!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Thursday, December 4, 2014

Kerja Berat, ABK Indonesia Biasanya Cuma Bawahan

Kapal pencari ikan
Kerja Berat, ABK Indonesia Biasanya Cuma Bawahan 


TEMPO.CO, Jakarta - Kecelakaan yang menimpa kapal Oryong 501 di Laut Bering, Rusia, menyisakan cerita tentang beratnya pekerjaan seorang ABK atau anak buah kapal ikan. Dengan bayaran yang kerap tak sesuai dengan tugasnya, seorang ABK kapal ikan harus mempertaruhkan nyawa di tengah lautan.

Menurut Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Indra Priyatna, warga negara Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal ikan asing kebanyakan bukan perwira, namun hanya kru. "Biasanya kru bertugas di pekerjaan level bawahan, seperti menarik jaring," katanya kepada Tempo, Rabu, 3 Desember 2014.

Secara formal, kata Indra, untuk menjadi kru di kapal ikan asing, seseorang harus mengantongi sertifikat dasar yang dikeluarkan oleh lembaga kursus atau sekolah tinggi. Namun banyak perusahaan pemilik kapal serta calon ABK yang tidak mematuhi syarat itu. Indonesia, kata Indra, juga belum meratifikasi standar internasional bagi ABK kapal ikan. Indonesia hanya mengadopsi standar ABK kapal niaga. "Untuk kapal ikan, izin ABK diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan." (Baca: Rawan Celaka, Begini Rumitnya Syarat ABK.)

Pahitnya bekerja di kapal ikan asing dirasakan Nendi, ABK asal Cirebon, Jawa Barat, yang bekerja di sebuah kapal ikan perusahaan asal Cina. Hampir setahun ini Nendi bersama tiga ABK asal Indonesia terlunta-lunta di Lima, Peru. "Saya kapok bekerja di kapal. Hanya ingin pulang ketemu keluarga," kata Nendi ketika ditemui di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Peru, Selasa, 2 Desember 2014. (Baca: 4 TKI untuk Kapal Cina Telantar Setahun di Peru.)

Nendi mengaku mendapat perlakuan buruk dari juragannya ketika berlayar. Dia bertugas sebagai nelayan pengangkut cumi-cumi dengan beban harian 10-15 ton. Suatu hari, Nendi dipukul oleh juragannya karena dianggap tak bekerja dengan baik ketika memindahkan karung.


Tak hanya itu, Nendi juga tidak mendapatkan makanan yang layak selama bekerja. Nasi yang disiram air panas jadi menu makanan sehari-hari. Untuk membunuh rasa lapar, Nendi dalam keadaan terjepit terpaksa mengambil biskuit yang kedaluwarsa dan minuman. Hanya saat tertentu saja ia beruntung. "Saat Imlek tiba, saya bisa makan roti yang dipasang di patung Dewi Kwan Im," katanya. Lantaran tak tahan, Nendi akhirnya kabur dan terdampar di Peru.

No comments:

Post a Comment