Anak-anak korban senjata kimia di Suriah |
Upaya negara-negara Barat untuk membungkam Suriah selalu menemui kegagalan di Dewan Keamanan (DK) PBB, terutama karena dijegal Rusia dan China. Namun penggunaan senjata kimia dianggap sudah kelewat batas, sehingga muncul gagasan agar negara-negara Barat menyerang Suriah walaupun tanpa restu DK PBB.
Negara-negara Barat dan Timur Tengah telah berkoordinasi di Yordania kemarin membicarakan masalah Suriah. Amerika Serikat sendiri telah merapatkan kapal perangnya di Suriah, bersiap untuk melancarkan serangan begitu perintah turun.
"Apa yang kita lihat di Suriah pekan lalu mengejutkan kesadaran dunia. Biar saya perjelas: Pembantaian tak pandang bulu atas warga sipil, pembunuhan wanita dan anak-anak serta pejalan kaki yang tidak berdosa oleh senjata kimia adalah pelanggaran moral," kata Menteri Luar Negeri John Kerry dalam komentar terkerasnya soal Suriah, sebagaimana dilansir Reuters, Senin 26 Agustus 2013.
Menurut laporan aktivis, 1.700 orang tewas di Ghouta, Suriah, pekan lalu. Menurut Kerry, Suriah berusaha menutupi kejahatannya di Ghouta dengan membombardir wilayah tersebut untuk menghilangkan bukti-bukti saat penyidik PBB datang.
"Nilai-nilai kemanusiaan kita tercoreng bukan hanya karena kejahatan pengecut yang mereka lakukan, tapi percobaan untuk menutupi itu semua," kata Kerry.
Selain Amerika Serikat, Inggris juga sudah gemas dengan Suriah. Menteri Luar Negeri Inggris William Hague kepada BBC mengatakan bahwa Barat berpotensi menyerang Suriah walaupun tanpa restu Dewan Keamanan PBB.
"Apakah mungkin merespons serangan senjata kimia tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB? Saya katakan: bisa," Hague menegaskan.
Hal ini juga diamini oleh Prancis yang mengatakan bahwa respons akan diberikan dalam hitungan hari. "Satu-satunya opsi yang tidak saya dukung adalah tidak melakukan apapun," kata Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius.
Dukungan juga datang dari Turki, Prancis, Qatar, Kanada, Arab Saudi dan Italia yang turut menghadiri pertemuan di Yordania tersebut. Pemerintah Turki menegaskan akan bergabung dengan koalisi internasional melawan Suriah walaupun DK PBB gagal mencapai konsensus.
Menanggapi ancaman ini, Bashar Al-Assad mengaku tidak gentar. Dengan dukungan Rusia, Iran dan China, dia kukuh mengatakan bahwa tuduhan itu tidak masuk akal dan setiap agresi militer terhadap Suriah akan gagal.
"Amerika Serikat akan menghadapi kegagalan seperti semua perang yang telah mereka pernah lakoni," ujar Assad
Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengecam keras penggunaan senjata kimia di Suriah yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa rakyat sipil tak berdosa. Hal itu dikemukakan Marty ketika bertemu Deputi Sekretaris Jenderal PBB di New York pada Senin 26 Agustus 2013.
Melalui keterangan pers Kementerian Luar Negeri kepada VIVAnews, Selasa 27 Agustus 2013, Marty mengatakan situasi terkini di Suriah kian memburuk. “Masyarakat internasional tidak dapat membiarkan semakin memburuknya situasi di Suriah. Apabila terbukti, maka penggunaan senjata kimia menandai titik terendah dalam konflik di Suriah,” kata Marty.
Marty menyatakan, publik perlu mendukung upaya investigasi PBB untuk membuktikan apakah tuduhan penggunaan senjata kimia oleh Suriah benar atau tidak. “Masyarakat internasional perlu memastikan hal ini agar pelaku tindakan tak berperikemanusiaan tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata dia.
Marty juga mendorong perangkat utama PBB, khususnya Dewan Keamanan, untuk segera menyelesaikan berbagai situasi yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Isu Suriah ini juga menjadi pembahasan Marty dengan Menlu Turki Ahmet Davutoglu melalui telepon.
Tim PBB Diserang
Sayangnya upaya investigasi PBB di Suriah dibayang-bayangi teror. Al Jazeera melaporkan, konvoi enam kendaraan yang membawa tim investigasi PBB diserang oleh penembak jitu di daerah penyangga antara pihak pejuang Suriah dengan tentara pemerintah.
Peristiwa itu terjadi dekat ibu kota Suriah, Damaskus, saat iring-iringan kendaraan berangkat menuju Moadamiya dan Ghouta, lokasi yang diduga menjadi saksi tewasnya ribuan warga Suriah akibat penggunaan senjata kimia.
