!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Saturday, September 6, 2014

Perjalanan yang belum selesai (48)

Joko Widodo dan Prabowo Subianto
Perjalanan yang belum selesai (48)

(Bagian ke empat puluh delapan, Depok, Jawa Barat, Indonesia, 7 September 2014, 10.38, WIB)

Pada saat pemilu anggota legislative beberapa bulan lalu saya ikut memilih, namun saya pada saat pemilihan calon Presiden saya berhalangan hadir (karena sakit) di opname di rumah sakit.

Namun, di dalam rumah saya tidak ada yang satu sikap mengenai siapa yang sebenarnya yang mereka pilih.

Putri sulung saya yang lulusan sastra Inggris katanya cenderung memilih pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sedangkan putrid bungsu saya yang baru lulus jurusan Matematika/Ilmu Ekonomi Pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB) katanya menusuk (memilih) pasangan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla.

Istri saya nampaknya masih bimbang apakah telah memilih salah satu pasangan ini, karena dia masih merahasiakan siapa yang menjadi figure favoritnya, walaupun ia sorang putri seorang perwira angkatan Darat yang meninggal di Mekah, Arab Saudi ketika naik haji ke Mekah.

Itulah demokrasi, walaupun warna politik kami sekeluarga berbeda-beebeda, tidak membuat hubungan kekeluargaan kami pecah (retak/renggang).





Hatta-Prabowo dan Jokowi-JK



Pemilihan umum di Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Indonesia
National emblem of Indonesia Garuda Pancasila.svg
Artikel ini adalah bagian dari seri:
Politik dan pemerintahan
Indonesia
Pancasila
UUD 1945

Legislatif[tampilkan]
Eksekutif[tampilkan]
Yudikatif[tampilkan]
Inspektif[tampilkan]
Daerah[tampilkan]
Pemilihan umum[tampilkan]
Partai politik[tampilkan]
Negara lain · Atlas
 Portal politik
lihat bicara sunting
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.





Joko Widodo dan Keluarga Umroh


Sejarah
Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014
Asas[sunting | sunting sumber]
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.
"Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
"Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.
"Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
"Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Jadwal[sunting | sunting sumber]
Posisi         2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tipe  Presiden (Juli & September)
DPD&DPR (April)        Tidak          Presiden (Juli & September)
DPD&DPR (April)
Presiden dan wakil presiden         Ya     Tidak          Ya
DPD
DPR
Gubernur dan wakil gubernur        Riau, Lampung, Jatim, Maluku, Malut    Sumbar, Jambi, Bengkulu, Kepri, Kalteng, Kaltim, Sulut        Sulteng, Sulbar  Aceh, Babel, Jakarta, Banten, Gorontalo, Pabar         Sumut, Sumsel, Jabar, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kaltara, Sulsel, Sultra, Papua Riau, Lampung, Jatim, Maluku, Malut
Walikota/Bupati dan wakil walikota/bupati       Variasi
Jika RUU Pemilu disahkan menjadi UU Pemilu maka:[1][2][3]
Posisi         2014 2015 2016 2017 2018 2019[2][3]
Tipe  Presiden (Juli & September)
DPD&DPR (April)        Tidak          Presiden & Kepala daerah (Juli&September)
DPD & DPR (Juli)
Presiden dan wakil presiden         Ya     Tidak          Ya
DPD
DPR
Gubernur dan wakil gubernur        Riau, Lampung, Jatim, Maluku, Malut    Sumbar, Jambi, Bengkulu, Kepri, Kalteng, Kaltim, Sulut        Sulteng, Sulbar  Tidak          Semua provinsi
Walikota/Bupati dan wakil walikota/bupati       Variasi       Tidak          Variasi
Keterangan:
Tahun 2019 Pemilihan Umum dilakukan serentak untuk semua jenis di seluruh wilayah.
Pilkada pada tahun 2017 serta 2018 dimundurkan dan tahun 2020 serta 2021 dimajukan pada tahun 2019 serta Setiap Tahun yang variasi.
Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilihan umum untuk semua jenis digelar serentak pada tahun 2019 nanti pilkada setiap tahun yang bervariasi.[2][3]
Komponen sistem pemilu [4][sunting | sunting sumber]
Pemilu       Terbuka/tertutup Distrik/proporsional/campuran
1955 tertutup      proporsional
1971 distrik
1977
1982
1987
1992
1997
1999
2004 terbuka      campuran
2009
2014
Penetapan hasil pemilu[sunting | sunting sumber]
Pemilihan  Putaran pertama          Putaran kedua    Keterangan
Presiden dan wakil presiden         Minimal 50%       Minimal 50%       syarat calon diajukan dimana partai politik memilki batas ambang 25% kursi parlemen atau 20% suara sah
Kepala daerah dan wakil kepala daerah         Minimal 30%      
DPR Suara terbanyak
(batas ambang 3,5%) n/a   
DPRD        Suara terbanyak
DPD
Jumlah kepimpinan yang dipilih rakyat[sunting | sunting sumber]
Pemilihan  Total
Presiden    2
Gubernur   64
Walikota/Bupati  1022
DPR 560
DPRD        100 per kabupaten/kota
DPD 4 per provinsi
DPRA        70
DPRP        50
Hasil pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat[sunting | sunting sumber]
Tahun        Pemenang          Tempat kedua    Tempat ketiga
Partai politik        Jumlah kursi (dalam persen)         Partai politik        Jumlah kursi (dalam persen)      Partai politik        Jumlah kursi (dalam persen)
1955 PNI   57 (22.17%)        Masyumi    57 (22.17%)        NU    45 (17.51%)
1971 Golkar        360 (65.55%)      NU    56 (21.79%)        Parmusi     24 (9.33%)
1977 Golkar        232 (64.44%)      PPP  99 (38.52%)        PDI   29 (8.05%)
1982 Golkar        242 (67.22%)      PPP  94 (26.11%)        PDI   24 (6.66%)
1987 Golkar        299 (74.75%)      PPP  61 (15.25%)        PDI   40 (10%)
1992 Golkar        282 (70.5%)        PPP  62 (15.5%) PDI   56 (14%)
1997 Golkar        325 (76.47%)      PPP  89 (22.25%)        PDI   11 (2.75%)
1999 PDIP 153 (33.12%)      Golkar        120 (25.97%)      PPP  58 (12.55%)
2004 Golkar        128 (23.27%)      PDIP 109 (19.82%)      Demokrat   55 (10%)
2009 Demokrat   150 (26.79%)      Golkar        107 (19.11%)      PDIP 95 (16.96%)
2014 PDIP 109 (19.5%)        Golkar        91 (16.3%) Gerindra    73 (13%)
Jumlah partai politik di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Tahun        Jumlah
1955 tidak terbatas
1971 3
1977
1982
1987
1992
1997
1999 48
2004 24
2009 38
2014 12
2019 14
Pemilihan umum anggota lembaga legislatif[sunting | sunting sumber]
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 11 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014.








Joko Widodo di TPS

Pemilu 1955

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante Indonesia 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu 1971[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
Pemilu 1977-1997[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1977, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992, dan Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu 1999[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.





Titiek Suharto dan Prabowo

Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pemilu 2004[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2009[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009
Pemilu 2014[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan umum legislatif Indonesia 2014
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden[sunting | sunting sumber]
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.
Pemilu 2004[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.
Pemilu 2009[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.








