Warga setempat melarung ogoh-ogoh ke kolam penampungan lumpur, menandai peringatan delapan tahun musibah lumpur Lapindo, Kamis, 29 Mei 2014 (Foto: VOA/Petrus Riski) |
Selain doa bersama, korban lumpur Lapindo bersama aktivis pecinta lingkungan melakukan aksi melarung ogoh-ogoh berbentuk Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo Brantas, Kamis (29/5).
Kamis, 29 Mei ini genap delapan tahun luapan lumpur Lapindo, menenggelamkan ribuan rumah serta belasan desa di kawasan Porong dan sekitarnya. Warga setempat mengadakan doa bersama dan aksi keprihatinan, di atas tanggul kolam penampungan lumpur Lapindo.
Dikatakan oleh Maskur, doa bersama ini dilakukan untuk menghormati serta mendoakan arwah para leluhur, yang makamnya tertimbun di dalam kolam penampungan lumpur.
“Insya Allah, walaupun ini karena bersejarah, ini tiap tahun harus diperingati. Mengenang, karena ingat jasa-jasa, karena harta yang ditinggalkan kepada kita ini dari leluhur. Jadi kita tidak bisa menghilangkan begitu saja (tradisi doa bersama),” kata Maskur.
Selain doa bersama, korban lumpur Lapindo bersama aktivis pecinta lingkungan melakukan aksi melarung ogoh-ogoh berbentuk pemilik Lapindo Brantas, yakni Aburizal Bakrie, yang diangap bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang dialami warga Sidoarjo.
Kusro, seorang korban lumpur Lapindo yang sering datang ke atas tanggul berharap, ada percepatan pembayaran ganti rugi tanah dan rumah miliknya yang sudah tenggelam oleh lumpur, agar dapat melanjutkan hidup yang lebih baik. Selain kehilangan rumah dan tanah kelahirannya, Kusro juga harus kehilangan pekerjaan sebagai petani, dan sekarang harus beralih profesi sebagai penjual jamu keliling untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
“Baru dapat 75 persen pembayaran ganti rugi. Sisanya tinggal 50 juta yang belum dibayarkan oleh Lapindo,” demikian ungkap Kusro dalam bahasa daerah.
Desakan untuk segera melunasi pembayaran ganti rugi, karena warga lain yang terdampak lumpur namun berada di luar peta area terdampak, telah dilunasi pembayaran ganti ruginya oleh pemerintah.
Supari, warga korban lumpur Lapindo lainnya menyerukan pemerintah harus bersikap adil dengan mempercepat pelunasan pembayaran ganti rugi warga yang terdampak langsung, yang selama delapan tahun harus meninggalkan rumah dan belum jelas kehidupannya akibat belum menerima ganti rugi.
“Siapa pun yang membayar, biar pun negara biar pun swasta, kami ndak lihat dari situ, yang penting selesaikan. Jangan kami dibikin cemburu sosial, jangan kami lalu dibikin sakit hati, dengan kondisi yang diluar tanggul yang (rumahnya) masih bisa dipakai istirahat dipakai tidur, dipakai macam-macam itu masih bisa digunakan, itu dibayar dengan lunas, meski pun pakai uang negara dan uang siapa itu. Ngapain tidak yang delapan tahun ini diselesaikan,” kata Supari.
Sementara itu peringatan delapan tahun lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo juga menjadi kesempatan bagi alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Djaja Laksana untuk terus menyerukan penghentian semburan lumpur dengan menggunakan bendungan Bernoulli karyanya.
Djaja Laksana yang sejak awal semburan lumpur terus menyuarakan gerakan stop lumpur berharap, pemerintahan yang baru nanti memiliki itikad baik untuk mau menghentikan semburan lumpur, yang menurutnya dapat dihentikan dalam waktu enam bulan bila dirinya diberi kepercayaan.
“Kalau semua lancar perkiraan enam bulan bisa, pasti. Semua asal lancar tidak ada gangguan ini dan itu semua lancar, enam bulan. Saya kira tidak perlu saya ajukan, pemerintah baru saya kira sudah tahu, tapi kalau belum tahu saya akan ajukan,” kata Djaja Laksana. VOA
No comments:
Post a Comment