!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Friday, December 6, 2013

Empat negara tolak draft Paket Bali


Empat negara tolak draft Paket Bali

Setelah melunaknya sikap India terkait solusi interim stok keamanan pangan, kini sebanyak empat negara menolak Draft Paket Bali, yang masih dikonsultasikan dalam Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) ke-9.

"Negara dari Afrika, Arab, Asia, grup Pasifik, dan Least Developing Countries mendorong paket tersebut, sementara Kuba, Bolivia, Venezuela dan Nikaragua menolak rancangan paket itu," kata Juru Bicara WTO Keith Rockwell kepada para wartawan di Nusa Dua, Bali, Sabtu dini hari.

Rockwell mengatakan salah satu yang menjadi masalah penolakan keempat negara atas Draft Paket Bali tersebut adalah masalah embargo yang tidak kunjung ditindaklanjuti WTO sejak pertemuan Hong Kong tahun 2005.

Sementara itu dalam perkembangannya, India --yang awalnya bersikeras mengenai adanya perubahan dalam Paket Pertanian dan menjadi satu-satunya penghambat dibuahkannya Paket Bali-- sudah mulai lunak.

"Embargo dan masalah prosedural yang membuat keempat negara tersebut merasa tidak senang, sejauh ini India telah mendukung," kata Rockwell.

KTM WTO ke-9 sesungguhnya sudah diakhiri pada Jumat (6/12), namun, karena perundingan masih alot, negosiasi dilanjutkan hingga Sabtu dini hari. Kendati perundingan memakan waktu cukup lama, belum ada kesepakatan yang dihasilkan. Bahkan, dijadwalkan pada pukul 10.00 WITA, Sabtu, perundingan kembali dilanjutkan.

"Ada 155 negara yang mendukung sedangkan empat negara tidak," ungkap Rockwell.

Sebelumnya, India tidak menyetujui dan bersikeras bahwa solusi sementara bukan merupakan langkah yang tepat karena terkait dengan permasalahan yang fundamental yakni stok keamanan pangan.

Dalam negosiasi terkait solusi interim tersebut, negara maju seperti Amerika Serikat sesungguhnya telah menyetujui usul negara berkembang untuk memberikan subsidi lebih dari 10 persen dari output nasional, namun memberikan jangka waktu bagi pelaksanaannya.

Jangka waktu yang diberikan selama empat tahun tersebut tidak diterima oleh India --yang menginginkan adanya solusi permanen dan juga adanya penyesuaian harga dengan tidak lagi menggunakan acuan harga dari tahun 1986-1988.

Saat sikap India mulai lunak, giliran Kuba yang secara tiba-tiba meminta waktu untuk berbicara dalam Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization ke-9.

Saat itu, Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo sedang membagikan Draft Paket Bali untuk dibaca terlebih dahulu, dan akan didiskusikan kembali pada pukul 00.00 WITA, untuk diambil keputusan, sementara Kuba bersikeras meminta waktu untuk menyuarakan pendapatnya.

LSM: paket WTO refleksikan kepentingan negara maju

 LSM Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI) menyatakan pembahasan Paket Bali dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merefleksikan kepentingan negara-negara maju dan berpotensi merugikan negara-negara berkembang.

"Paket Bali adalah refleksi kepentingan negara-negara maju semata," kata Koordinator Nasional CSF-CJI Mida Saragih, Jumat.

Menurut Mida, beragam paket yang dibahas seperti proposal fasilitas perdagangan, paket proposal negara-negara kurang berkembang dan kepentingan pertanian bias kepentingan negara maju.

Di sisi lain, ujar dia, proposal keamanan pangan yang sedang dalam pembahasan dan didukung India dan sejumlah negara antara lain mengharuskan pemerintah membeli hasil panen dari petani kecil, memastikan harga pembelian di atas rata-rata harga pasar, sehingga dapat mendongkrak kualitas hidup masyarakat petani dan masyarakat rentan.

"Indonesia sebagai Ketua G33 (negara-negara berkembang) sudah semestinya menjamin hasil dari WTO guna mendukung kedaulatan pangan, perlindungan petani, dan hak atas pangan," katanya.

Ia berharap pemerintah Indonesia hendaknya mendukung usulan India serta negara berkembang agar tetap konsisten berpihak kepada kepentingan bangsanya dan G33 serta harus dapat memastikan proses negosiasi WTO bebas dari tekanan politik.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengkritik Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat yang menyebarkan paham antisubsidi dalam sektor perikanan secara global.

"WTO bersama dengan negara maju beranggapan bahwa subsidi dalam sektor perikanan akan mengganggu akses pasar dalam perdagangan internasional," kata Sekjen Kiara Abdul Halim.

Menurut Abdul Halim, kebijakan WTO dan negara maju tersebut berdasarkan pemikiran bahwa kebijakan subsidi bagi nelayan dan petambak serta produksi produk perikanan dinilai akan menghambat perdagangan bebas.

Subsidi perikanan, ujar dia, termasuk antara lain bantuan langsung materi untuk pembelian kapal, alat tangkap, modal usaha, pinjaman kredit, serta program preferensi pajak dan asuransi.

Bantuan subsidi lainnya, lanjutnya, bisa juga berupa pengembangan infrastruktur pelabuhan perikanan, subsidi harga dan pemasaran, serta subsidi program konservasi dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

No comments:

Post a Comment