!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Sunday, August 11, 2013

Serba-serbi krisis politik di Mesir


Serba-serbi krisis politik di Mesir

Kantor berita negara Mesir (MENA) mengatakan tembak-menembak antara dua keluarga di pasar Kairo menewaskan 15 orang, termasuk 13 orang yang tewas karena terbakar.
           
MENA mengatakan, baku tembak pada Senin (29/7/2013) malam waktu setempat bermula ketika seorang pemilik toko melepaskan tembakan dengan senapan otomatis dan menewaskan dua orang yang sebelumnya menebar barang dagangan di halaman luar tokonya.
         
Atas insiden tersebut, teman-teman kedua orang itu balik membakar toko tersebut. Pemilik toko dan 12 karyawannya tewas.

Baku tembak dan pembakaran balas dendam di lingkungan Kairo lama, el-Moski, adalah tanda-tanda terbaru dari pelanggaran hukum yang menyebar di Mesir selama dua tahun kekacauan politik. Ada banyak senjata beredar dan polisi tak mampu menangani kriminalitas.



Prihatin dengan berlarut-larutnya situasi kekacauan politik di Mesir, imam besar Al-Azhar, satu institusi Islam terbesar di negara itu, kini mulai memanggil pihak-pihak yang berseberangan untuk segera mengakhiri krisis politik.

Imam besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed al-Tayyib, berharap bisa mengadakan pertemuan untuk rekonsiliasi nasional.

Selama tiga hari terakhir, jumlah korban terus membengkak di dua kamp protes dimana orang menuntut kembalinya Presiden terguling Muhammad Mursi.

Pemerintah sementara yang didukung militer mengatakan polisi akan membubarkan arena protes itu guna menghindari pertumpahan darah lebih lanjut.

Lebih dari 250 orang yang sebagian besar adalah pendukung Mursi, tewas dalam bentrokan sejak militer menggulingkan pemimpin pertama yang terpilih secara demokratis di Mesir pada 3 Juli lalu.

Minggu lalu, Presiden Interim Mesir, Adly Mansour, menganggap upaya rekonsiliasi yang digagas negara-negarak seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa telah gagal.

Mansour mengatakan Ikhwanul Muslimin, yang adalah pendukung Mursi, "benar-benar bertanggung jawab atas kegagalan," serta "peristiwa yang berkaitan dengan pelanggaran hukum dan membahayakan keselamatan publik."

Terpecah

Sabtu kemarin, pihak resmi Al-Azhar telah bertanya kepada para petinggi politik di Mesir untuk bertemu dalam rekonsiliasi nasional yang akan diawasi oleh imam besar mereka.

Mereka mengatakan anggota Partai Keadilan dan Kemerdekaan yang terkait Ikhwanul Muslimin dan para pemimpin Islamis lainnya termasuk yang diundang untuk datang.

Al-Azhar, sebagai suatu institusi yang sangat dihormati, telah beberapa kali berhasil menyatukan berbagai kekuatan politik yang berbeda sejak pergerakan tahun 2011 yang menjatuhkan presiden Husni Mubarak, lapor wartawan BBC di Kairo, Yolande Knell. Namun, kali ini tugas tersebut menjadi sangat sulit, kata Yolande.

Imam besar ini secara terbuka mendukung intervensi militer untuk menggulingkan Mursi setelah protes massal di jalan, yang membuat marah para pendukungnya, dan negara ini sekarang sangat terbagi dua, ia menambahkan.

Sebelum liburan empat hari Idul Fitri, yang menandai akhir bulan suci Ramadhan, Perdana Menteri Interim Hazem Beblawi mengumumkan bahwa keputusan untuk membubarkan aksi duduk diam pendukung Mursi di luar masjid Rabaa al-Adawiya masjid dan dekat Universitas Kairo adalah final. "Pemerintah ingin memberikan demonstran, terutama yang berpikiran sehat di antara mereka, kesempatan untuk berdamai dan mengemukakan alasan," kata Beblawi di televisi pemerintah pada Kamis (09/09) lalu.

Para pendukung Presiden Mesir yang digulingkan, Muhammad Mursi, Kamis (1/8/2013), menolak seruan Kementerian Dalam Negeri untuk mengakhiri aksi di dua lapangan di Kairo.
Juru bicara kelompok pendukung Mursi, Alaa Mostafa, mengatakan, aksi demonstrasi ini akan dilanjutkan.
Saqr, pendukung Mursi yang melakukan aksi di kamp Rabaa al-Adawiya di Kairo timur laut, mengatakan, ia dan para pendukung Mursi lainnya terus akan berdemonstrasi sampai Mursi kembali diangkat sebagai presiden.

"Kami siap, siap mati untuk memperjuangkan legitimasi (Mursi). Serangan (terhadap kami) bisa terjadi kapan saja," ujar Saqr kepada kantor berita Reuters.

Di dekatnya terdapat tumpukan batu yang ia katakan akan digunakan kalau ada yang membubarkan aksi ini.
Mursi, presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis, digulingkan militer bulan lalu.

Ancaman keamanan
Aksi serupa beberapa waktu lalu diwarnai tindakan kekerasan yang menyebabkan lebih dari 70 orang pendukung Mursi meninggal dunia.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Mesir meminta agar aksi unjuk rasa diakhiri dan menawarkan jalan keluar yang aman dan janji untuk tidak diajukan ke pengadilan.

Pada Rabu (30/7/2013), pemerintah dukungan militer mengizinkan polisi membubarkan aksi para pendukung Mursi.
Menteri Luar Negeri Mesir Nabil Fahmy mengatakan pemerintah tengah berupaya mencari solusi damai atas krisis politik yang terjadi di negaranya.

