Alasan Dukung Presiden Jokowi Tolak Grasi Terpidana Mati
Narkoba
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Masinton
Pasaribu menilai tindakan Presiden Joko Widodo menolak grasi bagi terpidana
mati kasus narkoba sudah tepat. Sebab, narkoba masuk dalam kejahatan luar biasa
selain korupsi dan terorisme.
"Dalam konteks kejahatan luar biasa. Apa yang
dilakukan Presiden Jokowi untuk menerapkan hukuman mati dan grasi terpidana
mati sudah sangat tepat. Karena peredaran narkotika sudah pada tahap yang
mengkhawatirkan," kata Masinto dalam diskusi MPR di Komplek Parlemen,
Jakarta, Senin (15/12/2014).
Masinton mengingatkan kasus narkoba sangat merugikan
khususnya generasi muda. Pelaku seumur hidup terkait kasus narkoba saja, kata
Masinton masih bisa melarikan diri dengan dibantu sejumlah oknum.
"Kalau nanggung-nanggung ya Indonesia akan menjadi
sarang bandar narkotika," tuturnya.
Menurut Masinton, kejahatan luar biasa perlu diterapkan
hukuman maksimal. Diketahui, kata Masinton, ada pula usulan agar terpidana mati
dapat dihukum melalui metode suntik.
"Jaksa Agung yang sebelumnya juga mengusulkan
hukuman mati dengan disuntik mati itu. Jadi, saya berpandangan, dalam tiga
kejahatan diperlukan sanksi maksimal terhadap pelakunya. Penerapan hukuman mati
tidak bertentangan pada konstitusi kita," ungkapnya.
Sementara, peneliti dari Indonesia Legal Roundtable
(ILR) Firmasyah Arifin tidak sependapat
dengan adanya hukuman mati. "Ke depan harus bergerak sistem hukum ini
membawa kehidupan yang lebih manusiawi dan beradab. Kalau di global penghapusan
hukuman mati ini sudah jadi gerakan global. Karena didasari oleh hak
hidup," ujarnya.
Ia pun mempertanyakan sikap Jokowi yang mengambil
keputusan menolak grasi terhadap 64 terpidana kasus narkoba. "Kita harus
mempertanyakan apa pertimbangan MA untuk melakukan itu. Dasar putusan presiden
berdasarkan pertimbangan MA. Ini ditolak dan harus dilakukan eksekusi,"
kata Firmansyah.
No comments:
Post a Comment