Tim Prabowo-Hatta

Pemilu 2014
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.
Sistem politik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

v t e
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap di antara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan mengubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.

Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2014
Bendera Indonesia
2009 ←
9 Juli 2014
→ 2019
          Gubernur DKI Jokowi.jpg     Prabowo Cawapres 2009.jpg
Calon         Joko Widodo      Prabowo Subianto
Partai         PDI-P         Gerindra
Pasangan Jusuf Kalla          Hatta Rajasa
Suara rakyat       70.997.833         62.576.444
Persentase         53,15%      46,85%
2014IndonesianPresidentialElectionMap.png
Hasil pemilu memperlihatkan kandidat dengan mayoritas suara di masing-masing 33 provinsi di Indonesia. Prabowo Subianto: merah gelap; Joko Widodo: merah terang.
Presiden sebelum pemilu
Susilo Bambang Yudhoyono
Demokrat
Presiden terpilih
Joko Widodo
PDI-P
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 (disingkat Pilpres 2014) dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa bakti 2014-2019. Pemilihan ini menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia. Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh undang-undang yang melarang periode ketiga untuk seorang presiden.[1][2]. Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan kandidatnya. Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi, namun pada bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut tetap berlaku. [3][4]. Pemilihan umum ini akhirnya dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014[5]. Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.
Daftar isi  [sembunyikan]
1 Kandidat
1.1 Resmi
1.2 Lainnya
1.3 Potensial
2 Garis waktu
3 Gugatan Pra Pilpres
4 Koalisi Partai Politik
4.1 Kontroversi Koalisi Merah Putih Pra Pilpres 2014
4.2 Kontroversi Koalisi Tanpa Syarat Pra Pilpres 2014
5 Survei
5.1 Survei Sebelum Penetapan Resmi
5.2 Survei Setelah Penetapan Resmi
6 Kampanye
6.1 Dana Kampanye
6.2 Debat Calon
6.3 Kampanye di GBK
6.4 Fenomena Panasbung
7 Penghitungan dan hasil
7.1 Hitung cepat
7.2 Real count
7.3 Penarikan diri Prabowo
7.4 Pengumuman
7.5 Hasil resmi
8 Gugatan Pasca Pilpres
8.1 Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
8.2 Gugatan ke DKPP
9 Referensi
10 Pranala luar
Kandidat[sunting | sunting sumber]

Google Doodle menyambut Pilpres 2014
Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Resmi[sunting | sunting sumber]
Pemilihan umum ini diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada tanggal 31 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 2 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014. Berikut adalah kandidat resmi beserta nomor urutnya yang telah ditetapkan KPU.
Nomor
urut   Calon Presiden  Calon Wakil Presiden  Partai Politik        Kursi DPR Kursi DPR %          Suara legislatif %
1      

Prabowo Subianto


Hatta Rajasa

 Gerindra.jpg Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
Logo GOLKAR.jpg Partai Golongan Karya (Golkar)
Logo Partai Amanat Nasional.jpg Partai Amanat Nasional (PAN)
Contoh Logo Baru PKS.jpg Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Ppp-logo.jpg Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Bulan Bintang.jpg Partai Bulan Bintang (PBB)
Democratic Party (Indonesia).svg Partai Demokrat [6]     Koalisi Merah Putih:
Gerindra/Golkar/PPP/PKS/PAN/Demokrat
353 / 560   63.54%      59.52%
2      

Joko Widodo


Muhammad Jusuf Kalla

 PDIPLogo.png Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Pkb.jpg Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Partai NasDem.svg Partai NasDem
HANURA.jpg Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
Logo PKPI.jpg Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)[7]  Koalisi Indonesia Hebat:
PDI–P/Hanura/NasDem/PKB
207 / 560   36.46%      40.38%
Lainnya[sunting | sunting sumber]
Sebelum pemilihan umum legislatif tanggal 9 April 2014, tokoh-tokoh berikut telah terlebih dahulu menyatakan pencalonan diri sebagai calon Presiden. Setelah pemilihan umum legislatif selesai digelar, mereka mengurungkan niat setelah partainya gagal mencapai batas suara/kursi yang diperlukan agar bisa mencalonkan seorang Presiden. Beberapa di antaranya akhirnya memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan calon resmi yang ditetapkan KPU.
Partai         Calon         Status
Partai Golongan Karya         Aburizal Bakrie   Ketua Umum Partai Golkar[8][9]
Partai Hati Nurani Rakyat     Wiranto      Mantan Panglima TNI, calon Presiden 2004, dan calon Wakil Presiden 2009, dan Ketua Umum Partai Hanura[10]
Partai Bulan Bintang   Yusril Ihza Mahendra  Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang dan Mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang.[11]
Partai Persatuan Pembangunan  Suryadharma Ali          Menteri Agama dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan
Potensial[sunting | sunting sumber]
Berikut ini adalah tokoh-tokoh selain calon resmi yang pernah disebut-sebut potensial sebagai calon Presiden. Tokoh yang disebut sebagai calon potensial (per awal tahun 2014) adalah:
Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi[12]
Djoko Santoso, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia
Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Ani Yudhoyono, Ibu Negara Indonesia[13]
Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Indonesia[14]
Puan Maharani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Fraksi PDI-P di DPR RI[15]
Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan Indonesia
Rhoma Irama, musisi[16]
Sri Mulyani Indrawati, Direktur Pelaksana Grup Bank Dunia, mantan Menteri Keuangan Indonesia[17]
Surya Paloh, pebisnis, pemilik media, dan Ketua Partai Nasdem[18]
Sutiyoso, mantan Gubernur Jakarta[19]
Beberapa di antaranya memutuskan untuk tidak mencalonkan diri sebagai calon Presiden. Namun, ada juga yang akhirnya bergabung ke salah satu calon Presiden dan calon Wakil Presiden resmi yang ditetapkan KPU.