"Di luar itu, kami tak bisa menerima ancaman terhadap keamanan. Selain itu, kami juga terikat dengan peta jalan, yang masih membuka kemungkinan semua elemen di Mesir untuk ikut serta," kata Fahmy seusai bertemu mitranya dari Jerman.
Amerika Serikat sudah mendesak Mesir untuk menghormati hak rakyat menyampaikan pendapat, termasuk hak melakukan aksi melakukan aksi secara damai.

 Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton, Senin (29/7/2013) malam, dikabarkan melakukan pembicaraan dengan presiden Mesir terguling, Muhammad Mursi, selama dua jam di Kairo.

Juru bicara Ashton, Maja Kocijanjic, melalui akun Twitternya membenarkan Ashton dan Mursi melakukan pertemuan. Namun, dia tidak menjelaskan lokasinya.

Mursi, sejak digulingkan 3 Juli lalu, ditahan militer di lokasi yang dirahasiakan. Kini Mursi tengah diperiksa terkait berbagai dugaan kejahatan termasuk pembunuhan.

Dalam kunjungan keduanya selama 12 hari ke Kairo, Ashton adalah salah seorang dari sedikit orang luar yang berbicara dengan kedua kelompok yang berseteru di Mesir.

Ashton dijadwalkan menggelar jumpa pers pada Selasa (30/7/2013) malam di Kairo.

Sebelumnya, pada Senin (29/7/2013), Ashton bertemu dengan panglima militer Mesir Jenderal Abdul Fattah al-Sisi.

Selain dengan otak penggulingan Mursi itu, Ashton juga berbicara dengan anggota kabinet Mesir dan perwakilan Partai Kebebasan dan Keadilan, yang adalah sayap politik Ikhwanul Muslimin.

"Saya akan menekankan proses transisi yang inklusif, merangkul semua kelompok politik, termasuk Ikhwanul Muslimin," ujar Ashton sebelum tiba di Kairo.

Krisis politik Mesir dinilai disebabkan oleh kebuntuan dialog antara pihak-pihak yang bertikai. Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi mengatakan, negara lain bisa membantu Mesir untuk memecahkan kebuntuan itu, termasuk Indonesia. Menurutnya, ada tiga hal yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia untuk membantu mengakhiri konflik horizontal yang terjadi di Mesir.

"Pertama saya kira Indonesia bisa berperan untuk mendorong rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berseberangan, terutama antara Ikhwanul Muslimin dan militer," ujarnya di sela Diskusi Darurat Hewan, di Kantor Change.org, Jakarta, Senin (29/7/2013).

Kedua, lanjut Zuhairi, Indonesia dapat menularkan inspirasi mencapai Pancasila sebagai dasar filosofi berbangsa dan bernegara. Ia bercerita, sekitar tahun 1960-an, Presiden pertama RI, Soekarno, pernah berpidato di Al Azhar Mesir ketika memperoleh gelar doktor honoris causa. Dalam pidatonya, Soekarno secara khusus menyampaikan bagaimana pancasila menjadi common platform seluruh warga negara.

"Saat itu Pancasila sangat dikagumi oleh para ulama karena ini menjadi jalan tengah bagi kebuntuan sekularisme dan Islamisme," kata Zuhairi.

Namun, sayangnya, saat itu tidak terjadi semacam konsensus politik yang menjamin tersebarnya ideologi Pancasila di Mesir. Kini, lanjut Zuhairi, Indonesia bisa memberikan inspirasi tentang Pancasila pada Mesir dalam melewati proses transisi demokrasi.

Sementara itu, langkah ketiga yang bisa dilakukan Indonesia adalah dengan mendesak negara tersebut untuk ikut bergabung dengan kekuatan PBB, supaya ada kekuatan yang mampu mengakhiri kekerasan.

"Kekerasan yang terjadi di Mesir ini efek dari politisi kekerasan," ujar Zuhairi.

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton. Senin (29/7/2013) berada di Kairo, Mesir, untuk menghadiri pertemuan yang bertujuan mengurangi ketegangan di negara tersebut.
Pembicaraan ini digelar setelah lebih 70 pendukung Mohammed Morsi yang digulingkan terbunuh pada Sabtu akhir pekan lalu.
Ashton mengatakan dirinya menemui semua pihak terkait, termasuk Ikhwanul Muslimin, kelompok asal Morsi dan militer yang melengserkan Morsi, termasuk dengan Jenderal Abdel Fattah al-Sisi, pejabat tinggi militer di balik penggulingan Morsi.
Ia mendesak peralihan ke pemerintah sipil secepatnya dan meminta pemerintah yang baru merangkul semua pihak.
Ini adalah kunjungan Ashton kedua ke Mesir sejak pencopotan Morsi.

Pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Mohamed ElBaradei, yang kini menduduki wakil presiden sementara, mengatakan kepada Ashton bahwa pemerintah berupaya maksimal mengatasi krisis secara damai.

ElBaradei mengatakan tak ingin menumpahkan darah rakyat Mesir.

Namun beberapa kalangan mengatakan posisi tawar Uni Eropa tak sebesar Amerika Serikat, yang mengucurkan bantuan militer 1,3 miliar dolar AS per tahun untuk Mesir.

Dari perkembangan di lapangan, pada Minggu malam, puluhan ribu pendukung Morsi berjalan menuju fasilitas militer di Kairo, tak menghiraukan peringatan militer agar mereka tak mendekati fasilitas tersebut.

Aksi ini dilaporkan tidak memicu bentrok.
Ikhwanul Muslimin menyerukan agar terus dilakukan aksi menentang penggulingan Presiden Morsi oleh militer.
Sumber : BBC Indonesia

No comments:

Post a Comment