kepercayaan pasar internasional. Masalahnya apakah keterpurukan Indonesia dalam berkubang krisis in benar karena peran dan resep IMF tidak berhasil? Persoalannya tidaklah demikian. Krisis ekonomi hanyalah pemicu dari letupan berbagai krisis terpendam yang mematangkan kekacauan sosial dan politik secara komprehensif.
Tekanan-tekanan politik sela-ma Orde Baru yang terselimuti stabilitas politik, serta berbagai te-kanan sosial selama itu telah menimbulkan ketidakpuasan. Keti-ka rezim Orde Baru menggalakkan pembangunan nasional, membu-tuhkan infra struktur – jalan, lahan produksi dan prasana lain - banyak mengena pada tanah “hak milik” atau tanah hak ulayat rakyat. Mereka secara terpaksa “menjual” dan “memberikan” ladang, sawah atau tanah tersebut dibawah ancaman intimidasi dan tuduhan anti pembangunan. Ketika rezim Orba tumbang, bersamaan dengan tuntutan reformasi menjadi sadar akan haknya. Mereka beramai-ramai menuntut haknya. Sementara lembaga hukum yang diidamkan sebagai pengadilan ternyata bersifat ambivalen bahkan mungkin tidak peduli dengan nasib rakyat kecil. Bersamaan dengan ini kebijakan ekonomi dibawah rezim reformasi Presiden B.J Habibie maupun Presiden Abdurrahman Wahid sesuai anjuran IMF melakukan pembenahan dan efisiensi antara lain likuidasi bank, menutup Departemen Sosial dan Departemen Penerangan telah menimbulkan masalah-masalah sosial baru. Peng-angguran meningkat secara drastis terutama wilayah urban di Jawa, yang diperkirakan lebih dari 50 juta penganggur. Sementara itu orang yang hidup di bawah garis ke-miskinan meningkat dari 11% menjadi 25% dari seluruh pen-duduk tahun 1988. Begitu juga drop out sekolah, kriminalitas, prostitusi dan masalah sosial lain meningkat. Akibatnya, kekacauan sosial, kekacauan hukum,  peng-hakiman massa, dan kekacauan keamanan berupa kriminalitas dan patologi sosial terjadi dimana-mana.
Tragisnya, kondisi demikian diperparah oleh konflik rasial di berbagai daerah misalnya Atambua dan Sambas, maupun maraknya usaha disintegrasi berbagai wilayah,  misal Aceh, dan Irian Jaya. Dan yang lebih tragis lagi ternyata para elit politik yang semula sangat komitmen dengan Panji Reformasi menuju tatanan Indonesia baru ternyata saling konflik baik pada tataran personal maupun kelem-bagaan. Sidang DPR membahas Memorandum I ( akhir Maret 2001) dan Memorandum II ( akhir Mai 2001) tentang tuduhan penyalah-gunaan dana Yanatera Bulog dan dana Sumbangan Burnei oleh Pre-siden Abdurrahman Wahid yang terus bergulir sampai Sidang Isimewa MPR awal Agustus 2001 merupakan bukti betapa elit politik lebih mengedepankan kepentingan politik daripada pembenahan eko-nomi nasional. Kekacauan sosial dan kekacauan politik menafikan upaya perbaikan ekonomi, ibarat menegakkan benang basah.


Lingkaran Setan

Pembangunan nasional akan tercapai dengan baik bila tiga unsur terkait (pelembagaan politik, par-tisipasi politik, dan stabitas na-sional) berlangsung baik. Stabilitas nasional akan tercipta bila ada pelembagaan politik yakni supra struktur (penguasa) dan hubung-annya denga infrastruktur (rakyat) yang tangguh. Tetapi ini tidak akan tercapai bila tidak disertai par-tisipasi politik yang utuh, dalam arti rakyat dan elit politik maupun penguasa harus mendasarkan ke-pentingan dan kesadaran nasional sebagai frame of refference mereka, bukan kepentingan dan kesadaran primodialisme seperti ras, agama, atau kepentingan golongan dan pribadi. Selama ketiga unsur ini tidak berlangsung baik, jangan harap perbaikan ekonomi bisa berhasil. Ibarat suatu lingkaran, pembangunan nasional (pembang-unan ekonomi) selalu terkait dan berujung sambung dengan stabi-litas nasional, pelembagaan politik, dan partisipasi politik yang harus berjalan secara terpadu. Bila tidak ada harmoni dan keterpaduan maka usaha Indonesia untuk keluar dari krisis ibarat suatu lingkaran setan yang penuh dengan ilusi.