Konvensi Partai Demokrat
Sejak tahun 2013, Partai Demokrat menyelenggarakan konvensi semi terbuka untuk menjaring calon-calon yang layak diajukan sebagai calon Presiden. Salah satu peserta konvensi, Dahlan Iskan dinyatakan sebagai pemenang konvensi, beberapa hari setelah pemilihan umum legislatif berakhir. Namun, Partai Demokrat memutuskan untuk tidak mencalonkan Dahlan Iskan setelah gagal mencapai batas 20% kursi / 25% suara pada pemilu legislatif April 2014.[20]. Berikut ini adalah daftar peserta konvensi yang diselenggarakan Partai Demokrat:
Ali Masykur Musa, anggota Badan Pemeriksa Keuangan[21]
Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina [21]
Dahlan Iskan, Menteri BUMN[21]
Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat[21]
Endriartono Sutarto, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia[21]
Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan[21]
Hayono Isman, anggota Dewan Perwakilan Rakyat [21]
Irman Gusman, Ketua Dewan Perwakilan Daerah[21]
Marzuki Alie, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat[21]
Pramono Edhie Wibowo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat[21]
Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara[21]
Garis waktu[sunting | sunting sumber]
Catatan: Garis waktu berikut ini mencakup pemilihan umum legislatif pada pertengahan 2014 dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pemilihan umum presiden.
Tanggal     Kegiatan    Deskripsi
Januari      Persiapan  Sepanjang Januari dan Februari, Partai Demokrat mengadakan rapat terbuka di kota-kota besar untuk mencari dukungan bagi para calon presiden Konvensi Partai Demokrat.[22]
Maret         Kampanye Kampanye nasional untuk oleh calon anggota legislatif
6–8 April    Masa tenang      Kampanye tidak boleh dilangsungkan
9 April        Pemilu legislatif  Pemilihan umum serentak nasional untuk Dewan Perwakilan Rakyat (60 kursi), 33 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi (DPRD I, 2.137 kursi), dan 497 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten dan kota (DPRD II, 17.560 kursi)
Lihat pula: Pemilihan umum legislatif Indonesia 2014
9 Mei          Hasil Hasil pemilu legislatif diumumkan 30 hari setelah hari pemilihan.[23]
Awal Mei    Pencalonan        Nama pasangan calon presiden dan wakil presiden dikirim ke Komisi Pemilihan Umum tujuh hari setelah hasil pemilu legislatif diumumkan (lihat di atas).[24]
31 Mei        Pengumuman    KPU mengumumkan nama-nama calon presiden dan wakil presiden
4 Juni – 5 Juli     Kampanye Kampanye nasional oleh calon presiden dan wakil presiden
6–8 Juli      Masa tenang      Kampanye tidak boleh dilangsungkan
9 Juli Pemilu presiden Pemilihan umum presiden
10–12 Juli Rekapitulasi        Tingkat kelurahan
10–14 Juli Rekapitulasi        Kawasan luar negeri
13–15 Juli Rekapitulasi        Tingkat kecamatan
16–17 Juli Rekapitulasi        Tingkat kabupaten dan kota
18–19 Juli Rekapitulasi        Tingkat provinsi
20–22 Juli Rekapitulasi        Tingkat nasional
22-23 Juli  Hasil Hasil pemilu presiden diumumkan 14 hari setelah hari pemilihan.[23]
20 Oktober          Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono mengakhiri masa jabatannya. Presiden dan Wakil Presiden terpilih diambil sumpahnya.
Gugatan Pra Pilpres[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 23 Januari 2014, Yusril Ihza Mahendra dan Effendi Ghazali melakukan gugatan atas peraturan pengajuan calon presiden dan syarat penetapan calon presiden ke Mahkamah Konstitusi. Awalnya calon presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat suara setelah pelaksanaan Pemilu legislatif. Menurut Yusril, seharusnya pengajuan ini tidak disertai presidential threshold. Namun MK menolak sebagian gugatan, dan mengabulkan sebagian tuntutan dengan melaksanakan Pilpres dan Pileg serentak mulai 2019. [25]
Koalisi Partai Politik[sunting | sunting sumber]
Kontroversi Koalisi Merah Putih Pra Pilpres 2014[sunting | sunting sumber]
Partai Golongan Karya

Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan.
Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini.
Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) Golkar pada tanggal 18 Mei 2014 memutuskan untuk mengusung Aburizal Bakrie sebagai Calon Presiden ataupun Calon Wakil Presiden serta memberikan kewenangan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah kebijakan politik dan koalisi. [26] Golkar sebagai parpol yang menempati tempat kedua dalam Pileg 2014 (setelah PDIP) dengan perolehan 91 kursi (14,75%), di prediksi akan membangun poros tengah bersama partai Demokrat untuk mengimbangi kekuatan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta [27], namun kenyataannya, ketua umum Golkar Aburizal Bakrie lebih memilih bergabung dengan koalisi Prabowo-Hatta dengan meminta jatah "Menteri Senior" sehingga bertentangan dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional Golkar 2014. [28]
Keputusan Aburizal Bakrie untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta membuat kecewa banyak kader Golkar di daerah, yang beranggapan bahwa sebagai salah satu partai pemenang Pemilu seharusnya Golkar mengajukan calon Presiden ataupun calon Wakil Presiden, namun malah tidak menjadi apa-apa. Keputusan itu juga menghancurkan impian akan terbentuknya "Poros Tengah" dan meninggalkan Partai Demokrat sebagai partai terakhir yang masih belum menentukan arah pilihan koalisi.[butuh rujukan] Pada tanggal 30 Juni 2014, melalui ketua harian Partai Demokrat Syarief Hasan menyatakan siap mendukung dan memenangkan Prabowo-Hatta.[butuh rujukan]Muhammad Jusuf Kalla yang notabene adalah kader senior dari partai Golkar dicalonkan sebagai Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo terbukti mempengaruhi solidaritas di internal "Partai Beringin" ini.[butuh rujukan] Jusuf Kalla yang mempunyai segudang pengalaman di pemerintahan mulai dari jabatan menteri hingga Wakil Presiden, mempunyai pengaruh besar terhadap simpatisan dan kader Golkar di tingkat provinsi dan daerah.[butuh rujukan] Walaupun elit Golkar menyatakan dukungan resmi dan terbuka terhadap kubu Prabowo-Hatta, kenyataan berkata lain karena kader Golkar di daerah banyak yang memilih Jokowi-JK sebagai pilihan Presiden. Kuatnya sosok Jusuf Kalla karena ia sangat dihormati dan disegani di intenal partai Golkar.
Aburizal Bakrie yang memutuskan untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta melihat Jusuf Kalla sebagai ancaman akan ketidak kompakan dan krisis solidaritas di internal partai Golkar. Konflik muncul bermula saat ia memecat 3 kader golkar yang tidak mendukung Prabowo-Hatta, mereka adalah anggota DPR dari Partai Golkar, Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatulloh. [29]. Pemecatan terhadap 3 kader muda Golkar itu merupakan awal benih perpecahan di internal partai beringin yang berakumulasi menjadi rencana pemecatan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar. Banyak internal kader Golkar yang menilai pemecatan terhadap 3 kader golkar tersebut tidak sesuai dengan AD/ART dan prosedur partai.
Sosok Aburizal Bakrie yang fenomenal dengan kasus "luapan Lumpur Lapindo" di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur merupakan beban yang harus di tanggung oleh Koalisi Merah Putih. Saat Aburizal Bakrie bergabung dalam kubu Prabowo-Hatta, masyarakat Jawa Timur enggan memberikan dukungannya kepada pasangan tersebut [30]. Berdasarkan data pemilihan legislatif 2014, kubu Prabowo Hatta diramalkan unggul di Jawa Timur dengan total 46 kursi parlemen (PKS 2 kursi; Golkar 11; Gerindra 11 kursi; Demokrat 11 kursi; PAN 7 kursi; PPP 4 kursi) dan kubu Jokowi-JK hanya 41 kursi parlemen (Nasdem 7 kursi; PKB 15 kursi; PDI Perjuangan 17 kursi; Hanura 2 kursi)[31]. Berdasarkan data resmi KPU, Pasangan Jokowi-JK menang di Jawa Timur dengan perolehan 53.17%.
Partai Persatuan Pembangunan
Sebelum Koalisi Merah Putih terbentuk, Partai Persatuan Pembangunan mempunyai masalah dalam hal krisis kepemimpinan di dalam internal partai berlambang Kabah tersebut. Polemik di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berawal dari kedatangan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dalam kampanye akbar Partai Gerindra di Gelora Bung Karno, Senayan pada tanggal 23 Maret 2014 [32]. Kehadiran Suryadharma Ali untuk mendukung Prabowo adalah keputusan sepihak tanpa melalui prosedur parpol, sehingga menimbulkan polemik di lapisan bawah kader PPP di mana Prabowo tidak masuk dalam satu di antara delapan bakal capres yang ditetapkan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PPP di Bandung [33].
Atas sikap tersebut, sebanyak 27 dewan pimpinan wilayah (DPW) PPP mendesak agar Suryadharma segera dijatuhi sanksi, mulai dari pemberhentian sementara hingga pemecatan. Pengurus wilayah PPP protes lantaran sikap Suryadharma itu dianggap melecehkan usaha yang tengah dibangun kader di akar rumput dimana saat para kader PPP berjuang untuk memenangkan PPP, Suryadharma justru membelot ke partai lain [34]. Atas desakan tersebut, Suryadharma memecat Waketum PPP dan empat Ketua DPW, yaitu Suharso Monoarfa dari jabatan Wakil Ketua Umum PPP, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP Jawa Barat Rachmat Yasin, Ketua DPW Jawa Timur Musyaffa Noer, Ketua DPW Sumatera Utara Fadli Nursal, Ketua DPW Sulawesi Selatan Amir Uskara, dan Sekretaris DPW Kalimantan Tengah Awaludin Noor.[35]
Setelah pemecatan dilontarkan oleh Suryadharma Ali, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbagi menjadi dua kubu yakni kubu yang mendukung keputusan Suryadharma Ali untuk menjalin koalisi dengan Prabowo dan kubu yang menentang. Internal PPP menganggap bahwa Suryadharma Ali telah bertindak otoriter dengan memecat kader tanpa prosedur yang jelas dan membuat arah koalisi tanpa melalui proses rapimnas.[36] Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi menjelaskan PPP merupakan sebuah partai yang memiliki aturan dan konstitusinya sendiri. Menurutnya, tidak ada seorang pun di dalam partai yang bisa menempatkan dirinya di atas aturan dan konstitusi tersebut. [37]







