!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Tuesday, March 4, 2014

Lumpuhkan Rusia Dengan Senjata Ekonomi

Lumpuhkan Rusia Dengan Senjata Ekonomi

Dalam kerangka militer dan politik, Vladimir Putin memegang kendali atas krisis Ukraina. Rusia diuntungkan secara geografis, dalam hal jumlah penduduk, dan logistik untuk menopang agresinya ke wilayah Crimea atau bahkan Ukraina timur.
Namun, jika Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Ukraina menggunakan kelebihan dalam urusan ekonomi dan keuangan—khususnya dengan cara melemahkan sumber kekuatan utama Rusia, yakni ekspor energi—Putin akan terjebak ke dalam sejumlah risiko.
Tidak sekali ini saja Putin melakukan invasi atas wilayah bekas Uni Soviet—dengan dalih melindungi minoritas etnis Rusia—guna menggembosi pemerintahan yang menentang kehendaknya. Saat kami berdua bekerja di Departemen Keuangan pada musim panas 2008, Rusia terlibat masalah dengan Georgia dengan alasan melindungi warga Rusia yang tinggal di Ossetia Selatan, Georgia.

Rusia tak meluncurkan aksi militer untuk mencaplok wilayah, tapi memutus jalur transit utama Georgia. Dengan menghambat kegiatan dagang dan berupaya mewujudkan kerusuhan massa dari krisis ekonomi, Putin berupaya menciptakan situasi yang cocok untuk menggantikan pemerintahan yang lebih berpihak kepada kepentingan Rusia. Dalam mementahkan upaya Moscow, senjata terbaik kami bukan pesawat tanpa awak. Tapi uang..

Penilaian terhadap agresi Putin tak seharusnya memakai kacamata usang. Tentu saja, salah satu tujuan Putin adalah menegaskan kehadiran Rusia di Ukraina timur dan Sevastopol, Crimea. Namun, masih ada tujuan lain.
Lewat unjuk kekuatan dan intimidasi, ia berupaya mendapatkan hal yang pada sangkanya telah berhasil diraih pada Desember lalu saat sepakat membeli surat utang Ukraina senilai $15 miliar: pemerintah Ukraina yang tunduk pada Rusia.

Mulai 2006 hingga 2009, Rusia memangkas ekskpor gas sebagai senjata ekonomi melawan Ukraina. Pasar Eropa Barat dan energi internasional pun terguncang. Pada Januari 2009, terakhir kali keran ekspor disumbat, Rusia menyuplai kebutuhan gas Ukraina sebesar 58% dan Eropa 40%.

Namun, sekarang 2014 dan situasi telah berubah. Melalui diversifikasi yang gigih dan efektif, Ukraina berhasil mengurangi impor gas dari Rusia sebesar lebih dari 10% sementara Uni Eropa 20%. Tak seperti tahun 2009, krisis terkini berada di ujung musim dingin. Ukraina dan negara-negara Uni Eropa kabarnya telah memiliki cadangan gas untuk melalui musim dingin.

Sebaliknya, ekonomi Rusia saat ini tak sekuat posisi sebelumnya saat berhadapan dengan Ukraina dan Georgia. Sebulan lalu, sebelum krisis, Rusia harus menarik lelang obligasi domestik dua pekan berturut-turut menyusul buruknya kondisi pasar. Pada awal pekan, mata uang domestik mencetak rekor penurunan terburuk sepanjang masa karena pasar uang cemas atas krisis Ukraina.

Pasar lebih bereaksi terhadap ketakstabilan ekonomi Ukraina daripada Rusia. Ukraina mengalami defisit cadangan devisa dan terancam mengalami gagar bayar atau setidaknya restrukturisasi di tengah minimnya paket bantuan multilateral.

Kendati demikian, risiko tersebut dapat melahirkan peluang. Jika AS dan Uni Eropa menyediakan paket bantuan ekonomi dengan nilai sekitar $20 miliar, perekonomian Ukraina agaknya dapat berjalan stabil. Kondisi darurat negara mungkin menjadi penghalang. Namun, sejumlah reformasi ekonomi vital seperti pengurangan subsidi gas domestik dan jaminan atas pemilihan umum yang berjalan bebas dan adil pada Mei mendatang dapat dicapai.

Jika perekonomian Ukraina mendapatkan jaminan, Uni Eropa dan Ukraina dapat menjadikan ekspor energi Rusia sebagai bumerang bagi Moskow dengan membatasi impor gas alam Rusia melalui serangkaian koordinasi terukur. Ditambah dengan potensi kerugian perbankan Rusia atas Ukraina sebesar $30 miliar, Rusia dapat sekonyong-konyong menjadi target lemah bagi para spekulator mata uang dan surat utang.

Selain tak berhak terlibat bentrokan militer dengan Rusia, AS pun tak berkepentingan untuk melancarkan serangan. Namun, bukan berarti AS dan para sekutunya menghadapi jalan buntu. Jika seluruh potensi keamanan nasional yang ada dijelajahi, terutama menyangkut urusan ekonomi dan finansial, Rusia akan tersadar bahwa analogi yang cocok bukanlah krisis Georgia pada 2008 melainkan krisis mata uang ruble pada 1998–periode yang menandai awal kehancuran Presiden Boris Yeltsin. Dengan adanya contoh tersebut, Putin akan tahu bahwa menjaga kekuasannya di dalam negeri dengan menghindari resesi lebih berharga dari menciptakan kekisruhan di negara tetangganya.|ASWJ/ Robert M. Kimmitt dan Stephen A. Myrow/MJF

No comments:

Post a Comment