Daftar Pustaka

Tim Peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga,  "Tinjauan Paket Bantuan Ekonomi IMF: Studi Tentang Manfaat Bantuan Luar Negeri dalam Rangka Pemulihan Krisis Ekonomi," Laporan Penelitian, 2000.
World Bank, Indonesia: Sustaining High Growth with Equity (Washington D.C.: World Bank, 1997).
Djiwandono, J Soedradjat,
Jawa Pos,  “Sisi Lain Anjloknya Kurs Rupiah”, Tajuk,  5 Desember 1997.
Mohamad, Dato Seri Dr. Mahathir, "Speech for “The International Conference on Managing the Financial Crisis: Lessons and Challenges”, 2 November 1998.
Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, “Pengantar Wacana”,  No 3, 1999.
Ismawan, Indra,  ‘Bantuan IMF dan Reformasi Ekonomi’, Media Indonesia, 3 November 1997.
Suara Pembaruan, ‘Krisis Sudah Memasuki Tahap Recovery’, 2 November 1997.
Kompas, “Pemulihan Ekonomi Asia Diragukan”, 10 Oktober 1998





Ekonomi Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ekonomi Indonesia
Jakarta Skyline Part 2.jpg
Jakarta, ibukota keuangan Indonesia.
Peringkat   15
Mata uang Rupiah (IDR)
Tahun fiskal        Tahun kalender
Trade organizations    APEC, WTO, G-20, IOR-ARC
Statistik
PDB  $1,0 triliun dari PPP (2010)
Pertumbuhan PDB      6,17% (per Q3 2012)[1]
PDB per kapita   $4.700 (perkiraan 2011)
PDB per sektor   pertanian: 15,3%, industri: 47%, jasa: 37,6% (perkiraan 2010)
Inflasi (IHK)         5,1% (2010)
Populasi
di bawah garis kemiskinan   13,3% (2010)
Koefisien gini      34,3 (2008)[2]
Labour force       116,5 juta (est. 2010)
Labour force
by occupation     pertanian: 38,3%, industri: 12,8%, layanan: 48,9% (2010 est.)
Pengangguran   6,56% (2011 est.)
Industri utama    minyak dan gas alam, tekstil, pakaian, sepatu, pertambangan, semen, pupuk kimia, kayu lapis, karet, makanan, pariwisata
Peringkat kemudahan melakukan bisnis         129[3]
Eksternal
Ekspor       $208 miliar (perk. 2011)[4]
Ekspor barang-barang         minyak dan gas, alat listrik, kayu lapis, tekstil, karet
Rekan ekspor utama   Jepang 16,3%, Cina 9,9%, Amerika Serikat 9,1%, Singapura 8,7%, Korea Selatan 8%, India 6,3%, Malaysia 5,9% (2010)
Impor         $127,4 miliar (perk. 2010)
Impor barang-barang  mesin dan peralatan, bahan kimia, bahan bakar, bahan makanan
Rekan impor utama     Cina 15.1%, Singapura 14,9%, Jepang 12,5%, AS 6,9%, Malaysia 6,4%, Korea Selatan 5,7%, Thailand 5,5% (2010)[4]
Utang kotor luar negeri         $223 miliar (perk. 30 Juni 2011)
Pembiayaan publik
Utang publik       24,5% dari PDB (perk. 2011)
Pendapatan        $119,5 miliar (perk. 2011)
Beban        $132,9 miliar (perk. 2011)
Peringkat utang  Standard & Poor's:[5]
BB+ (Domestic)
BB+ (Foreign)
BBB- (T&C Assessment)
Outlook: Positive[6]
Moody's:[6]
Baa3
Outlook: Stable
Fitch:[6]
BBB-
Outlook: Positive
Cadangan mata uang asing          $110,30 miliar (Oktober 2012)[7]
Sumber data utama: CIA World Fact Book
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Latar belakang
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)[sunting | sunting sumber]
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat sebesar 4 miliar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6 miliar. Jumlah itu kemudian bertambah ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 miliar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah:
Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya;
Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Tanah pertanian rusak
Tenaga kerja dijadikan romusha
Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
Penanaman kembali tanah kosong
Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.
Demokrasi Terpimpin[sunting | sunting sumber]
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Gunting Syafruddin[sunting | sunting sumber]
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng[sunting | sunting sumber]
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.