Namun menurut juru bicara PBB, Martin Nesirky, tidak ada satupun anggota tim investigasi PBB yang terluka dalam penembakan itu. Kendaraan pengganti bagi tim PBB pun langsung disiapkan. Tim akhirnya berhasil tiba di dua rumah sakit di sana untuk mengambil sampel dan mewawancarai para korban.
Pria 45 tahun ini sudah lebih dari setahun tidak kelihatan batang hidungnya di Suriah. Namun, dia diduga masih jadi orang kuat di kemiliteran Suriah. Bahkan dia disinyalir berada di balik penyerangan senjata kimia di Ghouta yang menewaskan lebih dari 1.700 orang.
Dia adalah Brigadir Jenderal Maher al-Assad, adik kandung Presiden Bashar al-Assad. Diberitakan The Guardian, dalam beberapa hal, Maher memainkan peranan penting dalam perang sipil di Suriah ketimbang kakaknya.
Maher adalah anggota senior Partai Baath dan menempati posisi sentral di kepolisian Suriah. Jabatan pentingnya yang lain adalah sebagai Komandan Divisi Ke-4 Pasukan Bersenjata Suriah sejak tahun 2000 dan Garda Republik.
Sejak awal perang sipil pecah di suriah 2,5 tahun lalu, kedua pasukan ini aktif menggempur pasukan mujahidin. Pekan lalu, kedua divisi ini kembali diaktifkan untuk melakukan operasi besar memberantas pasukan pejuang Suriah di Damaskus.
Berbeda dengan divisi pasukan lainnya yang banyak membelot, pasukan Maher loyal dan kejam. Padahal dalam 18 bulan pertama peperangan, banyak tentara yang desertir karena menolak membunuh rakyat. Saat itu, Maher sering terlihat oleh tentara garis depan, mengomandani pertempuran.
Contohnya pada Maret 2011, saat pasukan Assad menggempur wilayah Deraa. Kala itu, pasukan Maher tengah memberantas para pemuda yang menyerukan Assad untuk turun. Di sini, Maher memberikan perintah langsung untuk menembak, membuat seorang tentara terpaksa membelot.
"Dia mengunjungi kami pada suatu pekan di sana," kata mantan anggota divisi 4 yang membelot dan kabur ke Istanbul, Turki. "Dia mengatakan pada kami untuk tidak menembak pria dengan senjata, karena mereka teman. Dia malah menyuruh kami menembaki orang yang tidak memegang senjata, karena mereka teroris," lanjut pria yang enggan disebut namanya ini.
"Saya tidak langsung membelot. Dia membuat kami menembaki mereka di jantung dan kepala. Tentara yang dengan sengaja menembak melebar atau ke atas akan dipukuli atau dibunuh," kata dia lagi.
Kekejaman ini tidak akan dilupakan oleh warga Deraa yang sekarang kebanyakan tinggal di pengungsian di kota Zaatari, Yordania. "Maher adalah iblis. Dia secara pribadi ingin memusnahkan kami karena kami menentangnya. Dia mendapat kesenangan dari situ. Apakah kau melihat videonya di penjara?" kata Khaled Othman, salah satu pengungsi.
Kerusuhan Penjara
Othman merujuk pada kerusuhan di penjara Saidnaya tahun 2008. Saat itu, 400 tentara ditawan oleh 10.000 napi. Maher mengeluarkan perintah bunuh, baik napi dan tentara yang disandera ikut tewas.
Maher menggunakan kamera ponselnya untuk merekam mayat-mayat tersebut, beberapa dari mereka terpotong-potong, beberapa kepalanya hancur. Adik ipar Maher, Majd al-Jadaan, yang tinggal di pengasingan di Washington DC membenarkan bahwa yang mengambil gambar itu adalah Maher.
Dia terakhir terlihat beberapa pekan sebelum ledakan di ruang rapat di Damaskus, Juli tahun lalu, yang menewaskan adik ipar Assad, Assef Shawkat. Terbunuh juga pada insiden itu menteri pertahanan dan beberapa anggota pejabat pemerintahan Assad.
Menurut rumor, saat itu Maher juga tengah berada di ruang rapat tersebut. Abdullah Omar, mantan juru bicara kepresidenan Suriah yang membelot September lalu mengaku melihat Maher datang ke Istana dengan keadaan payah. Sebagian kaki dan tangannya diamputasi.
Namun rumor ini belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Yang jelas menurut seorang diplomat senior Turki, Maher masih hidup dan memerintah militer. "Dia masih hidup dan memerintah. Divisi ke-4 masih menjadi salah satu unit tempur terbaik Suriah," kata diplomat ini.
No comments:
Post a Comment