!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Tuesday, August 13, 2013

Setiap penyakit pasti ada obatnya.


Setiap penyakit pasti ada obatnya.


Setiap penyakit pasti ada obatnya, itulah yang pernah disabdakan oleh  Nabi Muhammad SAW, berarti seberat apa pun penyakit kita pasti ada obatnya, baik obat hasil resep seorang dokter, atau resep dari seorang Herrbalis.

Kecuali melalui penyakit itu ajal kita sudah ditentukan, karena kalau demikian obat apa pun tidak ada gunanya, karena ajal seseorang ditentukan akan meninggal telah ditulis oleh Allah SWT di dalam kitab Ahlaul Mahfush 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan jagad raya termasuk  Bumi.






SYARAT PENGOBATAN YANG MANJUR


Oleh
Ustadz Dr Muhammad Arifin bin Badri MA


Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَاأَنْزَلَ اللَّه دَاءً إِِلاقَدْأَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan untuknya obat, hal itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya” [1]

Agar suatu pengobatan manjur dan mendatangkan hasil, kita harus mengindahkan beberapa persyaratan. Dan berikut ini akan saya paparkan dua syarat utama bagi pengobatan yang manjur.

SYARAT PERTAMA : PENGOBATAN TEPAT
Agar obat yang anda gunakan benar-benar berguna dan manjur, sehingga penyakit yang anda derita sembuh, pengobatan anda harus tepat.

• Tepat ketika mendiagnosis penyakit yang anda derita
• Tepat memilih obat
• Tepat dalam dosis obat
• Tepat waktu penggunaan
• Tepat dengan menghindari berbagai pantangan dan hal lain yang menghambat kerja obat.

Bila anda melakukan kesalahan pada satu dari hal-hal tersebut maka sangat dimungkinkan pengobatan yang anda lakukan tidak akan mendatangkan hasil sebagaimana diharapkan.

Demikianlah sebagian dari pelajaran yang dapat kita petik dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

عَنْ جَابِرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَنَّهُ قَالَ (لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَاأُصِيبَ دَوَاءُالدَّاءِ بَرَأَ بِإذْنِ اللَّهِ عَرَّ وَجَلَّ)

“Dari sahabat Jabir Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izzin Allah Azza wa Jalla” [HR Muslim]

Ibnul Qayim rahimahullah, mengomentari hadits ini dengan berkata, “Pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan (kecocokan) obat dengan penyakit. Sebab, tidak ada satu makhlukpun melainkan memiliki lawannya. Dan setiap penyakit pasti memiliki obat yang menjadi penawarnya, yang dengannya penyakit itu diobati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan. Ketepatan ini merupakan hal yang lebih dari sekedar ada atau tidak adanya obat (bagi suatu penyakit, pen) karena obat suatu penyakit bila melebihi kadar penyakit, baik pada metode penggunaan atau dosis yang semestinya akan berubah menjadi penyakit baru. Bila metode penggunaan atau dosis kurang dari yang semestinya, maka tidak akan mampu melawan penyakit, sehingga penyembuhannya pun tidak sempurna. Bila seorang dokter salah dalam memilih obat, atau obat yang ia gunakan tidak tepat sasaran, maka kesembuhan tak ‘kan kunjung tiba. Bila waktu pengobatan dilakukan tidak tepat dengan obat tersebut, niscaya obat tidak akan berguna. Bila badan pasien tidak cocok dengan obat tersebut atau fisiknya tidak mampu menerima obat tersebut atau ada penghalang yang menghalangi kerja obat tersebut, niscaya kesembuhan tak kan kunjung tiba. Semua itu dikarenakan ketidaktepatan dalam pengobatan. Bila pengobatan tepat dalam segala aspeknya, pasti –dengan izin Allah- kesembuhan akan diperoleh. Inilah penafsiran terbaik bagi hadits di atas. [2]

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan yang senada dengan ucapan Ibnul Qayyim, “Pada hadits riwayat sahabat Jabir Radhiyallahu anhu terdapat isyarat bahwa kesembuhan tergantung pada ketepatan dan izin Allah. Yang demikian itu dikarenakan suatu obat kadang kala melebihi batas baik dalam metode penggunaan atau dosisnya, sehingga obat tersebut tidak manjur, bahkan dimungkinkan obat itu malah menimbulkan penyakit baru.[3]

SYARAT KEDUA : IZIN ALLAH
Sebagai seorang muslim anda pasti beriman kepada takdir Allah. Anda mempercayai bahwa segala sesuatu di dunia ini terjadi atas kehendak dan ketentuan dari Allah Ta’ala.

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ketentuan)” [Al-Qomar : 49]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرِ (كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِوَالْكَيْسِ)

“Segala sesuatu (terjadi) atas takdir (ketentuan dan kehendak), hingga rasa malas dan semangat pun (terjadi atas takdir)” [HR Muslim]

Kehendak dan ketentuan Allah ini mencakup segala sesuatu, tidak terkecuali penyakit dan kesembuhan yang menimpa manusia. Oleh karenanya, Nabi Ibrahim Alaihissallam berkata sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an.