Penganguran di AS

Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank[sunting | sunting sumber]
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba[sunting | sunting sumber]
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
Untuk memajukan pengusaha pribumi.
Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)[sunting | sunting sumber]
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)[sunting | sunting sumber]
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan[sunting | sunting sumber]
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
Orde Baru[sunting | sunting sumber]
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca Suharto[sunting | sunting sumber]
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun [8] meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[9] oleh IMF dalam juta rupiah.
Tahun        PDB  % Pertumbuhan/tahun
(bunga majemuk)
1980 60,143.191        
1985 112,969.792       13.5
1990 233,013.290       15.5
1995 502,249.558       16.6
2000 1,389,769.700    22.6
2005 2,678,664.096    14.0
2010 6,422,918.230    19.1
Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan mungkin negatif.
Kajian Pengeluaran Publik[sunting | sunting sumber]
Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar [1] tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar [2] telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar [3] ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar [4] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [5] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [6] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen [7] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001[8] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB [9]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB [10]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 [11], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

Senin, 21 Desember 1998

LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Krisis Ekonomi 1998, Tragedi tak Terlupakan

PENGANTAR REDAKSI

"KEAJAIBAN yang hilang". Itulah istilah yang paling pantas diberikan bagi perekonomian Indonesia sepanjang tahun 1998. Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Laporan akhir tahun ekonomi akan mengungkap semua persoalan itu dan mencoba menggambarkan keadaan untuk tahun mendatang. Laporan akan dituangkan dua hari berturut-turut, Senin (21/12) dan Selasa, di Rubrik UTAMA dan Rubrik OPINI. Semua dituliskan oleh wartawan ekonomi Kompas, Andi Suruji, Banu Astono, Dedi Muhtadi, Ferry Irwanto, Ninuk M Pambudy, Pieter P Gero, Simon Saragih, Sri Hartati Samhadi, Subur Tjahjono, Tjahja Gunawan, Yosef Umar Hadi, dan Yovita Arika.

TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.

Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.

Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.

Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.

Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.

Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu.

Efek bola salju

Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.

Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.

Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.

Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.

Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.

Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.

Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.

Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.

Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.

Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Anomali

Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan.

Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.

Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.

Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.

Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.*

LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Era Bank-bank Bangkrut

INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.

Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis.

Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.

Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.

Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.

Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.

Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.

Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.

Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah untuk dipenuhi.

**

SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan.

Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.

Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.

Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional.

Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.

***

DI tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.

Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau bank-bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan.

Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan perbankan.

Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir. Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan.

Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara.

Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham obligasi atau produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing langsung).

Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya kembali arus modal masuk itu.

Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas.

LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik

PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.

Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.

Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke Indonesia.

Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.

Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.

***

MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat.

Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat. Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan yang sekarang.

Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.

Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional.

Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan.

Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke Indonesia.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.

Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri.

Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.

Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah "kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.*



LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular

kurs1.JPG (17016 bytes)

RUPIAH pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?

Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah. Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.

Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak habis-habisnya setelah mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya, setelah mata uang yen Jepang mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.

Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.

Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin. Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000.

***

MENGIKUTI perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan lembah dan ngarai yang terjal. "Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni lalu.

kurs2.jpg (17016 bytes)

Pasar memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini semakin diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.

Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000 per dollar AS. Tidak terlalu "buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16 bank swasta bulan November.

