.
Walau Belum Benar-Benar Serbu Ukraina, Ketegangan Krisis Ukraina Memunculkan Kembali Perang Dingiin AS-Rusia yang Sudah Redup
Kekhawatiran akan adanya serangan dari pasukan Rusia ke pangkalan-pangkalan militer Ukraina yang menyelimuti Krimea tak terbukti, kata juru bicara kementerian pertahanan Ukraina seperti dikutip AFP.
"Malam sunyi senyap," kata Vladyslav Seleznyov, juru bicara kementerian pertahanan untuk Krimea, kepada AFP di ibukota wilayah otonomi itu, Simferopol.
Para pejabat Ukraina mengatakan Rusia telah mengultimatum pasukan Ukraina di Krimea untuk menyerah atau menghadapi serangan penuh, tetapi Rusia membantah klaim ini sebagai sama sekali bohong.
"Tak ada lagi deklarasi yang dibuat kubu Rusia," kata Seleznyov.
Pasukan Rusia mengepung pangkalan-pangkalan militer Ukraina di seluruh Krimea setelah wilayah otonomi yang berbahasa Rusia itu jatuh dalam krisis menyusul penggulingan Presiden Viktor Yanukovych.
Kementerian Pertahanan Ukraina mengatakan lebih dari 6.000 pasukan Rusia telah dikirim Kremlin ke Krimea.
Orang-orang bersenjata yang diyakini di bawah perintah Moskow telah menduduki sejumlah gedung pemerintahan penting di Krimea dan berbagai bandara di semenanjung itu.
Para anggota DPRD Krimea membangkang dari pemerintahan Kiev dan menuntut referendum 30 Maret untuk otonomi lebih luas di Krimea, demikian AFP.
Usilnya AS atas krisis Ukrina menyebabkan Rusia mengancam akan mengurangi ketergantungan ekonominya kepada Amerika Serikat sampai tingkat nol jika Washington setuju menerapkan sanksi kepada Moskow berkaitan dengan Ukraina, kata penasehat ekonomi Kremlin Sergei Glazyev.
Glazyev memperingkatkan bahwa sistem keuangan Amerika bakal terancam ambruk (crash) jika sanksi terjadi.
"Kami akan mencari cara untuk tidak hanya mengurangi ketergantungan kami kepada Amerika Serikat sampai (tingkat) nol namun juga bangkit dari sanksi itu dengan memanfaatkan sebesar-besanya bagi keuntungan kami sendiri," kata Sergei Glazyev.
Glazyev juga mengancam bahwa Rusia bisa menghentikan penggunaan dolar AS dalam transaksi internasionalnya.
"Sebuah upaya untuk memaklumatkan sanksi akan berakhir pada ambruknya sistem keuangan Amerika Serikat yang bisa menyebabkan berakhirnya dominasi Amerika Serikat dalam sistem keuangan global," tambah dia seperti dikutip AFP.
Dampak krisis juga telah menyentuh Indonesia, Pemerintah Indonesia telah memindahkan 11 warga Indonesia ke Rumania terkait krisis di Ukraina, demikian diungkapkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di kantornya, Selasa.
"Kita merelokasi 11 orang ke negara tetangga, Rumania. Ini hanya merupakan langkah antisipatif, kalau-kalau situasi semakin memburuk," kata Marty.
Kesebelas orang yang dipindahkan itu, ungkapnya, merupakan anggota keluarga staf Kedutaan Besar RI di ibukota Ukraina, Kiev, yang sebagian besar adalah anak-anak.
Secara keseluruhan, terdapat sekira 60 warga negara Indonesia yang tinggal di Ukraina, yaitu termasuk 31 anggota staf diplomatik dan lokal beserta keluarganya, tujuh mahasiswa, 10 tenaga kerja serta warga-warga Indonesia yang menikah dengan warga setempat.
Dalam menghadapi perkembangan situasi, Kedutaan Besar RI di Kiev telah mengeluarkan imbauan bagi para warga Indonesia agar saat ini tidak melakukan kunjungan ke Ukraina dan menghindari bepergian terutama ke daerah Krimea, Kharkiv, dan wilayah Ukraina timur lainnya.
Masyarakat juga diminta untuk terus menjalin komunikasi dengan KBRI serta mempersiapkan diri mengikuti proses relokasi yang akan diatur oleh KBRI jika situasi di Ukraina memburuk.
Sementara itu, Marty menyampaikan keprihatinan Indonesia atas meningkatnya ketegangan di Ukraina.
"Kita ikuti dengan seksama dan penuh keprihatinan atas memburuknya krisis di dalam negeri Ukraina, yang kini telah berkembang menjadi ancaman perdamaian dan keamanan di kawasan, serta resiko meningkatnya ketegangan hubungan di negara-negara terkait," katanya.
Menlu menegaskan sikap Indonesia yang menjunjung prinsip menghormati kedaulatan dan integritas wilayah sebagai prinsip dasar hubungan antarnegara.
Indonesia, kata Marty, mendorong semua pihak terkait untuk menahan diri, mengelola krisis dan mengutamakan penyelesaian damai terhadap situasi di Ukraina serta selalu menghormati hukum internasional.
Indonesia juga menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk memikul tanggung jawabnya sesuai Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional menyangkut krisis Ukraina.
"Adalah hal yang tepat jika Sekretaris Jenderal PBB mengirimkan utusan khususnya ke sana (Ukraina, red)," katanya.
Krisis di Ukraina berawal dari rangkaian aksi para pengunjuk rasa menentang kebijakan pemerintahan presiden Viktor Yanukovych sejak akhir tahun lalu, yang berubah menjadi bentrokan berdarah dengan aparat keamanan hingga hingga menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya.
Krisis dalam negeri itu kini terancam menjadi pertikaian antarnegara setelah Rusia pada akhir pekan lalu mengerahkan pasukannya ke wilayah Ukraina di semenanjung Krimea, yaitu wilayah yang dihuni penduduk mayoritas etnis Rusia.
Aksi Rusia itu telah menimbulkan protes secara luas dari negara-negara kuat dunia, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Prancis, serta negara-negara Uni Eropa.
Selain ancaman beberapa negara untuk memboikot pertemuan G8 di Sochi, Rusia, protes itu juga ditandai dengan keputusan AS untuk menghentikan kerjasama militernya dengan Rusia, ancaman sanksi ekonomi oleh London dan AS serta pertimbangan oleh negara-negara Barat untuk mendepak Rusia dari G8.
Turki "mengikuti dari dekat" perkembangan krisis Ukraina di tengah kekhawatiran tentang nasib minoritas Tatar penutur Bahasa Turki di Krimea, kata sumber pemerintah seperti dikutip AFP, Senin.
"Kami memiliki kewajiban besar untuk mengingat rakyat Tatar dan kami sedang berdialog dengan pihak-pihak terkait sehingga perselisihan ini tidak berubah menjadi konflik bersenjata. Kami tidak dapat tetap menjadi penonton atas apa yang terjadi di sana," kata sumber dari Pemerintah Turki.
Anggota komunitas Tatar menggelar unjuk rasa di Ankara, Istanbul dan kota bagian tengah, Konya, selama akhir pekan untuk memprotes intervensi Rusia di Ukraina.
"Tidak pada Rusia --Krimea harus tetap bersama Ukraina!" tulis sebuah papan yang dibawa pengunjuk rasa di luar Kedutaan Besar Russia di Ankara, Minggu.
Rusia mengultimatum pasukan Ukraina di Crimea untuk menyerah atau menghadapi serangan habis-habisan. Demikian kata pihak militer Ukraina, Senin (3/3/2014). Wilayah Crimea di semenanjung Laut Hitam yang strategis itu telah dikuasai pasukan yang didukung Kremlin.
Namun, armada Laut Hitam Rusia dengan cepat membantah adanya ultimatum itu. Ketua parlemen Rusia mengatakan, belum ada kebutuhan Moskwa menggunakan haknya untuk melancarkan aksi militer di Ukraina.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan Regional Ukraina Vladyslav Seleznyov mengatakan, di ibu kota Crimea, Simferopol, bahwa ultimatum itu untuk memperkenalkan otoritas baru Crimea, meminta tentara Ukraina meletakkan senjata dan pergi, atau siap menghadapi gempuran.
Pemerintah pro-Rusia di Crimea akan memutus aliran air dan listrik bagi tentara Ukraina dalam markas-markas yang dikepung pasukan Rusia pada Senin malam. Demikian kata Sergei Markov, mantan anggota parlemen Rusia yang setia kepada Presiden Vladimir Putin. Markov, yang mengadakan pertemuan dengan pemerintah pro-Rusia di semenanjung Ukraina itu pada Senin pagi, mengatakan, para tentara Ukraina juga akan diberi tahu bahwa mereka tidak akan menerima gaji bulan berikutnya jika mereka tidak secara terbuka menanggalkan kesetiaannya kepada pemerintah sementara yang baru di Kiev.
"Jika mereka tinggal di sini dan tetap setia kepada Kiev dan Pemerintah Ukraina, hal itu akan jadi lebih tidak nyaman buat mereka," kata Markov. "Tekanan itu akan meningkatkan malam ini."
Ukraina menuduh Rusia telah mengerahkan lebih banyak tentara ke Crimea, sementara para pemimpin dunia bergulat dengan kebuntuan terburuk di Eropa sejak Perang Dingin itu.
Rusia telah mengerahkan sekitar 16.000 tentara ke wilayah itu sejak pekan lalu. Demikian kata Duta Besar Kiev untuk PBB, Yuriy Sergeyev, pada pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB.
Penjaga perbatasan Ukraina mengatakan, Rusia mulai mengerahkan pasukan ke wilayah Crimea dengan menggunakan feri pada Senin setelah merebut kendali atas pos perbatasan di sisi Ukraina. Pasukan Rusia yang merebut semenanjung Laut Hitam yang terisolasi itu telah mengepung terminal feri selama berhari-hari, tetapi sampai sekarang belum mengambil alih stasiun penjaga perbatasan Ukraina.
Seorang juru bicara penjaga perbatasan mengatakan, tentara Rusia merebut pos pemeriksaan itu setelah para penjaga perbatasan Ukraina berusaha menghentikan dua bus yang membawa tujuh orang bersenjata dan feri yang membawa tiga truk tentara.
Penjabat Presiden Ukraina, Oleksander Turchynov, mengatakan sebelumnya bahwa armada Laut Hitam Rusia telah mengepung sejumlah kapal angkatan laut Ukraina di teluk Sevastopol, pelabuhan Crimea, di mana ada basis armada Rusia.
"Situasi di Crimea tetap tegang dan kehadiran militer Rusia meningkat," katanya. "Saya mengimbau kepada kepemimpinan Rusia, hentikan tindakan provokatif, agresi, dan pembajakan. Itu kejahatan dan Anda akan bertanggung jawab untuk itu."
Sementara itu, pemimpin Ukraina yang digulingkan, Viktor Yanukovych, telah mengirim surat kepada Putin yang meminta Putin menggunakan militer Rusia untuk memulihkan hukum dan ketertiban di Ukraina. Demikian kata utusan Moskwa di PBB, Senin.
"Di bawah pengaruh negara-negara Barat, ada tindakan teror dan kekerasan terbuka," demikian isu surat itu yang dibacakan Duta Besar Rusia Vitaly Churkin, dalam pertemuan darurat dengan Dewan Keamanan PBB.
"Orang-orang dianiaya karena alasan bahasa dan politik," lanjut surat itu. "Jadi, dalam hal ini, saya meminta Presiden Rusia, Putin, untuk menggunakan angkatan bersenjata Federasi Rusia guna membangun legitimasi, perdamaian, hukum dan ketertiban, stabilitas dan membela orang-orang Ukraina."
Pembicaraan tentang ultimatum itu muncul saat Uni Eropa mengancam untuk membekukan pembebasan visa dan pembicaraan kerja sama ekonomi dan memboikot pertemuan puncak G-8 di Sochi, Rusia, jika Moskwa tidak meredakan krisis di Semenanjung Crimea itu hingga Kamis.
Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius, mengatakan, Uni Eropa akan memberi waktu kepada Rusia hingga pertemuan puncak darurat para pemimpin Uni Eropa yang diselenggarakan hari Kamis untuk menunjukkan tanda-tanda jelas bahwa punya niat baik, termasuk kesediaan untuk membuka pembicaraan dan penarikan pasukan Rusia ke barak mereka di Crimea. Jika tidak, kata Fabius, Uni Eropa akan mulai menerapkan langkah-langkah hukuman.
Presiden Dewan Uni Eropa, Herman Van Rompuy, meminta pertemuan darurat itu pada Senin malam setelah para menteri luar negeri mengakhiri pembicaraan mereka.
Presiden AS Barack Obama pada Senin mengatakan bahwa Rusia telah melanggar hukum internasional dalam intervensi militernya di Ukraina dan mengatakan Pemerintah AS telah memperingatkan akan mempertimbangkan serangkaian sanksi ekonomi dan diplomatik yang akan mengisolasi Moskwa. Putin harus mengizinkan para pemantau internasional untuk menengahi kesepakatan di Ukraina agar bisa diterima semua rakyat Ukraina. Demikian kata Obama.
Amerika Serikat menangguhkan kerja sama militer dengan Rusia. Pengumuman ini dilansir pada Senin (3/3/2014) waktu setempat, sebagai bagian dari reaksi atas dugaan intervensi militer Rusia di Crimea, Ukraina.
Pentagon, dalam pernyataan yang sama, mendesak Moskwa menurunkan situasi krisis di semenanjung Crimea. "Terkait peristiwa baru-baru ini di Ukraina, kami menunda semua perjanjian militer antara Amerika Serikat dan Rusia," kata Juru Bicara Departemen Pertahanan Amerika Serikat John Kirby.
Dalam pernyataan itu, Kirby juga menyeru pasukan Rusia untuk kembali ke pangkalan. "Sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian yang mengatur Armada Laut Hitam Rusia."
Para pemimpin Uni Eropa merencanakan pertemuan puncak untuk membahas perkembangan krisis Ukraina, Kamis (5/3/2014). Topik pembahasan antara lain menyangkut pembekuan visa bebas Ukraina dan kerja sama ekonomi antara Uni Eropa dan Rusia jika Moskwa tidak mengambil langkah yang menenangkan krisis di semenanjung Crimea, Ukraina.
Para menteri luar negeri dari negara-negara Eropa yang menjadi anggota G8 mengatakan pula bahwa mereka telah menghentikan persiapan untuk menggelar pertemuan puncak kelompok negara maju itu di Sochi, Rusia.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, mengatakan bahwa Uni Eropa akan menunggu Rusia memperlihatkan iktikad baik sampai Kamis (5/2/2014). "Syarat" iktikad baik itu termasuk kesediaan Rusia membuka pembicaraan dan menarik pasukan mereka di Crimea, Ukraina, untuk kembali ke barak.
"Keinginan (kami) adalah melihat situasi (di Ukraina) membaik. Jika tidak, haluan harus diarahkan," kata Ashton setelah pertemuan para menteri luar negeri negara-negara Uni Eropa, Senin (3/3/2014). Dia pun mengumumkan rencananya untuk bertemu Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Madrid, Spanyol, Selasa (4/3/2014).
Para duta besar dari 28 negara anggota NATO juga akan menggelar pertemuan darurat kedua di Ukraina, Selasa, setelah Polandia meminta adanya forum konsultasi. Polandia meminta hal itu setelah melihat masalah Ukraina juga terkait dengan integritas wilayah, kemerdekaan politik, ataupun ancaman keamanan bagi mereka.
Dari pertemuan para menteri luar negeri Uni Eropa, hal yang harus segera diwujudkan adalah diplomasi dan dorongan terhadap adanya dialog antara Rusia dan kepemimpinan baru Ukraina.
Sebelum krisis Ukraina meletup, Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar Rusia. Sebaliknya, Rusia merupakan mitra dagang ketiga bagi Uni Eropa. Sebagian besar transaksi itu terkait bahan baku, seperti minyak dan gas.
Menteri Luar Negeri Belanda Frans Timmermans mengatakan, sanksi ekonomi untuk Rusia akan merugikan, baik bagi Rusia maupun Uni Eropa. "Konsekuensi tersebut akan berakibat buruk bagi semua pihak. Namun, (dampak) untuk Rusia akan lebih buruk dibandingkan bagi Uni Eropa. Kami dapat menargetkan pasar lain jika memang harus, (sementara Rusia) akan mengalami kesulitan untuk bisa cepat mendapatkan konsumen lain," ujar dia.
Para investor di pasar modal Rusia panik pada perdagangan awal pekan ini, Senin (3/3/2014), sehubungan dengan aksi negara tersebut melakukan "invasi" militer ke Ukraina.
Terkait dengan langkah itu, bursa di Moskow anjlok hingga 12 persen dan mata uang rubel terjun bebas di posisi terendah dalam sejarah terhadap dollar AS dan euro. Guna mengatasi kepanikan itu, bank sentral Rusia menaikkan suku bunga acuannya untuk menghentikan pelarian modal besar-besaran.
Pada Sabtu pekan lalu, President Vladimir Putin telah mendapatkan persetujuan dari parlemen tinggi (Kremlin) mengirimkan pasukan militer ke Ukraina, tepatnya di wilayah Crimea menyusul penggulingan Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych.
Para ekonom telah memperingatkan mengenai risiko perekonomian yang bakal dihadapi Rusia atas aksi militer tersebut. DI sisi lain, Rusia juga mendapatkan banyak kecaman internasional dan para pemimpin negara anggota G8 mengancam tak akan hadir di KTT yang akan diselenggarakan di Moskow.
Selain itu, para ekonom juga mengingatkan langkah militer tersebut akan menguras dana pemerintah Rusia, yang sebelumnya juga telah berkurang signifikan terkait penyelenggaraan olimpiade musim dingin di Sochi.
"Penyelenggaraan olimpiade di Sochi saja sudah mahal, apalagi dengan mengerahkan kekuatan militer dan membuat ketegangan dengan Barat, itu akan jauh lebih mahal," ujar Holger Schmieding, ekonom Berenberg Bank, London.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Senin (3/3/2014), memperingatkan Rusia bahwa sebagian besar negara-negara di dunia percaya, negara itu telah melanggar hukum internasional, dengan melakukan intervensi ke Ukraina.
Pemimpin Amerika Serikat tersebut mengatakan, Moskwa telah menempatkan diri "di sisi yang salah dalam sejarah", dengan memobilisasi pasukan ke Ukraina. Dugaan mobilisasi pasukan itu terjadi segera setelah Viktor Yanukovych yang pro-Rusia digulingkan dari kursi kepresidenan Ukraina, pekan lalu.
"Saya rasa, sebagian besar (negara di) dunia bersatu dan memahami bahwa langkah-langkah yang telah diambil Rusia menunjukkan pelanggaran terhadap kedaulatan Ukraina ... pelanggaran hukum internasional," kata Obama.
Pemerintah baru Ukraina, yang bersandar ke Barat, menuding bahwa Rusia telah menggelar invasi de facto dengan mengerahkan pasukan di tanah Ukraina di semenanjung Crimea. Moskwa telah membantah tuduhan itu. Mereka menyatakan bahwa bisa jadi pasukan tersebut hanya berupaya melindungi etnis Rusia di Ukraina, setelah kerusuhan dan penggulingan Yanukovych.
Negara-negara Barat tengah mempertimbangkan sanksi untuk menghukum Rusia atas dugaan intervensi itu. Obama telah mengatakan kepada Rusia bahwa, jika negara beruang merah itu tetap berjalan dengan alur seperti ini, maka akan ada serangkaian langkah diplomatik dan ekonomi untuk mengisolasi Rusia.
Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu melawat Kiev Sabtu lalu dan telah bertemu dengan perwakilan dari Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Polandia melalui telepon.
Dia juga berharap dapat bertemu dengan timpalannya dari Rusia, Sergei Lavrov, segera mungkin, kata juru bicaranya.
Davutoglu dijadwalkan bertemu dengan perwakilan komunitas Tatar di Ukraina, Minggu.
"Turki akan melakukan semua yang mungkin untuk memastikan stabilitas Krimea di jantung Ukraina," kata dia dalam sebuah wawancara, Minggu. "Hak asasi rakyat Tatar dan keberadaan mereka harus dijamin."
Turki mengatakan 12 persen dari penduduk krimea adalah komunitas Tatar yang berbahasa Turki dan muslim Sunni, sebagaimana mayoritas rakyat Turki.
Krimea adalah bagian dari Kesultanan Usmaniah hingga dikuasai Rusia akhir abad 18. Rakyat Tatar --mayoritas populasi saat itu-- telah secara bertahap didorong keluar sejak saat itu.
Turki telah menjaga jaringan kebudayaan yang kuat dengan komunitas Tatar di Ukraina, mendanai proyek pembangunan termasuk perumahan, jalan, dan sekolah di Krimea melalui program bantuan yang bermarkas di ibukota Krimea, Simferopol.
Meski perang belum tentu terjadi, kini militer Rusia sudah melakukan manuver untuk menjepit Ukraina dari segala penjuru, baik di darat maupun di laut.
Di sebelah timur laut Ukraina, terdapat distrik militer barat Rusia yang memiliki 20 brigade infantri, yang tiap brigadenya diperkuat hampir 6.000 personel. Dengan demikian, secara total di wilayah ini Rusia memiliki hampir 120.000 personel angkatan darat.
Selain itu, distrik barat militer Rusia memiliki satu divisi tank, 20 skuadron udara, dan enam skuadron helikopter tempur dengan total 400 pesawat udara.
Di sebelah tenggara Ukraina, terdapat distrik militer selatan Rusia dengan kekuatan juga 20 brigade yang diperkuat kendaraan tempur dan kesatuan pasukan khusus. Distrik militer ini juga memiliki 18 skuadron udara, lebih dari 300 pesawat tempur, dan lima skuadron helikopter tempur.
Satu keuntungan besar Rusia lainnya adalah armada Laut Hitam-nya berpangkalan di Sevastopol, yang secara geografis kini menjadi wilayah Ukraina.
Di Sevastopol, Rusia memiliki lima kapal perang dan sejumlah kapal selam. Selain itu, Rusia memiliki tiga brigade infantri di Sevastopol, dengan maksimal 25.000 personel di Krimea berdasarkan perjanjian bilateral. Bahkan, akhir pekan ini kemungkinan besar Rusia masih akan mengirim 6.000 personel militer lagi.
Dengan kekuatan militer yang dahsyat itu, hanya akan dihadapi oleh 130.000 personel angkatan darat Ukraina yang diperkuat dua brigade tank dan sekitar 200 pesawat tempur.
Sedangkan di laut, kekuatan Ukraina jauh lebih kecil. Di Sevastopol, Ukraina hanya memiliki 14.500 personel infantri, 10 kapal perang, satu kapal selam, serta kapal-kapal kecil milik pasukan penjaga pantai yang berada di kota pelabuhan Kerch.
Saat ini, pasukan Rusia diduga sudah bergerak untuk mengamankan bandara Simferopol dan Kacah. Sementara unit-unit angkatan laut Rusia sudah mengepung pasukan Ukraina di Perevalnoye, Feodisia, Balaklava, dan Sevastopol.
Jika Ukraina dan Rusia benar-benar terlibat perang terbuka kira-kira apa yang akan terjadi? Jika dilihat dari jumlah dan kekuatan militernya, maka Ukraina kalah jauh dibandingkan negeri tetangganya yang besar itu.
Pada 2012, personel aktif angkatan bersenjata Rusia berjumlah 845.000 orang, sementara angkatan bersenjata Ukraina hanya ditopang 130.000 personel.
Dari sisi anggaran militer kedua negara juga tak bisa disandingkan. Pada 2012 Rusia menghabiskan 78 miliar dolar AS untuk membiayai angkatan perangnya. Sedangkan Ukraina "hanya" 1,6 miliar dolar AS di tahun yang sama.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Juni 2011, seorang pakar militer mengatakan Ukraina akan berada dalam posisi defensif selama satu dekade jika anggaran militernya tak berubah.
Valentin Badrak, seorang direktur Pusat Studi Angkatan Bersenjata, Konversi dan Perlucutan Senjata Ukraina (CACDS) kepada harian Nezavisimaya Gazeta mengatakan saat ini program pengembangan Angkatan Bersenjata Ukraina (UAF) berada dalam "level nol".
Pemerintah Ukraina, mengacu para sebuah studi pada 2010, negeri itu tak membutuhkan angkatan bersenjata yang besar karena ancaman utama Ukraina bukan dari luar negeri melainkan dari destabilisasi di dalam negeri.
Tak hanya dari sisi anggaran saja Ukraina kalah dari Rusia, dari sisi sumber daya manusiapun Ukraina bukan tandingan Rusia.
Menurut CIA World Factbook, Ukraina memiliki 15,7 juta pria dan wanita berusia 16-49 yang bisa menyandang senjata jika diperlukan. Namun, jumlah itu kalah jauh dibandingkan Rusia yang memiliki 45,6 juta pria dan wanita di level usia yang sama.
Angka-angka itu lah yang kemungkinan memenuhi benak Menteri Pertahanan Ukraina, Ihor Tenyuh, saat menghadiri sebuah rapat tertutup di parlemen, Minggu (2/3/2014), membahas krisis yang tengah terjadi di Semenanjung Krimea.
Dua anggota parlemen yang hadir dalam rapat itu mengatakan Tenyuh menilai Ukraina tak memiliki kemampuan militer yang cukup kuat untuk melawan Rusia. Sehingga dia menyerukan jalur diplomasi untuk menyelesaikan krisis dengan Rusia.
No comments:
Post a Comment