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan bila aku sakit, maka Dialah Yang menyembuhkan”. [Asy-Syu’ara : 80]

Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila ada salah seorang dari anggota keluarganya yang menderita sakit, atau ketika menjenguk orang yang sedang sakit, beliau mengusapnya dengan tangan kanannya, sambil berdo’a.

اللَّهُمِ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبْ اْلبَاسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لاَشِفَاءَ إِلاشِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُسَقَمًا

“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, sirnakanlah keluhan, sembuhkanlah dia, sedangkan Engkau Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit” [Muttafaqun ‘alaih]

Oleh karenanya, pada hadits Jabir Radhiyallahu anhu di atas, selain mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengaitkannya dengan kehendak Allah.

“Bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla”.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَنْزَلَ الدَّوَاءَ الَّذِي أَنْزَلَ الْأَدْوَاءَ

“Yang menurunkan obat adalah (Dzat) yang menurunkan penyakit” [4]

Terdapat dalil (yang menjelaskan) bahwa kesembuhan, tidak ada seorang pun yang mampu menyegerakan kedatangannya, dan tidak seorang pun yang mengetahui waktu kedatangannya. Sungguh aku telah menyaksikan sebagian dokter (tabib) yang berusaha mengobati dua orang yang ia anggap menderita penyakit yang sama. Keduanya ditimpa penyakit pada waktu yang sama, umur yang sama, berasal dari negeri yang sama, bahkan kadangkala mereka adalah dua orang saudara kembar, dan makanan mereka pun sama. Sebab itu, dokter tersebut mengobati keduanya dengan obat yang sama. Akan tetapi, salah satunya sembuh, sedangkan yang lain malah mati atau penyakitnya berkepanjangan. Orang kedua itu baru sembuh setelah sekian lama, yaitu tiba waktu yang telah Allah tentukan kesembuhannya”. [5]

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Di antara pelajaran yang terkandung dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

َلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Obat itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya”

(Di antara pelajaran tersebut ialah) apa yang dialami oleh sebagian pasien. Ia berobat dari suatu penyakit dengan suatu obat lalu ia sembuh. Kemudian pada lain waktu ia ditimpa oleh penyakit yang sama, lalu ia pun berobat dengan obat yang sama, tetapi obat itu tidak manjur. Penyebab terjadinya hal semacam ini adalah kebodohannya (ketidaktahuannya) tentang sebagian karakter obat tersebut. Mungkin saja ada dua penyakit yang serupa, sedangkan salah satunya terdiri dari beberapa penyebab (penyakit/komplikasi), sehingga tidak dapat diobati dengan obat yang telah terbukti manjur untuk mengobati penyakit yang tidak komplikasi, di sinilah letak kesalahannya. Dan kadang kala kedua penyakit tersebut sama, tetapi Allah menghendaki untuk tidak sembuh, maka obat itu pun tidak manjur, dan saat itulah runtuh keangkuhan para tabib (dokter).[6]

Penjelasan diatas membantah praduga atau pemahaman sebagian orang bahwa bila suatu hal telah dinyatakan sebagai obat bagi suatu penyakit maka harus pasti manjur dan penyakit sirna. Atau, apabila imunisasi terhadap suatu penyakit telah diberikan maka anak kita pasti kebal dan terhindar dari penyakit tersebut. Sadarlah wahai saudaraku, semua yang kita lakukan dan kita upayakan hanyalah sebatas usaha sedangkan Allah yang menentukan dan menakdirkan. Dahulu dinyatakan.

إِذَا وَقَعَ الْقَدَرُ بَطَلَ الحَذَرُ

“Bila takdir telah datang maka sirnalah kehati-hatian”

Maksudnya, bila Allah telah menentukan suatu penyakit menimpa seseorang, atau bila ajal telah datang maka berbagai upaya yang ditempuh manusia untuk menghindari tidak lagi berguna, dan kehendak Allah lah yang pasti terjadi. Aqidah dan keyakinan ini tidak boleh kita lupakan kapan pun kita berada, serta apa pun profesi kita. Kaitannya dengan proses pengobatan setiap penyakit yang kita derita, maka dapat dirangkum dalam beberapa hal berikut.

1. Hendaknya kita yakin, bahwa yang menciptakan penyakit adalah Allah, dan yang menentukan bahwa penyakit tersebut menimpa kita adalah Allah. Kita tidak perlu berkeluh kesah, kita menerima semuanya dengan lapang dada. Percayalah bahwa dibalik penyakit tersebut pasti tersimpan beribu-ribu hikmah. Dengan cara ini, apapun yang kita alami akan mendatangkan kebaikan bagi kita, baik di dunia ataupun di akhirat.