Megawati dan Joko Widodo

Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berakhir Minggu pada tanggal 20 April 2014 dini hari memutuskan untuk memberhentikan sementara Suryadharma Ali dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP PPP. Alasan pemberhentian Suryadharma karena dia tidak bersedia menghadiri Rapimnas. [38]
Pada tanggal 24 April 2014, Partai Persatuan Pembangunan mengadakan Musyawarah Kerja Nasional III (Mukernas III) PPP di Hotel Seruni, Cisarua, Bogor. Suryadharma Ali tidak disambut oleh para petinggi PPP yang sudah berada di meja pimpinan rapat. Tak terdengar juga ada tepuk tangan atau antusiasme dari para peserta. Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi, yang dalam mukernas ini didaulat sebagai pelaksana tugas ketua umum sekaligus penyelenggara mukernas. Emron terlihat mendapatkan sambutan yang berbeda. Saat masuk ke ruang mukernas, Emron terlihat langsung disambut tepuk tangan para peserta. Dia juga langsung dipersilakan untuk naik ke meja pimpinan rapat. [39] Dalam pertermuan itu Kubu Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dan kubu Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy alias Romy kembali bersepakat untuk melakukan islah. Dalam kesempatan itu, Suryadharma Ali mengungkapkan permintaan maafnya kepada semua kader PPP yang hadir dalam Mukernas dan kepada mayarakat atas kisruh yang terjadi di internal PPP. Ia mengaku salah karena telah melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Namun jabatan ketua umum Suryadharma Ali di persingkat dan akan berakhir pada Oktober 2015.
Pada tanggal 12 Mei 2014, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melaksanakan rapat pimpinan nasional yang akhirnya resmi memutuskan arah koalisinya ke Prabowo Subianto. Keputusan koalisi PPP ke Prabowo dilakukan secara musyawarah mufakat yang melibatkan 33 Dewan Pimpinan Wilayah PPP seluruh Indonesia [40].
Pada masa kampanye pemilihan Presiden 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013.[41] Sebelumnya, bakal calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, memuji kinerja Suryadharma sebagai Menteri Agama. Prabowo menilai, penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama setiap tahunnya sudah sangat baik.[42]
Penetapan Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam masa kampanye menambah sentimen negatif terhadap Koalisi Merah Putih.
Partai Demokrat
Partai Demokrat merupakan partai pemenang pemilu 2009 dimana Partai Demokrat mengantongi 20,85% suara atau 150 anggota legislatif, akan tetapi pada pemilihan legislatif 2014, Demokrat hanya mampu mengantongi 10,19% suara atau 61 anggota legislatif. Suara partai demokrat berguguran di setiap lini lumbung suara Demokrat, akibatnya partai Demokrat tidak mampu mengajukan calon presiden tetapi harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan capres.
Terlepas dari suara Demokrat yang terjun bebas tidak dapat dipisahkan dengan rentetan kasus korupsi yang melibatkan pentolan kader demokrat di saat itu [43], sebut saja:
Muhammad Nazarudin, Bendahara Umum Partai Demokrat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada bulan Juni 2011 dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.
Angelina Sondakh, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi pembahasan anggaran proyek Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga pada pertengahan tahun 2012.
Andi Mallarangeng, sebagai Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat yang kala itu juga menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, ditetapkan sebagai tersangka pada bulan Desember 2012 dalam kasus pembangunan pusat olahraga (sport center) di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Anas Urbaningrum, sebagai mantan Ketua Umum Partai Demokrat ditetapkan sebagai tersangka pada bulan Maret 2014, dalam kasus pembangunan sarana dan prasarana sport center Hambalang di Bogor.
Sutan Bhatoegana, sebagai Ketua DPP Partai Demokrat. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Sutan Bhatoegana sebagai tersangka pada tanggal 14 Mei 2014 atas kasus dugaan korupsi terkait dengan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Kementerian ESDM tahun 2013 [44].
SBY yang kala itu menjabat sebagai ketua umum demokrat menyatakan akan bersikap netral atau tidak akan bergabung secara formal dengan kubu capres Jokowi atau kubu capres Prabowo dalam pemilu presiden nanti, namun SBY meminta kepada kader Demokrat untuk tidak golput. Pernyataan resmi Partai Demokrat ini sesuai dengan hasil Rapimnas Partai Demokrat pada 17 Mei 2014 lalu, dimana Demokrat akan bersikap netral dalam pemilu presiden Juli nanti [45].
Demokrat gagal membentuk poros baru lantaran perolehan suara di pemilu legislatif hanya sekitar 10 persen, sehingga konvensi partai Demokrat untuk mengusung calon Presiden menjadi tidak relevan. Partai Demokrat kemudian berusaha membuka wacana untuk membangun poros tengah bersama partai Golkar demi mengimbangi kekuatan Jokowi-JK ataupun Prabowo-Hatta, namun keinginan itu harus kandas di tengah jalan karena Demokrat ditinggalkan partai Golkar yang lebih memilih menerima tawaran "Menteri Senior" dari kubu Prabowo-Hatta [27]. Ini berakibat pada partai Demokrat menjadi partai terakhir yang belum menentukan sikap akan arah pilihan politik.
Dukungan informil partai Demokrat terhadap Prabowo-Hatta mengalir saat Pasangan capres-cawapres dari koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta memaparkan visi misinya di depan elite dan kader Partai Demokrat di Hotel Sahid Jaya, Bogor. Akan tetapi SBY tidak hadir dalam acara tersebut demi menjaga netralitas sebagai seorang Presiden [46].
Akan tetapi, beberapa tokoh Demokrat justru merapat ke pasangan Jokowi-JK atas nama dukungan pribadi, antara lain:
Dahlan Iskan, pemenang konvensi Capres Demokrat dengan elektabilitas tertinggi yang juga Menteri BUMN pada saat itu.
Sinyo Harry Sarundajang, menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat dan Peserta Konvensi Capres Demokrat.
Letjen (Purn) TNI Suaidy Marasabessy, Anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat
Anies Baswedan, intelektual, akademisi dan Peserta Konvensi Capres Demokrat.
Hayono Isman, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat
Isran Noor, Politikus Partai Demokrat dan juga Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi)
Ruhut Sitompul, Juru Bicara Partai Demokrat
SBY sebagai ketua umum Demokrat menghargai hak setiap kader untuk menentukan pilihan politik masing-masing, oleh karena itu tidak ada kader yang di pecat karena berbeda haluan dan tidak ada benih perpecahan dalam kader internal Demokrat. Dengan demikian terlihat jelas bahwa Partai Demokrat tidak solid dalam mendukung koalisi merah putih.
Kontroversi Koalisi Tanpa Syarat Pra Pilpres 2014[sunting | sunting sumber]
Muhammad Jusuf Kalla (JK)
Pada tanggal 19 Mei 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hanura mendeklarasikan penetapan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden di Gedung Joang 45, Menteng [47]. Jusuf Kalla terpilih menjadi Calon Wakil Presiden dengan menyingkirkan kandidat kuat lainnya yakni Mahfud MD dan Ryamizard Ryacudu.
Pada saat itu, partai Golkar belum resmi memutuskan sikap politiknya apakah akan mengusung capres atau bergabung dengan koalisi. Melalui proses negosiasi yang panjang dan berliku, pada akhirnya Ketua umum Golkar Aburizal Bakrie memutuskan untuk bergabung dengan kubu Prabowo-Hatta dengan meminta jatah "Menteri Senior" daripada mendukung rekan separtainya yang maju sebagai Cawapres. Jusuf Kalla dianggap sebagai sosok yang fenomenal karena karena ia tidak di dukung secara resmi oleh partai yang membesarkannya (partai Golkar), akan tetapi Jusuf Kalla mampu memecah kekuatan Golkar dengan mendapat dukungan dari kader dan simpatisan Golkar di akar rumput.
Penetapan Jusuf Kalla sebagai Calon Wakil Presiden mendapat beragam kritik dari pengamat politik, salah satu nya adalah pengamat politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit. Arbi Sanit menyatakan bahwa Jokowi dan Jusuf Kalla akan sulit bekerja sama dan bahkan berpotensi untuk menyandera Jokowi. Ia menambahkan, Jusuf Kalla suka bertindak sendiri tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan pasangannya, sehingga berpotensi memunculkan "matahari kembar". Arbi Sanit memperkirakan JK akan mengulangi skenario pemerintahan 2004-2009 di saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. [48]. Dalam pernyataan resminya, Jusuf Kalla menampik hal tersebut, "Kalau kami ibarat kereta, kami kereta yang mesinnya lebih kuat. Dan bagaikan matahari, kami matahari yang sinarnya lebih kuat bukan dua matahari" [49].
Pada saat masa kampanye, beredar video wawancara Jusuf Kalla dengan salah satu stasiun televisi swasta yang menyatakan "Kalau Jokowi Tiba-Tiba Jadi Presiden Bisa Hancur Negeri Ini", video inilah di jadikan alat propaganda oleh pihak lawan dengan menayangkannya berulang kali di beberapa stasiun swasta dan media cetak.[butuh rujukan] Namun, dalam pernyataan resminya, Jusuf Kalla menyatakan bahwa pernyataan itu dia keluarkan saat Jokowi baru 3-4 bulan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sehingga Jokowi dianggapnya belum memiliki kapasitas mumpuni sebagai calon Presiden [50].
Jusuf Kalla terbukti mempunyai kepiawaian dalam menangani masalah konflik di beberapa daerah di Indonesia, antara lain Poso, Ambon, dan Aceh, sehingga diduga penduduk setempat mempunyai ikatan emosional dengan sosok Jusuf Kalla [51]. Namun kenyataannya perolehan suaranya tidak menang di Aceh dan Maluku Utara.
Survei[sunting | sunting sumber]
Survei Sebelum Penetapan Resmi[sunting | sunting sumber]
Survei sebelum pencalonan [tampilkan]
Survei Setelah Penetapan Resmi[sunting | sunting sumber]
Survei setelah pencalonan [tampilkan]
Kampanye[sunting | sunting sumber]
Kampanye Pemilu Presiden 2014 dimulai pada 4 Juni hingga 5 Juli 2014 dalam rapat umum terbuka dan debat calon.
Dana Kampanye[sunting | sunting sumber]
Di bawah ini adalah dana kampanye para calon Presiden selama kampanye Pilpres 2014 yang dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum pada 19 Juli 2014.
Prabowo-Hatta   Jokowi-JK
Penerimaan        166.559.466.941         312.376.119.823
Pengeluaran       166.557.825.711         311.899.377.825
Saldo akhir          1.641.229  476.741.998
Debat Calon[sunting | sunting sumber]
Berikut adalah daftar debat calon yang diselenggarakan selama kampanye Pilpres 2014.
Waktu        Peserta      Materi         Moderator  Stasiun TV Penyelenggara
Senin, 9 Juni 2014      Capres-Cawapres       Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih, dan Kepastian Hukum      Zainal Arifin Mochtar (Dosen Hukum UGM)          SCTV dan BeritaSatu TV
Minggu, 15 Juni 2014 Capres       Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial          Ahmad Erani Yustika (Guru Besar Universitas Brawijaya)        MetroTV dan Bloomberg TV Indonesia
Minggu, 22 Juni 2014 Capres       Politik Internal dan Ketahanan Nasional          Hikmahanto Juwana (Guru Besar Universitas Indonesia)         tvOne
Minggu, 29 Juni 2014 Cawapres  Pembangunan Sumber Daya Manusia dan IPTEK          Dwikorita Karnawati (Wakil Rektor UGM)        RCTI, MNCTV, dan Global TV
Sabtu, 5 Juli 2014       Capres-Cawapres       Pangan, Energi, dan Lingkungan          Sudharto P. Hadi (Rektor UNDIP) TVRI, Kompas TV, dan RTV
Beberapa isu menjadi kontroversi dalam debat-debat tersebut. Antara lain saat Jokowi memunculkan istilah tol laut yang disalahpahami sebagai jalan tol di atas laut yang melintasi seluruh nusantara.[54] Prabowo memunculkan kontroversi mengenai kebocoran anggaran yang kemudian diralat kembali sebagai kerugian potensial[55]. Selain itu, Prabowo juga membuat sebuah kejutan ketika ia menyatakan dukungan kepada Jokowi ketika berbicara tentang pengembangan ekonomi kreatif.[56] Jusuf Kalla menimbulkan kontroversi setelah meralat sendiri bahwa UN tidak akan dibatalkan.[57]. Sementara Hatta Rajasa menimbulkan kontroversi setelah salah membedakan penghargaan Kalpataru dengan Adipura dalam debat putaran terakhir. [58]
Kampanye di GBK[sunting | sunting sumber]
Respon masyarakat terhadap kedua calon terlihat saat kampanye terbuka di Gelora Bung Karno. Kubu Prabowo pada 22 Juni 2014 memilih untuk mengadakan orasi di panggung dengan menggunakan identitas baju putih dan mengumpulkan massa dari berbagai perwakilan partai politik dan organisasi buruh[59]. Sementara Kubu Jokowi pada 5 Juli 2014 memilih kampanye dalam bentuk konser yang mengundang relawan dari siang hingga malam hari dengan diisi penampilan berbagai selebriti. Jokowi sendiri hanya muncul di saat akhir dengan memberi sambutan pendek. [60]
Fenomena Panasbung[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Pasukan nasi bungkus
Kedua pihak saling bertukar tuduhan adanya relawan berbayar, khususnya di media sosial, atau populer dengan akronim panasbung, pasukan nasi bungkus[61][62][63]. Tim Prabowo pada beberapa kesempatan mengakui adanya bantuan dana operasional[64], sementara kubu Jokowi - JK konsisten menyatakan relawannya tidak dibayar hingga hari-hari terakhir kampanye[65] Setelah pemilihan, juga terungkap pengakuan dari Perhimpunan Kebangkitan Suara Indonesia (PKSI) di Kabupaten Jember, Jawa Timur yang mendukung Hatta Rajasa, bahwa mereka tidak menerima bayaran yang dijanjikan. [66]
Penghitungan dan hasil[sunting | sunting sumber]

