Wilayah ISIS |
Sekitar 3000 Warga Eropa Gabung ISIS
Perancis dan Jerman menyerukan perubahan kebijakan
kesepakatan zona perjalanan Schengen di Eropa, guna mengatasi peningkatan
jumlah warganya yang bergabung dengan kelompok militan di Irak dan Suriah
(ISIS).
Polisi Perancis menangkap 12 orang tersangka radikal
Islamis berusia antara 19 dan 34 tahun yang diduga akan bergabung dengan
kelompok militan ISIS, hari Senin (15/12).
WASHINGTON DC —
Perancis dan Jerman sejak lama merupakan pihak yang
paling membela kebijakan perjalanan tanpa-dokumen di dalam zona perjalanan
Schengen yang mencakup 26 negara Eropa. Tetapi kini kedua negara itu menyerukan
perubahan kebijakan tersebut guna mengatasi peningkatan jumlah warga Eropa yang
meninggalkan negara mereka untuk berjihad di Irak dan Suriah.
Perancis dan Jerman bukan satu-satunya negara yang
bergulat mengatasi persoalan warga negara mereka yang bertempur dalam perang di
luar negeri.
Bulan Januari 2015 Inggris – yang tidak termasuk dalam
zona Schengen – diperkirakan akan mengumumkan aturan penyitaan dan pembatalan
paspor warga negara Inggris yang terkait dengan kelompok-kelompok bersenjata.
Warga Inggris yang pergi dan bertempur di luar negeri akan dilarang kembali,
dan mereka dinyatakan sebagai orang yang tidak punya kewarganegaraan.
Menurut Perdana Menteri Inggris David Cameron, ada “tidak
ada pilihan lain untuk mengatasi hal ini,” dengan adanya warga negara asing
yang ikut memanas-manasi konflik di Timur Tengah itu.
Warga Barat yang masuk dalam jajaran kelompok-kelompok
radikal dan bertempur di Suriah dan Irak diumpamakan sebagai bom waktu. Bulan
Mei lalu, salah seorang diantara mereka – warga Perancis keturunan Aljazair
Mehdi Nemmouche – melakukan penembakan secara membabibuta di sebuah museum Yahudi
di Brussels, Belgia, dan menewaskan empat orang. Nemmouche adalah sukarelawan
Barat pertama yang bertempur dengan militan ISIS di Suriah dan melakukan
serangan di Eropa.
Insiden itu meningkatkan peringatan bahwa ketika
sukarelawan jihad asing ini kembali ke tanah air mereka, akan lebih banyak lagi
yang melakukan serangan, dan membuka babak baru perang jangka panjang antara
dunia Barat dan kelompok jihad tersebut. Negara-negara Eropa berjuang mengatasi
masalah ini dengan beberapa strategi, seperti saling tukar informasi intelijen
dan mengawasi penduduk Muslim setempat.
Bahkan sebelum terjadinya penembakan di Brussels itu,
sudah memuncak kecemasan atas kemungkinan terjadinya imbas balik terhadap
negara-negara Barat, ketika sedikitnya tiga ribu dari 15 ribu pejuang asing di
Timur Tengah kembali ke tanah air mereka.“Kita seharusnya tidak meremehkan
ancaman” terhadap negara-negara Barat itu, kata mantan agen FBI Martin Reardon.
Menurut ilmuwan Chams Eddine Zaougui dan Pieter Van
Ostaeyen, para pejuang Barat yang telah berada di Suriah tampaknya tidak akan
melakukan serangan di tanah air mereka sendiri. Dalam tulisannya di suratkabat
the New York Times, kedua ilmuwan itu mengatakan para pejuang terdorong melawan
“rejim yang melakukan penyiksaan besar-besaran, serangan bom-bom gentong dan
serangan senjata kimia” yang dilakukan Presiden Suriah Bashar Al Assad.
Beberapa analis lain tidak menyepakati argumen itu.
Penelitian yang dilakukan Thomas Hegghammer – Direktur
Penelitian tentang Teroris di Norwegian Defense Research Establishment –
mendapati bahwa antara tahun 1990 hingga 2010, satu dari sembilan pejuang Barat
yang pergi dan berjihad di luar negeri – terutama di Afghanistan dan
negara-negara Balkan – kemudian menjadi teroris domestik. Beberapa analis
penasaran apakah jumlah itu akan lebih tinggi pada pejuang asing yang telah
bertempur di Irak dan Suriah, karena mereka tampaknya lebih radikal dibanding
generasi sebelumnya.