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman, sesungguhnya segala urusannya baik, dan hal itu tidaklah dimiliki melainkan oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka kesenangan itu menjadi baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka kesusahan itu baik baginya” [HR Muslim]

2. Hal selanjutnya yang hendaknya kita lakukan ialah memohon kesembuhan kepada Allah, menumbuhkan keimanan dan keyakinan bahwa hanya Allah lah yang dapat menyembuhkan penyakit kita. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahui ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya do’a

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, sirnakanlah keluhan, sembuhkanlah dia, sedangkan Engkaulah Penyembuh, tiada kesembuhan melainan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit”

Kita sering melupakan hal ini. Bahkan, sering kali do’a menjadi upaya terakhir yang kita lakukan dalam upaya penyembuhan, atau hanya kita lakukan bila tenaga medis telah kesulitan, atau kita telah mengeluarkan banyak biaya sehingga rasa putus asa telah menyelimuti sanubari dan –mungkin juga- dengan penuh keraguan kita berdo’a memohon kesembuhan kepada Allah, sambil berkata, “Siapa tahu do’a kita dikabulkan”. Subhanallah, dengan tenaga medis kita optimis, akan tetapi dengan kekuasaan Allah kita ragu, sehingga kita berkata “Siapa tahu do’a kita dikabulkan”?

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 08, Tahun ke-10/Rabi'ul Awal 1432 (Feb - 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]


TATA CARA RUQYAH YANG BENAR


Ruqyah bukan pengobatan alternatif. Justru seharusnya menjadi pilihan pertama pengobatan tatkala seorang muslim tertimpa penyakit. Sebagai sarana penyembuhan, ruqyah tidak boleh diremehkan keberadaannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya meruqyah termasuk amalan yang utama. Meruqyah termasuk kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Para nabi dan orang shalih senantiasa menangkis setan-setan dari anak Adam dengan apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya”. [1]

Karena demikian pentingnya penyembuhan dengan ruqyah ini, maka setiap kaum Muslimin semestinya mengetahui tata cara yang benar, agar saat melakukan ruqyah tidak menyimpang dari kaidah syar’i.

Tata cara meruqyah adalah sebagai berikut:

1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.

2. Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.

3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan berdoa.

4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun. Dan seluruh Al Qur’an, pada dasarnya dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang disebutkan dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh.

5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.

6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.

7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang tiupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani, 17/184].

8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun. Disebutkan dalam hadits Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُوْا الزَيْتَ وَ ادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة

"Makanlah minyak zaitun , dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah".[2]

9. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah, tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. [HR Muslim, Syarah An Nawawi (14/180].

Imam An Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat yang shahih tentang itu yang telah aku himpun dalam kitab Al Adzkar”. Dan menurut Syaikh Al ‘Utsaimin berkata, tindakan yang dilakukan sebagian orang saat meruqyah dengan memegangi telapak tangan orang yang sakit atau anggota tubuh tertentu untuk dibacakan kepadanya, (maka) tidak ada dasarnya sama sekali.

10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillah, 3 kali).

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti".[3]

Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi sampai tujuh kali.
Atau membaca :

بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَِّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا

"Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini".[4]

Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[5]

11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki atau tangan misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebutkan dalam hadits Muhammad bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al Jalal, ia berkata: Aku datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan Nabi. Aku berkata: “Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih meludahi kedua tanganmu seraya membaca doa:

أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Hilangkan penyakit ini wahai Penguasa manusia. Sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali penyembuhanMu, obat yang tidak meninggalkan penyakit"[6].

Dia (Ummu Jamil) berkata: “Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali tanganmu telah sembuh”.

12. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ubay bin K’ab , ia berkata: “Dia bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau Shallallahu 'alaihi wa salla,m . Maka aku mendengar Beliau membentenginya (ta’widz) dengan surat Al Fatihah”.[7]

Apakah ruqyah hanya berlaku untuk penyakit-penyakit yang disebutkan dalam nash atau penyakit secara umum? Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah, penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata yang jahat (‘ain), penyebaran bisa racun (humah) dan penyakit namlah (humah). Berkaitan dengan masalah ini, Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Maksudnya, ruqyah bukan berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa Beliau ditanya tentang tiga hal itu, dan Beliau membolehkannya. Andai ditanya tentang yang lain, maka akan mengizinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi isyarat buat selain mereka, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga keluhan tadi”. (Shahih Muslim, 14/185, kitab As Salam, bab Istihbab Ar Ruqyah Minal ‘Ain Wan Namlah).
Demikian sekilas cara ruqyah. Mudah-mudahan bermanfaat. (Red).

Maraji` :
1. Risalatun Fi Ahkami Ar Ruqa Wa At Tamaim Wa Shifatu Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim. Dikoreksi Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Jibrin.
2. Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abdullah bin Muhammad As Sadhan, Pengantar Syaikh Abdullah Al Mani’, Dr Abdullah Jibrin, Dr. Nashir Al ‘Aql dan Dr. Muhammad Al Khumayyis, Cet X, Rabi’ul Akhir, Tahun 1426H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment