!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Wednesday, July 23, 2014

Jimly: Kekecewaan Prabowo bisa jadi Kekecewaan 70 juta rakyat Indonesia

Jimly
Jimly: Kekecewaan Prabowo bisa jadi Kekecewaan 70 juta rakyat Indonesia

Pengamat menilai bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak kredibel karena tidak dapat menjaga kepercayaan publik atas berlangsungnya Pemilihan Umum yang jujur dan adil (jurdil). Selain itu KPU dinilai tidak memperhatikan pihak yang berbeda pendapat dan rijid soal waktu penetapan.

“Saya menyayangkan KPU ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya tanpa mengindahkan rekomendasi dari Bawaslu tentang pemungutan suara ulang (PSU) dan kecurangan yang terjadi di beberapa wilayah lain,” kata pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta, Herdi Sahrasad kepada media, Rabu (23/7/2014). Menurutnya ini menunjukkan bahwa KPU tidak peka terhadap masukan dari Bawaslu yang merupakan perangkat Pemilu.

Yang dimaksud dengan KPU yang rijid menurut Herdi adalah soal 22 Juli yang ditetapkan sebagai hari pengumuman Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Padahal menurut Herdi, UU Pilpres memberikan waktu 30 hari kepada KPU setelah pencoblosan untuk menetapkan rekapitulasi. “ Mereka cenderung rijid karena patokannya tanggal 22 Juli padahal masih ada waktu 20 hari ke depan sampai batas penetapan, “ kata Herdi.

“Kredibilitas KPU diukur dari seberapa jauh dia dapat menjaga kepercayaan publik dan ternyata dia tidak bisa menjaganya terutama dari pihak Prabowo –Hatta yang punya kurang lebih 60 juta konstituen. Itu jumlah yang sangat besar,” kata Herdi.

Secara moral etik, jumlah sebesar ini tidak layak diabaikan begitu saja. “Harusnya KPU mengantisipasi apapun fenomena yang ada di masyarakat dan partai koalisi, “kata Herdi.

Menurut Herdi, sikap KPU ini membuat masyarakat makin terbelah secara psikologi politik.  Karena, Pilpres kali ini menurutnya adalah unprecedented election (tidak pernah terjadi sebelumnya) karena  hanya ada dua calon yang maju.  “Masyarakat belum biasa menghadapi dikotomi seperti ini dan selayaknya KPU membantu masyarakat dengan membuat kebijakan dan solusi yang tepat,” kata Herdi.

Menurutnya, meski secara legal formal KPU menetapkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden, namun mereka mengalami masalah legitimasi. “Legitimasi terhadap Jokowi-Jusuf Kalla tidak utuh dan ini tak baik bagi negara demokrasi besar seperti Indonesia,” katanya.

 Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) memastikan bahwa partainya tetap bergabung dengan Koalisi Merah Putih. Ia juga menegaskan bahwa Golkar siap menjadi oposisi.

”Siap, siap (di Koalisi Merap). Tidak ada yang meminta Golkar menarik diri dari Koalisi Merah Putih,” ujarnya di sela acara buka puasa bersama di Kediaman Agung Laksono, di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Rabu (23/7/2014).

Mantan Menko Kesra itu juga menegaskan bahwa Koalisi Merah Putih menepis bahwa ada keretakan di internal koalisi.

”Koalisi Merah Putih jalan terus. Semua solid,” tegasnya.

Sebelumnya, sejumlah kader muda Golkar meminta Ical untuk menarik diri dari Koalisi Merah Putih. Kader muda itu juga mengaku tengah menggalang dukungan agar Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar segera dilakukan.

 Sikap Prabowo Subianto untuk menarik diri dari Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 diputuskan setelah melalui rapat bersama kubu Koalisi Merah Putih.

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) di sela acara buka puasa bersama di kediaman Agung Laksono, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Rabu (23/7/2014).

”Usulan dari siapa saya tidak tahu, yang jelas itu hasil dari rapat,” ujar Ical.

Dikatakan Ical, penarikan diri dari proses pilpres merupakan bentuk kekecewaan kubu Prabowo-Hatta yang mengganggap KPU tidak kredibel. Ical juga menegaskan kubu Prabowo-Hatta akan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

”Kita langsung ke MK. Simple saja,” pungkasnya.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie memaklumi kekecewaan Calon Presiden, Prabowo Subianto, hingga menarik diri dari Pilpres 2014.

"Menarik diri atau mengundurkan diri ini istilah beda-beda, bisa kita tafsirkan makna substansial, bisa juga gramatikal, kata demi kata, tentu itu yang bisa itu Prabowo sendiri, nah marilah kita moderatnya saja," ucapnya saat memberikan konfrensi pers di Ruang Sidang DKPP, Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2014).

Penafsiran secara moderat, kata dia, harus pula dengan pemahaman bahwa ekspresi kekecewaan yang dikeluarkan Prabowo mewakili kekecewaan seluruh rakyat yang memberikan suara kepada pasangan ini.

"Ini ekspresi menyuarakan perasaan 47 persen, hampir 70 juta jiwa yang saat (proses) berlangsung agak emosi, harus menghormati perbedaan itu," ungkapnya.

Perasaan kecewa itu, menurut mantan Ketua MK itu, harus dikelola dengan baik. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan tafsir yang terlalu berlebihan terhadap pilihan yang diambil pasangan nomor urut satu itu.

"Kita juga harus mngelola peraaan kecewa itu, ekspresi ini jangan juga ditafsir terlalu jauh, tidak sama dengan perbuatan mengundurkan diri yang diancam pidana," tukasnya.

Pengamat politik meminta masyarakat Indonesia menghargai sikap Prabowo Subianto yang menolak hasil Pilpres 2014.

“Pasangan Prabowo-Hatta tidak melakukan pengunduran diri, namun hanya menolak hasil keputusan KPU. Itu biasa terjadi ketika ada satu pihak merasa ada kejanggalan atau kecurangan dalam pemilu. Sikap ini harus diakomodir,” kata pengamat politik dari Universitas Jember, Muhammmad Iqbal, kepada media, Rabu (23/7/2014).

Iqbal meyakini masalah ini akan lari ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Masalah ini akan berujung di MK karena tak ada lagi jalan lain untuk menyelesaikan sengketa ini. Penyelesaian berupa pemungutan suara ulang tergantung kebijakan MK,” ungkapnya.

“Ini adalah proses yang biasa dalam pematangan demokrasi. Karena demokrasi juga membutuhkan energi dan waktu yang tak sedikit,” tambahnya.

Pemilu, tegas dia, merupakan salah satu instrumen dalam demokrasi.

Sebelumnya, calon presiden nomor urut 1, Prabowo Subianto, menarik diri sebelum rekapitulasi KPU selesai. Alasannya, karena Prabowo mengendus kecurangan yang masif, sistematis, dan terstruktur. Selain itu rekomendasi Bawaslu agar digelar pemungutan suara ulang (PSU) di ribuan TPS tak digubris KPU.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nelson Simanjuntak menegaskan tidak ada pelanggaran yang dilakukan Calon Presiden, Prabowo Subianto, saat menarik saksinya dari proses rekapitulasi suara pilpres, kemarin.

Secara aturan tidak ada yang dilanggar. Ada yang bilang Prabowo keluar dari pilpres, sepanjang yang saya lihat tidak ada pengunduran diri," ucapnya saat ditemui di Gedung Bawaslu, Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2014).

Bahkan seandainya Prabowo mengundurkan diri dari pilpres, kata Nelson, tidak ada pelanggaran yang terjadi. Sebab, pengunduran diri yang dilarang adalah saat pemungutan suara belum dihelat.

"Rakyat memberikan suara pada 9 Juli, itulah inti pemilu, kemudian proses rekapitulasi ini (tidak ada pelanggaran), saat memiilih maka sudah sah, konsekwen bagi yang mundur kalau dia menang menjadi tidak terpilih, begitu," jelasnya.

Selanjutnya, jika pasangan calon keluar setelah pemungutan suara dilakukan, maka mereka tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menggugat hasil pilpres.

"Kalau misal dia kalah, tidak punya legal standing lagi untuk menggugat hasil di MK, tidak benar diisukan dia terkena pidana karena mengundurkan diri, tidak seperti itu hukumnya," tuntasnya. Okezone

No comments:

Post a Comment