Kekhawatiran Amerika akan terjadinya imbas balik itu
bertambah ketika pada bulan Mei lalu, seorang warga kelahiran Florida Moner
Mohammad Abusalha menjadi pejuang Amerika pertama di Suriah yang melakukan
serangan bunuh diri terhadap pasukan pemerintah Suriah. Abusalha yang berusia
22 tahun meledakkan bom di dalam truk di kota Idlib – Suriah barat laut.
Bagi badan-badan intelijen di seluruh negara Barat, aspek
yang paling mengkhawatirkan dari arus pejuang asing ke Irak dan Suriah adalah
kenyataan bahwa sebagian besar warga ini “tidak dikenal” sebelumnya dan
nama-nama mereka tidak pernah muncul dalam daftar pengintaian inteljen.
Tantangan untuk mengetahui warga mana yang sudah pergi
berjihad jauh lebih sulit bagi negara-negara kecil di Eropa. Mereka memiliki
sumber daya intelijen yang lebih sedikit dan jangkauan pengintaian yang lebih
sempit – ujar para analis.
Jumlah pejuang Muslim asing dari Eropa di Suriah belum
pernah sebesar ini sebelumnya, dan jauh lebih sedikit yang pergi ke
Afghanistan. Tidak seorang pun mengetahui jumlah pastinya. Perancis – yang
memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di Eropa yaitu sekitar lima juta orang
– tampaknya memiliki jumlah pejuang asing terbesar di Suriah. Sekitar 700
remaja Muslim Perancis diperkirakan telah bertempur di Suriah. Pejabat-pejabat
Inggris mengatakan sedikitnya 500 warga Inggris juga telah pergi berjihad.
Tetapi jumlah itu bisa jadi jauh lebih tinggi.
Laporan yang dikeluarkan Kelompok Soufan – perusahaan
konsultan keamanan di Amerika – memperkirakan “tiga ribu pejuang dari
negara-negara Barat telah pergi ke Suriah untuk bertempur bersama
kelompok-kelompok pemberontak yang didominasi ekstrimis Islamis”. Tetapi
laporan itu dikeluarkan bulan Mei lalu dan sejak pengumuman terbentuknya
kekhalifahan oleh pemimpin Negara Islam Abu Bakar Al Baghdadi – terjadi
penyesuaian peningkatan jumlah pejuang asing yang menuju ke medan tempur itu.
Di seluruh Eropa telah terjadi serangkaian pertemuan
antar-negara pada tingkat menteri dan pejabat senior intelijen untuk
mengkoordinasikan strategi-strategi kontra-teroris. Fokusnya adalah pada saling
bagi informasi intelijen dan kebijakan apa yang harus diambil pada warga yang
kembali dari medan tempur – apakah mereka harus ditangkap dan diadili karena
ikut bertempur dalam perang di luar negeri, atau tidak. Apakah pemenjaraan
mereka kelak akan menjadikan mereka lebih radikal dan semakin bertekad
menyerang Barat atau tidak?. Atau sebaiknya mengharuskan mereka melalui
mengikuti program de-radikalisasi?
Peneliti senior pada International Center for the Study
of Radicalization di Inggris – Shiraz Maher – mengatakan ketika menangani warga
yang diketahui telah direkrut untuk bertempur di luar negeri atau mereka yang
baru kembali, pemerintahan suatu negara seharusnya tidak mengandalkan hanya semata-mata
pada pemberian hukuman. “Penelitian menunjukkan, hanya sebagian kecil pejuang
asing terlibat kegiatan teroris di dalam negeri.” Intervensi atau tindakan
deradikalisasi – dan bukan hukuman – adalah alat yang lebih tepat untuk
mengurangi resiko.
Tetapi Shiraz Maher setuju bahwa pemerintah seharusnya
melakukan lebih banyak hal untuk memberdayakan badan-badan keamanan supaya
mampu “mencegah perjalanan para calon pejuang ini sebelum mereka meninggalkan
negara tersebut”.
Inilah yang ingin dilakukan Perancis dan Jerman.
Pemerintah Perancis dan Jerman ingin lebih banyak pemeriksaan di
bandara-bandara yang ada di zona perjalanan Schengen dan menyerukan pembentukan
pusat data penumpang Eropa yang up to date supaya badan-badan keamanan bisa
melacak gerakan tersangka teroris. “Ini penting” ujar Menteri Dalam Negeri
Perancis Bernard Cazeneuve kepada wartawan.
Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maiziere mengatakan
“tiga ribu pejuang telah meninggalkan Eropa untuk berjihad dan kita tidak ingin
Eropa menjadi eksportir tindakan teror”. (VOA)
No comments:
Post a Comment