Surat Suara Pilpres 2014
Setelah pilpres 9 Juli 2014, Joko Widodo atau Jokowi mengklaim kemenangannya berdasarkan hitung cepat suara dari beberapa wilayah. Banyak lembaga survei independen yang mengunggulkan Jokowi (52-53% suara versus 46-48% suara untuk Prabowo).[67] Prabowo juga mengklaim kemenangannya sambil mengutip lembaga survei lain.[68]
Menjelang pengumuman hasil resmi oleh Komisi Pemilihan Umum, Prabowo meminta KPU menunda pengumumannya selama dua minggu agar partainya bisa memeriksa dugaan manipulasi proses pemungutan suara. Permintaan ini ditolak oleh KPU.[69] Kubu Prabowo juga menuntut diadakannya pemungutan suara ulang di sejumlah wilayah.[70] Namun demikian, beberapa pendukung Prabowo mengucapkan selamat kepada Jokowi atas pemilihannya. Politikus PAN, Hanafi Rais, tiga hari sebelum hasil resmi diumumkan, mengirimkan sebuah pernyataan pers yang isinya, "kami mengucapkan selamat kepada Bapak Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang akan memegang tampuk kepemimpinan nasional dalam waktu 5 tahun mendatang".[71] Pada hari yang sama, ketua tim kampanye Prabowo, Mahfud M.D., mengembalikan mandatnya kepada Prabowo dan menyatakan bahwa pemilihan umum sudah berakhir.[71]
Khawatir karena ketegangan antarpartai pernah mengakibatkan kerusuhan yang berujung pada jatuhnya mantan presiden Soeharto, pemerintah Indonesia mengerahkan lebih dari 250.000 personel polisi di seluruh Indonesia. Di Jakarta Pusat, ratusan polisi ditempatkan di sekitar gedung KPU. Kerumunan pendukung Prabowo melakukan unjuk rasa damai di dekat gedung KPU.[72]
Hitung cepat[sunting | sunting sumber]
Proses hitung cepat dimulai pada tanggal 9 Juli 2014 oleh berbagai lembaga survei.
Hasil hitung cepat [tampilkan]
Perbedaan hasil hitung cepat menghasilkan perdebatan mengenai keabsahan beberapa lembaga yang melakukan perhitungan. Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI) merasa harus mengadakan audit terhadap metode yang digunakan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah naungannya. JSI dan Puskaptis mengabaikan panggilan ini. Hasilnya, JSI dan Puskaptis dikeluarkan dari keanggotaan Persepi karena dianggap tidak memiliki itikad baik untuk mempertanggungjawabkan kegiatan ilmiah yang sudah menimbulkan kontroversi di masyarakat.[78]
Sementara RRI yang juga ikut mengadakan hitung cepat dengan hasil yang hampir mendekati hasil rekapitulasi KPU, baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, juga mendapatkan tekanan politis dari Komisi I DPR RI yang mempertanyakan aktivitas RRI dalam melakukan survei yang dianggap tidak sesuai dengan tupoksi. Karena itu Komisi I berencana akan melakukan pemanggilan terhadap direksi RRI[79] yang akhirnya menimbulkan kecaman dari masyarakat dan jurnalis.[80]
Real count[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Urun daya dalam pemilihan umum Presiden Indonesia 2014