Manuver-manuver politik semakin memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian Indonesia. Kehadiran calon wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan bahwa Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah yang juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.

Hal serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung melampaui 700 poin pada bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada bulan Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatanganan letter of intent pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi positif pada membaiknya perekonomian.

Kurs rupiah segera kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp 8.000 per dollar AS pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut membantu. Revisi atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan menghadapi krisis.

Di bursa saham, harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500 poin pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik.

***

SEBAGAIMANA dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia ternyata sudah melebar menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis juga mulai masuk ke politik yang selama ini praktis menjadi "kawasan tabu". Akibatnya, kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara perlahan namun pasti, mulai pupus.

Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.

Pasar valas maupun bursa saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti telah diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp 17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000). Indeks harga saham juga mulai menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400 poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.

Sejak Juni dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai membaik. Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan bagi penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program ekonomi Indonesia.

Sayangnya, langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus berjatuhan. Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga rokok ataupun air mineral jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.

Pertanyaannya, apakah kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini saat memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus mulai diselesaikan dari diri sendiri.

Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.

Tujuh Negara ini Selamat dari Krisis Ekonomi Global
Salah satunya adalah Indonesia, karena peningkatan daya beli konsumen.
ddd
Rabu, 17 Oktober 2012, 06:32 Denny Armandhanu
Sejumlah gedung apartemen di Jakarta Sejumlah gedung apartemen di Jakarta


Follow us on Google+ 
VIVAnews - Resesi akbar yang terjadi sejak tahun 2007 dan masih tersisa sampai sekarang membuat banyak negara hampir pailit. Para pemain besar perekonomian dunia juga terkena imbasnya, pertumbuhan ekonomi mereka melambat.

Resesi ini juga yang meruntuhkan banyak institusi finansial besar di berbagai negara, bank-bank terpaksa menggelontorkan dana talangan (bailout) dan ambruknya pasar saham. Di beberapa negara, sektor perumahan anjlok, usaha-usaha tutup akibat turunnya daya beli dan jumlah pengangguran meroket.

Negara adidaya macam Amerika Serikat dan China harus gigit jari dengan turunnya perekonomian mereka. Negara-negara Eropa harus berjuang menutupi utang mereka, dengan memberlakukan pengetatan anggaran, berujung pada kesengsaraan rakyat. Kerusuhan di mana-mana.

Namun, di tengah carut-marut ekonomi global, ada beberapa negara yang masih stabil, bahkan meningkat perekonomiannya. Jurnal ekonomi dan politik AS, Foreign Policy, bulan ini merangkum tujuh negara yang selamat dari krisis 2007, salah satunya tercatat adalah Indonesia. Berikut adalah daftar ke tujuh negara tersebut:

1. Korea Selatan
Kemajuan Korsel di tengah krisis ekonomi dunia tidak terlepas dari mimpi Presiden Lee Myung-bak untuk menjadikan negara itu sebagai negara kelas satu. Dalam mewujudkan mimpinya, Lee meningkatkan riset, pengembangan serta inovasi dari 3,4 persen menjadi 5 persen dengan bantuan subsidi pemerintah. Tercatat, beberapa perusahaan seperti Samsung, Kia dan Hyundai menangguk untung di saat yang lainnya terpuruk.

Korsel adalah negara pertama yang bangkit dari resesi pada tahun 2009. Pendapatan masyarakat Korsel meningkat pesat dalam 11 kuartal terakhir. Lembaga pemeringkat utang Fitch pada September tahun ini menetapkan Korsel sebagai negara surga bagi para investor.

2. Polandia
Dulu, Polandia dianggap sebagai negara paling tidak menjanjikan di Eropa timur, tertinggal jauh dari Republik Ceko dan Slovenia. Namun, krisis Eropa jadi berkah tersendiri bagi Polandia. Ekonomi negara ini meningkat 15,8 persen pada 2008 dan 2011, di saat ekonomi Eropa turun hingga setengahnya. Hal ini tidak lain berkat kebijakan fiskal dan keuangan Polandia yang brilian, tingkat utang yang rendah dan pasar yang luas bagi konsumen domestik.

Masyarakatnya juga ikut andil menyumbang peningkatan ekonomi Polandia. Pekerja di negara ini bekerja lebih lama 500 jam per tahun dibandingkan Jerman, dengan upah yang lebih kecil. Alhasil, Polandia adalah satu-satunya negara di Uni Eropa yang tidak terimbas krisis terparah pada 2009.

3. Kanada
Tahun ini untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, masyarakat Kanada lebih kaya dari pada masyarakat Amerika Serikat. Padahal dua dekade lalu, Kanada jatuh bangun menghadapi utang dan pertumbuhan yang minim.

Keberhasilan Kanada mengatasi krisis ekonomi adalah berkat penghematan yang mereka lakukan sejak tahun 1990an. Di tengah investasi pemerintah yang masif di bidang infrastruktur, perdana menteri kala itu, Paul Martin, juga mengeluarkan kebijakan yang melarang sektor perbankan melakukan praktik-praktik beresiko dan membahayakan institusi finansial lainnya.

Ahli ekonomi mencatat, pendapatan Kanada meningkat 15 persen dalam 10 tahun terakhir. Kanada juga merupakan 10 negara yang layak untuk tempat hidup.

4. Swedia
Saat krisis finansial menimpa Swedia pada 1992, pemerintah langsung mengambil alih beberapa bank. Swedia memotong pajak yang tinggi dari perusahaan-perusahaan dan individu, dan menggunakan sebagian besar anggaran untuk pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah Swedia mampu menjaga utang mereka tetap rendah, sekitar 38 persen dari GDP. Swedia tercatat sebagai negara dengan ekonomi tercepat-tumbuh se-Eropa pada 2011 setelah Estonia. Nilai mata uang krona juga terus melampaui euro.

5. Indonesia
Foreign Policy menuliskan, Indonesia tertolong oleh rasa percaya diri pemerintah dan rakyat yang luar biasa tinggi. Sebanyak delapan persen rakyatnya percaya bahwa negara ini akan menjadi negara superpower berikutnya. Indonesia juga melampaui India sebagai negara dengan konsumen paling optimis sedunia.

Pertumbuhan tahunan Indonesia stabil, 4,5 persen saat resesi dan menempati pertumbuhan kedua tertinggi di G-20 setelah China tahun lalu. Pertumbuhan ini berkat komoditi seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan timah. Tingkat konsumen kelas menengah Indonesia juga meningkat pesat. Penjualan mobil naik 15 persen per tahun, berujung pada semakin banyaknya perusahaan otomotif yang investasi. Salah satunya adalah Nissan yang meningkatkan produksi mereka hingga dua kali lipat, atau senilai US$400 juta.

6. Turki
GDP dan pendapatan per kapita Turki hampir meningkat hingga tiga kali lipat di tengah krisis di Eropa. Turki sekarang menjadi produsen mobil terbesar bagi pasar Eropa. Sebut saja Honda, Hyundai, Renault, Toyota dan Ford buka pabrik di negara ini.
Kemajuan Turki adalah berkat pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang meliberalisasi investasi dan memperketat regulasi yang membendung korupsi. Turki juga telah mengembalikan perannya sebagai jembatan antara Eropa dan Timur Tengah. Mitra dagang terbesar Turki adalah Jerman, Mesir, Iran, Irak dan Arab Saudi.

7. Meksiko
Walaupun Meksiko terkenal banyak masalah, di antaranya kekerasan kartel narkoba yang membunuh lebih dari 50.000 orang dalam enam terakhir, namun ekonominya meroket. Pertumbuhan ekonomi Meksiko melampaui Brasil tahun lalu. Lebih dari 700.000 lapangan pekerjaan tercipta di negara ini pada 2010, menantang dominasi China dan AS sebagai produsen alat-alat rumah tangga.


Inflasi dan tingkat utang Meksiko juga sangat rendah. Untuk pertama kalinya tahun ini, tingkat migrasi warga Meksiko ke Amerika Serikat nihil, menandakan kemajuan membuat rakyat betah di negaranya sendiri. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment