!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Monday, June 30, 2014

Pergi Haji dan Umroh ke tanah suci Mekah dan Medinah,Arab Saudi, tentukan sendiri tiket pesawat dan pilih hotelnya (yang paling dekat Kabah) di Arab Saudi secara On Line




Pergi Haji dan Umroh ke tanah suci Mekah dan Medinah,Arab Saudi, tentukan sendiri tiket pesawat dan pilih hotelnya (yang paling dekat Kabah) di Arab Saudi secara On Line


Tiket Liburan  ke Waterbom Jakarta, trans studio bandung, universal studio singapura, Pesawat, Kereta api, hotel
Bersilaturakhim dengan kedua orang tua kita dan saudara bisa memperpanjang umur dan rezeki
Surga Itu di bawah telapak kaki Ibumu (orang tuamu) segera ber Lebaran ke mereka segera pesan tiket On Line
Ridho Allah tergantung ridho kedua Orang tus kita , segera pulang kampung ber iedul Fitri segera beli tiket on line
Bersilaturahim (berlebaran) dengan Bapa dan Ibu di kampung beli tiket peswat On line
Jual Tiket Berbagai Entertainment, Pesawat Terbang, Kereta Api, Kamar Hotel di seluruh dunia termasuk di kota Madinah dan Mekah untuk Naik Haji/Umroh di Arab Saudi
Perlu Tiket berbagai Entertainmnet seperti  Universal  Studios Singapore, Waterbom Jakarta, Kidzania,Debut Solo Bastian Steel, Trans Studio Bandung,  Independence Party 2014, Jungleland, Piraves the first, We the Festival 2014, star trek the exhibion, dan  Juga perlu tiket Pesawat Terbang , kereta api (di Jawa, Indonesia), dan kamar hotel seluruh dunia, serta  konser  lainnya  di  berbagai entertainment/tempat hiburan di Indonesia) pembeli tiket pesawat terbang konfirmasi dapat dikirim melalui email atau short massage /SMS di ponsel (hand phone anda) cukup perlihatkan konfirmasi ini dari Hand phone anda di bandara. Untuk booking kamar hotel di seluruh dunia termasuk kamar hotel di Madinah dan kota suci Mekah, Arab Saudi bagi umat Islam yang ingin pergi ber- Umrah atau Naik Haji, termasuk hotel-hotel di Bali, New York, Paris, London, Moskow, Jerusalem , Beijing, Shanghai , Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Tokyo, dan ribuan hotel lainnya di seluruh dunia, juga di kota minyak Balikpapan, Kalimantan Timur ( beli secara on line di iklan yang ada di blogs: http://newsandfeaturesonindonesia.blogspot.com/

SYARIAT IBADAH HAJI

Oleh
Syaikh Khalil Harras


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak berbuat keji dan melakukan kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia dilahirkan ibunya. [HR al-Bukhâri no. 1424]

Kaum Muslimin keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan telah memiliki bekal berupa kekuatan yang besar dalam kehidupan rohani yang suci; jiwa-jiwa mereka menjadi kuat dan tidak bergantung kepada kebendaan; keinginan-kenginan mereka telah terlatih untuk mengalahkan hawa nafsu syahwat; serta mampu menanggung kepayahan-kepayahan dan melawan hal-hal yang dibenci. Karenanya, mereka memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan telah siap sempurna rohani dan jasmaninya. Mereka telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan beban-beban yang terdapat pada kewajiban yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun kelima dari rukun-rukun Islam.

Haji itu seperti puasa, hukumnya wajib sejak dahulu; Allah Azza wa Jalla telah mewajibkannya kepada para hamba-Nya semenjak Dia memerintahkan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar membangun Baitul Harâm di Mekah, kemudian menyuruhnya supaya memaklumkan haji kepada manusia agar mendatanginya.

يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa binatang ternak…” [al-Hajj/22:27-28]

Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa.

Hanya saja anak keturunan mereka telah mengadakan bid’ah-bid’ah di dalamnya lantaran lamanya masa, dikuasai hawa nafsu, dan setan menghiasi penyimpangan mereka.

Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu menaruhnya di sekitar Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah untuk berhala dan menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya, dan dahulu mereka mengucapkan dalam talbiahnya;

اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ لَكَ, تَمْلِكُهُ مِمَّا مَلَكَ

“Wahai Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu yang Engkau punya, Engkau memiliki apa yang dia punya”

Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah dengan bertelanjang, karena merasa tidak nyaman melaksanakan thawâf dengan pakaian-pakaian yang dikenakan pada saat mereka datang, sampai-sampai kaum wanita pun thawâf di Ka’bah dengan tidak berpakaian. Para wanita itu menutupi farjinya dengan sehelai kain, lalu mengatakan:

“Pada hari ini tampaklah sebagian atau seluruhnya (tubuh); namun apa saja yang terlihat, maka aku tidak membolehkan (dijamah) ”

Tatkala Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembaharu agama Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, sudah sewajarnya jika pembaharuan itu mencakup kewajiban haji. Maka, haji diwajibkan pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya dari al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” [al-Baqarah/2:196]

Hingga firman Allah:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [al-Baqarah/2:197]

Juga firman-Nya yang lain :

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrâhîm. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]

Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka hajilah kalian!” [HR. Muslim]

Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu :

(بنُِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ, وَإِيْتاَءُ الزَّكَاةِ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَُّج اْلبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)

“Islam dibangun di atas lima rukun; persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, serta haji ke baitullah bagi siapa yang sanggup mengadakan perjalan kepadanya.” [Muttafaq ‘alaih]

Sungguh, Nabi telah menafsirkan makna as-sabîl dengan bekal dan kendaraan, maka siapa yang memiliki nafkah bagi diri dan keluarganya hingga kembali dari haji serta mendapatkan kendaraan yang menghantarkannya ke Mekah (yakni biaya safar pulang pergi), maka wajib baginya segera berhaji; karena dia tidak akan tahu apa yang akan menghalanginya sesudah itu, sebab sakit atau berkurang hartanya.

Haji termasuk ibadah yang mempunyai pengaruh besar dalam mendidik jiwa, berupa lepas diri dari gemerlap dunia, kembali kepada fitrah aslinya, mengatasi kesulitan-kesulitan dan kepayahan-kepayahan, mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah Azza wa Jalla dengan menahan diri dari setiap gangguan dan tindakan bermusuhan. Oleh karenanya, seorang yang berihrâm tidak boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh mencukur rambut, bahkan semua kegiatan ibadah haji itu adalah keselamatan untuk diri dan orang lain.

Pelaksanaan ibadah haji adalah bentuk pemenuhan terhadap panggilan Allah Azza wa Jalla melalui lisan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar berkunjung ke Baitul Harâm. Oleh karenanya, orang yang berhaji mengucapkan niatnya berhaji atau ‘umrah;

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Ku penuhi panggilan-Mu wahai Allah, ku penuhi seruan-Mu. Ku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, ku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian dan nikmat hanya untuk-Mu, juga kerajaan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.

Makna لَبَّيْكَ : Bersegera menuju ketaatan kepada-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu tanpa lama-lama dan lambat.

Selain itu, ibadah haji merupakan ajang perkumpulan kaum Muslimin yang berulang setiap tahunnya, di mana mereka datang dari berbagai belahan bumi, hingga mereka dapat mengingat persatuan agama yang menaungi mereka semua. Meski mereka berbeda jenis dan warna kulit, serta berlainan lisan dan dialek, maka dikenalkan persaudaraan, saling berganti memberikan manfaat di antara mereka, serta saling memahami keadaan masing-masing. Di dalamnya ada perbaikan terhadap keadaan dan kemuliaan mereka; juga memperkuat tali persaudaraan sesama mereka. Sungguh al-Qur’ân telah mengisyaratkan akan hal itu dalam firman-Nya:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” [al-Hajj/22:28]

Dalam hadits di atas (HR al-Bukhâri 1424) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa barangsiapa melaksanakan kewajiban haji dengan cara yang benar, yakni; mengikhlaskan niat kepada Allah Azza wa Jalla di dalamnya, dia tidak keluar karena riyâ` atau sum’ah, bahkan karena iman kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala dari sisi-Nya, patuh atas perintah-Nya; dia menunaikan kewajiban menjauhi perkara yang tidak pantas dilakukan orang yang berihrâm berupa rafats, yakni jima` dan pendahulu-pendahulunya dan setiap yang terkait dengannya; juga tidak berbuat fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, yakni bermaksiat terhadap-Nya; maka sungguh dia pulang dari ibadah haji dalam keadaan bersih dari dosa seperti saat dia dilahirkan. Kecuali jika dosa itu menyangkut hak-hak orang lain, maka sungguh dosa ini tidak terhapus dengan ibadah haji dan yang selainnya, bahkan harus mengembalikannya kepada yang berhak, atau meminta kepada mereka agar menghalalkannya.

Tidak heran jika ibadah haji dengan kedudukan seperti ini bisa mensucikan dari dosa-dosa, karena ia sebenarnya rihlah (pergi) menuju Allah Azza wa Jalla . Saat berhaji, seorang Muslim menanggung banyak kesusahan, terancam berbagai malapetaka dan marabahaya, mengorbankan tenaga dan hartanya, lalu melaksanakan manasik haji. Ia melangkah menuju pintu Rabb-nya, datang kepada-Nya dari tempat yang amat jauh untuk memohon maaf dan ampunan dari-Nya, meluapkan keluhannya kepada-Nya atas dosa-dosanya yang bisa menyebabkan kehancuran dan kebinasaannya, jika dosa –dosa itu masih ada dan tidak diampuni Allah Azza wa Jalla.

Maka apa persangkaanmu terhadap Rabb yang Maha Pemurah, yang hamba-Nya meminta perlindungan kepada-Nya, mencurahkan ke hadapan-Nya keluh kesahnya, mengakui kedzaliman dan kejahilannya di sisi-Nya, juga terhadap sikap melampaui batasnya terhadap hak-Nya; kemudian dia bertaubat, menyesal dan menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung baginya dari Allah Azza wa Jalla kecuali hanya pada-Nya. Juga bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari Allah Azza wa Jalla, serta bahwasanya jikalau dia tidak mendapatkan rahmat dan keutamaan dari Allah Azza wa Jalla , maka akan menjadi orang yang sengsara dengan kesengsaraan seluruhnya.

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla paling pengasih daripada Dia mengembalikan hamba-Nya dengan kondisi kecewa setelah Dia mengetahui kejujuran darinya dalam berlindung kepada-Nya dan ikhlas dalam taubatnya dari dosanya. Dan sungguh telah datang di dalam hadits shahîh:

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Ibadah haji mabrur (maka) tidak ada baginya balasan melainkan surga [HR. Muslim]

Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengkaruniai kami dan saudara-saudara kami dengan kebagusan dalam menjalankan kewajiban tersebut, dan menerimanya dengan anugerah dan kemurahan-Nya.

(Referensi : Majalah al-Ashâlah, hlm 31-34, bulan Safar Th.1424 volume ke-41, tahun ke-6)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


ACARA OPEN HOUSE CALON JEMAAH HAJI

Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA


Pertanyaan
Ustadz, di daerah tempat saya tinggal, jika ada yang mau naik haji, sehari sebelum keberangkatan biasanya yang bersangkutan mengadakan open house seharian dari pagi sampai malam. Tetangga berdatangan, katanya untuk medo’akan yang mau naik haji semoga hajinya mambur. Hal yang sama dilakukan sepulangnya yang bersangkutan dari naik haji, tetangga berdatangan untuk mengucapkan selamat dan menerima oleh-oleh dari tanah suci. Apakah hal ini riya’ bagi yang naik haji? Dan apakah kegiatan seperti ini bid’ah?

Jawaban
Ini merupakan budaya yang sudah merebak. Budaya ini perlu diwaspadai, karena belakangan budaya ini seakan sudah menjadi rangkain ritual ibadah haji. Budaya ini jika dirutinkan secara syari’at bermasalah, karena kalau dirutinkan, maka dapat memunculkan suatu keyakinan bahwa ibadah haji itu harus diawali dan diakhiri dengan open haouse. Namun apakah dengan sebab ini, serta merta budaya itu bisa dihukumi haram? Ini juga tidak bisa. Karena dahulu para ulama mengenal yang namanya walimatus safar (walimah yang di lakukan ketika hendak melakukan perjalan jauh). Walimah safar ini digolongkan kedalam acara-acara yang mubah, juga sedekah dan syukuran.

Misalnya, sepulang dari menunaikan ibadah haji anda ingin bersedekah dengan mengundang tetangga untuk jamuan makan malam, selama tidak meyakininya sebagai rangkaian dari ibadah haji, insya Allah tidak mengapa. Karena disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah rahimahullah ada beberapa macam walimah, diantaranya adalah walimah safar, walimah khitan dan lain sebagainya, tapi itu semua bersifat mubah, terkait dengan tradisi masyarakat setempat. Asalkan tidak dianggap sebagai hal yang diharuskan atau bagian dari ritual ibadah haji. Terutama para tokoh masyarakat dan para ulama, mereka memiliki peran penting untuk mejelaskan kepada masyarakat dengan lisannya atau menjelaskannya dengan prakteknya, misalnya dengan sesekali meninggalkan budaya tersebut agar masyarakat tahu bahwa itu bukan hal yang disunnahkan apalagi diwajibkan. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/Jumadil Akhir 1434/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


IHRAM DALAM HAJI DAN UMRAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [adz- Dzariyat/51 : 56].

Untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Sehingga dengan hikmah-Nya yang agung, Dia mengutus para rasul untuk membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia.

Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah haji ke Baitullah, al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan menjadi salah satu sarana bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketakwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, dengan kesempurnaan syari'atnya, Islam telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci, sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini.

Salah satu bagian ibadah haji adalah ihram, yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Sebagai salah satu bagian tersebut, maka pelaksanaannya perlu dijelaskan, yakni menyangkut tata cara dan hukum seputar hal itu.

DEFINISI IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah. Hal itu dinamakan dengan ihram, karena seseorang yang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah, maka ia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima', menikah, ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini, para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah), atau kedua-duanya secara bersamaan.[1]

Dengan demikian, menjadi jelas kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin yang mengatakan ihram adalah berpakaian dengan kain ihram. Karena ihram merupakan niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram merupakan satu keharusan bagi seseorang yang telah berihram.

TEMPAT BERIHRAM
Ihram, sebagai bagian penting ibadah haji dan umrah dilakukan dari miqât. Seorang yang akan berhaji dan umrah, ia harus mengetahui miqat sebagai tempat berihram. Mereka yang tidak berihram dari miqât, berarti telah meninggalkan suatu kewajiban dalam haji, sehingga wajib atas mereka untuk menggantinya dengan dam (denda).

TATA CARA IHRAM
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu 'anhu Beliau berkata:

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِيْ بِثَوْبٍ وَاحْرِمِيْ (رواه مسلم)

"Lalu kami keluar bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti 'Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr. Maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan bertanya): 'Apa yang aku kerjakan?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: 'Mandilah dan beristitsfarlah [2], dan berihramlah'." [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Dawud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no. 3074.]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak bertayammum, karena bersuci yang disunnahkan apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum. Allah l menyebutkan tayammum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…". [al-Mâ`idah/5 : 6].

Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya. Juga karena tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertayammum apalagi jika mandi ihram tersebut untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma` bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu anha :

كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ وَ لِحِلَِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.

"Aku memakaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram, dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka'bah".[HR Bukhâri no.1539, dan Muslim no. 1189].

Dalam pemakaian minyak wangi ini hanya diperbolehkan pada anggota badan, dan bukan pada pakaian ihramnya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبَسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرَسُ

"Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za'faran dan wars". [Muttafaqun alaih].

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:
a. Memakainya sebelum mandi dan berihram, dan ini disepakati tidak ada permasalahan.
b. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya pemakaian minyak wangi dalam ihram, yaitu hadits Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ اِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدُّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ (رواه مسلم)

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin berihram, (beliau) memakai wangi-wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan, kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu". [HR Muslim no.2830].

'Aisyah Radhiyallahu anha berkata pula:

كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ الْمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ

"Seakan-akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan beliau dalam keadaan ihram". [HR Muslim no. 2831, dan Bukhâri no. 5923].

Ada satu permasalahan:
Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya, yaitu di kepala dan jenggotnya, tetapi kemudian minyak wangi itu menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?

Jawabnya: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes, lantaran mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan [3].

Kemudian, jika seseorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu, dan dia telah memakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Jika ia lakukan, maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Syaikh Muhammad Shâlih al-'Utsaimîn pernah memberikan penjelasan tentang masalah ini. Syaikh berkata: "Tidak perlu, bahkan hal itu termasuk berlebih-lebihan dalam agama, dan tidak ada dalilnya. Demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit. Dia cukup mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan" [4].

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ

"Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal". [HR Ahmad 2/34, dan dishahîhkan sanadnya oleh Ahmad Syakir].

Dua helai kain itu diutamakan berwarna putih, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضُ فَالْبَسُوْهَا َوكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَكُمْ

"Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian dengannya". [HR Ahmad. Lihat Syarah Ahmad Syakir, 4/2219, dan ia berkata: "Isnadnya shahîh"]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam kitab manasik (hlm. 21) berkata: "Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih. Jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama, dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dimubahkan dari katun shuf (bulu domba), dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan [5], walaupun berwarna-warni". Sedangkan bagi wanita, ia tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. Disebutkan dalam hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِيَ اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِيْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِيْ حَجَّةٍ

"Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: "Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: 'Umratan fî hajjatin'."

Juga hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu

فَصَلَّى رَسُوْلُ اللهِ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ

"Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzul Hulaifah), kemudian beliau menaiki al-Qaswa' (nama onta beliau). Sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida', beliau berihram untuk haji". [HR Muslim]

Sehingga sesuai dengan sunnah maka yang lebih utama dan sempurna, ialah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi, apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat jumhur, yaitu berdalil dengan keumuman hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu.

صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِي

"Shalatlah di Wadi (lembah) ini".

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan di dalam Majmu' Fatâwâ (26/108): "Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu' -menurut salah satu dari dua pendapatnya- dan yang lain kalau dia shalat fardhu, maka berihram setelahnya; dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi ihram; dan inilah yang râjih".

Di dalam Ikhtiyarat (hlm. 116) beliau menyatakan: "Berihram setelah shalat fardhu kalau ada, atau sunnah (nafilah); karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya".

Demikianlah, tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik, dan disunnahkan untuk diucapkan. Dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk, yaitu ifrad, qiran dan tamattu', sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِالْحَجِ فأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعَمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ قُدُوْمُهُ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يُحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحْرِ (متفق عليه)

"Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun haji Wada' maka ada di antara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah, dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram dengan haji saja. Adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6], dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada di hari nahar [7]." [Mutafaq 'alaih].

Oleh karena itu, seseorang yang bermanasik ifrad, ia mengatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا

dan seseorang yang bermanasik tamattu', ia mengatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ عُمْرَةً

dan ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ حَجًّا

Adapun sunnah yang bermanasik qiran, ia menyatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا

Setelah itu disunnahkan memperbanyak talbiyah hingga sampai ke Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.

Demikian penjelasan secara ringkas tentang ihram saat haji dan umrah. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta'ala a'lam bish-Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnot
[1]. Lihat Mudzakirat, Syarah 'Umdah (hlm. 65), dan Syarhul-Mumti' (6/67).
[2]. Istitsfar, ialah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang, diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi dengan bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perut. Adapun pada zaman sekarang telah ada pembalut wanita. Lihat Syarah Muslim, 8/404.
[3]. Lihat Syarhul-Mumti', 6/73-74.
[4]. Syarhul-Mumti', 6/74.
[5]. Dinukil dari Syarhul-Mumti', 6/75.
[6]. Setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sa'i.
[7]. Pada tanggal 10 Dzul Hijjah.

No comments:

Post a Comment