Cuplikan real count versi KawalPemilu.org, 17 Juli 2014
Selain hitung cepat, beberapa kelompok independen maupun organisasi dan partai mendukung juga melakukan perhitungan yang di media disebut real count (dari bahasa Inggris yang artinya "hitung sesungguhnya"). Berbeda dengan hitung cepat yang mengambil sampel secara statistik, real count berusaha mengumpulkan data dari seluruh pemilih atau TPS, atau mendekati seluruhnya. Ada yang menggunakan data dari KPU, dan ada juga yang menggunakan input dari saksi-saksi relawan partai dan tim sukses di TPS.
Situs KawalPemilu.org termasuk salah satu situs yang memulai melansir hasil real count. Situs ini dibuat oleh sekelompok ahli teknologi informasi Indonesia yang berdomisili di luar negeri, dan meluncurkan hasil awalnnya pada 14 Juli. Input situs ini berasal dari hasil TPS di formulir C1 yang dilansir oleh KPU, dan didigitalisasi oleh sekitar 700 relawan.[81] Beberapa hari kemudian, hasil rekapitulasi KPU dalam bentuk data DA1, DB1 dan DC1 dilansir KPU dalam bentuk digital, dan beberapa situs lain dan media juga melakukan real count berdasarkan data-data ini.
Pihak Prabowo-Hatta menggunakan real count yang dilakukan oleh PKS. Berbeda dengan hasil hitung cepat maupun real count lainnya, perhitungan ini menunjukkan keunggulan tipis Prabowo-Hatta. Namun sempat terjadi kontroversi karena publikasi hasil real count sementara pada 9 Juli 2014 sama persis dengan publikasi hasil exit poll yang dilakukan pada tanggal 5 Juli 2014.[82] Setelahnya, kubu Prabowo Hatta tidak pernah lagi mempublikasikan hasil real count. Mahfud MD menyatakan hasil perhitungan tersebut rahasia[83], meskipun kemudian ia mengakui tidak pernah melihat data itu.[84] Di lain pihak, Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera Taufik Ridho beralasan menghentikan publikasi Real Count karena ingin mematuhi himbauan Komisi Penyiaran Indonesia.[85]
Sementara dari pihak Jokowi-Jusuf Kalla, real count dilakukan baik oleh internal PDIP[86] maupun di gedung DPP Partai Nasdem.[87]
Berikut adalah perbandingan hasil perhitungan beberapa kelompok relawan dibandingkan dengan hasil rekapitulasi KPU.
Sumber      Pasangan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa  Joko Widodo-Jusuf Kalla
KawalPemilu.org (berdasarkan formulir C1)   47,03%      52,96%
KawalPemilu.org (berdasarkan data DC1)     46,84%      53,15%
Publikasi Real Count PKS per 9 Juli 2014      52,04%      47,96%
Publikasi Real Count PDIP dan Partai Nasdem per 15 Juli 2014       46,54%      53,46%
Pilpres2014.org (berdasarkan data DB1)       47,03%      52,97%
Pilpres2014.org (berdasarkan data DC1)       46,85%      53,15%
Caturan.com (berdasarkan data DA1)   47,06%      52,93%
Penarikan diri Prabowo[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 22 Juli 2014, hari pengumuman hasil resmi oleh KPU, Prabowo menyatakan menarik diri dari proses pemilihan umum setelah sebelumnya menegaskan kemenangannya sejak hasil hitung cepat dirilis. Ia mengatakan bahwa rakyat Indonesia "kehilangan hak-hak demokrasi" karena "telah terjadi kecurangan masif dan sistematis",[88] dan menyatakan bahwa ia dan Hatta "menggunakan hak konstitusional kami yaitu menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum".[69] Pidatonya yang disiarkan langsung berimplikasi bahwa ia akan menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi.[88][88] Beberapa laporan memperdebatkan seputar apakah Prabowo mengundurkan diri dari proses pemilu atau menolak hasil resminya saja.[70]
Menurut Douglas Ramage dari Bower Asia Group Jakarta, legitimasi proses pemilihan umum dipertanyakan untuk pertama kalinya sejak era reformasi dimulai tahun 1998. Ramage menyatakan bahwa Indonesia sedang memasuki "wilayah tak terjamah".[69] Keabsahan penolakan Prabowo belum jelas karena apabila ia menyatakan mundur, maka ia tidak lagi dianggap sebagai calon presiden.[69] Menurut The Jakarta Post, selisih suara sebesar 6,3 persen akan menyulitkan Prabowo menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.[89] Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo bisa dipidana dengan kurungan penjara paling lama 6 tahun dan denda 100 miliar rupiah karena mengundurkan diri.[69][88]
Seusai pengumuman tersebut, nilai tukar rupiah Indonesia jatuh 0,3 persen, dan JSX Composite jatuh 0,9 persen.[70] Para pengamat menolak tuduhan kecurangan yang dilemparkan Prabowo dan mengatakan bahwa pemilihan umum berlangsung "adil dan bebas". Maswadi Rauf dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa "tidak ada tanda-tanda kecurangan" dan pengunduran Prabowo mencerminkan "sikap asli kalangan elit yang tidak siap kalah".[90]
Pengumuman[sunting | sunting sumber]
Menyusul pengunduran Prabowo, saksi-saksinya juga meninggalkan acara pengumuman hasil pemilu oleh KPU. Akan tetapi, penghitungan resmi terus berlanjut, dan Ketua KPU, Husni Kamil Manik, mengatakan bahwa mereka sudah memenuhi kewajibannya untuk mengundang para saksi.[91] Kemenangan Jokowi sudah diprediksi[70] dan terbukti beberapa jam kemudian karena jadwal pengumuman yang awalnya ditetapkan pukul 16:00 mundur empat jam.[91] KPU menyatakan bahwa Jokowi memperoleh 53,15 persen suara (mewakili 70,99 juta pemilih) dan Prabowo memperoleh 46,85 persen suara (62,57 juta pemilih).[89] Kubu Prabowo tetap menolak hitungan KPU dan menyatakan bahwa mereka lebih memercayai hasil yang diberikan PKS ketimbang KPU.[92]
Pasca pengumuman, Jokowi mengatakan bahwa seumur-umur hidup di bawah pemerintahan Orde Baru, ia tidak pernah membayangkan seseorang berlatar kelas bawah bisa naik menjadi presiden. The New York Times melaporkan bahwa Jokowi berkata, "Sekarang sudah seperti Amerika. Kita kenal yang namanya impian Amerika, dan di sini ada impian Indonesia".[93] Jokowi adalah presiden Indonesia pertama yang tidak berasal dari kalangan militer atau elit politik yang terkait dengan Soeharto. Pengamat politik Salim Said menyebut Jokowi sebagai "tetangga kita yang memutuskan terjun ke dunia politik dan mencalonkan diri sebagai presiden".[93]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono memberikan ucapan selamat kepada Jokowi sesaat setelah penetapan KPU. Selain itu, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, juga memberikan ucapan selamat di Twitter beberapa menit setelah penetapan tersebut dan berharap kinerja Jokowi selanjutnya dapat memperkuat hubungan antara kedua negara tersebut.[94]. Selain Presiden dan Wapres petahana, serta Perdana Menteri Singapura, ucapan selamat kemudian mengalir dari berbagai kepala pemerintahan dan perwakilan berbagai negara di dunia terhadap Presiden dan Wakil Presiden terpilih, di antaranya Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe[95], dan sebagainya.
Hasil resmi[sunting | sunting sumber]
Hasil resmi memperlihatkan kemenangan pasangan Jokowi - Jusuf Kalla, sekaligus mengkonfirmasi beberapa lembaga yang mengadakan survei, exit poll, dan quick count, serta kelompok-kelompok relawan yang membantu penghitungan real count dengan angka kemenangan 53,15% dan Prabowo - Hatta Rajasa sebesar 46,85% Selain itu angka golput tercatat sebesar 30,42%.
s • b Ringkasan hasil pemilu Presiden Indonesia 9 Juli 2014
Calon         Pasangan Partai         Suara         %
Prabowo Subianto       Hatta Rajasa      Partai Gerakan Indonesia Raya    62.576.444          46,85
Joko Widodo      Jusuf Kalla          Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan          70.997.833         53,15
Total 133.574.277       100%
Suara sah 133.574.277       98,98
Suara tidak sah  1.379.690  1,02
Pemilih pengguna hak pilih  134.953.967       69,58
Pemilih golput     58.990.183         30,42
Pemilih terdaftar 190.307.134      
Sumber: KPU
Suara menurut wilayah[96][97][98]        Prabowo Cawapres 2009.jpg        Gubernur DKI Jokowi.jpg Total suara
Prabowo Subianto
Gerindra    Joko Widodo
PDI–P
Suara         %      Suara         %
Sumatera  Aceh 1.089.290  54.93         913.309     45.61         2.002.599
Sumatera Utara  2.831.514  44.76         3.494.835  55.24         6.326.349
Sumatera Barat  1.797.505  76.92         539.308     23.08         2.336.813
Riau  1.349.338  50.12         1.342.817  49.88         2.692.155
Jambi         871.316     49.25         897.787     50.75         1.769.103
Sumatera Selatan       2.132.163  51.26         2.027.049  48.74         4.159.212
Bengkulu   433.173     45.27         523.669     54.73         956.842
Lampung   2.033.924  46.93         2.299.889  53.07         4.333.813
Bangka-Belitung 200.706     32.74         412.359     67.26         613.065
Kepulauan Riau 332.908     40.37         491.819     59.63         824.727
Jawa Banten       3.192.671  57.10         2.398.631  42.90         5.591.302
DKI Jakarta         2.528.064  46.92         2.859.894  53.08         5.387.958
Jawa Barat         14.167.381         59.78         9.530.315  40.22         23.697.696
Jawa Tengah     6.485.720  33.35         12.959.540         66.65         19.445.260
Yogyakarta         977.342     44.19         1.234.249  55.81         2.211.591
Jawa Timur         10.277.088         46.83         11.669.313         53.17         21.946.401
Kalimantan         Kalimantan Barat         1.032.354  39.62         1.573.046  60.38          2.605.400
Kalimantan Tengah     468.277     40.21         696.199     59.79         1.164.476
Kalimantan Selatan     941.809     50.05         939.748     49.95         1.881.557
Kalimantan Timur        687.734     36.62         1.190.156  63.38         1.877.890
Kalimantan Utara         Digabung dengan Kalimantan Timur
Sunda Kecil        Bali   614.241     28.58         1.535.110  71.42         2.149.351
Nusa Tenggara Barat 1.844.178  72.45         701.238     27.55         2.545.416
Nusa Tenggara Timur 769.391     34.08         1.488.076  65.92         2.257.467
Sulawesi    Sulawesi Utara   620.095     46.12         724.553     53.88         1.344.648
Gorontalo  378.735     63.10         221.497     36.90         600.232
Sulawesi Tengah        632.009     45.17         767.151     54.83         1.399.160
Sulawesi Tenggara     511.134     45.10         622.217     54.90         1.133.351
Sulawesi Barat   165.494     26.63         456.021     73.37         621.515
Sulawesi Selatan         1.214.857  28.57         3.037.026  71.43         4.251.883
Maluku       Maluku       433.981     49.48         443.040     50.52         877.021
Maluku Utara      306.792     54.45         256.601     45.55         563.393
Papua        Papua        769.132     27.51         2.026.735  72.49         2.795.867
Papua Barat       172.528     32.37         360.379     67.63         532.907
Luar negeri         313.600     46.26         364.257     53.74         677.857
Gugatan Pasca Pilpres[sunting | sunting sumber]
Kubu Prabowo-Hatta Rajasa mengajukan beberapa gugatan atas hasil pemilihan ini, yaitu ke DKPP dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, koalisi merah putih di DPR juga berencana meluncurkan pansus pilpres yang akan memanggil KPU[99] . Namun Kubu Prabowo-Hatta Rajasa membantah bahwa pansus ini digunakan untuk membatalkan hasil pemilihan umum, melainkan memperjuangkan pelaksanaan Pemilu yang lebih baik di masa depan[100] Selain itu juga ada rencana mengajukan gugatan ke PTUN dan MA jika gugatan ke MK tidak dikabulkan [101]
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi[sunting | sunting sumber]
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi dimasukkan pada tanggal 25 Juli 2014 dengan klaim kemenangan seharusnya ada di pihak Prabowo dengan 67.139.153 atau 50,25 persen suara dan 66.435.124 atau 49,75 persen suara untuk pasangan nomor urut 2. Selisihnya 704.029 suara [102] Tim Hukum Prabowo juga sempat mengklaim bukti sebanyak 10 truk[103], yang kemudian berkurang menjadi 15 mobil lapis baja, dan berkurang lagi menjadi 3 bundel[104] Gugatan ini diunggah ke situs Mahkamah Konstitusi sehingga menimbulkan banyak kritikan akibat banyaknya kesalahan ketik, struktur penulisan, dan penjumlahan angka-angka di gugatan tersebut. [105] Pada tanggal 7 Agustus, gugatan tersebut diperbaiki dan dikirimkan ulang kepada MK. [106] Selain itu, bukti-bukti baru juga ditambahkan sebanyak 76 bundel ditambah klaim adanya 2000 saksi. [107] Namun MK membatasi saksi sejumlah 25 di tiap sidang karena keterbatasan waktu. [108]
Inti gugatan Prabowo adalah adanya kejanggalan jumlah DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan)[109], pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) [110], mempermasalahkan sistem noken di Papua[111], serta hasil penghitungan yang seharusnya memenangkan Prabowo - Hatta sebesar 50,25 persen.[112] Saat memberikan kesaksian, saksi kubu Prabowo juga mengklaim merasa diancam saat Pemilu berlangsung. [113]
Pada tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan "menolak secara keseluruhan" seluruh gugatan tim hukum Prabowo - Hatta.[114][115]
Gugatan ke DKPP[sunting | sunting sumber]
Kubu Prabowo juga mendaftarkan gugatan kepada Dewan Kerhormatan Penyelenggara Pemilu pada tanggal 1 Agustus 2014, dengan mempermasalahkan pembukaan kotak suara oleh KPU pada 30 Juli 2014 sebelum keluarnya persetujuan Mahkamah Konstitusi[116]. Namun Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie menyatakan gugatan ini hanya terkait masalah etika individu di KPU, sehingga tak akan mempengaruhi hasil pilpres. [117]
Pada tanggal 21 Agustus 2014, DKPP memutuskan memberi peringatan kepada Ketua KPU karena tidak memimpin rapat dan tidak menandatangani SK No 453/Kpts/KPU/2014 tanggal 31 Mei 2014 tentang penetapan capres dan cawapres[118], pemecatan 2 komisioner KPU Kabupaten Serang karena menerima suap dari Gerindra[119], memecat seluruh anggota KPUD Dogiyai karena tidak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu Kabupaten Dogiyai dan menggunakan Form DB-1 untuk Pileg bukan Form DB-1 Pilpres[120], peringatan keras kepada lima anggota KPU Kabupaten Halmahera Timur karena tidak melakukan sosialisasi dan pemberitahuan kepada masyarakat Desa Soasangaji bahwa akan dilakukan PSU di TPS 1 dan TPS 2 di desa tersebut sehingga masyarakat tidak hadir. [121], memecat dua anggota Panwaslu Banyuwangi karena menggunakan fasilitas negara yang diduga digunakan untuk kegiatan kampanye salah satu kandidat[122]. DKPP juga memecat satu anggota KPU Samosir, satu orang anggota KPU Minahasa Utara, tujuh orang di KPU Kota Tual, dan dua orang di Kota Kendari. Jumlah putusan mencapai 29: empat ketetapan, dan 25 putusan. Sedangkan anggota KPU yang diberi peringatan ada 49 orang, sedangkan 72 lainnya tidak terbukti sehingga masih dilindungi[123].
DKPP memuji Hadar Gumay karena tidak melaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik atas aduan dirinya melakukan pelanggaran etika karena bertemu Trimedya Pandjaitan, yang merupakan tim sukses pasangan calon nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla di restoran Sate Senayan pada Sabtu malam, 7 Juni 2014. DKPP juga mengapresiasi Ketua Panwaslu Kabupaten Sukoharjo Subakti yang dianggap merespons cepat terjadinya pelanggaran yang diunggah di Youtube dan menindaklanjutinya.[124]

Korupsi di Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Broom icon.svg
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang berwenang, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga dan waktu yang dimiliki KPK.

Pemberantasan korupsi di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Orde Lama[sunting | sunting sumber]
Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.
Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.
Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.
Orde Baru[sunting | sunting sumber]
Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971
Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.
Reformasi[sunting | sunting sumber]
Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. Komisi Pemberantasan Korupsi
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP

6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW) (Bersambung)

No comments:

Post a Comment